Kamis, 23 Juli 2009

Tentang Anak Kos (Dari Seseorang yang Bukan Anak Kos)


Selama sekitar dua tahun mengecap dunia kampus, saya kadang berpikir bahwa tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok antara kuliah dan sekolah, kecuali bahwa jadwalnya memang gak serapih waktu SD-SMA atau bahwa saya harus menempuh jarak yang cukup jauh dibandingkan jika akan ke sekolah. Saat pendapat itu saya utarakan pada beberapa teman kuliah, mereka tidak mengaminkan. Mereka justru merasakan begitu jauhnya perbedaan antara kedua masa tersebut. Tapi belakangan, saya menyadari bahwa tidak adanya perbedaan yang signifikan yang saya rasakan adalah karena saya bukan anak kos, bebeda dengan kebanyakan teman-teman lain yang memang nge-kos.

Tidak menjadi anak kos adalah suatu hal yang otomatis bagi saya. Yah, saya memang bukan perantau melainkan tetap kuliah di kota tempat saya lahir, di kota tempat keluarga saya berada dan rumah saya pun terletak di sini. So, tak ada alasan buat nge-kos khan kalo sudah punya home sweet home, meskipun lumayan jauh dari kampus.

Dari sanalah saya kemudian memandang anak kos sebagai sesuatu yang ‘beda’ bahkan ‘mengagumkan’. Hidup jauh dari orangtua, harap-harap cemas menanti kiriman, berdampingan dengan teman se-kos dengan seabreg karakter masing-masing, makan sendiri, nyuci sendiri, bersih-bersih sendiri, bahkan mungkin memendam kesedihan sendiri.

Jadi ingat waktu masih MaBa, pas heboh-hebohnya dikerjain sama senior. Waktu itu seorang kawan kena labrak dan dimaki habis-habisan di depan mukanya sama seorang senior, sampe-sampe dia nangis didepan semua senior dan MaBa yang lain. Karena kasihan, setelah eksekusi itu, beberapa dari kami mencoba memberi support dan mengantar dia ke kosannya. Tapi di tengah jalan, dia malah berhenti jalan trus jongkok sambil nangis, diantara isaknya dia bilang, “Saya kangen sama ibu saya…”.
Dan oooooh…, hai saya tersentuh. Tidak bisa membayangkan kalau saya ada di posisinya, pas lagi sedih-sedihnya, pasti merasa terdampar di tempat baru tanpa orang-orang yang disayangi dulu…

Lain lagi dengan kawan yang terkenal rajin banget kerja laporan. Suatu hari dia kelihatan kelabakan menyalin laporan dari teman lain ditengah-tengah jeda kuliah. Pas saya tanya kenapa tidak kerja di rumah, dia bilang kalo uangnya tinggal beberapa ratus rupiah yang tersisa. Trus tinta pulpennya habis. Jangankan buat beli pulpen baru, buat makan saja dia tidak sanggup. Katanya, sejak kemarin dia hanya menjejalkan perutnya dengan susu kaleng yang kebetulan masih sisa sejak dibeli awal bulan lalu. Hmm…, tidak terbayang deh menahan lapar karena uang kiriman belum datang!

Tentunya kawan-kawan yang anak kos punya cerita yang lebih ‘inspiratif’ lagi dibanding yang saya tulis di atas. Tapi cukuplah kedua hal itu membuat saya terus menganggap para anak kos sebagai ‘pejuang-pejuang’ hidup yang tangguh plus membuat saya banyak bersyukur atas segala keadaan saya saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)