Senin, 26 November 2018

Kapan Terakhir Kali Menangis Mendengarkan Taujih?

Pertanyaan di atas -yang merupakan status salah seorang kawan di FB bertahun yang lalu, selalu mengingatkan saya pada satu kejadian di masa SMA dulu. Saat kami, para belia berseragam putih abu-abu, duduk dalam sebuah majelis kecil di beranda mushala, sambil menyimak sebuah kisah.

Kisah itu tentang keteladanan para shahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Yang membacakannya adalah salah satu dari kami, siswi SMA juga. Disimak juga oleh kami-kami, yang juga siswi SMA. Dibaca dengan irama yang datar, tanpa diiringi suara latar, tidak juga dengan visualisasi macam-macam. Sederhana saja. Tapi entah mengapa, kisah itu membuat kami meneteskan air mata. Ah, betapa saya merindukan momentum masa-masa SMA itu. Masa awal mengecap hidayah. Yang karenanya, membuat semua itu menjadi kenangan atas cinta.

Kemudian waktu berlalu. Banyak sekali hal yang sudah terjadi. Pertemuan, perjumpaan, perpisahan, dan kehilangan, juga berbagai perubahan, datang silih berganti. Hingga pada satu titik, saya merenungkan jalan panjang yang telah saya lalui. Lalu mencoba mencari subtansi atas semua itu. Tentang apa yang sebenarnya saya kejar. Apa yang saya cari. Apa yang saya perjuangkan.

Saat saya mencoba mengambil langkah mundur dari tempat saya berdiri, saya mendapati bahwa segalanya bisa terlihat lebih jelas. Bahwa berada di dalam gelembung kita sendiri terkadang membuat kita hanya sibuk dengan nilai dan standar kita sendiri. Saat kita melihat segalanya sebagai hitam putih, kita jadi merasa berhak untuk memukul rata semua yang ada di sekeliling kita sebagai sesuatu yang 'salah', saat warnanya dengan kita tidak sama. Saat jalan yang ia lalui berbeda. Saat pilihan yang ia tempuh tidak serupa dengan kita. Padahal, kita sama sekali tidak tahu apa yang sedang ia hadapi.

Saya teringat perkataan seorang ustadz, dalam sebuah majelis yang begitu besar, setiap sudut masjid yang megah itu diisi oleh berpasang mata yang hadir untuk menyimak kajiannya. Hari itu, ia akan membahas tentang akhlak. Lalu sebelum memulai penjelasannya, ia membuka majelisnya dengan sebuah nasihat yang sangat indah...

"Saat kita membahas tentang akhlak, maka yang harus kita ingat adalah bahwa materi ini ditujukan untuk memperbaiki diri kita. Jangan sampai saat dibahas tentang keburukan akhlak yang buruk, yang pertama terlintas di pikiran kita adalah tentang akhlak orang lain kepada kita, lalu kita pun 'mengaminkan' bahwa ia berdosa... jadinya kita lupa, bahwa harusnya yang pertama kita perbaiki itu diri kita sendiri .."

Ya, saat ilmu dikejar hanya untuk diajarkan pada orang lain. Saat ilmu diburu agar bisa menemukan dalil untuk menunjukkan kesalahan orang lain. Saat ilmu dicatat hanya untuk menjadi checklist untuk menunjukkan betapa salahnya orang lain. Dan pada saat yang sama, kita merasa aman atas diri kita sendiri. Maka saat itu, bagaimana bisa kita menangis saat mendengar taujih? Astaghfirullah...

Mungkin kita perlu kembali kepada kepekaan yang ada di titik di awal kita mulai berhijrah. Pada saat tetes hidayah itu pertama kali menyapa, dan kita paham betul, bahwa kita bukan siapa-siapa. Kita belum menjadi apa-apa.

261118

Rabu, 31 Oktober 2018

Kepergian Bapak dan Hal-Hal yang Saya Pelajari


Fayyadh, bayi lima bulan itu akhirnya tertidur. Tapi saya masih urung untuk segera membawanya ke kamar tidur kami di lantai dua. Saya harus menunggu adik yang mengantar ibu saya ke dokter, saya tidak bisa meninggalkan Bapak sendirian, meski saya tahu beliau sudah tertidur.

Entah apa yang membawa saya untuk berinisiatif menengok Bapak di kamar. Lalu mendapati sarungnya yang basah. Sepertinya setelah ganti popok terakhir, terlupa untuk memakai popok kembali. Maka saya menepuk pundak Bapak perlahan. Membantunya bangun untuk bersih-bersih di kamar mandi, lalu kembali memakaikan baju, popok, dan sarung baru. Bapak hanya diam. Pikiran saya terbang ke beberapa hari yang lalu saat Bapak tiba-tiba mengecup kening saya saat saya tuntas memandikan dan memakaikannya pakaian baru. Sebuah kecupan yang ternyata menjadi kecupan terakhir beliau kepada anaknya ini.

Setelah itu Bapak kembali masuk ke dalam kelambu. Lalu terduduk di atas tempat tidur, dengan tatapan kosong, dan masih dalam diam. Berkali-kali saya memintanya untuk kembali tidur. Bapak hanya mengangguk dan tak juga berbaring. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Di masa-masa akhir hidupnya dengan dua kali operasi di kepala yang otomatis mengganggu kinerja otak Bapak, saya selalu berusaha menerka-nerka; apa yang sedang Bapak pikirkan?

Kepergian Bapak untuk selama-lamanya adalah kejadian paling berpengaruh dalam hidup saya. Betapa rasa kehilangan itu bukan hanya meninggalkan duka, tapi juga berbagai pelajaran hidup untuk kami yang ia tinggalkan.

1.Ikatan Darah, Ikatan yang Tak Pernah Putus.
Sepanjang hidup saya sebagai seorang anak, tak bisa dipungkiri bahwa saya pun turut menyaksikan betapa orang tua saya pun adalah manusia biasa. Ya, mereka juga melakukan kesalahan. Tapi, bagaimanapun, atas ikatan darah yang kita punya, akan selalu ada maaf atas segala kesalahan tersebut. Bahwa meski darah kita dicuci oleh seluruh samudera di dunia ini, tetap tidak akan luntur ikatan itu. Pada akhirnya, sebagai seorang anak, rasanya tiap jerih payah yang orang tua lakukan tidak akan pernah dapat terbayar dengan bakti sehebat apapun, pun tidak akan bisa terhapus dengan kesalahan sebesar apapun.

2.Kenangan dalam Hati Seorang Anak.
Suatu hari, putera pertama saya sedang batuk keras. Semalaman tidurnya rewel, terganggu oleh batuknya sendiri. Alhasil, saya dan suami harus meronda bergantian untuk menggendong Fayyadh hingga kembali tertidur. Dalam pada itu, saya tiba-tiba tidak bisa menahan air mata saat sedang menggendong Fayyadh yang tengah sakit, saat ingatan saya terbawa pada kejadian saat saya sakit cacar di masa SD dulu. Di malam hari, Bapak masuk ke kamar saya, berbaring di samping saya dan semalaman mengusap punggung saya yang gatal tapi tak boleh di garuk. Dengan itu saya tertidur.  Dan betapa kenangan tentang hal itu tidak bisa saya lupakan. Sesuatu yang membuat saya kerap kali bertanya-tanya; kenangan macam apa yang akan saya tinggalkan untuk anak-anak saya?

3.Dunia; Yang Tertinggal dan Yang Tersisa
Tiap rasa sesak terhadap dunia hadir dalam benak saya, kepada kepergian Bapak-lah saya selalu berpulang. Saya menjadi saksi bagaimana beliau berikhtiar menjemput rezeki dari hari ke hari. Namun pada akhirnya, yang saya saksikan adalah helaian kain kafan saja yang menemani beliau kembali ke pelukan bumi. Maka di dunia ini, sebenarnya apa yang kita cari? Sungguh hanya sekejap, hanya sekejap saja hidup ini jika dibandingkan dengan kehidupan setelah mati.

4.Sahabat Sejati yang Selalu di Sisi
Suatu hari saya menyuap Bapak saat beliau masih di rumah sakit, pasca operasi kepalanya yang kedua. Tiba-tiba Bapak menyebutkan satu nama yang belum jua muncul untuk menjenguknya.
“Mungkin sedang sibuk, Pak...” ujar saya yang kemudian menemukan mata Bapak yang berkaca-kaca.
“Mungkin dia sudah lupa sama saya...”.
Di akhir-akhir hidup Bapak saya mendapati sahabat-sahabat sejati beliau yang mengelilinginya di masa Bapak berada dalam fase post-power. Tidak lagi memangku jabatan apapun setelah tahun-tahun yang panjang memegang posisi-posisi strategis, sedang sakit pula. Maka benarlah, sahabat sejati baru dapat kita nilai saat kita sedang berada 'di bawah'. Mereka yang tetap ada, tanpa tendensi apa-apa.

Bapak, terima kasih untuk pelajaran yang Bapak tinggalkan meski tanpa harus terus berada bersama kami. Semoga Allah menyayangi Bapak di sana. Anak perempuan ta' rindu, Pak...

011118
Pada dua tahun kepergian Bapak rahimahullah.

Kamis, 25 Oktober 2018

Mom's Me Time; Egoisme Seorang Ibu?

Saya termenung sesaat saat suatu hari menemukan tulisan yang menggambarkan bagaimana me-time bagi seorang ibu 'bisa jadi' adalah bentuk sikap ego yang disebabkan oleh 'keterikatan' dengan gadget yang akhirnya mengeliminir us-time bagi anak-anak dan keluarga.

Dalam pada itu saya berpikir; sebegitu identiknyakah me-time dengan gadget? Dan sebegitu berdosanyakah seorang ibu jika ia ingin waktu untuk dirinya sendiri sehingga ia layak disebut egois? Satu kata yang mungkin menggambarkan kondisi seorang wanita yang telah memiliki anak, namun sejatinya belum benar-benar siap menjadi orang tua.

Hmm...

Satu hal yang terpikir adalah bahwa; me time tidak selalu tentang gadget! Ya, meski mungkin bagi beberapa ibu, meraih gadget dan sejenak tenggelam di dunia maya adalah salah satu cara untuk mengisi waktunya kala tidak bersama dengan anak-anaknya. Tapi, sekali lagi, ini semua tidak selalu tentang itu!

Yap, bagi saya pribadi -dan saya sangat maklum jika ada yang tidak sependapat, me time bagi seorang ibu itu SANGAT PENTING. Saya tidak tahu apakah ini berhubungan dengan kepribadian introvert yang saya punya atau tidak. Tapi bagi saya, mempunyai kesempatan untuk berdiam diri sejenak tanpa diintervensi oleh siapapun, melalukan sesuatu dengan tuntas dalam keheningan seorang diri; adalah surga!

Dan ini sama sekali tidak berarti bahwa saya tidak menikmati momentum bersama anak-anak saya. Tidak selalu bermakna bahwa saya tidak bersyukur dengan karunia keluarga; suami dan anak-anak yang sangat saya cintai. Sebab ya, saya tahu di luar sana ada begitu banyak pasangan yang melewati hari-hari mereka dalam penantian terhadap buah hati. Saya tahu ada banyak pribadi singel yang berharap segera dapat menggenapkan dirinya dalam ikatan suci dan membangun keluarga sendiri.

Tapi bagaimanapun, saya bukanlah malaikat. Sebagai seorang manusia biasa, ada kebutuhan-kebutuhan dalam diri saya yang harus mampu saya sadari dan penuhi agar saya bisa tetap waras. Ya, salah satunya adalah kebutuhan akan me-time.

Dan sekali lagi, bentuk me time itu tidak harus selalu dengan gadget. Tidak berarti harus dengan jalan-jalan yang 'wah' ke tempat-tempat yang luar biasa. Bisa punya waktu untuk membereskan kamar, menyikat kamar mandi, atau melipat pakaian hingga benar-benar selesai, dengan perasaan tenang karena anak-anak sedang aman di tempat dan bersama orang yang tepat, menurut saya sudah merupakan me time yang mewah.

Lalu apa faidahnya?

Ya itu tadi, menjadi lebih waras. Serasa telah ter-charge. Dan tentu saya bisa kembali menghadapi anak-anak saya dengan hati yang lebih baik. Maka, bukankah manfaatnya kembali kepada keluarga kita sendiri?

Jadi, untuk para ibu yang sependapat dengan saya; jangan khawatir. Jangan merasa berdosa hanya karena kamu butuh waktu untuk dirimu sendiri. Tak perlu merasa egois hanya untuk meminta sekian puluh menit tanpa harus bersama anak-anakmu. Take your time, Mom. Sebab setiap ibu adalah matahari bagi keluarganya. Maka, selalu temukan cara untuk membuat dirimu dapat terus bersinar.

Senin, 08 Oktober 2018

Hikayat Sebuah Gigi

Gadis kecil itu meringis sambil memegang pipi kirinya. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Rasanya seluruh tubuhnya ikut menanggung  sakit yang bersumber dari sebuah giginya yang berlubang. Pikirannya sesekali melayang pada satu siang di mana ia terlalu semangat menyantap sepotong ayam goreng saat acara 'makan-makan' dalam penerimaan rapor kelas 4 SD. Bermula dari tulang ayam yang tak sengaja ia gigit dengan keras, giginya sampai berlubang dibuatnya. Lubangnya terus semakin besar, hingga kini rasa sakitnya tak lagi tertanggungkan.

Setelah drama menangis hingga mata bengkak yang ditingkahi dengan naiknya suhu badannya, akhirnya orang tua gadis itu membawanya ke dokter gigi langganan mereka. Cukup jauh sebenarnya dengan jarak rumahnya. Tapi mereka sudah terlanjur percaya pada cekatannya jemari si dokter gigi. Dan baru kali itu, gadis kecil tadi harus menjalani perawatan gigi dalam empat babak, hingga akhirnya lubang tersebut ditutup secara permanen. Di kemudian hari, ia baru tahu, bahwa mungkin itulah yang disebut dengan perawatan saluran akar.

Waktu pun berlalu. Si gadis terus bertumbuh melewati berbagai fase hidupnya. Tamat dari sekolah dasar, menyelesaikan sekolah menengah pertama hingga selanjutnya lulus SMA. Lalu kemudian berkuliah, hingga mencapai gelar sarjana. Dalam perjalanan hidupnya itu, dengan atau tanpa ia sadari, ia jalani bersama tambalan gigi geraham atasnya yang tetap kokoh di sana.

Hingga hari itu tiba.

Beberapa hari sebelum ia berangkat ke pulau seberang untuk menjalani praktek kerja dari program pendidikan profesi yang tengah ia jalani. Saat sedang makan, sesuatu yang keras ia rasakan turut bercampur dengan makanan yang ia kunyah. Tambalan gigi!

Ya, hingga sekitar 15 tahun, tambalan gigi itu copot dan meninggalkan lubang yang menganga. Membawa ingatan si gadis pada rasa sakit di masa kecilnya. Karena kesibukannya, ia kemudian memutuskan untuk menambal giginya lagi di tempat yang lebih mudah dijangkau. Tapi ternyata, tambalan itu hanya bertahan beberapa bulan saja. Lalu kesibukannya membuat ia lupa untuk segera merawat giginya lagi, hingga rasa sakit kembali menyerang.

Ia memutuskan ke dokter gigi lain yang masih mudah ia datangi di tengah segala kesibukannya. Sebenarnya, ia ingin sekalian mencabut saja gigi itu. Habis perkara.

Tapi oleh di dokter gigi, ia disarankan untuk tetap mempertahankan giginya. Walaupun si dokter harus 'berkreasi' untuk bisa menambal geraham yang tinggal seuprit itu.

Tambalan kali itu, cukup bertahan. Bertahan untuk menyaksikannya meraih gelar profesi. Menjalani masa transisi. Hingga kemudian mengakhiri masa lajangnya...

Lalu dalam perantauan dengan kondisinya sebagai pengantin baru, di sebuah siang yang sunyi, lagi-lagi ia mendapati tambalan gigi yang kembali copot. Innalillah...

Kali itu, rasanya telah bulat tekadnya untuk mengakhiri kebersamaannya dengan si gigi. Namun, takdir berkata lain. Tak lama setelah itu, ia ternyata hamil. Dan tidak ada dokter gigi yang bersedia mencabut giginya dalam kondisi tersebut. Alhasil, si geraham dibiarkan dalam kondisi terbuka. Dengan niatan, setelah melahirkan bayinya, gigi itu pun akan segera dieksekusi.

Tapi, kesibukannya sebagai ibu baru ternyata membuatnya semakin pelupa. Hingga tak terasa, bayinya sudah berumur lebih dari tujuh bulan. Saat ia merasa lebih lowong untuk bergerak, ia memutuskan kembali menyambangi sebuah klinik gigi, untuk menanggalkan si geraham.

Ini adalah pengalaman pertamanya mencabut gigi di usia dewasa. Namun entah mengapa ia santai saja. Yang tidak dia tahu, bahwa menit-menit kedepannya akan tidak mudah. Dokter gigi itu kewalahan mengeksekusi giginya. Patah-patah, rapuh, dan masih ada sebagian akar yang tersisa. Namun, ibu beranak satu itu sudah tak sanggup meneruskan proses pencabutan gigi itu. Bendera putih. Ia menyerah. Sebelum ia benar-benar trauma...

Pulang dari sana, kepalanya pening menahan sakit pada bekas cabutan gigi yang tak tuntas. Besoknya ia demam seharian. Dalam hati ia berniat, sisa dari akar gigi itu harus segera ia lenyapkan.

Tapi lagi-lagi, takdir punya rencana sendiri. Dua bulan setelah kejadian itu, ia hamil anak kedua. Kesibukannya menemani si sulung bermain, sembari menjalani kehamilan berikutnya, membuatnya lagi-lagi lupa pada giginya yang tinggal secuil itu. Sesekali lidahnya merasakan sisa gigi di sana, sambil berharap akan ada kesempatan untuk mencabutnya.

Kemudian ia melahirkan. Harusnya prosesi cabut gigi ia segera agendakan. Tapi kesibukannya membersamai dua anak lelakinya kembali membuat ia lupa.

Hingga...

Rasa sakit itu kembali menyerang. Dan saat anak shalihnya yang kedua sudah nyaris berumur satu tahun, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke dokter gigi. Kali ini, ia tidak mau macam-macam. Ia akan mengembalikan gigi itu pada orang yang paling pertama menanganinya. Pada dokter gigi masa kecilnya.

Sambil menggendong putranya yang kedua, ia tempuh perjalanan panjang menuju klinik gigi itu. Lokasinya masih sama, tapi dengan tampilan yang lebih modern dan alat yang lebih canggih. Namun, dokter gigi itu tak berubah. Tetap tak banyak bicara, langsung mempersilahkannya duduk di kursi pasien. Dengan cekatan jemarinya bekerja tanpa suara.

Tak lebih dari lima menit, ia meminta pasiennya berkumur.
"Sudah, dok?" tanya wanita itu, seolah tak percaya bahwa prosesnya akan sesingkat itu. Dokter itu mengangguk, lalu kembali ke mejanya.

Wanita itu mengansurkan biaya yang harus ia bayar. Sambil menyebutkan nama ibunya yang juga masih menjadi pasien setia si dokter.
"Saya sejak kecil selalu rawat gigi di sini dok..." ucapnya.

Mendengar itu, baru kemudian ekspresi sang dokter yang sedari tadi datar berubah dengan segaris senyuman.

"Oh ya?" ucapnya sambil tersungging, memunculkan guratan keriput di samping matanya, sambil menatap lekat pada pasien di hadapannya. Seolah berusaha mengingat wajah gadis kecil yang pernah ia rawat giginya, dua puluh tahun yang lalu.

Minggu, 29 Juli 2018

Siapa Tahu Jodoh

SIAPA TAHU JODOH

Suatu hari di tahun 2008, selompok mahasiswa menyusuri jalan setapak di belakang kampusnya, siang itu. Seseorang di antara mereka menunjuk ke salah satu lorong, lalu menyebut nama seorang dosen di fakultasnya. "Ini lorong rumah bapak itu. Kabarnya, beliau punya anak gadis yang kuliah di kampus seberang, jilbabnya panjang!" ujarnya.

Seorang kawannya lalu nyeletuk, santai bercampur canda, "Wah, siapa tahu jodoh, tuh!". Celetukannya itu disambut tawa ringan oleh mereka. Tanpa pernah mereka tahu, rupanya langit tengah merekam pembicaraan itu...

Waktu pun terus berlalu. Si mahasiswa yang nyeletuk tadi terus melanjutkan hidupnya. Diselesaikannya masa studinya hingga sarjana, tanpa pernah ditakdirkan bertemu muka langsung dengan dosen yang di awal cerita ia lewati lorongnya itu. Ia kemudian merantau ke pulau Jawa, menuntaskan dahaga ilmunya hingga kembali menambah gelar di belakang nama. Bahkan hingga menjelajah ke negeri jiran, ditempuhnya jua dengan satu tekad; tak akan menikah hingga tunai gelar tertinggi tersemat pada namanya!

Pun demikian dengan si gadis. Lurus-lurus saja ia jalani hidupnya. Studi ilmu tentang obat-obatan yang di hatinya tak begitu mendapat tempat, ia jalani saja dengan satu niat; menyenangkan orangtua. Hingga tahun-tahun berlalu dan ia raih pula gelar profesi untuk dibawa pulang ke rumah, setelah masa yang panjang dalam babak belur perjuangan melalui lika-liku laboratorium, penelitian, dan magang praktik kefarmasian.

Awalan 2015 menjadi awal untuk seorang pemuda memperkenalkan dirinya pada ayah dari seorang gadis. Lelaki itu, adalah dosen yang ia lewari lorong rumahnya delapan tahun yang lalu. Dan hari itu adalah kali pertama mereka bertemu. Sang pemuda bahkan belum pernah manatap wajah gadis yang ternyata telah menjadi jalan untuk ia mengubah haluan hidupnya; studinya belum kelar, tapi ia rasa harus segera menikah tahun itu juga. Ia rasa perjalanannya membutuhkan seorang pendamping untuk menguatkan langkah.

Delapan bulan kemudian, pemuda tadi menjabat erat tangan lelaki berambut kelabu yang telah menerima khitbahnya pada Januari yang lalu itu. Ijab qabul terucapkan, resmi sudah sebuah ikatan.

Hampir tiga tahun kemudian, saat keduanya telah memiliki dua orang buah hati, baru kemudian ia bercerita kepada sang istri; Mmi, mungkin memang tanda-tanda bahwa kita bakal berjodoh, sudah terlihat waktu itu... lewat ucapan iseng Aba, sepuluh tahun yang lalu...."

Juli 2018

Kamis, 01 Maret 2018

Me, Mom of Two

Fawwaz, bayi empat bulan yang begitu tinggi husnudzannya kepada Fayyadh, abangnya. Tiap kali Fayyadh mendekati Fawwaz, bayi ini pasti selalu nyengir, bahkan kadang sampai cekikikan, padahal Fayyadh ndak ngapa-ngapain. Masyaallah, Nak… Padahalnya lagi, nyaris tiap hari Fawwaz selalu jadi 'korban’ kakaknya yang belum genap dua tahun itu. Paling minimal kena pukul di mukanya, sempat beberapa kali dilempari dengan berbagai macam barang. Umminya yang stress…

Entahlah si kakak ini cemburu atau karena memang masih terlalu kecil untuk mengerti. Umminya yah cuma bisa berusaha melindungi si kecil, kasih pemahaman sama si besar kalau pas ada insiden lagi. Sambil banyak-banyak doa semoga mereka besarnya nanti akan bisa akur dan saling sayang. Aamiin…

Rasanya punya anak dua, jarak dekat, laki-laki semua pula itu… wakwaw… Hehe.. Apalagi duo FM ini jadwal tidur siangnya kayak habis janjian. Iya, janjian buat gantian. Jadi kalo satu tidur, satunya ON. Dan sebaliknya. Alhasil si Ummi yang harus setia setiap saat. Bye-bye tidur siang! Trus kalau salah satunya tidur, maka yang lagi ON seringnya menjadi sebab yang lagi tidur ikutan ON. Jadi misal Fawwaz tidur, biasanya terbangunnya ya karena dengar suara nangisnya Fayyadh. Begitupula sebaliknya. Apalagi dua-duanya punya tipe nangis yang sama: tidak pakai intro, langsung ambil nada tinggi. Huhuhu…

Tapi di balik itu, si Ummi kalo liat keduanya suka jadi takjub. Masyaallah. Ini dua makhluk Allah asalnya dari dalam perut Ummi. Dari yang tadinya cuma seuprit janin yang suka nendang-nendang, kini sudah jadi bocah yang doyan lari ke sana ke mari dan bayi yang mulai bisa ngoceh. Masyaallah… Nanti kalo keduanya sudah makin besar, trus remaja, trus dewasa, rasanya pasti bakal beda lagi yah…

Yang pasti, mau jadi apapun mereka nanti, Ummi sih terserah. Yang jelas jadi anak shalih dan manfaat buat umat. Itu saja sudah lebih dari cukup. Kalo kemudian harus jadi pengusaha sukses atau jadi profesor mah Ummi gak masalah.. *yaiyalah*😅

Minggu, 25 Februari 2018

Pada Fase Ini

Hai, Dina...

Ingatlah pada fase ini, kau bergelut dengan banyak tangisan, rengekan, dan tuntutan.

Pada fase ini kau banyak terkungkung dan melihat tembok dan pekerjaan yang terus berulang, tak ada habisnya.

Pada fase ini kau lupa kapan terakhir kali tidur tanpa intervensi.
Pada fase ini kau membuat rencana dan membatalkannya sendiri, bukan karena tak mampu, tapi karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk itu.

Pada fase ini seringkali kau menangis dalam sepi dan menyeka air matamu sendiri. Sebab malu pada keluhan yang kau rasa telah terlalu banyak. Dan sebab lelah terkadang dimaknai oleh orang lain sebagai ketidaksyukuran.

Pada fase ini kau menginginkan hal-hal kecil yang terasa begitu sulit dicapai.

Pada fase ini kau sangat ingin terlihat cantik dan segar namun seolah tak punya kesempatan untuk mengusahakannya.

Pada fase ini kau merindukan masa lalu dan ingin mengulangnya kembali meski hanya sejenak saja.

Pada fase ini kau berharap bisa tidak memerdulikan pendapat apapun dari siapapun, tapi tak bisa.

Pada fase ini kau berharap bisa lebih kuat lagi. Bisa menunda istirahat lebih lama lagi. Bisa bersabar lebih tak berbatas lagi. Bisa bertenaga lebih besar lagi. Bisa tersenyum lebih ikhlas lagi.

Dina, ingatlah bahwa kau pernah berada pada fase ini. Saat di mana mungkin, di masa yang akan datang, kau akan merindukannya

Pada fase ini kau sedang menanam. Kelak kau akan menuai buahnya. Dan berbahagialah. Insyaallah.

25 Februari 2018

Sabtu, 24 Februari 2018

Menulis, Mengukir Kenangan untuk Mereka

Perempuan itu terlihat berkaca-kaca. Ia sedang berada dalam satu sesi wawancara tentang pencapaiannya dalam hal kepenulisan. Di awal, ia nampak begitu bersemangat. Namun saat sampai pada satu topik pertanyaan, ia kelihatan tak mampu membendung air matanya. Saat itu, ia bukan hanya sedang berbicara sebagai seorang penulis, tapi juga sebagai seorang ibu.

"Salah satu motivasi saya menulis adalah agar kelak anak-anak saya bisa membaca tulisan saya. Saat saya tidak bisa lagi bersama mereka, setidaknya mereka dapat menemukan jawaban dari pertanyaannya saat membaca tulisan bundanya..." ujarnya.

Menyaksikan itu, saya jadi ikut terharu. Padahal kala itu saya masih berstatus single.

Kini saat telah menjadi seorang ibu, saya menjadi lebih mengerti dengan apa yang diucapkan penulis itu. Lebih merasai haru yang ia dekap dalam dadanya. Ah, betapa kebersamaan dengan anak-anak memang tidak akan selamanya. Tapi, kita selalu punya cara untuk bisa meninggalkan sesuatu untuk menjadi kenangan untuk mereka.

Maka itu pula yang menjadi pecut bagi saya untuk tetap menulis. Agar kelak, anak-anak saya dapat turut menjadi pembaca tulisan ibunya. Agar ada nilai yang bisa mereka pahami, ada pikiran yang bisa ikut mereka mengerti dalam menjalani kehidupan mereka seterusnya. Dengan atau tanpa saya di sisi mereka. Ada kenangan yang bisa mereka baca. Ada obrolan yang dapat mereka ajak bercakap, meski mungkin kelak saya telah tiada.

Pada titik itu saya semakin yakin, tak ada ruang untuk menuliskan apapun kecuali hanya kebaikan saja. Sebab tentu saja, tiap ibu hanya menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya.

#tantanganmenulisClubMenulisHSMNSulawesi

Kamis, 11 Januari 2018

Kepada Fayyadh

Nak, saat ummi menuliskan ini, umur kamu baru 20 bulan. Belum lagi genap dua tahun kebersamaan kita. Kamu sedang lincah-lincahnya dan bahkan kerap kali cukup menguji kesabaran banyak orang. Tidak apa-apa ya Nak ... semoga dengan kelincahan kamu itu, Fayyadh bisa belajar banyak hal.

Beberapa hari ini Fayyadh kelihatan agak rewel. Apalagi kalau Ummi sedang menyusui adek Fawwaz. Ujug-ujug kamu malah datang dan ngamuk minta digendong. Di situ kadang Ummi merasa bingung. Fayyadh cemburu ya Nak?

Fayyadhku sayang, Ummi cuma mau bilang kalau Ummi sangat cinta sama Fayyadh. Kecintaan yang Allah anugerahkan secara otomatis dalam hati Ummi bahkan sebelum kamu lahir. Kecintaan yang rela Ummi tukar bahkan dengan nyawa sekalipun. Iya, sedalam itu, Nak.

Fayyadh anak shalih, adalah partner terbaik Ummi belajar banyaaaak sekali hal baru. Kelahiran Fayyadhlah yang menjadikan Ummi seorang ibu. Kemudian kita berjuang bersama, menghadapi banyak hal. Kadang Ummi tertawa bahagiaaa sekali, kadang pun Ummi menangis. Kadang Ummi merasa capek dan lelah. Namun, seringkali juga Ummi merasa lega.

Menjadi ibu, kata seorang saudari yang sangat baik hatinya, adalah belajar untuk memaafkan diri untuk setiap hal yang tidak sesuai harapan. Betapa banyak yang Ummi targetkan namun tidak tercapai.  Betapa banyak hal ideal yang dulu hanya Ummi baca namun ternyata tidak semudah mewujudkannya. Tapi kita terus berjalan, Nak... Dan percayalah, untukmu Ummi selalu mengikhtiarkan yang terbaik.

Fayyadh, kelak saat kamu sudah dewasa dan membaca tulisan ini, jika terlintas dalam pikiranmu bahwa orangtuamu tidak mencintai kamu karena mungkin ada selisih di antara kita, percayalah bahwa pikiranmu itu salah ya Nak. Sebab mungkin, masa kecil saat kami melimpahkan kasih sayang ini padamu, barangkali tidak akan terlalu lama bertahan dalam ingatanmu.

Fayyadh sebagai anak tertua mungkin akan banyak mengalah, dan dituntut untuk menjadi contoh adik-adik yang lain. Bersabarlah ya Nak. Bersabar untuk menjadi baik dari hari ke hari. Selama masih berhembus nafas ini, Ummi akan terus membantu kamu merajut sayapmu satu per satu. Hingga kelak, tiba saatnya kamu terbang tinggi menjemput takdir kehidupanmu sendiri.

Tapi, kapanpun kamu ingin kembali, akan selalu ada hati Ummi yang merindukan kamu di sini.

12/1/18

Minggu, 07 Januari 2018

MENAKAR JALAN HIJRAH

Perempuan itu membuat semua orang kaget. Ia yang dulunya selalu berpakaian minim dan terbuka, tiba-tiba tampil mengenakan hijab. Hijrah, istilahnya. Banyak yang mendoakannya agar istiqamah. Tapi tak sedikit pula yang berkomentar macam-macam.

Kita tentu pernah menemui kejadian di atas. Yang paling gampang diamati tentu yg terjadi pada publik figur. Artis yang dulunya selalu tampil seksi, tiba-tiba muncul dengan mengenakan jilbab dan pakaian tertutup. Cek per cek, doi memang belakangan rajin ikut kajian, atau gaul sama sesama artis yang hijabers, atau alasan lainnya. Ya, hidayah itu memang bisa datang dari mana saja.

Yang menarik ditilik adalah komentar orang yang di sekitarnya. Kadang, mereka yang merasa lebih dulu hijrah seringkali memberikan penilaian rupa-rupa. Tak jarang juga ada nada nyinyir di sana.

'Ah, hijabnya masih kurang panjang!'

'Katanya sudah hijrah, tapi kok dandanan masih tebal!'

'Gaulnya masih kayak dulu tuh, IGnya masih penuh foto selfie!'

Daaan...beragam nyinyiran lain. Padahal, pernahkah kita berpikir tentang apa sih yang mereka hadapi untuk proses hijrah itu? Di lingkungan di mana rok mini itu sah sah saja, tampil dengan penutup kepala tentu beda sensasinya dengan hadir di lingkungan yang memang umumnya ceweknya berhijab. Bahkan bisa jadi, shalat lima waktu saja bagi mereka adalah sesuatu yang sangat WOW. Maka tidak bijak kiranya proses mereka itu kita nilai lewat standar kita yang memang tidak berada di lingkungan yang sama.

Begitu pula saat kita melihat akhwat yang dibesarkan di lingkungan keluarga ustadz, misalnya. Kadang kita dengan mudah menganggap bahwa jalan hijrah dia PASTI lempeng-lempeng saja. Padahal, kita pun tidak pernah tahu tantangan apa yang ia hadapi. Dan setiap orang pasti punya ujiannya masing-masing kan?

Sama halnya saat ada saudari seperjuangan yang tiba-tiba 'hilang'. Padahal mungkin kita tak pernah tanya kabarnya, boro-boro kunjungi rumahnya, tapi kok ya lisan rasanya ringan saja untuk nge-judge;

'Ah, sudah futur tuh dia...'

'Kenapa sih semudah itu dia melepas hidayah...'

'Padahal masalah saya kemarin lebih berat loh, dia mah lemah mujahadahnya, masa gitu aja gak istiqamah...'

Endebrei... endebrei...

Lagi-lagi, memang kadang paling mudah untuk komentar, justru saat kita tidak tahu jalan cerita yang sebenarnya. Dan tahukah kita, ukuran kita tak pernah sama. Tiap orang punya medannya masing-masing. Dan kadang, di jalan hijrah kita ini, kita hanya butuh satu hal: mengedepankan baik sangka.

Wallahu a'lam.

Rabu, 03 Januari 2018

Kangen

KANGEN GAK?

Kemarin tiba-tiba di chat sama sahabat lama. Saya kenal sejak jaman awal-awal dapat hidayah di bangku SMA. Sosoknya masyaallah... Tidak heran kalau dia dapat jabatan penting di rohis.

Tapi seiring dengan perjalanan waktu, takdir Allah pun bergulir. Qadarullah dia nikah sama lelaki yang punya kerjaan yang sering dimutasi sana sini. Akhirnya saudari saya itu juga ikutan nomaden.
Kemarin beliau hubungi saya. Bertanya apakah saya masih membina halaqah tarbiyah. Mengatakan bahwa ia ingin bergabung di halaqah binaan saya sebagai binaan baru. Masyaallah... Kalau ingat gimana dia jauuuuh lebih baik  dari saya, ya jelaslah saya ini tidak pantas jadi murabbiyah dia. Lagian sejak balik dari tanah rantau memang saya belum berkesempatan untuk membina lagi.

Tapi yang saya lihat adalah kesungguhan beliau. Kesungguhan untuk mengulang segalanya dari awal. Kesungguhan untuk menuntut ilmu dan duduk kembali dalam majelis. Sesuatu yang terakhir kali ia lakukan lima tahun yang lalu.

Saya, yang sejak lahiran belum juga hadir kembali di halaqah, tiba-tiba kangen nuansa tarbiyah lagi.

Tarbiyah memang ngangenin sih ya. Kalau kamu, kangen gak untuk tarbiyah lagi?

4/1/18