Minggu, 30 Januari 2011

Saya Menulis, maka Saya Ada


Selalu lebih mudah bagi saya untuk memulai kata pertama untuk dituliskan, dibandingkan memilih kalimat pertama untuk diobrolkan, terutama dengan orang yang tidak terlalu akrab atau baru saya kenal. Di keluarga besar sendiri, saya dikenal sebagai anak yang introvert, susah diajak ngobrol, lebih banyak diam dan memperhatikan sekeliling. Bahkan dengan sepupu-sepupu yang memang jarang saya temui, sulit bagi saya untuk langsung mengakrabkan diri, atau bahkan memulai menegur duluan. Entahlah apa yang salah dari saya. Yang jelas, hal-hal di atas kemudian menimbulkan berbagai macam istilah yang dinisbatkan bagi saya; tidak gaul, kuper, pendiam, sampai dengan televisi rusak (ada gambar, tidak ada suara) >_<. Ini mungkin tidak lepas dari kebiasaan saya yang terlalu lama berpikir sebelum mengucapkan sesuatu; Apakah yang saya ucapkan tidak akan membuatnya sakit hati? Tidak nyaman? Atau tersinggung? Hingga pada akhirnya –dan sangat sering terjadi; saya tidak mengucapkan apa-apa.

Awalnya, saya sempat cukup terganggu dengan semua itu. Saya pernah down dan akhirnya bingung sendiri untuk menghadapi situasi. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, dan seiring dengan penerimaan saya atas diri saya sendiri, saya mulai mengalami resistensi (kebal) terhadap berbagai macam pengistilahan tersebut. Yah, saya tetap mencoba untuk menjadi manusia yang supel, layaknya manusia pada umumnya (hehehe…), tapi saya juga tetap tidak dapat membohongi diri, bahwa tiap orang punya blue print-nya masing-masing. Cetak biru yang telah nempel pada DNA kita, yang agaknya sulit di ubah. Maka ijinkan saya untuk mengubah paradigma, dengan menyebut kekurangan sebagai keunikan. Setuju?

Baiklah.

Saya akui saya memang agak bermasalah dengan aktivitas ngobrol dan gaul. Tapi saya merasa lebih mudah dan agak menguasai berbahasa lewat tulisan. Mungkin hal ini tidak terpisahkan dari kegilaan membaca. Kapan saja dan dimana saja. Tempat favorit saya untuk membaca adalah di atas angkot dalam perjalanan panjang menuju atau dari kampus. Mengapa di atas angkot? Nah, ini dia beberapa alasannya;

1. Memanfaatkan waktu. Bagi saya, membaca tentu lebih baik daripada saya bengong dan hanya menatap nanar pada jalan raya. Menatap sembarangan lebih berpotensi membuat kita melihat hal-hal yang tidak seharusnya dilihat. Tapi, sisi negative dari hal ini adalah, saya menjadi manusia yang buta arah. Dua puluh tahun lebih bercokol di kota Makassar, tapi juga tidak pernah benar-benar menguasai letaknya. Solusinya adalah; siapkan pula waktu untuk memperhatikan jalan. Alokasikan dengan baik kapan waktunya membaca, dan kapan waktu menghapal rute. Hehehe…

2. Bebas gangguan. Apalagi saat melakukan perjalanan sendirian, tentu akan lebih menenangkan duduk berderet dengan orang-orang yang tidak kita kenal, yang tidak mungkin memotong waktu membaca kita. Percayalah, tidak ada hal yang lebih menjengkelkan dibandingkan diganggu saat membaca!

3. Antisipasi supir Formula 1. Saat ini, makin banyak supir angkot yang hobi ngebut. Mereka mungkin tidak dapat membedakan antara manusia dengan karung beras, sehingga seenaknya saja tancap gas, padahal penumpangnya sudah terjungkal kiri-kanan. Nah, akan sangat bikin deg-degan saat harus tetap menatap jalan waktu menumpang angkot yang ngebut. Biasanya, saat angkot lagi ngebut-ngebutnya, saya menutup mata agar tidak terlalu tegang. Daripada menutup mata dan tidak mendapat apa-apa, lebih baik padangan saya arahkan ke buku, dan membaca!

NB; Jangan lupa memastikan bahwa perjalanan Anda cukup jauh untuk membaca. Khawatirnya, tempat tujuan Anda jadi terlewat karena terlalu serius membaca. Maka, perhitungkanlah! ^_^

Bagi saya, akan sangat dipertanyakan seorang muslim yang malas membaca. Bukankah ayat yang pertama kali turun adalah seruan untuk membaca? Membaca dalam hal ini tentunya adalah membaca bacaan yang bermanfaat! Sebagai hal yang tidak terpisahkan dari itu adalah aktivitas menulis. Bukankah Allah telah bersumpah demi qalam (pena). Dan bukankah hal ini menunjukkan keutamaannya? Nah, bukankah pula para ulama mencontohkan kepada kita untuk menulis? Sehingga setelah kepergian mereka dari dunia yang fana ini, kita tetap dapat merasakan keberadaan Ibnul Qayyim, Imam Bukhari, Ibnu Taimiyah, Imam Syafiie, dan ulama-ulama lain yang seolah masih terus duduk di hadapan kita untuk membagikan ilmunya? Yah, itu karena mereka menuliskannya!

Maka menulislah untuk perubahan!

Betapa banyak kejadian-kejadian sederhana di sekitar kita yang bisa menjadi luar biasa saat ia dituliskan dan diambil hikmahnya. Bahkan kehidupan kita sendiri pun sebenarnya adalah roman yang luar biasa dan mengandung banyak pelajaran saat ia dapat disusun dalam kata-kata yang apik. Menulislah untuk menunjukkan bagaimana kita berpikir. Bagaimana kita memandang sesuatu. Bagaimana kita menyikapi banyak hal. Meminjamkan ‘kacamata’ kita pada orang-orang di sekitar.

Saat ini, kita dapat melihat dengan jelas bagaimana kekuatan kata-kata dapat begitu hebat menembus batas! Seiring dengan teknologi yang menyuguhkan berbagai jejaring social. Situs dimana kita mengekspresikan diri lewat tulisan. Mengabarkan kepada dunia tentang diri kita lewat kata-kata. Betapa banyak pergerakan besar-besaran yang timbul akibat info yang beredar di dunia maya. Dan betapa seringnya massa menjadi terprovokasi karena pergerakan yang dimulai dari internet!

Sayangnya, di lain pihak, terkadang banyak orang yang menjadikan jejaring sosialnya sebagai sekadar tembok ratapan. Membuang kata-kata yang mungkin dapat mematahkan semangat dan mematikan hati orang lain. Hati-hatilah, kawan! Sebab sebagaimana menunjukkan kebaikan dapat bernilai pahala, maka bisa jadi menunjukkan keburukan juga dapat berbalas dosa. Maka bijaklah kepada setiap status, notes, atau pun tweeps Anda. Percayalah, itu semua pun akan dimintai pertanggungjawaban.

Konon, menulis merupakan suatu terapi yang ampuh untuk menyalurkan segala emosi. Menulis di dunia maya –dalam bentuk blog, juga dinilai sebagai salah satu langkah nge-net sehat yang bisa memajukan bangsa! Memiliki blog adalah salah satu alat pemacu untuk terus menulis. Setidaknya, kita bisa termotivasi dengan perasaan ‘tidak tega’ melihat blog kita yang begitu-begitu saja. Maka semangat menulis akan muncul dari sana.

Saya sempat secara ekstrim, ingin mencoba-coba meniru seorang penulis (yang lumayan saya gemari) yang bersumpah pada dirinya sendiri; saya tidak akan menikah sebelum menerbitkan buku puisi! Frontal, bukan? Tapi terlepas dari itu, saya kagum dengan komitmennya untuk dapat menghasilkan karya konkret untuk menulis sebuah buku. Namun, belakangan saya pikirkan, sebenarnya bukan masalah adanya buku yang terbit atau tidak. Bukan masalah apakah cap sebagai ‘penulis’ itu ada atau tidak. Tapi, aktivitas menulis itu sendiri yang menjadi tumpuannya! Meski kemudian tulisan-tulisan ini tidak akan pernah terbukukan (tapi saya akan terus berusaha untuk dapat membukukannya, doakan yah! ^_^), dan hanya akan beradar di dunia maya (dengan segala kekejaman plagiator yang bisa muncul di mana saja), saya ingin mencoba membuat diri saya berfokus pada ketersebarannya. Apakah kemudian ide-ide (sederhana) ini hanya tersebar lewat layar-layar laptop, atau saat sama sekali tidak dinisbatkan pada saya (karena aktivitas copas tanpa ijin, misalnya), atau bahkan saat seseorang mencaplok dan mengaku-aku atasnya, maka biarlah. Biarlah Allah saja yang menjadi saksi dan mencatat segala amal kita –sekecil apapun itu. Dan jika pun ‘cap’ penulis (buku) itu tidak saya dapatkan di dunia, maka saya tetap berharap akan disimpankan bagi saya (pahalanya) di akhirat. Amien.

Maka demikianlah ilmu. Ia akan terikat jika dituliskan. Berbuah amal, berbuah pahala.

Maka demikianlah saya. Saya menulis, maka saya ada!

Untuk almamater tercinta, SMA Negeri 3 Makassar;

dan Jenius03 yang ada di dalamnya.

sumber gambar

Kamis, 27 Januari 2011

Belajar Cinta dari Mereka; Habibie dan Ainun (Sebuah Review)


Bacharuddin Jusuf Habibie. Orang Indonesia yang tidak mengenal beliau berarti harus diterawang ijizahnya di bawah sinat matahari! Tokoh nasional ini memang terkenal kiprahnya, baik di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, bahkan agama. Sosoknya yang bersahaja dengan senyum menenangkan yang senantiasa menghiasi wajahnya, menjadi ciri khas beliau. Ah, Pak Habibie, saya selalu bangga bahwa kau adalah putra Sulawesi ! ^_^

Sejak pertama kali mendengar bahwa Pak Habibie akan menerbitkan buku tentang diri dan istrinya –Ibu Ainun, saya sudah berazzam akan menjadi salah satu pembacanya. Apalagi setelah membaca reviewnya di sebuah Koran lokal. Maka saat berkesempatan mengunjungi Gramedia, tanpa pikir panjang, saya langsung menyambar buku yang masih terletak di rak depan itu. Dengan modal subsidi dari Ibu, saya merasa lebih ringan untuk berjalan di kasir dan memilikinya. Harganya memang lumayan mahal untuk buku dengan softcover; delapan puluh lima ribu. Tapi, setelah membaca isinya, dan setelah mengetahui bahwa SELURUH hasil penjualannya akan digunakan untuk organisasi sosial beliau, saya rasa buku ini memang pantas dihargai demikian. Bahkan mungkin seharusnya lebih dari itu, mengingat berbagai macam kelebihan dari buku ini.

Habibie dan Ainun yang ditulis langsung oleh Pak BJ Habibie ini memang bukan sekedar catatan perjalanan biasa. Buku setebal 323 halaman ini mengcover 48 tahun 10 hari kebersamaan pasangan cinta sejati Pak Habibie dan Ibu Ainun. Tidak hanya romansa rumah tangga yang terekam di sana, tapi banyak pula pengetahuan tentang dunia kedirgantaraan, kedokteran, nilai-nilai keagamaan, dan juga sejarah. Semuanya terangkum dengan cara penulisan yang khas; seolah saya sedang mendengar penuturan langsung dari bibir Pak Habibie, seperti saat menyaksikan interview eksklusif beliau di program Mata Najwa Metro TV. Ya, khas sekali!

Sangat terasa bahwa Pak Habibie menulis buku ini dengan menghadirkan segenap perasaannya. Baru membaca pengantarnya saja, saya sudah bisa merasakan itu. Ada getaran yang menjalar di hati saat membaca untai kalimat-kalimatnya. Semacam kerinduan yang tertahan atas sosok yang teramat beliau cintai. Kehadiran ruhiyah dalam menulis itu kemudian membekas pada hati yang membacanya. Dan Pak Habibie sukses membuat saya berkaca-kaca di halaman-halaman pertama.

Buku ini dimulai dengan pertemuan keduanya setelah bertahun lamanya terpisah sejak Pak Habibie melanjutkan studi ke Jerman, sementara di tanah air, Ibu Ainun menuntaskan kuliah kedokterannya di UI. Dengan manis, Pak Habibie menggambarkan pertemuan yang langsung membekaskan ‘sesuatu’ pada hatinya itu. Sejak pertemuan tersebut, kisah ini berlanjut hingga keduanya menikah pada 12 Mei 1962. Terlepas bahwa terdapat proses pacaran sebelum pernikahan tersebut –yang bagi saya tetap merupakan sesuatu yang tidak dibenarkan, bahkan meski dilakukakan oleh seorang tokoh sekalipun, saya tetap berprasangka baik bahwa tentunya pacaran jaman dulu tentu jauh berbeda dengan yang sekarang, apalagi mengingat keduanya berasal dari keluarga yang sangat religious (sekali lagi, ini bukan legitimasi –pembenaran atas aktivitas pacaran).

Setelah melewati proses bulan madu dan mengunjungi sanak family di Indonesia, keduanya bertolak ke Aachen, Jerman, sebab saat itu Pak Habibie harus menyelesaikan program doktoralnya. Dan kesetiaan Ibu Ainun jelas terlihat saat beliau memutuskan untuk meninggalkan karirnya sebagai dokter di tanah air, lalu menjadi full time mom mendampingi Pak Habibie di Jerman, sambil menunggu kehadiran buah hati mereka.

Kehidupan awal mereka digambarkan tidak mudah. Tinggal di flat kecil yang hanya cukup untuk keduanya, dengan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga secara mandiri. Tempat tinggalnya pun jauh dari keriuhan kota, karena harga sewa yang lebih murah. Pak Habibie menggambarkan bagaimana beliau mengumpulkan uang –dalam keadaan masih kuliah pula, untuk membeli perabot pertama mereka; sebuah mesin cuci, dan mengakhiri aktivitas membawa berkarung cucian ke tempat mesin cuci umum yang ada di kota.

Ibu Ainun digambarkan sebagai sosok istri idaman. Pengertian dan selalu setia mendampingi suaminya. Tidak banyak bicara dan tidak pernah ingin mengusik konsentrasi Pak Habibie yang kala itu menanggung banyak amanah; kuliah dan bekerja. Sisi religious beliau pun patut di contoh. Pak Habibie menuturkan bagaimana Ibu Ainun selalu mendampingi beliau mengerjakan tugas-tugasnya hingga larut sambil membaca Al Qur’an, sehingga hanya membutuhkan waktu yang singkat bagi beliau untuk mengkhatamkannya. Pasangan ini juga dikenal selalu rutin berpuasa senin kamis dan sangat menjaga ibadah shalat mereka. Subhanallah!

Tiap menceritakan tentang Ibu Ainun, terasa betul aliran kasih sayang pada tiap untai kalimat yang Pak Habibie tuliskan. Beliau selalu mengulang hingga berkali-kali dalam buku ini frasa; Ainun dan saya manunggal berdasarkan cinta yang murni, suci, sejati, sempurna, dan abadi. Ada kerinduan yang bersembunyi di sana. Ada kecintaan yang menyeruakkan makna; menjelaskan semuanya lebih dari sekadar kata-kata!

Ainun selalu memberi senyuman yang bagi saya memukau, menenangkan, mengilhami, dan sepanjang masa kurindukan

See? Maka saya rasa tak perlu mempertanyakan bagaimana cinta telah bekerja pada keduanya. Pada pertemuan, lalu evolusinya yang menjelma kasih sayang, hingga terpisahkan hanya oleh kematian.

Sebenarnya, harus saya akui bahwa di bagian-bagian tertentu saya sering melompat-lompat membacanya, mencukupkan diri dengan kalimat utamanya saja. Apalagi pada saat Pak Habibie menjelaskan tentang berbagai teori tentang dunia pesawat yang bagi saya sangat njlimet dan asing. Tapi saya rasa, bagian ini akan sangat menyenangkan bagi para mahasiswa teknik. Sebuah khasanah pengetahuan tentang ilmu teknik yang dikuasai dengan sangat mumpuni oleh Pak Habibie. Sangat membanggakan rasanya mengetahui bagaimana bangsa asing sekali pun mengakui kemampuan beliau. Maka penawaran untuk menjadi professor setelah beliau menuntaskan doktornya, hingga pekerjaan di perusahaan bonafid pun berdatangan. Tapi hal itu beliau tolak; sebab akan sulit untuk meninggalkan Jerman jika ia menerimanya. Sementara, dalam sebuah kejadian saat Pak Habibie masih kuliah dahulu, beliau pernah bersumpah akan kembali ke tanah air dan mengabdikan dirinya untuk memajukan bangsa. Hmm…luar biasa!

Ada yang menarik dari kehidupan keduanya semasa di Jerman. Pak Habibie yang saat itu telah berhasil mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi, serta Ibu Ainun yang memutuskan bekerja sebagai dokter saat kedua anaknya sudah cukup besar ternyata tetap hidup dengan bersahaja. Ibu Ainun memang sempat membeli sebuah mobil untuk memperlancar kegiatannya. Tapi Pak Habibie tetap memilih menggunakan bus, bahkan berjalan kaki atau bersepeda ke tempat kerja. Hmm, patut dicontoh!

Maka setelah berhasil hidup dengan berkecukupan –setelah melalui masa-masa sulit bersama. Saat anak mereka sudah dua orang (Ilham dan Thareq) dan sedang membangun sebuah rumah indah di Jerman, Pak Habibie memutuskan untuk menerima ajakan Presiden Soeharto untuk kembali ke Indonesia. Beliau di tugaskan untuk sebuah proyek pembuatan pesawat yang dilakukan oleh para putra bangsa sendiri. Banyak yang memandang sinis pada proyek ini. Tentang anggarannya yang cukup besar, juga keraguan mereka pada kompetensi Pak Habibie yang kala itu memang masih cukup muda.

Namun, beliau membuktikannya pada 10 Agustus 1995, saat pesawat pertama hasil rakitan anak negeri, N-250 Gatotkoco berhasil lepas landas. Sebuah pesawat yang cukup canggih di kelasnya, tapi banyak mengundang sentiment bahkan hingga ke pihak asing. Dan ini adalah salah satu bab favorit saya, dimana ketegangan bercampur dengan akhir yang mengharukan, saat ternyata, pesawat yang dinilai tidak akan sanggup terbang itu, ternyata sukses menunaikan tugas pertamanya. Kereenn…sekali!

Kala itu, Pak Habibie mendapatkan amanah sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi. Sementara Ibu Ainun juga aktif dalam berbagai organisasi sosial. Namun, kedua selalu terlihat harmonis, bahkan menjadi keluarga panutan oleh banyak orang. Selanjutnya, berbagai tugas penting banyak dipegang oleh Pak Habibie, mulai menjadi menteri selama beberapa periode, dipercaya menjadi ketua ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia –menghasilkan banyak karya seperti Dompet Dhuafa, Bank Muamalat, Takaful, dan Republika, perintis International Islamic Forum for Science Technology and Human Resources Development (IIFTIHAR), menjadi wakil presiden, hingga terangkat menjadi presiden di masa-masa sulit, saat terjadi revolusi besar-besaran di Indonesia.

Kekaguman saya pada sosok Pak Habibie selalu muncul mengingat bagaimana Jerman sangat berat melepas kepergian beliau. Banyak tender yang dimenangkan oleh perusahaan tempat Pak Habibie bekerja karena kepercayaan mereka pada kapabilitas seorang BJ Habibie. Pernah pula beliau mengunjungi Philipina dan disambut oleh presidennya dengan penghormatan bahwa Pak Habibie bukan saja kebanggaan Indonesia, tapi juga kebanggaan ASEAN. Pernah pula beliau menerima Edward Warner Award, penghargaan tingkat dunia kepada tokoh yang berpengaruh dalam teknologi penerbangan. Cerita yang unik terdapat dalam episode ini. Saat konferensi pers, seorang wartawan internasional bertanya pada Pak Habibie, “Apa yang Bapak lakukan 50 tahun yang lalu, saat ICAO (badan yang memberikan penghargaan ini) pertama kali didirikan?”. Dan Pak Habibie menjelaskan bahwa, waktu itu ia berada di sebuah desa kecil bernama Landrae di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Dan pada jam tersebut, ia biasanya sedang membaca Al Qur’an di rumahnya. ^_^

Satu hal yang saya tunggu-tunggu dalam buku ini adalah penggambaran tentang masa-masa sulit saat Pak Habibie memangku jabatan sebagai Presiden. Saat suhu politik memanas dan kekacauan banyak terjadi. Pak Habibie menuturkan bagaimana ketegangan yang saat itu muncul. Sampai-sampai keluarga beliau harus diungsikan ke wisma presiden menggunakan helicopter karena dianggap terancam keamanannya. Dan Pak Habibie memang merupakan sosok pemimpin sejati; ia mengerti kapan harus memulai, dan kapan saatnya mengakhiri. Tidak ada ketamakan dalam proses menjabatnya beliau. Di saat orang-orang berlomba-lomba mencapai jabatan, Pak Habibie –dengan pertimbangan bersama dengan Ibu Ainun, memutuskan untuk tidak ingin lagi dicalonkan sebagai presiden, setelah masa jabatannya selama 17 bulan.

Dan buku ini pun menjadi buku pertama yang berhasil mengaduk emosi saya habis-habisan dalam lima bab non stop. Bab-bab terakhir di masa Ibu Ainun sakit hingga akhirnya berpulang ke rahmatullah sangat terasa ditulis dengan air mata yang berlinang. Perasaan Pak Habibie terwakili di tiap hurufnya. Ketegangan, kesedihan, tapi juga pengharapan besar terlukis disana. Hal ini juga menjawab pertanyaan saya, “Mengapa Pak Habibie tidak menetap di Indonesia? Tidak cintakah ia pada negerinya?”. Yah, sebab ternyata, penyakit Ibu Ainun membuat beliau tidak cocok tinggal di negara beriklim tropis. Bahkan beliau harus menjalani terapi dengan menghirup angin laut, sehingga sering ikut dalam pelayaran ke berbagai negara, dengan alasan kesehatan.

Kanker ovarium yang baru terdeteksi di stadium keempat membuyarkan rencana keduanya untuk kembali ikut berlayar. Lalu kemudian segera memutukan menuju Jerman untuk mendapat perawatan. Dan pesona keduanya begitu terasa saat pesawat yang ingin mereka tumpangi ternyata telah full, namun sejumlah warga negara asing merelakan kursi mereka untuk Ibu Ainun saat mengetahui bahwa keadaan beliau sedang kritis. Masya Allah…

Di Jerman, Ibu Ainun menghadapi 12 kali operasi, dan direncana operasi ke 13, Pak Habibie tidak lagi menyetujui usulan dokter, sebab keadaan Ibu Ainun yang justru semakin memburuk. Para dokter yang menanganinya bahkan mengakui bahwa mereka mengambil pelajaran besar, dan baru kali itu menyaksikan bagaimana sepasang suami istri dapat begitu setia dan tabah menghadapi keadaan sulit itu. Pak Habibie, berjanji tidak akan pernah meninggalkan Ibu Ainun. Selama dua bulan itu, beliau terus berada di rumah sakit dan hanya menyaksikan sinar matahari dari balik jendela. Bahkan hingga kesehatan beliau pun dikhawatirkan oleh banyak pihak, ia tidak peduli.

Suatu hari, Pak Habibie mendapati Ibu Ainun nampak menangis dan sangat sedih. Pak Habibie bertanya, apa yang membuatnya menangis, apakah ia merasa sakit, atau ia takut pada alat-alat kesehatan yang begitu banyak tersebut? Ibu Ainun menggeleng. Lalu Pak Habibie kembali bertanya, “Apa kamu menangis karena khawatir pada kesehatan saya?” dan Ibu Ainun mengangguk. Subhanallah… Saya hanya bisa terus menahan air mata saat membaca bagian ini.

Dan detik-detik terakhir kehidupan Ibu Ainun digambarkan Pak Habibie dengan sangat detil. Bagaimana keduanya selalu shalat bersama, Pak Habibie melantunkan Al Qur’an dan doa-doa di telinga cinta sejatinya, hingga saat beliau mengusap tubuh Ibu Ainun dengan air zam-zam. Hingga pada 22 Mei 2010, pukul 17.30, Ibu Ainun berpulang, berpindah kepada dimensi lain yang berbeda dengan lelaki yang sangat mencintai dan dicintainya. Pak Habibie terus mendampingi beliau, hingga sampai di perkuburan. Maut memang telah memisahkan keduanya. Tapi jiwa mereka akan tetap bersatu dan ‘manunggal’, demikian Pak Habibie membahasakannya.

Membaca buku ini, sebenarnya seperti membaca tulisan duet pasangan ini. Di beberapa tempat, Pak Habibie menukil tulisan Ibu Ainun dalam buku Setengah Abad Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie; Kesan dan Kenangan. Buku ini mengajarkan kita, bagaimana cinta berwujud kesejatiannya dalam bahasa pengertian dan kesetiaan. Mereka membuktikan bahwa selalu ada harapan, dan masih ada nilai-nilai indah dalam kehidupan. Mereka mengajarkan kita pemaknaan kasih sayang yang sebenarnya; memberi, menerima, dan saling memahami. Mereka mengajarkan kita tentang cinta. Dan Pak Habibie memaklumkan kita perihal rasa yang sedang ia rajut untuk kekasih hatinya. Perasan itu adalah; kerinduan.

Para anggota majelis pengajian itu bersama saya telah merasakan kehilang sesuatu yang tidak bisa kami ucapkan. Mungkin, itu sebuah kerinduan.

Untuk Dea Hanifah; maaf kurang lengkap, Teh…Kalo mau lengkapnya bisa panjaaaang sekali. Buku ini recommended, baca langsung, deh! ^_^

(Makassar, 27 Januari 2011)

Selasa, 25 Januari 2011

Eh, Pinjam Kacamatanya Dong!


Kacamata adalah benda yang membersamai saja sejak masa kanak-kanak; kelas enam SD. Bisa dibilang saya tumbuh dan berkembang dengan kacamata. Waktu masa awal mengenakannya, sedang booming serial SARAS 008 di Indosiar. Model rambut saya yang (katanya) mirip sama si Saras, ditambah dengan properti berupa kacamata yang nangkring di atas hidung saya, membuat saya sukses sering kali dipanggil dengan sebutan manusia titisan kucing itu. “Saras…saras…Kacamatanyamo saya…”. Grr…

Kacamata adalah soulmate saya. Saya bisa begitu linglung tanpanya. Selain indera penglihatan saya yang tentunya akan terdzolimi tanpa bantuan kacamata, seringkali (ini mungkin hanya alasan psikologis) indera saya yang lain juga ikut menurun kinerjanya saat saya tidak mengenakan kacamata. Pendengaran, penciuman, bahkan pengecapan saya ikutan ngawur, biasanya. Termasuk juga dengan sistem koordinasi alat gerak saya yang amburadul jadinya, tidak heran jika saya tubruk kanan kiri jika memaksakan melihat dengan mata telanjang. Hmm…Maha Suci Allah yang menciptakan manusia dengan sebaik-baik penciptaan!

Bagi saya, tiap orang pasti mengenakan kacamata, dan tiap kacamata pasti berbeda. Ada yang berlensa minus, sehingga dapat melihat jauh dengan baik. Ada juga yang lensa plus sehingga yang dekat terlihat lebih jelas. Warna-warninya juga berbeda-beda; biru, merah, hitam, hijau, ada juga yang ryben. Semuanya tergantung dari pemakainya masing-masing. Setuju?

Baiklah, kacamata yang saya maksud adalah PERSEPSI. Mungkin sama jika kita artikan dengan pola pikir, pendapat, dan cara melihat sesuatu. Sayangnya, kebanyakan kita sibuk dengan ‘kacamata’ kita sendiri. Jarang peduli pada kacamata orang lain. Bandingkan betapa seringnya kita berucap, “Menurut saya…”, “Kalau pendapat saya sih…”, atau kalimat lain yang meneguhkan bahwa kita sedang ingin orang lain melulu hanya melihat dari kacamata kita saja.

Dalam memilih jodoh misalnya, betapa banyak orang yang mepersyaratkan pasangan yang “Dapat memahami saya apa adanya”. Bandingkan dengan orang yang memilih dengan kriteria “Dapat saya pahami jalan pikirannya”. Mungkin orang tipe kedua hanya sedikit jumlahnya.

Parahnya, kadang meski pola pikir kita salah pun, kita tetap keukeuh dengan pendapat kita. Sudah salah, ngotot pula! Ckckck…

Padahal, seringkali ada baiknya kita mencoba memandang dari sudut panadang orang lain. Betapa banyak masalah terjadi karena tiap orang hanya melihat dari persepsinya sendiri-sendiri. Menatap dari sudut perbedaan dan mengesampingkan persamaan yang mungkin lebih banyak. Melihat keburukan orang lain, meski mungkin keburukan itu telah tertaubatkan dan terganti dengan kebaikan melimpah.

Menulis adalah meminjamkan kacamata kita pada orang lain, sehingga gagasan tersampaikan dan orang dapat melihat bagaimana kita berpikir. Bagaimana membuatnya seimbang? Maka membacalah! Dengan membaca, kita sedang mencoba kacamata orang lain, masuk ke dalam pemikirannya! Ustadz Fauzil Adhim dalam Inspiring Words For Writer menuliskan, “Kalau engkau sendiri malas membaca, bagaimana engkau menyuruh orang lain rakus membaca tulisanmu?”

Tapi bukankah hidup tidak melulu soal tulisan? Maka dalam sehari-harinya, menjadi penting untuk selalu mempertimbangkan bagaimana orang lain memandang sesuatu yang kita pandang. Adakah hal yang kita anggap bagus juga bagus dan membahagiakan orang lain, atau justru sebaliknya?

Gagasan menarik saya dapatkan dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah karya Ustadz Salim A. Fillah, bahwa perkataan “Sampaikanlah meski itu pahit” terkadang kita artikan bahwa yang pahit itu bagi orang lain. Maka jadinya, kita dengan santai menyampaikan sesuatu –hatta sekalipun sebuah kebenaran, padahal hal itu menyakitkan bagi orang yang menerimanya. Bukan, saya bukan bermaksud melarang Anda unuk menyampaikan sesuatu yang benar. Tapi bukankah kebenaran sekalipun, jika ia disampaikan dengan cara menyakitkan, maka terkadang yang terasa adalah pahitnya, dan kebenarannya tidak tertangkap sama sekali! Maka bijaklah dalam menyampaikan, sebab akan selalu ada cara yang ahsan –benar dan menentramkan, jika kita ingin sedikit memutar otak. Sebab “Sampaikanlah meski itu pahit” seharusnya kita fokuskan pada diri kita sendiri. Bagaimana kita berani berkata jujur, meski mungkin akan terasa pahit pada diri. Misalnya, dengan mengakui kesalahan, yang mungkin akan mencoreng wajah kita sendiri!

Kadang, saya merasa sedikit kewalahan dengan terlalu sering meminjam kacamata orang lain. Sebab yang muncul kemudian adalah sikap ‘tidak enakan’ yang tak jarang membuat saya bingung sendiri. Tapi setidaknya, cara itu adalah salah satu hal yang bisa membuat saya sedikit tenang, bahwa lebih kecil kemungkinan orang lain merasa tidak nyaman, meski saya sendiri harus menanggung akibatnya. Terkadang memang sikap ini tidak begitu bagus. Sekali lagi, segalanya harus diletakkan dengan bijak; sesuai kondisinya.

Akhirnya, tulisan ini adalah semacam pengingat kepada diri saya pribadi –pemilik jemari yang mengetikkannya, dan kelak harus bertanggung jawab atasnya, dan kepada segenap kawan-kawan yang selalu saya inginkan kebaikan pada dirinya. Agar kita lebih berempati. Agar kita dapat jauh dari egoisme. Agar kita dapat hidup berdampingan dengan lebih damai. Bukankah demikian yang kita inginkan?

Jadi, ini kacamataku. Mana kacamatamu untuk kupinjam? ^_^

sumber gambar

Teroboslah, Kawan! Teroboslah!


Hari ini saya ngampus. Menempuh perjalanan hampir satu jam dengan supir angkot yang sepertinya berambisi menjadi pembalap F1 di masa lalu. Tapi ternyata, apa yang saya targetkan untuk terselesaikan hari itu sama sekali tidak kesampaian. Dosen yang sekiranya saya harapkan hadir untuk ditempati konsultasi, ternyata belum datang sampai jam dimana saya harus kembali pulang ke rumah. Kecewa? Ya, sedikit. Kadang saya merasa sedikit kewalahan dengan segala keharusan-keharusan yang semestinya ditempuh untuk bisa menyelesaikan studi. Masalah teknis yang cukup mengganggu dan mematahkan langkah kadang terasa tidak tertahankan, dan kadang membosankan.

Dalam kondisi demikian, saya ditakdirkan oleh Allah untuk bertemu dengan seorang senior. Selanjutnya, percakapan kami berlangsung dan membuka mata saya, bahwa memang perjuangan saya belum berat-berat amat. Senior itu bercerita tentang dua mata kuliah –pilihan pula, yang menghadang rencananya untuk segera ujian sidang. Dua mata kuliah pilihan yang lalai ia batalkan, sehingga berubah menjadi harus segera ia lulusi. Dampaknya? Ia yang seharusnya dapat diwisuda tempo waktu lalu, akhirnya harus rela kembali menyusuri semester baru kedepan masih dengan status mahasiswa S1.

Ia bercerita tentang keadaan stress yang sempat menderanya. Tapi selanjutnya ia juga berucap tentang optimismenya bahwa inilah yang terbaik untuknya saat itu. Kawannya yang lain bertanya-tanya tentang bagaimana ia bisa kuat menghadapinya? Ia hanya tersenyum. Dan saya hanya dapat berdoa semoga Allah memudahkan tiap urusannya.

Dimasa-masa penyelesaian masa kuliah ini, rasa-rasanya deret praktikum yang telah ditaklukkan di semester-semester lalu seolah tidak ada apa-apanya. Perlu ekstra kesabaran dan semangat serta perjuangan untuk menutupnya agar segera husnul khatimah –lulus dengan nilai baik. Perjalanan rasanya masih terasa sangat jauh. Tapi siluet-siluet masa depan itu sudah samar-samar terlihat. Dan mimpi bukanlah tentang seberapa lama kita terlelap, tapi adalah saat kita bangun dan berikhtiar mewujudkannya. Tiap digit nilai-nilai yang terkumpul selama ini hanya akan berakhir sia-sia jika tanpa berkah di dalamnya. Dan berkah itu, kawan, bergantung dari cara kita meraihnya.

Di masa depan, ilmu yang ada harus kita pertanggungjawabkan. Tidak cukup hanya dengan memperlihatkan deretnya di KHS kita, sebaik apapun ia di sana. Dan pertanggungjawaban itu, bukan hanya di hadap manusia, tapi juga di hadapan Allah; seberapa jauh ilmu yang kita kumpul dengan begitu banyak pengorbanan ini, bermanfaat untuk kemajuan ummat?

Maka teriring salam semangat yang hangat kepada kawan yang sedang bergelut dengan penelitian, tugas akhir, skripsi, atau apapun namanya. Tembok penghalang selalu ada untuk meminta pembuktian; seberapa kuat usaha kita melaluinya. Maka teroboslah kawan, teroboslah! Ada cahaya di baliknya! ^_^

sumber gambar

Formula Penghilang Noda


Ada sebuah kebiasaan sehat yang diterapkan di rumah saya beberapa bulan belakangan. Setiap pagi dan sore, bapak, ibu, dan saya rutin minum jus sayuran dengan campuran labu siam, timun, dan wortel –kadang ditambah melon juga. Atas saran dari seorang konsultan gizi yang sepaket dengan ahli jantung tempat ibu saya sempat berkonsultasi, beliau menyarankan untuk menenggak jus yang diyakini mantap untuk menurunkan kolesterol dan tekanan darah tersebut.

The hardest part dari ritual minum jus itu adalah saat proses pencucian juicernya. Model juicer yang berlekuk-lekuk itu memungkinkan noda dari getah sayur-sayuran tadi tertinggal dengan warna hitam kecoklatan yang cukup mengganggu pandangan. Saat menyikat noda-noda itulah saya teringat akan noda lain yang juga lekat dengan kehidupan kita.

Jika noda pada pakaian atau pada tubuh kita akan membuat kita terganggu dan akan segera kita bersihkan, maka noda yang satu ini terkadang terlupa. Bahkan, dalam keadaan akut, noda-noda ini kadang dianggap wajar dan biasa-biasa saja. Noda yang saya maksud adalah; dosa.

Yah, diumpakan setiap kita melakukan maksiat, akan ada satu titik noda hitam yang menempel di hati. Besar dan jumlahnya mungkin setara dengan seberapa besar maksiat itu sendiri. Orang yang terus menerus melakukannya, tanpa sadar akan sampai pada titik dimana hatinya akan dipenuhi dengan noda hingga akan menjadi hitam kelam dan keras. Maka jangan heran, jika mendapati diri dalam keadaan melimpah harta, keluarga yang aman-aman saja, prestasi yang berada di puncak tertinggi, atau kedudukan yang terhormat di mata manusia, tapi tetap merasa tidak tentram dan selalu ada yang dirasa kurang. Mungkin sebab hatinya kosong melompong dan hanya diisi oleh noda hitam yang mengerak.

Dalam sebuah lingkaran majelis, saya pernah mendengar cerita tentang Utsman bin Affan yang selalu sesunggukan hingga basah jenggotnya saat melewati perkuburan. Atau Khalid bin Walid yang menangis menatap Al Qur’an sebab merasa telah terlalaikan karena sibuk di medan jihad. Ada juga yang dengan perasaan bergejolak berucap bahwa ia akan lalui perjalanan panjang (setelah kematian) sementara perbekalan yang disiapkannya sangat sedikit.

Nah!

Jika mereka saja, yang hidup di masa Rasulullah, yang hatinya dicerahkan dengan cahaya Islam yang begitu paripurna, serta ibadah dan ketakwaannya adalah jaminan mutu, kemudian dapat dengan setakut itu menghadapi masa-masa pertanggung jawaban, lalu bagaimana dengan kita.

Ada sebuah kata-kata hikmah yang sangat indah; Jangan melihat sekecil apa maksiat yang kau lakukan, tapi lihatlah sebesar apa Dzat yang kau bermaksiat padaNya.

Ya, kita kadang tidak sadar pada dosa-dosa kecil yang mungkin terkumpul tiap detiknya. Sementara kita tahu betul bahwa bukit yang tinggi menjulang adalah kumpulan kerikil-kerikil kecil yang terkumpul menjadi satu.

Memang benar bahwa manusia adalah tempatnya salah dan dosa. Maka sebab itulah Allah Yang Maha Pemurah memberikan kepada kita sebuah cara untuk dapat lepas dari jerat noda-noda itu; Taubat!

Masalahnya adalah, kita kadang memberi jeda yang terlalu lama untuk memulai pertobatan. Kita dengan mudah melakukan prokrastinasi –penundaan, untuk memutuskan berhenti dari maksiat, menyesal tentangnya, dan berjanji tidak akan mengulanginya. Seolah-olah, kita tahu kapan datangnya saat kematian, seolah kita menjamin, bahwa hidup baru akan terhenti saat rambut telah memutih, badan membungkuk, dan gigi ompong satu persatu. Padahal begitu banyak kasus mati muda yang terjadi diluar sana, lebih parah lagi, kasus meninggal dalam keadaan maksiat yang sama sekali tidak ada kerennya!

Layaknya seperti juicer saya tadi, kadang saya menunda untuk mencucinya saat ada pekerjaan lain yang harus didahulukan. Hasilnya adalah, noda-nodanya akan lebih susah dibersihkan dan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan jika dicuci segera setelah digunakan.

Maka ada beberapa cara Allah untuk ‘membersihkan noda’ kita. Mungkin dengan kesengsaraan atau rasa sakit yang kita derita. Jika dihadapi dengan ikhlas, maka ia adalah penggugur dosa layaknya berjatuhannnya daun di musim gugur, insya Allah. Tapi apakah kita akan menunggu untuk ‘disakiti’ dulu baru akan bertaubat? Lalu bagaimana jika ternyata kesempatan itu tidak datang dan kita ‘dibiarkan’ berkubang dalam maksiat?

Kawan, mungkin ada bagusnya jika kita menikmati keheningan sejenak. Bersendirianlah ditengah malam dan ingat kembali betapa banyak kemaksiatan yang kita lakukan. Ingatlah bahwa kepastian kematian akan datang, entah setelah kesempatan taubat kita dapatkan ataukah saat belum sempat kita mengakui kesalahan. Ingatlah bagaimana indahnya syurga yang mungkin akan begitu jauh bahkan tidak tercium wanginya jika kita tidak segera berubah. Ingatlah betapa ngerinya jahannam yang bahan bakarnya adalah batu dan manusia. Ingatlah saat kita berada di titik nol, lalu berdiri di hadapan Rabb pencipta kita, untuk bertanggung jawab atas setiap detik yang kita habiskan di dunia. Ingatlah dengan keyakinan bahwa itu adalah masa-masa kepastian yang kita akan sampai ke episodenya; cepat atau lambat.

Kawan, pintu pengampunannya terbuka lebar. Kukabarkan padamu tentang kedudukan orang-orang yang bertaubat di sisinya; dihapuskan dosa-dosanya! Demi Allah, akan dihapuskan dosa-dosanya! Dengannya, semoga kelak perjalanan kita akan lebih ringan, wajah pun lebih bercahaya, di hari dimana tidak ada lagi naungan selain naunganNya. Maka sampai kapan kita akan menunda? Ayo, bertaubat bersama!

sumber gambar
*Tulisan ini dapat pula disimak diBLOG Majalah AlFirdaus

Jumat, 21 Januari 2011

Kesetimbangan


Maha Suci Allah yang mempergilirkan segala sesuatu dengan teramat seimbang. Memberikan kita dua pilihan hidup yang tanpa celah; bersyukur pada nikmat, atau bersabar saat takdir tak seindah harap.

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapatkan kabar bahagia bertubi-tubi dari beberapa orang kakak yang baru saja melahirkan anak pertamanya. Mujahid-mujahid kecil yang kelak akan meneruskan perjuangan ayah dan bunda mereka. Juga dari tetangga dekat –yang juga masih kerabat, yang mendapat anugerah bayi kembar, Rauza-Razita yang hanya bisa dibedakan dari lesung pipitnya.

Bersamaan dengannya, saya juga mendengar beberapa kabar tentang kepergian orang-orang di sekitar. Kabar duka yang datang secara tiba-tiba dan sejenak menghentak kesadaran. Bahwa hidup memang bukan untuk selamanya.

Ya, kelahiran dan kematian terlihat seolah dipergilirkan. Kepergian satu jiwa untuk berpindah ke dimensi lain, diikuti dengan kedatangan jiwa lainnya yang disambut oleh riuh kemeriahan dunia. Semesta seolah mencari kesetimbangan dengan mengisi ruang kosong yang ditinggalkan. Layaknya reaksi kimia yang juga selalu melakukan hal yang sama. Bergeser kepada keadaan seimbang. Mungkin, memang demikianlah sunnatullah.

Sama seperti saat kita berpisah dengan seseorang, mungkin tak lama kemudian kita tertakdir untuk bertemu dengan orang baru dalam hidup kita. Pertemuan baru selalu menghadirkan pesona baru dan semangat baru. Berbeda dengan itu, perpisahan –setidaknya bagi saya, akan selalu sedikit banyak menggelisahkan. Baik karena seorang kawan yang harus kembali ke kampung halaman, atau karena harus ikut dengan pasangannya ke bagian lain dari bumi Allah. Saya selalu membutuhkan waktu, dan tidak dapat langsung menerimanya saat masa itu datang. Harus ada jeda bagi saya untuk menguat-nguatkan diri dan mengingatkan jiwa bahwa setidak enak apapun itu, perpisahan pun bagian dari takdir –episode yang harus kita terima dalam hidup.

Tapi bukankah, kematian dan kelahiran, perjumpaan dan perpisahan, tidak sesederhana reaksi kimia yang kita pelajari di masa sekolah? Sudah seharusnya ada pemaknaan di sana.

Setiap kelahiran, yang kadang diartikan sebatas bertambahnya anggota keluarga baru, sebenarnya adalah sebuah cerita panjang yang diawali dengan perjumpaan dua insan yang memang ditakdirkan akan bersama. Lalu dilalui dengan penantian, selanjutnya kurang lebih sembilan bulan masa kehamilan yang berat. Belum lagi proses melahirkan yang konon mempertaruhkan segalanya; jiwa dan raga. Ya, sama sekali tidak sederhana.

Apalagi dengan kematian. Ia adalah momen akhir dari fragmen dunia yang akan terlewati; sebuah kepastian yang nyata. Dan prosesnya pun tidak begitu saja. Kita semua tahu betapa mengerikannya sakaratul maut. Belum lagi masa-masa yang harus dilewati sebelum itu, dan setelah itu. Perjalanan sejak di barzakh hingga perhitungan segala amalan.

Kematian bukan akhir, justru sebuah awal perjalanan panjang yang mungkin jauh lebih berat dari kehidupan itu sendiri. Mengapa ia harus disaksikan oleh mereka yang masih hidup? Terlebih lagi, mengapa kita harusnya memaknainya dan melihatan tanda kebesaranNya dalam kejadian ini? Sebab, tentu telah terlambat untuk memaknainya saat masa kematian itu telah sampai kepada diri kita sendiri. Bukankah saat nyawa telah sampai di kerongkongan maka telah tertutup semua kesempatan? Lalu dengan meyakini bahwa tidak ada kepastian kapan masa itu datang, mengapa kita masih saja lengah terhadapnya? Demi Allah, kematian adalah sebaik-baik nasihat.

Perpisahan dan perjumpaan pun demikian. Selalu ada makna dan rahasia Allah di baliknya. Bersinggungannya kita dengan seseorang di satu titik, lalu berpisah di titik yang lain adalah bagian dari perjalanan yang sudah pasti ada alasannya.

Ya, saya selalu percaya bahwa dalam hidup tidak ada hal yang sepele. Tiap detiknya adalah rangkaian sempurna yang saling bertaut. Sebuah tarbiyah sepanjang hayat yang sudah seharusnya memberi pelajaran. Bukankah teori gravitasi yang melambungkan nama Newton, hanya bermula dari peristiwa jatuhnya sebutir apel dari pohonnya? Sepele kita rasa, tapi tidak bagi yang mengambil pelajaran di baliknya, dan Newton membuktikannya pada dunia.

Maka hidup akan selalu menjadi tidak bermakna, kecuali bagi orang yang ingin mencari arti dari tiap peristiwa di dalamnya. Wallahu a’lam.

(Weekend notes, January 22 2011)

Teriring salam perpisahan untuk Kak Rifqah-Nur Fajariani Rahman; maafkan segala salah dan terima kasih untuk ada di saat-saat tidak nyaman di awal masa kuliah saya. Semoga kita dapat istiqamah; berbungalah dimanapun kau ditaman. T_T

sumber gambar

Selasa, 11 Januari 2011

Tentang Hidup: Target dan Takdir


Mari menulis…

Yah, setelah beberapa lama tidak melahirkan sebuah tulisan pun, sore ini, saya mencoba kembali mendobrak BLOCK-WRITING yang beberapa waktu lalu cukup sukses nge-BLOCK saya. Setelah saya piker-pikir, kondisi winter blue (baca: badmood) yang terjadi pada saya, tidak seharusnya menjadi alasan untuk tertumbuk pada satu titik yang membuat tidak produktif. Yah, tapi bagaimana pun begitulah yang sering kali terjadi.

Terbentur pada suatu kondisi yang terkadang sebenarnya tidak terlalu penting untuk sampai mengacaukan mood, tapi pada akhirnya saya jadikan pembenaran untuk berlama-lama berdiam diri dan tidak melakukan apa pun;sSalah satu dari begitu banyak hal yang menyedihkan dari diri ini. Padahal, saya selalu merinding saat mendapati nasihat Ustadz Fauzil Adhim dalam Inspiring Words For Writers halaman 25. Disana beliau menulis: “Banyak orang menunggu mood untuk menulis. Sementara bagi sebagian yang lainnya, mood untuk menulis bangkit karena kuatnya keinginan untuk menyampaikan ilmu dan kebenaran.”. Dan… hufft….berat yah…?

Dan beginilah jadinya tulisan yang muncul setelah beberapa lama stuck; terlalu panjang di prolog buat sekadar curhat. >_<>

Baiklah, saat ini saya sedang berada di suatu titik yang sekali lagi memberi saya ruang untuk takjub. Ya, takjub tentang beberapa fragmen yang terjadi dalam hidup saya, dan yang terjadi pada orang-orang di sekeliling saya (tentunya dari persfektif saya sendiri). Takjub dengan betapa teraturnya segala scenario yang disusun oleh Allah, Rabb Semesta Alam. Betapa tiap peristiwa saling berpaut satu sama lain.

Terkadang, di satu titik dalam kehidupan, saat perencanaan kita tidak sesuai dengan apa yang ternyata tertakdirkan, tak jarang ada perasaan tidak enak yang menggelayut di hati. Itu respon paling halus, selebihnya, terkadang sampai ada yang menyalahkan takdir, tanpa sadar bahwa ia sedang menyalahkan Pembuat Takdir. Nah, lho! Itu artinya sedang menyalahkan Allah lho! Naudzubillah…

Padahal mungkin, kita hanya perlu menunggu untuk beberapa waktu. Untuk kemudian menyaksikan betapa sebenarnya ada begitu banyak hikmah, bahkan dari hal-hal yang awalnya tidak begitu membuat hati kita bahagia.

Saya mengalaminya. Setelah beberapa waktu yang lalu, sebuah rencana yang telah disusun sedemikian rupa, dengan hitung-hitungan cermat tentang waktu dan target pencapaiannya, ternyata tidak berhasil saya eksekusi dengan baik, hanya karena beberapa hal kecil yang di kemudian hari menjadi kendala yang besar. Akhirnya, mematahkan langkah saya. Menjauhkan saya dengan rencana-rencana masa depan. Dan membuyarkan semua hitung-hitungan yang kini harus saya hitung ulang!

Awalnya, saya sempat tertekan. Dalam waktu yang cukup lama, bahkan mungkin masih ada sisa-sisanya sampai sekarang. Hingga yang terjadi kemudian, lisan yang tak henti menggerutu. Membicarakan hal-hal yang mungkin tidak seharusnya dibicarakan. Parahnya, mulai berandai-andai ini dan itu, membuka celah lebar kepada musuh bebuyutan; si syaitan laknatullah, untuk menghembuskan was-was dan tertawa-tawa di atas kekalahan saya dalam memaknai takdir.

Tapi ternyata, setelah dipikir-pikir selanjutnya, ternyata rentetan peristiwa yang diluar perencanaan itu, justru menggiring saya pada peristiwa berikutnya yang menempatkan saya pada kondisi yang lebih aman. Kondisi yang lebih patut untuk disyukuri. Jelas. Sebab inilah takdirNya. Semuanya telah tertata tanpa celah. Tanpa salah. Hanya kita butuh waktu untuk bersabar menantikan hikmahnya.

Lalu bagiamana dengan hari esok?

Selalu menyenangkan untuk menerka-nerka apa yang akan terjadi kemudian. Dengan siapa kita akan bertemu dan menghabiskan waktu nantinya? Dengan siapa kita akan berpisah dan mungkin tidak akan lagi berjumpa? Atau mungkin saling bertukar sapa dengan mereka yang tidak pernah bertatap muka? Kemana kita akan melangkah? Apa yang akan kita selesaikan? Apa yang tidak akan pernah kita rampungkan? Lalu seperti apa kita akan berkesudahan?

Yah, semuanya menjadi tanda tanya. Tetap akan menjadi tanda tanya meski kita telah menyusun peta kehidupan yang paling apik dan paling rinci penguraiannya. Pada akhirnya, kita harus bersatu dengan kehendakNya, lalu memilih sikap: bersyukur atau bersabar.

Bukankah menonton sepakbola menjadi menyenangkan sebab kita tak pernah mengetahui berapa skor akhirnya? Nah, hidup pun demikian. Bahkan mungkin, esok kita akan berada di suatu tempat yang tidak pernah terlintas dalam pikiran!

Dan, yah… Saya selalu salut pada mereka yang telah berusaha untuk membuat target, resolusi, impian, atau bahkan peta hidup agar perjalanannya menjadi lebih focus. Apalagi pada mereka yang dapat mewujudkannya menjadi nyata dengan niat dan ikhtiar yang ma’ruf. Tapi, saya lebih salut lagi pada siapa pun yang dapat menenangkan jiwa, dengan menjadi orang yang pertama kali tersenyum pada dirinya sendiri, saat ternyata kenyataan tak seindah harapan. Sebab kawan, bukankah kesabaran itu pada pukulan yang pertama? Saat kita tertumbuk pada suatu titik yang terasa berat dan memberatkan, lalu kita dapat berkata pada hati: semua akan baik-baik saja, insya Allah. Indah, bukan?




sumber gambar