Selasa, 25 Januari 2011

Eh, Pinjam Kacamatanya Dong!


Kacamata adalah benda yang membersamai saja sejak masa kanak-kanak; kelas enam SD. Bisa dibilang saya tumbuh dan berkembang dengan kacamata. Waktu masa awal mengenakannya, sedang booming serial SARAS 008 di Indosiar. Model rambut saya yang (katanya) mirip sama si Saras, ditambah dengan properti berupa kacamata yang nangkring di atas hidung saya, membuat saya sukses sering kali dipanggil dengan sebutan manusia titisan kucing itu. “Saras…saras…Kacamatanyamo saya…”. Grr…

Kacamata adalah soulmate saya. Saya bisa begitu linglung tanpanya. Selain indera penglihatan saya yang tentunya akan terdzolimi tanpa bantuan kacamata, seringkali (ini mungkin hanya alasan psikologis) indera saya yang lain juga ikut menurun kinerjanya saat saya tidak mengenakan kacamata. Pendengaran, penciuman, bahkan pengecapan saya ikutan ngawur, biasanya. Termasuk juga dengan sistem koordinasi alat gerak saya yang amburadul jadinya, tidak heran jika saya tubruk kanan kiri jika memaksakan melihat dengan mata telanjang. Hmm…Maha Suci Allah yang menciptakan manusia dengan sebaik-baik penciptaan!

Bagi saya, tiap orang pasti mengenakan kacamata, dan tiap kacamata pasti berbeda. Ada yang berlensa minus, sehingga dapat melihat jauh dengan baik. Ada juga yang lensa plus sehingga yang dekat terlihat lebih jelas. Warna-warninya juga berbeda-beda; biru, merah, hitam, hijau, ada juga yang ryben. Semuanya tergantung dari pemakainya masing-masing. Setuju?

Baiklah, kacamata yang saya maksud adalah PERSEPSI. Mungkin sama jika kita artikan dengan pola pikir, pendapat, dan cara melihat sesuatu. Sayangnya, kebanyakan kita sibuk dengan ‘kacamata’ kita sendiri. Jarang peduli pada kacamata orang lain. Bandingkan betapa seringnya kita berucap, “Menurut saya…”, “Kalau pendapat saya sih…”, atau kalimat lain yang meneguhkan bahwa kita sedang ingin orang lain melulu hanya melihat dari kacamata kita saja.

Dalam memilih jodoh misalnya, betapa banyak orang yang mepersyaratkan pasangan yang “Dapat memahami saya apa adanya”. Bandingkan dengan orang yang memilih dengan kriteria “Dapat saya pahami jalan pikirannya”. Mungkin orang tipe kedua hanya sedikit jumlahnya.

Parahnya, kadang meski pola pikir kita salah pun, kita tetap keukeuh dengan pendapat kita. Sudah salah, ngotot pula! Ckckck…

Padahal, seringkali ada baiknya kita mencoba memandang dari sudut panadang orang lain. Betapa banyak masalah terjadi karena tiap orang hanya melihat dari persepsinya sendiri-sendiri. Menatap dari sudut perbedaan dan mengesampingkan persamaan yang mungkin lebih banyak. Melihat keburukan orang lain, meski mungkin keburukan itu telah tertaubatkan dan terganti dengan kebaikan melimpah.

Menulis adalah meminjamkan kacamata kita pada orang lain, sehingga gagasan tersampaikan dan orang dapat melihat bagaimana kita berpikir. Bagaimana membuatnya seimbang? Maka membacalah! Dengan membaca, kita sedang mencoba kacamata orang lain, masuk ke dalam pemikirannya! Ustadz Fauzil Adhim dalam Inspiring Words For Writer menuliskan, “Kalau engkau sendiri malas membaca, bagaimana engkau menyuruh orang lain rakus membaca tulisanmu?”

Tapi bukankah hidup tidak melulu soal tulisan? Maka dalam sehari-harinya, menjadi penting untuk selalu mempertimbangkan bagaimana orang lain memandang sesuatu yang kita pandang. Adakah hal yang kita anggap bagus juga bagus dan membahagiakan orang lain, atau justru sebaliknya?

Gagasan menarik saya dapatkan dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah karya Ustadz Salim A. Fillah, bahwa perkataan “Sampaikanlah meski itu pahit” terkadang kita artikan bahwa yang pahit itu bagi orang lain. Maka jadinya, kita dengan santai menyampaikan sesuatu –hatta sekalipun sebuah kebenaran, padahal hal itu menyakitkan bagi orang yang menerimanya. Bukan, saya bukan bermaksud melarang Anda unuk menyampaikan sesuatu yang benar. Tapi bukankah kebenaran sekalipun, jika ia disampaikan dengan cara menyakitkan, maka terkadang yang terasa adalah pahitnya, dan kebenarannya tidak tertangkap sama sekali! Maka bijaklah dalam menyampaikan, sebab akan selalu ada cara yang ahsan –benar dan menentramkan, jika kita ingin sedikit memutar otak. Sebab “Sampaikanlah meski itu pahit” seharusnya kita fokuskan pada diri kita sendiri. Bagaimana kita berani berkata jujur, meski mungkin akan terasa pahit pada diri. Misalnya, dengan mengakui kesalahan, yang mungkin akan mencoreng wajah kita sendiri!

Kadang, saya merasa sedikit kewalahan dengan terlalu sering meminjam kacamata orang lain. Sebab yang muncul kemudian adalah sikap ‘tidak enakan’ yang tak jarang membuat saya bingung sendiri. Tapi setidaknya, cara itu adalah salah satu hal yang bisa membuat saya sedikit tenang, bahwa lebih kecil kemungkinan orang lain merasa tidak nyaman, meski saya sendiri harus menanggung akibatnya. Terkadang memang sikap ini tidak begitu bagus. Sekali lagi, segalanya harus diletakkan dengan bijak; sesuai kondisinya.

Akhirnya, tulisan ini adalah semacam pengingat kepada diri saya pribadi –pemilik jemari yang mengetikkannya, dan kelak harus bertanggung jawab atasnya, dan kepada segenap kawan-kawan yang selalu saya inginkan kebaikan pada dirinya. Agar kita lebih berempati. Agar kita dapat jauh dari egoisme. Agar kita dapat hidup berdampingan dengan lebih damai. Bukankah demikian yang kita inginkan?

Jadi, ini kacamataku. Mana kacamatamu untuk kupinjam? ^_^

sumber gambar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)