Selasa, 16 Oktober 2012

Sendiri

sendiri dan dirindukan :')


Fakta bahwa di dunia ini hidup begitu banyak manusia memang tidak terbantahkan. Tidak satu pun orang yang tidak setuju bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendirian. 

Bahkan meski saat kau sedang merasa sendiri sekalipun...

Saat kau sedang bersendirian, tidak menutup kemungkinan, ada seseorang atau bahkan beberapa orang di belahan bumi yang lain yang sedang mengingatmu, merindukanmu, atau pun menyebut namamu dalam doa di sujud khusuknya. 

Ia mungkin sedang membongkar kembali kenangan masa lalu. Sebab hanya di sanalah kalian masih dapat saling bertemu. Ia mengingat-ingat wajahmu yang dulu, senyummu yang dulu. Lalu mencoba membandingkannya dengan dirimu kini. 

Ia sedang merindukanmu. Mungkin tentang perjumpaan pertama kalian. Atau tentang perbincangan yang tidak pernah bisa ia lupakan; saat kau menasihatkan hal yang penting dan masih  terus kau anggap penting hingga kini.

Ia menyebut namamu  dalam doanya. Ia mengingat tiap kebaikanmu agar selalu berbalas dengan kebaikan pula. Tanpa pernah kau sadari, ia mencoba memelukmu dari jauh dengan untai pinta yang mengetuk pintu langit. Tak mengapa kau tak tahu, pikirnya. Sebab itu bisa menjadi salah satu sebab kemungkinan doanya lebih mudah terijabah, insya Allah. 

Maka bahkan saat meski kau merasa sendiri sekalipun, 
mungkin saja ada orang yang mengingat, merindu, dan berdoa untukmu, lalu begitu berharap dapat segera bertemu denganmu, kemudian meminta maaf atas khilafnya yang lalu. 


Jumat, 05 Oktober 2012

Dear, Diena

-terinspirasi dari tulisan berjudul Dear, Iqbal dalam buku Dear, Allah (Iqbal Latif dan Ayu Mayangsari). Sekaligus ucapan terima kasih pada keduanya, untuk 'souvenir' pernikahan paling indah ini. Sepertinya, saya harus lebih sering menulis surat untuk diri saya sendiri.

Dear Diena,
Surat ini bisa kau baca kapan saja. Meski ia ditulis diantara laporan-laporan industri-apotek-rumah sakit dan studi kasus, semoga tidak mengurangi esensinya. Bahwa aku dan kau: kita, sedang berupaya untuk mempertahankan ingatan. Ya, memori yang terkadang terserang amnesia tiba-tiba. Sehingga begitu banyak yang terlupa. Mulai dari hal yang remeh temeh, hingga yang terpenting sekalipun. Maka, aku akan menuliskannya di sini saja. Untuk mengingatkanmu, bahwa begitu banyak hal yang telah terlewati. Dan melangkahi semua itu tanpa mengabadikannya dengan apapun, dapat menjadi sebuah penyesalan tersendiri suatu saat nanti.

Diena,
Begitu sajakah aku harus menyapa dirimu? Ataukah kau menjadi lebih senang disapa dengan Rifa atau Rifa’ah sebagaimana ibu juga sering menulis namanya sebagai Ummu Rifa’ah? Ah, tidak jadi soal. Termasuk sebab kadang beberapa orang kurang tepat dalam mengucapkannya. Ada yang memanggilmu; Diyena. Yah, meski terbacanya mungkin demikian, namun beberapa orang sudah cukup tepat dengan membacanya sebagai Dina. Bukan tersebab ejaan lama dalam Bahasa Indonesia, namun memang demikianlah transliterasi dari rangkaian huruf hijaiyah dhal, ya, dan nun yang merangkai namamu. Huruf ya sukun itu kemudian menjadikan dhal kasrah itu dua harakat, ditambah nun fathah, maka saat ditransliterasi dalam tulisan latin, ia berubah menjadi: ‘Diena’. Tapi tetap harus dibaca Dina. Tapi yah, tidak jadi soal. Tidak perlu berpanjang kata tentang ini. *hehe..

Hmm.... Sadarkah bahwa akhir-akhir ini kau menjadi bertemu dan berinteraksi dengan lebih banyak manusia? Hal itu seharusnya semakin menyadarkanmu bahwa masih banyak orang-orang baik di dunia ini. Mungkin, masih ada hal-hal lain yang harus diperbaiki oleh tiap pribadi –apalagi pada pribadimu sendiri, bukan? Maka biarlah itu semua semakin membuka matamu bahwa betapa beratnya tugas menyampaikan kebenaran itu. Sebuah tugas yang tidak akan sembarangan dibebankan kepada seseorang. Kecuali bahwa ia memang pantas, kecuali bahwa ia mampu.

Rangkaian peristiwa yang telah terlewati, semoga tidak kau lupa untuk kau susun sendiri menjadi jawaban-jawaban yang menerangkan berbagai tanya dalam benakmu. Yah, seperti sebelum kau melewati pintu masuk di apotek itu. Sebelum kau menghabiskan sekitar delapan pekan di sana. Melalui Ramadhan, menuntaskan Syawal, dan menjalani berbagai macam aktifitas yang silih berganti.

Kau yang sebelumnya begitu benci dengan obat-obat psikotropik. Kau terus menerus bertanya; “Jika obat macam itu, yang bisa menyebabkan efek adiksi yang mengerikan, mengapa para dokter terus menerus menuliskannya dalam resep? Lalu memasukkan para pasiennya pada lingkaran yang tidak akan pernah berhenti, hingga entah kapan...

Namun, apa yang mau kau kata, saat Allah dengan segala kuasaNya menempatkanmu pada sebuah apotek yang menjadikan obat-obat psikotropik sebagai produknya yang paling laku? Tersebab ia memang berada dalam jarak dekat dengan rumah sakit yang pasiennya menderita penyakit yang membutuhkan obat-obat itu. Panjang helaan napasmu tiap kali menyiapkan butir-butirnya dalam sak-sak obat. Hingga akhirnya kau sadar, pada jawaban yang tertitipkan pada fragmen tersebut. Bahwa apa yang selama ini kau benci, justru adalah harapan bagi jiwa-jiwa lainnya, yang mungkin telah mengerti tentang hal ini, lebih dulu darimu.

Ya, butir-butir obat itu adalah harapan. Harapan untuk membuat anggota keluarga mereka menjadi lebih tenang perangainya. Harapan agar anak, adik, atau ibu mereka dapat hidup dengan lebih wajar. Maka tidakkah kau perhatikan betapa pancaran kesyukuran itu selalu muncul tiap bungkus-bungkus obat tadi telah dalam genggaman mereka? Itu dia! Itu dia jawaban yang seharusnya dapat kau mengerti sekarang. Menggenapkan keyakinanmu betapa Allah telah menetapkan takdir dengan setepat-tepatnya keadaan.

Kau adalah seorang mahasiswa farmasi yang lucu. Kau benci obat. Kau enggan meminum obat saat kau sakit. Bahkan meski terkadang pada akhirnya kau harus mengkonsumsinya, kau tetap saja jengkel pada dirimu sendiri. Namun, pernahkah kau mencoba mensyukuri, betapa beruntungnya dirimu yang dapat dengan mudah segera membeli obat saat kau sakit? Itu dia! Jawaban itu kau temukan saat seorang pasien berubah ekspresinya demi mengetahui jumlah harga obat yang harus ia bayar.

Uang saya tidak cukup...” ujarnya, dengan mimik wajah yang sulit kau ungkap dalam kata. Maka serangkai kalimat itu turut berputar-putar di kepalamu. Sambil kau mencari-cari ingatan tentang pernahkah kau mengalami hal yang sama. Tidak pernah. Maka pernahkah kau bersyukur untuk itu semua? Ah...

Baiklah, Diena...
Kau paham betul, bahwa waktu akan terus melaju tanpa menunggu. Dan semakin hari, seharusnya pun kau harus semakin memahami bahwa akan segera datang masa dimana kau harus berdiri di atas pijakanmu sendiri. Setiap orang yang berinteraksi, yang berbicara denganmu –mungkin yang bahkan bukan berbicara khusus untukmu, adalah kepingan-kepingan pertimbangan atas langkah yang akan kau ambil selanjutnya. Baik untuk jangka pendek, maupun untuk jangka panjang. Untuk segala hal yang telah kau kumpulkan kini, akan datang masanya kau akan ditagih; apa yang bisa kau lakukan dengan semua yang kau sebut sebagai ‘bekal’?

Tapi, kau masih meragu khan, Diena?
Ya, sebab kau masih memahami, bahwa terkadang, hidup ini memang bukan untuk diri kita sendiri. Jika ingin egois, kau tentu lebih senang untuk menjelajah ke tempat-tempat yang jauh. Berfokus pada masa depanmu, tanpa intervensi siapapun. Pergi dari orang-orang yang mengenalmu dan bertemu dengan wajah-wajah baru. Kau ingin sekali menjejakkan kaki di tanah-tanah asing. Mungkin sambil menghabiskan waktu sepanjang hari untuk membaca? Menulis? Makan makanan enak? Atau apapun untuk kau nikmati sendiri?

Namun kini, hidup bagimu bukan untuk itu.
Bagimu cukup, cukuplah apa yang terjadi kini. Saat kau keluar meninggalkan rumah di pagi hari, seolah mengumpulkan setiap beban pada tiap langkah. Mencerabut setiap energi-energi yang tersisa. Lalu kembali ke rumah saat matahari nyaris terbenam dengan segala macam keberantakanmu, kelelahanmu, sisa peluh dan sesal dan keluh dan sisi-sisi negatifmu. Lalu semua itu kau jadikan alasan untuk tidak berakhlak dengan baik. Senyummu tidak lagi sempurna untuk ibu, apalagi baktimu. Kau bebankan itu pada adikmu yang pastinya pun butuh waktu untuk dirinya sendiri, untuk urusannya sendiri. Lalu atas nama akademik yang padat, kau membuat pembenaran. Terbaring lelah di kamar untuk mencerap lagi segala energi yang akan kau hambur di esok hari.

Di esok paginya, dalam perjalanan menuju tujuanmu, dalam hening dan perasaan sendiri di atas angkot yang ramai, kau baru sadar. Baru sadar atas salahmu semalam. Baru sadar atas maaf yang seharusnya kau ucap sebelum berangkat tadi. Saat keluhan pusing ibu kepadamu hanya kau jawab dengan ‘dehem’. Lalu kau cium tangannya, tanpa melihat bola matanya yang mungkin telah teramat lelah. Namun tetap, ah... namun tetap ada gumam doa saat ia saksikan punggungmu yang pergi menjauh. Lalu kau baru sadar setelahnya. Selalu. Sambil berharap nanti kau tidak melakukan kesalahan yang sama lagi.

Maka, Diena. Tiap kau nyaris akan mengulangnya, bacalah lagi ini. Lalu berubahlah menjadi lebih baik. Maukah kau berjanji?

Berjanjilah untuk mengingat kembali apa yang kau lihat di angkot tadi. Saat seorang ibu tergopoh-gopoh mengikuti langkah kecil anaknya yang lambat, agar sang anak tidak terlampau lelah. Ingatlah bahwa dulu pun kau adalah anak sekecil itu. Maka tak mengapa kau mengikuti irama langkah ibu yang mungkin memang tidak selincah yang dulu. Tidak mengapa, Diena.

Maka itu khan, yang masih bergelayut di pikiranmu, saat ia memintamu dengan sangat untuk langsung melanjutkan pendidikan selepas studimu yang sekarang rampung? Sebab baginya, alasan untuk cari kerja dulu, mengumpulkan uang dulu, cari pengalaman dulu; sungguh tidak masuk akal! Maka permintaan itu hanya selalu kau jawab dengan senyum kecut, atau bahkan dengan ekspresi tanpa makna, sebab dalam hati kau hanya dapat berkata, “Jika terus aku melangkah, maka kapan aku sepenuh bakti padamu, Ibu?”

Maka nanti kau berencana untuk meminta jeda. Jeda untuk melakukan beberapa hal yang selalu ingin kau lakukan namun tidak. Sebab alasan waktu, alasan fokus, dan alasan-alasan lainnya. Beberapa hal semisal belajar bahasa Arab, memperbaiki hapalan, dan merampungkan proyek-proyek menulis, mungkin. Maka pada jeda itu nanti, semoga akan segera kau temukan jawaban –atau mungkin akan ada yang membantu untuk memikirkannya, atau ikut memutuskannya? Kemana kau akan melangkah selanjutnya.


PS; akhir-akhir ini kau terlalu banyak bicara sebelum berpikir. Jadilah lebih baik, Diena. Kau harusnya tahu yang mana yang harus lebih dahulu diantara kedua hal itu. Itu bisa lebih menyelamatkanmu. Jadilah lebih baik.