Dear Diena,
Surat ini bisa kau baca kapan
saja. Meski ia ditulis diantara laporan-laporan industri-apotek-rumah sakit dan
studi kasus, semoga tidak mengurangi esensinya. Bahwa aku dan kau: kita, sedang
berupaya untuk mempertahankan ingatan. Ya, memori yang terkadang terserang
amnesia tiba-tiba. Sehingga begitu banyak yang terlupa. Mulai dari hal yang
remeh temeh, hingga yang terpenting sekalipun. Maka, aku akan menuliskannya di
sini saja. Untuk mengingatkanmu, bahwa begitu banyak hal yang telah terlewati.
Dan melangkahi semua itu tanpa mengabadikannya dengan apapun, dapat menjadi
sebuah penyesalan tersendiri suatu saat nanti.
Diena,
Begitu sajakah aku harus menyapa
dirimu? Ataukah kau menjadi lebih senang disapa dengan Rifa atau Rifa’ah
sebagaimana ibu juga sering menulis namanya sebagai Ummu Rifa’ah? Ah, tidak
jadi soal. Termasuk sebab kadang beberapa orang kurang tepat dalam
mengucapkannya. Ada yang memanggilmu; Diyena. Yah, meski terbacanya mungkin
demikian, namun beberapa orang sudah cukup tepat dengan membacanya sebagai
Dina. Bukan tersebab ejaan lama dalam Bahasa Indonesia, namun memang
demikianlah transliterasi dari rangkaian huruf hijaiyah dhal, ya, dan nun yang
merangkai namamu. Huruf ya sukun itu kemudian menjadikan dhal kasrah itu dua
harakat, ditambah nun fathah, maka saat ditransliterasi dalam tulisan latin, ia
berubah menjadi: ‘Diena’. Tapi tetap harus dibaca Dina. Tapi yah, tidak jadi
soal. Tidak perlu berpanjang kata tentang ini. *hehe..
Hmm.... Sadarkah bahwa
akhir-akhir ini kau menjadi bertemu dan berinteraksi dengan lebih banyak
manusia? Hal itu seharusnya semakin menyadarkanmu bahwa masih banyak
orang-orang baik di dunia ini. Mungkin, masih ada hal-hal lain yang harus
diperbaiki oleh tiap pribadi –apalagi pada pribadimu sendiri, bukan? Maka
biarlah itu semua semakin membuka matamu bahwa betapa beratnya tugas
menyampaikan kebenaran itu. Sebuah tugas yang tidak akan sembarangan dibebankan
kepada seseorang. Kecuali bahwa ia memang pantas, kecuali bahwa ia mampu.
Rangkaian peristiwa yang telah
terlewati, semoga tidak kau lupa untuk kau susun sendiri menjadi
jawaban-jawaban yang menerangkan berbagai tanya dalam benakmu. Yah, seperti
sebelum kau melewati pintu masuk di apotek itu. Sebelum kau menghabiskan
sekitar delapan pekan di sana. Melalui Ramadhan, menuntaskan Syawal, dan
menjalani berbagai macam aktifitas yang silih berganti.
Kau yang sebelumnya begitu benci
dengan obat-obat psikotropik. Kau terus menerus bertanya; “Jika obat macam itu, yang bisa menyebabkan efek adiksi yang mengerikan,
mengapa para dokter terus menerus menuliskannya dalam resep? Lalu memasukkan
para pasiennya pada lingkaran yang tidak akan pernah berhenti, hingga entah
kapan...”
Namun, apa yang mau kau kata,
saat Allah dengan segala kuasaNya menempatkanmu pada sebuah apotek yang
menjadikan obat-obat psikotropik sebagai produknya yang paling laku? Tersebab
ia memang berada dalam jarak dekat dengan rumah sakit yang pasiennya menderita
penyakit yang membutuhkan obat-obat itu. Panjang helaan napasmu tiap kali
menyiapkan butir-butirnya dalam sak-sak obat. Hingga akhirnya kau sadar, pada
jawaban yang tertitipkan pada fragmen tersebut. Bahwa apa yang selama ini kau
benci, justru adalah harapan bagi jiwa-jiwa lainnya, yang mungkin telah
mengerti tentang hal ini, lebih dulu darimu.
Ya, butir-butir obat itu adalah
harapan. Harapan untuk membuat anggota keluarga mereka menjadi lebih tenang
perangainya. Harapan agar anak, adik, atau ibu mereka dapat hidup dengan lebih
wajar. Maka tidakkah kau perhatikan betapa pancaran kesyukuran itu selalu muncul
tiap bungkus-bungkus obat tadi telah dalam genggaman mereka? Itu dia! Itu dia
jawaban yang seharusnya dapat kau mengerti sekarang. Menggenapkan keyakinanmu
betapa Allah telah menetapkan takdir dengan setepat-tepatnya keadaan.
Kau adalah seorang mahasiswa
farmasi yang lucu. Kau benci obat. Kau enggan meminum obat saat kau sakit.
Bahkan meski terkadang pada akhirnya kau harus mengkonsumsinya, kau tetap saja
jengkel pada dirimu sendiri. Namun, pernahkah kau mencoba mensyukuri, betapa
beruntungnya dirimu yang dapat dengan mudah segera membeli obat saat kau sakit?
Itu dia! Jawaban itu kau temukan saat seorang pasien berubah ekspresinya demi
mengetahui jumlah harga obat yang harus ia bayar.
“Uang saya tidak cukup...” ujarnya, dengan mimik wajah yang sulit
kau ungkap dalam kata. Maka serangkai kalimat itu turut berputar-putar di
kepalamu. Sambil kau mencari-cari ingatan tentang pernahkah kau mengalami hal
yang sama. Tidak pernah. Maka
pernahkah kau bersyukur untuk itu semua? Ah...
Baiklah, Diena...
Kau paham betul, bahwa waktu akan
terus melaju tanpa menunggu. Dan semakin hari, seharusnya pun kau harus semakin
memahami bahwa akan segera datang masa dimana kau harus berdiri di atas
pijakanmu sendiri. Setiap orang yang berinteraksi, yang berbicara denganmu –mungkin
yang bahkan bukan berbicara khusus untukmu, adalah kepingan-kepingan
pertimbangan atas langkah yang akan kau ambil selanjutnya. Baik untuk jangka
pendek, maupun untuk jangka panjang. Untuk segala hal yang telah kau kumpulkan
kini, akan datang masanya kau akan ditagih; apa yang bisa kau lakukan dengan
semua yang kau sebut sebagai ‘bekal’?
Tapi, kau masih meragu khan,
Diena?
Ya, sebab kau masih memahami,
bahwa terkadang, hidup ini memang bukan untuk diri kita sendiri. Jika ingin
egois, kau tentu lebih senang untuk menjelajah ke tempat-tempat yang jauh.
Berfokus pada masa depanmu, tanpa intervensi siapapun. Pergi dari orang-orang
yang mengenalmu dan bertemu dengan wajah-wajah baru. Kau ingin sekali
menjejakkan kaki di tanah-tanah asing. Mungkin sambil menghabiskan waktu
sepanjang hari untuk membaca? Menulis? Makan makanan enak? Atau apapun untuk
kau nikmati sendiri?
Namun kini, hidup bagimu bukan
untuk itu.
Bagimu cukup, cukuplah apa yang
terjadi kini. Saat kau keluar meninggalkan rumah di pagi hari, seolah
mengumpulkan setiap beban pada tiap langkah. Mencerabut setiap energi-energi
yang tersisa. Lalu kembali ke rumah saat matahari nyaris terbenam dengan segala
macam keberantakanmu, kelelahanmu, sisa peluh dan sesal dan keluh dan sisi-sisi
negatifmu. Lalu semua itu kau jadikan alasan untuk tidak berakhlak dengan baik.
Senyummu tidak lagi sempurna untuk ibu, apalagi baktimu. Kau bebankan itu pada
adikmu yang pastinya pun butuh waktu untuk dirinya sendiri, untuk urusannya
sendiri. Lalu atas nama akademik yang padat, kau membuat pembenaran. Terbaring
lelah di kamar untuk mencerap lagi segala energi yang akan kau hambur di esok
hari.
Di esok paginya, dalam perjalanan
menuju tujuanmu, dalam hening dan perasaan sendiri di atas angkot yang ramai,
kau baru sadar. Baru sadar atas salahmu semalam. Baru sadar atas maaf yang
seharusnya kau ucap sebelum berangkat tadi. Saat keluhan pusing ibu kepadamu
hanya kau jawab dengan ‘dehem’. Lalu kau cium tangannya, tanpa melihat bola
matanya yang mungkin telah teramat lelah. Namun tetap, ah... namun tetap ada
gumam doa saat ia saksikan punggungmu yang pergi menjauh. Lalu kau baru sadar
setelahnya. Selalu. Sambil berharap nanti kau tidak melakukan kesalahan yang
sama lagi.
Maka, Diena. Tiap kau nyaris akan
mengulangnya, bacalah lagi ini. Lalu berubahlah menjadi lebih baik. Maukah kau
berjanji?
Berjanjilah untuk mengingat
kembali apa yang kau lihat di angkot tadi. Saat seorang ibu tergopoh-gopoh
mengikuti langkah kecil anaknya yang lambat, agar sang anak tidak terlampau
lelah. Ingatlah bahwa dulu pun kau adalah anak sekecil itu. Maka tak mengapa
kau mengikuti irama langkah ibu yang mungkin memang tidak selincah yang dulu.
Tidak mengapa, Diena.
Maka itu khan, yang masih
bergelayut di pikiranmu, saat ia memintamu dengan sangat untuk langsung
melanjutkan pendidikan selepas studimu yang sekarang rampung? Sebab baginya,
alasan untuk cari kerja dulu, mengumpulkan uang dulu, cari pengalaman dulu;
sungguh tidak masuk akal! Maka permintaan itu hanya selalu kau jawab dengan
senyum kecut, atau bahkan dengan ekspresi tanpa makna, sebab dalam hati kau
hanya dapat berkata, “Jika terus aku
melangkah, maka kapan aku sepenuh bakti padamu, Ibu?”
Maka nanti kau berencana untuk
meminta jeda. Jeda untuk melakukan beberapa hal yang selalu ingin kau lakukan
namun tidak. Sebab alasan waktu, alasan fokus, dan alasan-alasan lainnya.
Beberapa hal semisal belajar bahasa Arab, memperbaiki hapalan, dan merampungkan
proyek-proyek menulis, mungkin. Maka pada jeda itu nanti, semoga akan segera
kau temukan jawaban –atau mungkin akan ada yang membantu untuk memikirkannya,
atau ikut memutuskannya? Kemana kau akan melangkah selanjutnya.
PS; akhir-akhir ini kau terlalu
banyak bicara sebelum berpikir. Jadilah lebih baik, Diena. Kau harusnya tahu
yang mana yang harus lebih dahulu diantara kedua hal itu. Itu bisa lebih
menyelamatkanmu. Jadilah lebih baik.