Rabu, 22 Desember 2010

Dia, yang Selalu Membenarkan


Cemburu. Selalu ada perasaan itu, halus-halus menyelinap saat kudapati dirimu. Kau yang dibaluri oleh cinta dari dia yang selalu kurindu. Tak tanggung-tanggung! Kecintaan tertingginya untuk kalangan makhluk. Kau dari golongan lelaki, dan anakmu dari golongan wanita. Dua orang yang akan selalu di hatinya.

Tapi bagaimana pun, aku tahu tak akan pernah pantas menandingimu. Saat dia, putra Al Khattab pun mundur dan tak sanggup ‘bersaing’ denganmu. Waktu ia datang memberikan separuh hartanya dalam perang Tabuk. Lalu kau maju dengan seluruh hartamu! Yah, katamu, kau mencukupkan Allah, dan dia yang selalu kurindu, untuk keluargamu.

Tak cukup sampai disitu. Dalam sebuah perjalanan hijrah yang menyejarah. Kalian berdua berlindung di sebuah gua. Lalu di sana, dibaringkannya kepala manusia paling mulia dalam pangkuanmu. Lalu demi menjaga dirinya, demi kecintaanmu yang membuncah padanya, terkisahlah cerita saat kau menahan sakit oleh gigitan seekor makhluk Allah. Perih. Tapi kau tahan. Berbuah sebentuk bening yang murni mengalir dari pelupuk matamu. Menimpa dan membangunkan ia yang pulas di atas pangkumu. Lalu kalian saling mendapati cinta itu. Karena Allah. Ya, Karena Allah…

Dan di suatu fajar setelah shalat subuh selesai dihelat. Kau kembali nampak dengan keutamaan yang membahana. Saat ia yang selalu kurindu, bertanya pada khalayak; “Siapa di antara kalian yang pagi ini berpuasa?” Lalu kau berkata, bahwa kaulah orangnya. “Siapakah yang telah mengantarkan jenazah?”. Dan kau kembali mengiyakannya. “Siapakah yang telah memberi makan pada mereka yang papa?”. Lalu kau bercerita tentang setangkup roti dari tangan anakmu, yang telah kau sedekahkan. “Siapa yang telah menengok orang sakit?”. Kau menjawab, “Aku, ya Rasulullah!”. Lalu selanjutnya kabar darinya membuat wajahmu menjadi cerah ceria. “Tidaklah semua amal di atas terkumpul dalam diri seseorang melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Bukhari)

Dan ini bukan hanya tentang syurga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Sebab saat Rasulullah, dia yang selalu kurindu, mengabarkan tentang pintu-pintu syurga yang beraneka jenisnya. Untuk mereka yang syahid, untuk mereka yang berpuasa, untuk yang ahli shalat dan berbagai jenis lainnya… Ah, dia Shallallahu alaihi wa sallam lalu mengharapkan, agar kelak kau dapat memasuki jannah lewat semua pintunya!

Kau, As Siddik yang selalu membenarkan. Langsung mengangguk mantap saat dikisahkan tentang perjalanan sang Rasul dari masjidil haram ke masjidil Aqsa. Lalu dalam semalam naik ke Sidratul Muntaha. Para kafir Quraisy menertawakan dan semakin tak percaya. Tapi kau hadir dengan keyakinan yang gagah. Berucap mantap dengan segala keimanan, “Bahkan, jika Rasulullah mengabarakan tentang hal yang lebih mustahil dari itu, maka aku akan tetap membenarkannya!”.

Putrimu yang jelita. Pipinya kemerahan merona. Ilmunya menjadi cerita gemilang tentang kearifan. Menjadi wanita yang paling dicinta Rasulullah. Yang mengakhiri hidupnya dalam dekapannya. Dan yah, sirah tentang masa yang duka itu. Di akhir hidup Rasulullah yang selalu menerbitkan air mataku. Tak dapat lepas dari kebeningan sikapmu.

Saat semua orang tau, bahwa kecintaanmu padanya adalah niscaya. Bahwa pengorbananmu untuknya tak dapat lagi diragukan. Dan bahwa, telah nyata keyakinanmu pada risalah yang dibawanya. Lebih dari itu, kalian adalah kerabat yang telah dikuatkan dengan ikatan kekeluargaan. Yang jiwanya telah menyatu dalam dekap cinta karena Allah saja.

Tapi di hari akhir Muhammad bin Abdullah, saat amarah dan duka Umar bin Khattab naik ke ubun-ubunnya. Hendak ia penggal mereka yang mengatakan bahwa Rasulullah telah tiada. Bukan, bukan karena khalifah kedua itu tidak menerima takdir Allah. Tapi jelas bahwa ia juga cinta. Cinta pada sosok mulia sepanjang masa yang tak akan pernah tergantikan.

Lalu kau hadir menenangkan. Dan kunamakan itu sebuah kebeningan.

“Barang siapa yang menyembah Muhammad, maka sungguh Muhammad telah wafat. Tapi barangsiapa yang menyembang Allah, sesungguhnya Allah hidup kekal.”

Lalu kau melanjutkan dengan lantunan ayat cinta;

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran [3]:144)

Ah,

Pusaramu yang membersamai Sang Rasul adalah sebuah simbol kebersamaan kekal kalian kelak. Maka kupilih untuk menepis cemburu dan menukarnya dengan cinta. Bukankah ia akan terhitung sebagai sunnah sebab Rasulullah pun mencontohkan kecintaan pada dirimu?

Sosok yang berdua dengan Rasulullah di dalam gua. Yang diturunkan ketenangan di hatinya. Lalu diabadikan kebersamaan mereka dengan Allah, dalam kitab yang mulia.

“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita." (QS. At Taubah [9]: 40)

Maka demikianlah wahai sahabat yang mulia! Kau yang menyejarah namanya. Termahsyur di bumi dan membumbung ke langit. Abu Bakar As Siddik.


sumber gambar

Senin, 20 Desember 2010

Ababil; Abege Labil?


Entah sejak kapan istilah ini mulai malang-melintang dalam pergaulan masyarakat Indonesia. Biasanya ia muncul di dunia maya, namun tak jarang pula diucapkan di dunia nyata. Ababil. Dianggap sebagai akronim dari ABG labil. Istilah ini diberikan pada mereka yang terkesan plin-plan dan tidak teguh pendirian. Meski terdapat frase ABG di sana, tidak jarang orang yang berusia tidak lagi muda juga mendapatkan nisbat atas istilah ini.

Padahal, tahukah kau bahwa frasa ababil telah diabadikan dalam kitab suci Al Qur’an, jauh sebelum istilah 'gaul' ini muncul?

“Wa arsala’ alaihim thairan ababiil…” (QS. Al Fiil [105]:3)

(dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong)

Perisitiwa ini terjadi pada tahun gajah, tahun kelahiran Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam. Saat pasukan dari Yaman datang berderap-derap dengan dipimpin oleh Abrahah sebagai panglimanya. Pasukan ini hendak meruntuhkan Ka’bah yang terdapat di Kota Makkah. Maka atas izin Allah, didatangkanlah sekelompok burung yang digambarkan dengan kata ababil yang ditafsirkan sebagai berkelompok, bergerombol, sangat banyak, atau dari segala penjuru. Burung-burung itu bersenjatakan batu-batu dari tanah yang terbakar, lalu dengan gilang gemilang mengalahkan pasukan bergajah tadi. Mungkin atas dasar ini pula, nama Ababil digunakan oleh negara Iran sebagai nama dari pesawat tempur militer mereka.

Kembali ke istilah ababil pada masyarakat (gaul) Indonesia. Kita mungkin telah bersepakat bahwa masalah kedewasaan tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah umur seseorang. Dapat dengan mudah kita temukan para usia tua yang masih kekanak-kanakan. Dan meski tak banyak, ada pula mereka yang masih imut-imut namun dapat berpikir dan bertindak lebih dewasa dari mereka yang menyebut diri ‘orang dewasa’.

Maka bahwa istilah Ababil ini pada akhirnya tidak terkait dengan usia, kita anggap tidak ada salahnya. Tapi mengapa harus labil? Mengapa tidak dapat konsisten?

Banyak orang yang menganggap dirinya sedang melakukan pencarian. Beralih dari satu jalan ke jalan lain untuk mencari kebenaran. Berpindah dari satu prinsip ke prinsip berbeda demi menemukan keyakinan yang mutlak. Namun berapa banyak orang yang melakukan ‘pencarian jati diri’ tanpa pernah benar-benar mengetahui esensi dari apa yang ia cari?

Lebih ekstrim lagi, ada yang mengistilahkan pencariannya sebagai upaya ‘mencari Tuhan’. Hmm…, padahal bukankah Tuhan tidak pernah hilang? Bukankah ia terus di sana, bersemayam di atas Arsy. Mungkin, kita saja yang kadang menutup mata jiwa. Tertutup oleh hiruk pikuk dunia, atau mungkin oleh berbagai kelalaian atau bahkan kemaksiatan. Sehingga Tuhan tidak lagi nampak oleh kita. Tidak lagi nampak oleh hati kita.

KehadiranNya kadang hanya kita batasi pada waktu dan tempat tertentu saja. Mungkin di sudut-sudut masjid atau saat Ramadhan datang. Selebihnya, dengan mudah kita berucap; Ah…, jangan hubung-hubungkan ini dengan agama…

Padahal bukankah waktu kita tidak banyak? Bukankah kita hanya serupa musafir yang menempuh perjalanan panjang menuju kampung sejati kita. Tempat awalnya nenek moyang kita, Adam Alahissalam berada: surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya! Sementara dunia, tak lebih dari sebatang pohon tempat kita bernaung dan mengumpulkan perbekalan untuk perlajanan selanjutnya. Yah, dunia. Dari asal kata yang berarti dekat. Serupa dengan eksistensinya yang memang tidak akan abadi adanya.

Lalu mengapa kita masih sibuk ber-labil ria. Lalu menjadikan istilah ‘pencarian jati diri’ sebagai tersangkanya? Bukankah tujuan penciptaan kita telah jelas tertera di sana. Kawan, ambillah mushaf Al Qur’anmu, lalu bukalah surah Adz Dzariyat ayat 56. Tidak akan kutuliskan di sini agar kau dapat menikmati kemesraan dengan kitab Allah dan membangun kedekatan antara kalian. Percayalah, di sana terdapat jawaban atas proses pencarian yang sedang kita lakukan.

Mungkin tanpa sadar, kita sering melewatkan begitu saja taman syurga yang terbentang di dunia. Mungkin oleh semua kesibukan dunia; akademik, bisnins, perniagaan, hiburan, dan lain sebagainya. Taman syurga yang dahulu dikejar para sahabat hingga ia tergopoh-gopoh meraihnya. Yang di sana mereka merunduk syahdu hingga disangka pohon kayu oleh para burung-burung. Yang dedaunan yang gugur tak sanggup menyentuh tanah sebab rapatnya mereka duduk. Taman syurga, begitu Rasulullah menamakannya. Lalu oleh kita, majelis Ilmu syar’I itulah sejatinya ia.

Kawan, waktu kita tak panjang. Segeralah mencari dan segeralah menentukan. Sebab mungkin tanpa kita rasa tamu terakhir itu akan datang. Dan tak mungkin kita menangguhkannya. Jangan ingin terus menjadi “ababil’ yang terombang-ambing. Jadilah segerombolan burung yang perkasa, seperti saat ia mengusir pasukan gajah dari kota Rasulullah! Temukanlah!

#kepada kawan2ku yang teguh pendiriannya. ^_^

#pesan sponsor: @sari: it's the last!



sumber gambar

Minggu, 19 Desember 2010

Jalan Dakwah; dengan Atau Tanpa Kita


Ada saja masa dimana seorang kawan seperjuangan kita, duduk di hadapan. Ia datang dengan wajah risau dan jiwa yang bergemuruh. Lalu dengan terbata, ia berkata;

“Ukhti, aku ingin mundur dari jalan ini…”

Selanjutnya ia berucap tentang berbagai alasan.

Tentang masa luangnya yang sempit untuk dakwah

Tentang keluarga dan berbagai tuntutan mereka

Juga bahwa ilmu dunia perlu ia jadikan priorotas utama

Atau berbagai hujjah lain yang seolah akan memaklumkan keinginannya untuk menghentikan langkah.

Maka saat itu, tataplah matanya dalam-dalam. Genggam telapaknya dengan hangat. Lalu dekap hatinya agar ia peroleh ketenangan. Katakanlah,

“Ukhti, bagaimana jika, dahulu Rasulullah berpikiran sama denganmu?”

Mungkin saat terguncang jiwanya demi menyaksikan para sahabat tercinta yang didera siksa oleh para kafir Quraisy

Atau saat ia bersujud di depan Ka’bah dan dijerat lehernya dengan temali yang kasar, diletakkan kotoran unta di atas punggungnya, lalu anandanya datang menangis tersedu kepadanya, tapi ia justru berkata, “Anakku, Allah bersama ayahmu…”

Mungkin waktu ia dicecar oleh kerikil dari para bocah Thaif. Lalu berdarah-darah tubuhnya, dan gerimis perasaannya

Atau saat diludahi tepat di wajahnya, atau waktu diletakkan kotoran di depan pintu rumahnya

Atau saat kaumnya merencanakan pembantaiannya dan ia harus meninggalkan kampung halamannya yang tercinta?

Ukhtiku yang jiwanya sedang meragu,

Bukankah Rasulullah punya alasan yang lebih kuat darimu?

Tapi pernahkah kau jumpai ia dalam sesal sebab telah terpilih menjadi seorang Rasul?

Pernahkah kau temukan sirah dimana ia mengeluh dan memilih untuk berhenti menyampaikan risalah ini?

Pernahkah ukhti? Pernahkah….?

Lalu dengan sisa-sisa keyakinanmu, kau kembali berhujjah dengan bibir yang gemetar,

“Tapi aku tak pantas berada di jalan dakwah ini, ukhti…” katamu

Maka kembalilah eratkan dekapanmu. Lalu sadarkan nuraninya yang mungkin sedang dilanda kalut, katakanlah padanya:

Kau pikir siapa yang sanggup menanggung amanah ini?

Amanah yang bahkan bumi, langit, dan gunung pun enggan mengembannya?

Amanah yang dahulu hanya diperuntukkan bagi para Nabi dan Rasul yang suci jiwanya?

Sebuah beban yang beratnya adalah nyata, yang jalannya sepi dan penuh duri. Yang dengannya harus tercurah segala milik diri.

Kau pikir siapa yang sanggup untuk mempertanggungjawabkan jiwa-jiwa yang kita tunjukkan jalan cahaya ini?

Mempertanggungjawabkan semua dakwah yang kadang tidak mendakwai diri kita sendiri?

Mempertanggungjawabkan semua ucap yang keluar dari lisan-lisan kita, lalu bergidik mendengarkan ayat Allah yang menghujam kita dengan peringatan…

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Al Shaff: 2-3)

Kau pikir siapa yang sanggup berdiri di hadapan Allah kelak, dengan semua alasan yang kini sering kita keluhkan pada orang yang memimpin kita?

Semua pembenaran atas ketidakmampuan kita untuk bertahan lebih kuat?

Dan berbagai amanah yang kita mangkir darinya?

Kau piker siapa yang sanggup, wahai ukhtifillah???

Maka lebih baik duduklah sejenak. Lalu temukan dirimu yang masih dalam semburat cahaya hidayah. Dapati dirimu bahwa kalaupun kau mundur, maka tidak banyak yang akan berubah, bukankah Allah telah menjanjikan kemenangan?

Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. (QS. Al Fath: 28)

Kemenangan yang pasti, dengan atau tanpa kita. Lalu posisi kosong akan selalu diisi oleh generasi yang lebih indah akhlaknya. Yang lebih mantap ilmunya. Yang lebih teguh keyakinannya. Dan yang lebih percaya pada semua kemuliaan yang telah dijaminkan Allah untuknya.

Maka diamlah dalam hening. Lalu tetaplah lanjutkan langkah, seberapa berat apapun ia. Sebab kita telah berjanji untuk tetap saling bergandeng dalam suka dan duka. Dalam dekap ukhuwah. Dalam untai doa penuh cinta. Dan biarlah Allah saja yang menentukan, jiwa-jiwa yang pantas untuk menjadi penolong agamanya. Wallahu a’lam.

__muhasabah aktivis

dibacakan dalam Temu Aktivis Rohis, 19 December 2010

di Aula SMA Neg. 17 Makassar

gambar diambil di

sini

Jumat, 17 Desember 2010

MONOLOG


“Ada sesuatu yang berbeda di wajahmu…”

“Apa?”

“Kacamata itu, coba lepaskan!”

“Ada apa dengan kacamata ini?”

“Bukan, bukan itu rupanya”

“Mungkin karena aku tidak menyisir alis tadi pagi?”

“Bukan, bukan pula dengan alismu”

“Lalu apa?”

“Ah, iya! Topeng itu! Topengmu terlalu tebal dan tidak lagi terlihat natural!”

“Tidak, topeng ini memang begini. Dari dulu begini”

“Ah, kau tidak lagi mengenakannya dengan benar. Topeng senyum saat kau sedih. Topeng tegar saat kau gusar. Topeng lapang saat kau tertekan. Semua topeng-topeng itu tidak terpancang dengan benar!”

“Mengapa? Tidak mungkin…”

“Ya, kau kehilangan satu hal sekarang”

“Apa?”

“Ikhlas. Kau tidak lagi ikhlas mengenakannya. Sehingga senyummu hambar. Ketegaranmu berlubang. Mimik lapangmu bercampur tekanan. Karena kau tak ikhlas”

“Ya, aku mungkin sedikit lelah”

“Itu karena kau enggan untuk belajar lebih banyak”

“Aku tak ada waktu. Aku juga takut, akan semakin banyak yang harus kupertanggungjawabkan saat terlalu banyak yang kupelajari”

“Hei, kau! Lalu jika kau ditanya mengapa kau tidak bersujud, apa yang akan kau jawabkan?”

“Akan kukatan aku belum mempelajarinya”

“Jika ditanyakan mengapa kau tidak mencari ilmu tentangnya bagaimana?”

“Kau… Kau itu terlalu konservatif. Kau terlalu fundamentalis. Tak takutkah kau disebut teroris?”

“Jangan mengalihkan pembicaraan. Setauku, inilah yang memang seharusnya aku lakukan. Aku tidak peduli dengan semua cap itu.”

“Tidak bisakah kau menjadi manusia yang biasa-biasa saja?”

“Hmm…Sekarang kutanyakan kepadamu, apa mimpimu?”

“Aku ingin ke bulan!”

“Lalu bagaimana jika kau sudah sampai di langit, lalu kukatakan padamu untuk turun saja, tak usah terlalu ngotot. Cukup biasa-biasa saja. Apa kau akan mendengarkanku?”

“Tentu tidak. Aku akan tetap meraih mimpiku”

“Aku pun begitu. Mimpiku adalah syurga. Dan inilah yang kulakukan untuk menggapainya. Dan aku tak ingin hanya biasa-biasa saja.”

“Tapi aku nyaman dengan diriku sekarang. Aku merasakan ada sinar yang terang dalam jalanku saat ini.”

“Yakinkah kau bahwa yang bercahaya itu adalah malaikat yang membawa kebenaran? Jangan sampai kau salah mengira, sebab iblis pun tercipta dari api yang benderang”

“Sebenarnya… Aku pun tak yakin…”

“Mengapa kau tidak kembali bersujud? Kembali pada tujuan penciptaan kita untuk mengabdi?”

“Tapi mengapa terasa berat? Bukankah tak ada yang baik jika ia dipaksakan?”

“Kadang kita memang harus memaksakannya. Memaksa untuk menjadi baik meski lelah. Sebab fitrah kita adalah malas dan santai. Kau mau terus mengikutinya?”

“Tidak. Aku juga berharap suatu hari bisa menjadi lebih baik”

“Tapi kapan?”

“Entahlah…”

“Mengapa kau tidak memulainya saat ini?”

“Berat…”

“Langkah awal memang salalu begitu. Tapi ia akan lebih mudah saat kau melewatinya”

“Benarkah?”

“Ya, ayo kembalilah bersamaku. Agar kita bisa bertemu dengan lelaki itu, nanti…”

“Bertemu dengan siapa?”

“Seorang lelaki berwajah purnama, dia menunggu kita di telaga…”

“Siapa dia?”

“Namanya, Muhammad bin Abdullah, Shallallahu Alaihi Wa Sallam…”

(11 Muharram 1432 H)



gambar dicomot dari sini

Selasa, 14 Desember 2010

Gorengan dan Kehidupan


inspiring by ‘Seni Menggoreng’-nya Mbak Fajar dari kampung MP. ^_^

Sebab hikmah juga dapat datang dari dalam wajan penggorengan…

Sebuah episode di salah satu sudut dapur. Seorang gadis kecil menempel di samping ibunya. Menatap lekat pada berkeping-keping kerupuk mentah yang siap digoreng.

“Ibu,” ujarnya dengan mata membulat, “Goreng kerupuk itu susah yah?”. Sang ibu membelai lembut rambut ekor kuda bocahnya.

“Tidak susah, sayang…” kata Ibu dengan suara lembutnya, “Tapi butuh kesabaran…” katanya sambil menuangkan minyak goreng pada wajan.

“Kenapa tidak langsung digoreng, bu?” tanya si bocah sambil menatap minyak goreng yang masih adem ayem di wajan. Ibu lalu tersenyum tipis dan meminta gadis kecil itu memasukkan kerupuk ke minyak yang belum panas. Setelah beberapa lama, sang ibu kembali memintanya untuk memasukkan kerupuk ke wajan. Mata gadis kecil itu berbinar demi menyaksikan kerupuk mentah tadi langsung mekar dan terlihat gurih, berbeda dengan kerupuk sebelumnya.

Setelah itu, ibu meminta anaknya memakan kedua kerupuk tadi.

“Yang ini keras… Yang ini enak” ujar gadis kecil itu dengan wajah heran

“Yang pertama digoreng tanpa kesabaran…Yang enak itu digoreng dengan sabar…” ibu menjelaskan dengan wajah cerahnya, “Beda khan?” ujarnya kemudian.

-------------------------------------------------------------

Kawan, hidup kita hampir sama dengan proses penggorengan tadi. Keduanya sama-sama membutuhkan kesabaran. Membutuhkan proses. Terkadang, kita terlampau terburu-buru dengan sesuatu, sehingga hasilnya pun akan alot seperti kerupuk pertama. Atau kita kadang melihat orang lain dengan hasil yang dicapainya, sibuk ber-iri ria dengan hasil tersebut. Tanpa pernah mencoba melihat proses yang dilalui di dalamnya.

Maka jika dalam kehidupan dunia kita harus meyakini proses, maka seperti itu pula ketakwaan. Seorang guru menjelaskan kepada saya, “Takwa itu,” ujarnya suatu senja, “Tidak didapatkan begitu saja, tapi diperoleh dengan perjuangan.”

Ya, bahkan ketakwaan pun membutuhkan proses untuk meraihnya. Jangan terlalu cepat takjub dengan kawan yang begitu ringannya bangun shalat malam. Tapi lihatlah bagaimana ia bersusah payah membangun kebiasaan tersebut malam demi malam. Memaksakan matanya untuk tersadar saat orang lain larut dalam tidurnya. Hingga akhirnya ia dapat merasakan kenikmatan berdiri di sepertiga malam.

Jika kita menengok sejarah, maka akan kita dapati bagaimana keluarga Yasir dan Sumayyah –yang namanya menyejarah sebagai syahidah pertama dalam Islam, peroleh janji syurga setelah melewati bengisnya kafir Quraisy menyiksa mereka. Siksaan itu, kawan, adalah proses yang mengantarkan mereka pada hasil yang setinggi-tingginya.

Namun terkadang, proses tidak selalu sejalan dengan hasil yang kita dapat. Terkadang kita sudah mencoba bersabar menunggu minyak hingga panas, tapi ada kalanya kerupuknya malah gosong hasilnya. Yah, proses yang mantap sekalipun masih bisa jadi memberi hasil yang membuat kita nelangsa. Tapi rupanya cukuplah kita menghibur diri dengan ayat cintaNya yang turun dari langit, untuk kita:

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.(Al-Baqarah: 216)

Lalu sebagai ummat yang percaya pada takdirNya, maka cukuplah pejamkan mata, lalu yakini bahwa apapun yang terjadi adalah kebaikan yang sebenarnya!

Maka jika dulu kita sibuk dengan tujuan, dengan berbagai titik mimpi-mimpi yang ada, maka saat ini, cobalah untuk lebih mengkomplekskan langkah untuk itu. Jika kita dapat memimpikan hasil, maka harus pula kita berani memimpikan proses. Lalu memulai menjalaninya dengan ikhtiar full energy, berdoa dengan segenap pengharapan, lalu tawakkal dengan segala keyakinan. Lalu tunggulah bagaimana Allah menentukan hasilnya pada akhirnya. Lalu percayalah, bahwa yang Dia lihat adalah serangkai perjalanan yang kita lalui, bukan sekadar pada titik akhir tempat kita menambatkan diri. So, keep spirit!

Untuk semua teman seperjuangan di Mixtura, Pharmacy ’07 UH; Selamat menjalani proses kita, Kawan! Semuanya akan baik-baik saja, insya Allah!

(Makassar, 8 Muharram 1432 H)

Pesan sponsor: Besok dan lusa puasa sunnah Tasu'a (9 Muharram) dan 'Asyura (10 Muharram) yuuuk…! ^_^

Senin, 06 Desember 2010

Episode Hujan


Selalu ada yang disisakan hujan selain dedaunan yang basah.

Saat tiap rintiknya adalah panggilan alam bagi para survivor kehidupan. Bocah-bocah keluar dari rumah dengan payung lusuh, menemani menjemput rejeki malam itu. Berlari mengikuti peminjam payungnya, yang selanjutnya menyelipkan receh diantara jemari yang gemetar oleh dingin. Sesekali terus menyapa mereka yang sibuk melindungi ubun-ubun dari air hujan. “Payung, Teh?”

Selalu ada yang disisakan hujan selain pelangi

Saat bulirnya yang dingin memaksa seorang ayah memacu motor lebih cepat. Sementara ibu sibuk melindungi ananda dengan jaket biru muda. Tak setetes pun boleh menyentuh kulit buah hatinya. Sementara ia, tengah kuyup oleh guyuran hujan. Oooh, kasih ibunda.

Selalu ada yang disisakan hujan selain tanah yang becek

Waktu seorang lelaki kelabu menatap rintiknya dari balik kaca jendela. Mengulang kembali memori dengan wanita bermata teduh yang membersamainya di waktu yang lampau. Lalu pergi lebih dahulu, tanpa pernah dapat ia meminta jeda waktu. “Aku tidak menyangka,” ucapnya dengan lirih, dengan mata berkaca, “Perasaan antara dua manusia bisa sampai sedalam ini…”. Lalu ia pejamkan mata. Dengan beruntai doa, semoga di tempat yang lebih indah kelak keduanya berjumpa.

Episode hujan, tiap kita memiliki ceritanya.

(Desember 6, 2010)