Jumat, 17 Desember 2010

MONOLOG


“Ada sesuatu yang berbeda di wajahmu…”

“Apa?”

“Kacamata itu, coba lepaskan!”

“Ada apa dengan kacamata ini?”

“Bukan, bukan itu rupanya”

“Mungkin karena aku tidak menyisir alis tadi pagi?”

“Bukan, bukan pula dengan alismu”

“Lalu apa?”

“Ah, iya! Topeng itu! Topengmu terlalu tebal dan tidak lagi terlihat natural!”

“Tidak, topeng ini memang begini. Dari dulu begini”

“Ah, kau tidak lagi mengenakannya dengan benar. Topeng senyum saat kau sedih. Topeng tegar saat kau gusar. Topeng lapang saat kau tertekan. Semua topeng-topeng itu tidak terpancang dengan benar!”

“Mengapa? Tidak mungkin…”

“Ya, kau kehilangan satu hal sekarang”

“Apa?”

“Ikhlas. Kau tidak lagi ikhlas mengenakannya. Sehingga senyummu hambar. Ketegaranmu berlubang. Mimik lapangmu bercampur tekanan. Karena kau tak ikhlas”

“Ya, aku mungkin sedikit lelah”

“Itu karena kau enggan untuk belajar lebih banyak”

“Aku tak ada waktu. Aku juga takut, akan semakin banyak yang harus kupertanggungjawabkan saat terlalu banyak yang kupelajari”

“Hei, kau! Lalu jika kau ditanya mengapa kau tidak bersujud, apa yang akan kau jawabkan?”

“Akan kukatan aku belum mempelajarinya”

“Jika ditanyakan mengapa kau tidak mencari ilmu tentangnya bagaimana?”

“Kau… Kau itu terlalu konservatif. Kau terlalu fundamentalis. Tak takutkah kau disebut teroris?”

“Jangan mengalihkan pembicaraan. Setauku, inilah yang memang seharusnya aku lakukan. Aku tidak peduli dengan semua cap itu.”

“Tidak bisakah kau menjadi manusia yang biasa-biasa saja?”

“Hmm…Sekarang kutanyakan kepadamu, apa mimpimu?”

“Aku ingin ke bulan!”

“Lalu bagaimana jika kau sudah sampai di langit, lalu kukatakan padamu untuk turun saja, tak usah terlalu ngotot. Cukup biasa-biasa saja. Apa kau akan mendengarkanku?”

“Tentu tidak. Aku akan tetap meraih mimpiku”

“Aku pun begitu. Mimpiku adalah syurga. Dan inilah yang kulakukan untuk menggapainya. Dan aku tak ingin hanya biasa-biasa saja.”

“Tapi aku nyaman dengan diriku sekarang. Aku merasakan ada sinar yang terang dalam jalanku saat ini.”

“Yakinkah kau bahwa yang bercahaya itu adalah malaikat yang membawa kebenaran? Jangan sampai kau salah mengira, sebab iblis pun tercipta dari api yang benderang”

“Sebenarnya… Aku pun tak yakin…”

“Mengapa kau tidak kembali bersujud? Kembali pada tujuan penciptaan kita untuk mengabdi?”

“Tapi mengapa terasa berat? Bukankah tak ada yang baik jika ia dipaksakan?”

“Kadang kita memang harus memaksakannya. Memaksa untuk menjadi baik meski lelah. Sebab fitrah kita adalah malas dan santai. Kau mau terus mengikutinya?”

“Tidak. Aku juga berharap suatu hari bisa menjadi lebih baik”

“Tapi kapan?”

“Entahlah…”

“Mengapa kau tidak memulainya saat ini?”

“Berat…”

“Langkah awal memang salalu begitu. Tapi ia akan lebih mudah saat kau melewatinya”

“Benarkah?”

“Ya, ayo kembalilah bersamaku. Agar kita bisa bertemu dengan lelaki itu, nanti…”

“Bertemu dengan siapa?”

“Seorang lelaki berwajah purnama, dia menunggu kita di telaga…”

“Siapa dia?”

“Namanya, Muhammad bin Abdullah, Shallallahu Alaihi Wa Sallam…”

(11 Muharram 1432 H)



gambar dicomot dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)