Jumat, 26 April 2013

Siap dan Menyiapkan Diri

Tiap membaca kisah itu, saya selalu bertanya; "Mengapa?"

Ya, kisah pernikahan Ummu Sulaim dan Abu Thalhah tentu sudah sangat mahsyur. Satu part yang hampir selalu ada dalam sirah yang membahas tentang salah satu dari mereka. Bahkan, Ummu Sulaim menjadi identik sebagai shahabiyah dengan mahar yang paling agung, yakni keislaman suaminya: Abu Thalhah. 

Saya tidak memungkiri, betapa rangkaian sirah itu mengajarkan kita pada keteguhan Ummu Sulaim. Beliau tidak ingin menikah dengan seseorang yang bukan Islam. Bahkan meski saat itu Abu Thalhah adalah seseorang yang dapat dibahasakan dengan lelaki-yang-berat-untuk-ditolak, dengan segala keunggulan beliau kala itu. Namun, seunggul-unggulnya beliau, Abu Thalhah kala itu adalah seorang kafir, sementara Ummu Sulaim adalah seorang muslimah yang taat. Maka singkat cerita, pernikahan itu menjadi tercatat dalam sejarah, sebab maharnya bukan main istimewanya; sebuah keislaman.

Pada titik tersebut saya tentu kagum pada Ummu Sulaim, namun juga sekaligus bertanya-tanya; "Mengapa?"

Mengapa harus Abu Thalhah? Mengapa tidak menantikan datangnya lelaki lain, dari kalangan shahabat, yang telah lebih 'matang' keislamannya. Mengapa harus Abu Thalhah, yang baru pada detik itu menerima cahaya kebenaran, mengucap kalimat tauhid? Mengapa kisah ini menjadi berbeda, dengan contoh lain semisal Khadijah yang berjodoh dengan Rasulullah Shallalahu 'alahi wasallam, yang menjadi begitu 'sepadan' sebagai sebuah pasangan? Mengapa bukan pula seperti Fatimah dan Ali yang begitu 'sepantaran' dari segala sisi?

"Mengapa?"

Contoh yang lebih ekstrim datang dari kisah Asiah, istri Fir'aun. Jika saya menggunakan 'logika-kepantasan' seperti di atas, maka jelas tidaklah pantas Asiah -seorang wanita yang dijamin syurga, bersanding dengan Fir'aun yang diabadikan namanya sebagai contoh buruk sepanjang masa.

Tapi, saya harus berhenti bertanya 'Mengapa'. Sebab demikianlah takdir yang tergariskan, dan tentu Allah tidak akan menakdirkan semua ini dengan sia-sia.

Dalam sirah pun kita belajar, mendapati sosok Abu Thalhah yang menjadi salah satu shahabat yang dikenang dengan manis kisahnya. Pasca berislam setelah pernikahannya dengan Ummu Sulaim, tidak putus sumbangsih beliau dalam perkembangan Islam. Ini jelas merupakan sebuah pertanda, betapa hidayah Allah telah merasuk ke dalam dirinya, dan tentu itu pun tidak lepas dari peranan sang istri dalam mendampingi beliau.  

Maka, izinkan saya menarik benang yang menyambungkan tiap untaian kisah ini. Tentang Ummu Sulaim, tentang Khadijah dan Fatimah, dan tentang Asiah. 

Ummu Sulaim yang mampu menuntun pada cahaya kebenaran, Khadijah dan Fatimah yang menjadi pantas untuk para lelaki terbaik, dan Asiah yang tetap bertahan dengan keteguhannya meski harus bersanding dengan seburuk-buruknya manusia. 

Satu jawaban untuk menghubungkan ketiganya, nyatanya (semoga telah) saya temukan dalam ujung sebuah majelis hari ini, saat seseorang bernasihat;

"Berikhtiarlah untuk menjadi sosok yang seideal-idealnya. Sehingga apapun yang terjadi, diri kita akan siap untuk menghadapi apa saja dan siapa saja."

Ya, satu benang merah yang dapat saya tarik adalah; mereka semua -radhiyallahu anhuma, memiliki satu hal yang membuat segalanya menjadi indah; kesiapan. 

Makassar, 26 April 2013
*CMIIW*

Selasa, 23 April 2013

Lelaki, Perempuan, dan Lima Keanehan


Awalnya, perempuan itu tidak merasakan keanehan sedikitpun. Baginya wajar, jika lelaki itu selalu mengekor laju motornya ketika ia pulang kuliah. Lelaki yang merupakan kawan sekampusnya itu memang juga tinggal di arah yang sama. Sesekali bahkan, mereka akan berjalan beriringan dengan motor masing-masing sambil bercakap-cakap sekadarnya. Ya, tidak ada yang aneh, awalnya.

Hingga kemudian perempuan itu sadar, pada sebuah persimpangan saat seharusnya lelaki itu memilih jalur lurus, ia malah lebih sering ikut membelok bersama dirinya. Mengikutinya hingga masuk belokan terakhir lorong rumahnya. Lalu setelah itu, barulah ia pergi berlalu. Satu.

Kita temani Syaikh dan ummi cari batik, yuk! Kamu pasti tahu tempatnya, khan...”, ujar lelaki itu suatu hari. Ia menceritakan perihal seorang dosen mereka. Dosen luar biasa dari Timur Tengah yang tidak lama lagi akan kembali ke negaranya. Sang dosen berkeinginan mencari sesuatu untuk oleh-oleh. Maka perempuan itu pun mengiyakan. Ia membonceng istri sang syaikh, sementara syaikh dibonceng oleh si lelaki. Di masa itu, masih sangat jarang ada wanita yang mengendarai sepeda motor. Tahun delapan puluhan, bahkan masih banyak lelaki yang mengendarai sepeda. Maka ya, perempuan itu memang cukup menonjol di kalangan para wanita. Tapi, pergi membeli batik untuk oleh-oleh? Sepertinya masih banyak mahasiswi lain yang bisa diajak. Dua.

Di hari yang lain, perempuan ia sedang bersantai dengan beberapa orang temannya. Mereka memutuskan untuk pergi di sebuah tempat makan. Perempuan ini tidak tahu, bahwa dalam perjalanannya menuju tempat makan itu, lelaki ini ternyata mendapatinya, lalu mengikutinya. Hingga tiba di tempat makan, ia pun ikut muncul di sana. Tanpa segan, ia ikut ngobrol dan makan bersama perempuan dan teman-temannya itu. Lepas bersantap, dengan sigap ia meraih bill, membayar semua pesanan. Tiga.

Perempuan itu sedang dalam masa KKN-nya, ketika sang lelaki pada akhirnya memutuskan untuk melanjutkan studinya di sebuah kota di tanah Saudi Arabia. Entah darimana ia mendapat informasi bahwa perempuan itu sedang ber-KKN di kabupaten yang sama dengan tanah kelahirannya. Cukup jauh sebenarnya jarak yang harus ia tempuh dari kampungnya, menuju kampung tempat lokasi KKN wanita itu. Namun, entah kekuatan apa yang membuatnya seolah mampu melipat jarak itu. Menghadirkan dirinya secara utuh di hadapan perempuan itu, hanya untuk membawa satu kabar.

Saya akan berangkat ke Saudi. Kamu saya undang ke rumah saya, ada acara syukuran kecil-kecilan...

Dan nampaknya lelaki ini mengira bahwa hanya dia yang tahu segalanya. Dia lupa bahwa perempuan ini adalah seorang pembelajar yang baik. Dan perempuan itu hanya butuh sedikit waktu untuk mempelajari bahasa daerah di lokasi KKN-nya, yang berarti pula, ia telah menguasai bahasa daerah kampung kelahiran lelaki itu. Maka perempuan itu dapat mencerna dengan jelas, saat ia bertandang ke hajatan tersebut. Saat ia memasuki ruangan sederhana yang cukup sesak oleh para undangan yang lain. Lalu tiba-tiba semua pandangan tertuju padanya. Lalu mulut-mulut ibu-ibu itu menggumamkan kata-kata dalam bahasa mereka. Oleh telinga perempuan itu, kata-kata itu tersaring dan terterjemah..

Oooh...jadi ini orangnya...”, bisik mereka. Perempuan itu mengernyitkan kening. Empat

***

bukan tentang 'siapa', tapi 'bagaimana'
Saya memilihnya, karena dia orang yang pintar. Cerdas. Pengalaman organisasinya membuktikan bahwa ia bisa menjadi pemimpin yang baik. Saya tidak butuh lelaki kaya. Sebab orang yang cerdas akan menemukan sendiri jalan rezekinya.”, ucap perempuan itu tentang lelaki yang  akhirnya ia pilih untuk menjadi suaminya. Lelaki yang memediasi hubungan mereka dengan perantara langsung oleh istri dari Rektor kampus mereka. Keduanya memang sama-sama dikenal oleh para pejabat kampus. 

Tapi, ups! Ternyata, yang akhirnya menikahi perempuan itu, bukanlah lelaki dengan empat keanehan di atas. Ya, takdir memang telah bekerja dengan baik. Dan perasaan yang dipendam memanglah tidak akan berkurang hakikatnya, akan tetap sama dengan yang diutarakan. Yang membedakannya adalah, yang pertama hanya akan diketahui oleh pemilik perasaan, sedangkan yang kedua akan berlanjut dengan eksekusi berikutnya. 

Lalu lelaki yang terbang ke Saudi tanpa pesan itu ternyata memilih yang pertama. Dan lelaki yang akhirnya menikah dengan wanita itu berada di posisi yang kedua. Demikianlah takdir tercatatkan.

Lalu bagaimana nasib sang pemendam perasaan itu?

Sudahlah. Nikahkan saya dengan siapa saja!”, begitulah ujarnya kepada kedua orang tuanya. Saat ia mendarat di tanah air, dan mendapati perempuan itu telah menikah, bahkan tengah hamil anak yang pertama.


Di kemudian hari, saat anak-anak mereka telah dewasa, kejadian masa lalu yang mengharu-biru itu, dapat mereka kenang sambil tertawa-tawa. Mereka jadikan cerita-cerita seru yang akan disimak oleh anak-anak mereka yang tergelak sambil geleng-geleng kepala. Lalu saat saling bertemu dan mengenang masa muda, sang perempuan berkata diantara senyumannya sembari menahan geli dan perasaan lucu

“Kamu ini... Siapa suruh dari dulu tidak bilang-bilang.. Hahaha..”

Dan lelaki itu pun hanya dapat tertawa. Entah mengapa, sekarang mereka merasa semua itu hanyalah kelucuan belaka. Lima?

Ah, mungkin memang masalah masa depan yang satu itu, bukan tentang siapa. Tapi, bagaimana.


*setelah sore yang penuh tawa sambil mendengar cerita nostalgia
Makassar, 23 April 2013

Kamis, 18 April 2013

BAW; Rumah yang Hangat untuk Para Pecinta Kata

animated gifs

"Nanti kalau sudah masuk di grupnya, harus aktif yah.. Usahakan jangan vakum. Tempatnya terbatas, yang gak niat ikut jadwal grup bakal diremove..."

Setidaknya beberapa hal itulah yang selalu terngiang dibenak saya saat ditawari oleh Kak Ai Sari Yulianti untuk bergabung dalam sebuah grup di FB. Sempat bertanya-tanya pula; Wah, serius amat yah..., grup apakah gerangan?

Ya, sebelumnya saya memang sempat gabung di beberapa grup di FB dengan berbagai tema, dan selama itu pula saya merasa belum ada yang seistimewa saat bergabung di BAW - Be a Writer. Schedule tugas yang sistematis dan terjadwal, keharusan untuk membaca tulisan-tulisan yang lagi piket dan mengomentarinya, termasuk dengan aktif dalam berbagai macam event yang dihelat di internal maupun eksternal BAW, menjadi sebuah daya tarik tersendiri dari grup ini. Saya, yang sebenarnya lebih cenderung senang menulis 'suka-suka' saja, dan tidak begitu antusias dengan lomba-lomba, menjadi ikut terlecut demi menyaksikan member-member BAW yang penuh semangat mengejar berbagai kompetisi. Dan semangat mereka itu disertai pula dengan kualitas yang mantap. Saya cuma bisa berdecak kagum saat berkali-kali mendapati kabar bahagia dari para BAW'ers yang naskahnya lolos dalam lomba, atau audisi menulis, bahkan banyak pula yang diterima di penerbit mayor yang oke. 

Tidak heran, sebab grup ini dimotori oleh seorang penulis senior. Penulis yang dulu namanya hanya dapat saya baca lewat sampul buku yang ia tulis beberapa tahun lalu. Saat ikut nyemplung di BAW, saya pun merasa semakin beruntung bisa menimba ilmu dari beliau; Mbak Leyla Hana. Ada pula beberapa mentor yang aktif berbagi ilmu tentang kepenulisan, juga memberikan motivasi lewat karya-karya mereka yang luar biasa. Sebagai seorang amatiran yang pemula, saya hanya dapat menggumam pada diri sendiri; Nikmat mana lagi yang akan kau dustakan? 

Bergabung bersama orang-orang yang memiliki semangat dan kecenderungan yang sama pada sebuah hobi tentu sangat menyenangkan. Setiap mengunjungi BAW, bahkan meski hanya menjadi 'silent reader' pada thread-thread yang seru-seru, selalu memberikan tambahan semangat tersendiri untuk juga terus berkarya. Apalagi, BAW bisa menjadi tempat konsultasi yang sangat pas dalam setiap keputusan tentang karya-karya yang kita buat. Ada begitu banyak anggota-anggota dan mentor BAW yang selalu dengan ikhlas memberikan masukan yang kadang tidak pernah terpikirkan oleh saya. Pengalaman dan jam terbanglah yang tentunya memberikan mereka wawasan yang komprehensif tentang rimba kepenulisan yang ternyata begitu kompleks. Sayang, saya baru dapat menikmati itu di dunia maya, dan belum pernah berkesempatan berjumpa secara nyata dengan orang-orang hebat di BAW. Tapi tak mengapa, merasakan semangat mereka dari layar laptop pun rasanya sudah sangat perlu untuk disyukuri. 

Lalu, semakin lama di BAW, saya semakin merasakan bahwa tempat ini bukan hanya sekadar forum ngumpulnya orang-orang yang suka menulis saja. Tapi, sudah ada ikatan hati di sana. Para member bukan hanya berbagi perihal masalah kepenulisan dan tetek bengeknya. Tapi, juga saling memberikan nasihat, support, dan motivasi pada hal-hal lain dalam kehidupan. Saling menghibur saat ada yang ditimpa musibah, juga turut merayakan bahagia saat ada yang sedang gembira. Bahkan, saya sangat terkesan dengan ide untuk melelang barang-barang pribadi milik warga BAW untuk disumbangkan ke Palestina. Masya Allah... Dan tentunya kebanyakan barang itu tidak jauh dari dunia literasi, maka bermunculanlah lapak buku-buku keren yang murah meriah. :D

Sebuah kesyukuran tersendiri bagi saya karena masih tetap bertahan di BAW. Saya pun berharap dapat tetap berada di sana dan menemukan banyak inspirasi dan semangat darinya. Apalagi sekarang BAW semakin eksis dengan peluncuran blognya; http://bawindonesia.blogspot.com . Semoga blog ini bisa memperluas akses para penikmat tulisan untuk mengambil manfaat yang lebih besar dari BAW. Maka, berkunjunglah!

Pada akhirnya, keberadaan BAW telah menjadi sebuah catatan tersendiri pada perjalanan saya menempuh jalan-kata-kata. Semoga BAW dapat terus menjadi sebuah rumah yang hangat untuk semua orang. Untuk terus menyemai dan melahirkan karya. Untuk terus menebarkan kebaikan lewat perantara tulisan. Kawan-kawan, semoga apa yang kita geluti ini, dapat menjadi amalan yang kelak kita banggakan di hadapanNya. Aamiin. 

*tulisan ini diikutsertakan dalam Give Away BaW dalam rangka launching blog Be a Writer*

Makassar, 18 April 2013

Rabu, 17 April 2013

Tentang Doa, Ujian, dan Mimpi


Saya benar-benar menginginkannya, ukhti... Bahkan itu menjadi salah satu doa yang saya panjatkan di depan Ka’bah..” ucap saudari saya yang manis itu, menceritakan salah satu pengalamannya saat menjalani ibadah umrah.

Siang itu, kami berjumpa di beranda sebuah masjid, lalu ia bercerita tentang seorang muslimah asal Perancis yang mengenakan jilbab syar’i yang begitu menarik perhatiannya. Muslimah Perancis itu sempat berpapasan dengannya beberapa kali. Namun, ia selalu merasa malu untuk bertanya perihal jilbab yang ia kenakan, namun ia tetap menyimpan keinginan yang besar untuk memiliki jilbab yang sama. Hingga dalam sebuah kesempatan shalat di Masjidil Haram, ia berdoa kepada Allah, semoga dipertemukan kembali dengan muslimah Perancis itu, setidaknya ia bisa bertanya, di mana wanita itu membeli jilbabnya. 


Dan Allah mengabulkannya (bahkan melebihi yang ia pinta).


Saat ia berdoa, ternyata di sampingnya sedang shalat pula si pemilik jilbab idaman itu. Singkat cerita, atas takdir Allah, Muslimah Perancis itu akhirnya memberikan secara cuma-cuma jilbab tersebut pada saudari saya ini. Masya Allah...

Saya hanya tersenyum-senyum mendengar cerita tersebut. Tapi, yang membuat saya tertegun kemudian adalah perkataan saudari saya itu selanjutnya.

“Jika untuk permintaan seperti itu saja langsung Allah kabulkan, apalagi permintaan yang lebih penting lagi, ukhti!” sahutnya dengan bersemangat.

Ingatan saya langsung terbang kepada untaian doa yang saya titipkan padanya, menjelang keberangkatan umrah. Doa yang saya yakin telah ia panjatkan di tempat-tempat mustajabah di Makkah dan Madinah.  Ya, maka untuk doa-doa tersebut pun, saya yakin Allah akan mengabulkannya, dalam bentuk yang terbaik yang patut saya terima.


Apakah ada doa yang selalu kamu panjatkan, namun belum terkabul hingga sekarang?

Diantara doa-doa itu kita tetap menjalani hidup, menyaksikan waktu terus berlalu, bergelut dengan kegiatan sehari-hari yang selalu memiliki tenggat waktu. Bahkan, mengatur jadwal-jadwal sehari-hari pun tidak jarang berdasarkan tenggat waktu tersebut. Namun, bukankah sebagai seorang hamba, kita harus tahu diri untuk tidak memberikan Allah ‘deadline’ dalam mengabulkan doa kita? Ya, sebab Allah yang paling tahu kapan saat yang paling tepat untuk doa itu dikabulkan, pun dalam bentuk apa ia akan diijabah. Tugas kita, hanyalah yakin dan berbaik sangka

“Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan permohonan kalian.” ( QS. Al Mu'min: 60).


Apakah ada ujian yang selalu ditimpakan padamu, dan ia datang berkali-kali?


Seorang saudari yang lain menasihatkan, bahwa jika ujian yang sama menimpa, maka kemungkinan karena kita belum sempurna melewatinya dalam kesempatan sebelumnya. Maka jalanilah saja terus, berusahalah saja terus, meski mungkin tidak mudah. Tugas kita, hanyalah yakin dan berbaik sangka.

Tentu bukan tanpa sebab, jika kemudian sejarah mencatat sirah tentang Perang Badar yang fenomenal itu. Dan di sana, Rasulullah Shallalahu ‘alahi wasallam mencontohkan, bagaimana keyakinan yang kuat, baik sangka yang tinggi kepada Allah, menjadi satu hal yang sangat penting dalam kemenangan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan kecerdasan analisis perangnya tahu, bahwa pasukan Islam yang berjumlah sedikit,  tentu secara teoritis agak sulit mengidamkan kemenangan menghadapi kafir Quraysy yang berjumlah berkali lipat itu. Namun selalu, teori, hapalan, dan kecerdasaan otak, bukanlah pertimbangan utama dalam memilih sebuah langkah. Justru dalam banyak hal, keyakinanlah yang membuat kita akhirnya memulai. Because, sometimes we win, we just need to fight. Dan semangat untuk memulai perjuangan, bermula dari sebuah keyakinan.

Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-’Ankabut: 1-3)

Maka antara doa, ujian, dan impian, terkadang saling kait-mengait dalam kehidupan kita. Betapa beruntungnya kita dianugrahkan orang-orang yang dari mereka kita bisa mengambil ilmu, sesederhana apapun kisah yang mereka ceritakan. Betapa beruntungnya kita ditakdirkan untuk menyusuri perjalanan kehidupan ini, dengan sungai-sungai bening yang siap kita ciduk airnya kapan saja, memberikan lagi kesegaran pada jiwa kita yang terkadang ditimpa musim kering. Bagi saya, sungai-sungai bening itu adalah saudari-saudari di jalan Allah, yang bisa mengingatkan kita kapan saja.

Dan menjadi lucu –dan mengharukan rasanya, saat musim kering itu datang, lalu kita membaca kembali apa yang pernah kita tuliskan, atau diingatkan oleh orang lain tentang apa yang telah kita tuliskan. Lalu ternyata, justru di sana kita menemukan jawaban dan pencerahan, atas apa yang sedang kita alami. Sebab, hidup ini begitu berwarna, segala hal datang silih berganti. Bukankah telah dikabarkan bahwa keimanan itu akan naik dan turun? Maka saat ia sedang menukik menuju puncaknya, betapa beruntungnya jika kita dapat merekam jejak dengan ‘mengabadikannya’ lewat tulisan. Kita tidak tahu, siapa nanti yang akan mendapatkan manfaat dari hal-hal baik yang tertuliskan tersebut. Bahkan bisa jadi –dan sudah seharusnya, yang mendapatkan manfaat pertamakali adalah yang menuliskannya sendiri. Baik saat ia mulai menuliskannya, atau saat selesai menuliskannya, atau pada masa dimana kita menjadi orang yang paling membutuhkannya. Dan ya, sungai-sungai bening itu juga nampaknya adalah tulisan-tulisan, yang bisa menasihatkan kebaikan.

Keyakinan bahwa Allah saja yang paling tahu yang terbaik bagi diri kita-lah, yang semoga selalu menuntun kita pada setiap sangkaan baik atas takdirNya. Yang selalu membuat kita merasa hidup dalam kedamaian sebagai seorang hamba. Sebab terkadang, apa yang kita inginkan –mimpi, kebebasan, rencana-rencana masa depan, apapun itu!, bisa saja bukanlah sesuatu yang kita butuhkan.

Pada titik tersebut, saya merasa perlu untuk (membersihkan papan tulis di kamar) lalu menuliskan sebuah kutipan, yang saya kutip dari tulisan saudari saya yang manis, yang ia pun kutip dari suatu tempat.  Semoga kini, esok, dan nanti, kita dapat terus yakin, terus berbaik sangka.

eventhough, sometimes being free means choosing not to go, but to stay

Tulisan ini untuk seseorang yang menasihatkan saya agar mengejar syurga. Dan untuk putri cahaya yang manis. Ukhti Agustina dan Ukhti Nurmayanti Zain. Terima kasih sudah menjadi sungai yang bening.

Makassar, 18 April 2013

Senin, 15 April 2013

Menunggu Balasan

Dimasa kanak-kanak dulu, saya pernah bermain di rumah seorang kawan. Kawan saya yang usianya lebih tua beberapa tahun dari saya itu, disela-sela permainan, memberitahukan saya sesuatu. Sederet kalimat yang tidak panjang, tapi saya masih terlalu kecil untuk memahami maknanya saat itu. Namun, ingatan saya cukup baik untuk menghapalkannya, lalu sepulangnya ke rumah, saya 'melaporkan' hal itu kepada Bapak. 

devianart.com
Katanya, Bapak hanya tersenyum miris saat mendengar laporan saya itu. Waktu kecil saya selalu menganggap Bapak tahu semua hal; jawaban untuk pertanyaan di PR mata pelajaran apapun, sesuatu di televisi, atau hal-hal yang saya lihat di jalanan saat pergi bersama beliau. Dan untuk hal yang satu inipun, nampaknya Bapak benar-benar tahu apa makna dari kalimat yang disampaikan teman saya.

Di kemudian hari, Bapak kadang menyinggung kejadian tersebut. Bahkan ia bertanya, apakah kejadian itu adalah penyebab saya tidak pernah lagi mengunjungi rumah kawan tersebut -bahkan, secara umum jarang keluar rumah, dan lebih banyak menghabiskan waktu 'bermain' di dalam rumah? Tapi saya selalu menggeleng, sebab memang saya sama sekali tidak bisa mengingat kejadian tersebut, kecuali dari cerita Bapak tentangnya. 

Lalu,setelah berpaut bertahun-tahun dari kejadian masa lalu itu, suatu hari seorang kawan kecil saya (anak tetangga di depan rumah), datang bermain ke rumah saya. Sambil berceloteh dan memandangi saya sibuk di depan laptop, ia kemudian mengatakan sesuatu. Satu hal yang ia katakan itu membuat saya memandang wajahnya, lalu tersenyum. 

Kata-kata dari tetangga kecil itu kemudian saya ceritakan kepada Bapak. Bapak tersenyum lebar, memperlihatkan berbaris giginya yang rapi, lalu mengatakan bahwa mungkin perkataan anak itu adalah sebuah bentuk balasan untuk kesabaran menghadapi perkataan teman saya di masa yang lalu. 

Ya, terkadang memang ada hal-hal yang hanya perlu waktu, hanya perlu menunggu.

Kamis, 04 April 2013

Apakah Bahagia?


Sebab bisa jadi, kita akan bahagia dengan cara yang tidak pernah kita rencanakan

Perempuan itu, selalu nampak tenang. Senyuman tidak pernah mahal tersungging dari bibirnya. Ia pun punya otak yang cerdas dan tutur kata yang sopan. Mungkin, ia tipe orang yang memang mudah untuk dikagumi, untuk disayangi.


Lalu waktu bekerja dengan caranya sendiri. Mungkin, tidak pernah terpikirkan oleh dirinya bahwa episode selanjutnya dalam hidupnya akan terjadi seperti itu. Tiba-tiba saja, sebuah wacana mengemuka ditengah keluarga terdekatnya, tidak beberapa lama setelah ia menuntaskan satu fase pendidikan formal. Ayah dan ibunya menyetujui sebuah perkara yang begitu penting, tanpa merasa penting untuk mendengarkan pendapatnya.

Ini tentang semacam perjanjian antar dua keluarga. Entahlah, mungkin hanya diawali oleh canda-candaan, namun ternyata berubah menjadi keseriusan. Ini tentang seorang pemuda yang disebut-sebut akan sangat cocok jika disandingkan dengan seorang saudara perempuannya. Tapi, apa mau dikata. Jika ternyata sang saudara perempuan ini ternyata sama sekali tidak menerima hal-hal semacam polemik jaman Siti Nurbaya itu. Sang saudara perempuan dengan tegas menolak, lalu dengan lincah membuat keadaan menjadi berbalik.


Tenang saja, jika tidak jadi dengan anak saya yang itu, saya masih punya seorang anak perempuan lagi, yang ini bahkan lebih baik dari yang sebelumnya”, begitu kira-kira ucapan sang Ibu.


Maka jelas saja, hal itu mengguncang hari-harinya. Bukan, bukan pemuda seperti itu yang ia inginkan. Bukan, bukan kabar gembira macam ini yang ia impikan. Bukan, bukan seperti ini yang selalu ia rencanakan tentang masa depannya! Tapi bumi terlanjur berubah menjadi sempit. Ia merasa ingin segera lari saja. Ada rumah seorang sahabatnya yang dahulu dengan nada bercanda ia sebut sebagai ‘tempat pelarian yang pas’, dan rasanya ia benar-benar ingin segera lari ke sana. Tapi berbagai ancaman mengemuka. Membuat gejolak penolakan hanya bisa terhenti pada bulir-bulir air matanya. 


Tapi, bukankah baru disebut takdir jika ia sudah benar-benar terjadi?
Dengan segala sisa-sisa keberanian dan kesempatan yang ia punya, ia tidak bisa berbuat banyak. Jika kedua keluarga besar yang telah bersepakat itu tidak dapat lagi diganggu-gugat, maka ia harus langsung bicara pada pemuda itu. Dan pembicaraan itupun menjadi sedemikian aneh, saat lewat kabel telepon, kepada sang pemuda ia justru bertanya; “Jelaskan kepada saya pembagian tauhid!”


Namun ternyata, memang tidak semua perjuangan akan berakhir dengan kemenangan. Pada satu titik, ia merasa tidak lagi dapat berbuat apa-apa. Ia tahu betul, ada banyak orang yang akan kecewa di luar sana. Ia pun tahu, bahwa orang-orang akan menganggapnya gagal, menganggap apa yang selama ini diperjuangkannya menjadi sia-sia. Apa yang selama ini ia bangun dengan susah payah, seketika hancur, runtuh berkeping-keping karena satu peristiwa. Peristiwa singkat, yang sejatinya; berat.

Lalu pada suatu masa, dipalingkannya wajah dari pemuda itu. Dengan mimik yang benar-benar kusut, ia melontarkan nada yang jarang ia suarakan.

“Saya, membenci kamu!”

Pemuda itu diam saja. Hening menggelayuti keduanya, hingga lelaki itu angkat bicara.
“Saya tahu,”, ujarnya, tenang. “Saya tahu itu, tapi saya tetap merasa harus memperjuangkan ini. Justru sebab saya pun tahu, kamu tidak boleh saya lepaskan.”, lanjutnya.

Lalu, akan ada masa dimana dia harus pergi dari tempatnya lahir, dari tempatnya selama ini hidup bertahun-tahun. Mungkin, itulah yang disebut dengan perjumpaan yang menyebabkan lebih banyak perpisahan. Tapi, ia selanjutnya akan mendapati orang-orang di sekelilingnya yang menerima ia apa adanya. Dan ternyata, ada beberapa hal yang tetap tidak berubah. Mungkin, yang kemarin ia anggap hancur, tidaklah benar-benar hancur. Setidaknya, masih ada puing-puing yang akan bisa ia bangun kembali. 

Lalu, apakah ia bahagia? Entahlah. Yang jelas, ada banyak hati yang mendoakan kebaikan untuknya. Banyak hati yang akan selalu ia rindukan, dan ia harap akan merindukannya.

Makassar, 4 April 2013

Rabu, 03 April 2013

jangan pernah padam, yah!

Kau tahu, kita telah sama-sama tahu, bahkan mungkin pernah membincangkannya sambil tertawa-tawa, betapa ternyata Allah telah menakdirkan kita berjumpa, beberapa tahun sebelum kita saling mengenal. Lalu demikianlah takdir Allah mengantarkan, saat kita ternyata benar-benar bersinggungan di satu titik. Kali ini, serupa rombongan semut yang saling menautkan antena saat berpapasan, maka kita pun melakukan hal yang sama. Saling bertaut, semoga dengan hati, dengan cinta, dengan iman. 

Entah sejak kapan pula, ada-ada saja jalannya sehingga kita menjadi sedemikian dekat. Mungkin, bukan dalam arti jarak. Sebab memang, tidak terlalu sering kita berjumpa. Tapi, (untukku pribadi), bisa dengan bebas bercerita dan bercakap tentang banyak hal padamu, adalah sebuah tanda bahwa aku percaya. Dan itu bagiku telah cukup. Bukankah kepercayaan adalah sesuatu yang sangat berharga? Dan bagiku, itu adalah salah satu parameter kedekatan. Semoga itulah kedekatan hati, dengan cinta, dengan iman. 

Maka kini, sungguh kita tentu tidak ingin ada terlalu banyak tanda tanya. Meski kita telah yakin, akan dengan senang hati untuk menjawabnya. Tapi, memang tidak semua hal harus dijelaskan -setidaknya untuk saat ini. Walau semoga kita telah sama-sama tahu, bahwa tidak ada kata sibuk untuk saling mendengarkan cerita. Masing-masing kita akan selalu ada, khan? 

Ya, saat ini, kita tunggu saja. Mungkin memang akan selalu ada titik dimana kita akan merasa betapa hanya atas kehendakNya saja segalanya akan terjadi. Itulah takdirNya, itulah yang terbaik bagiNya, dan tugas kita hanyalah hingga pada ujung segala ikhtiar. Dan tanpa perlu saling meminta, kita akan selalu mendoakan yang terbaik. Untuk yang itupun, aku selalu percaya. 

Apapun yang terjadi, jangan pernah padam. 

Makassar, 3 April 2013

Selasa, 02 April 2013

Catatan Sebelum Tidur

Ada hal-hal yang kita ketahui, tanpa diketahui orang lain bahwa kita mengetahuinya.
Begitupun sebaliknya. 




Pernahkah merasa ingin mencoba mencicipi kehidupan orang lain? Ingin hidup dengan takdir yang sama sekali berbeda, mungkin dengan takdir yang kita anggap lebih baik dari yang kita alami sekarang. Beberapa orang mungkin pernah merasakannya. Tapi, mungkin pula beberapa orang tidak pernah berpikir demikian. 

Ya, memang kemungkinan ada orang-orang yang benar-benar telah merasa nyaman dengan kehidupannya. Menganggap hidupnya telah sempurna, sehingga tidak lagi merasa perlu untuk berubah menjadi siapapun. 

Namun, ada pula yang terkadang merasa selalu ada yang kurang. Dalam hal ini, masalah kurang-dan-cukup tidak selalu berada dalam konteks nominal, bukan hanya sekadar perkara kuantitas. Tapi, lebih mengarah ke kecenderungan hati. 

Nasihat agama, juga norma dan nilai-nilai luhur dalam kehidupan kita, telah lebih dari cukup mengajarkan tentang makna dan pentingnya kesyukuran. Pun begitu mudah untuk mengucapkannya. Namun ternyata tidak selalu berbanding lurus dalam penerapannya. Mungkin, sebab manusia memang tempatnya salah dan lupa, sehingga seringkali masalah yang satu ini terluput pula.

Ya, terluput bahkan meski kita telah tinggal di kediaman yang nyaman. Meski kita tidak pernah risau apakah besok masih bisa makan? Meski kita tidak lagi khawatir tentang pakaian layak yang akan kita kenakan. Sekali lagi, agaknya kesyukuran itu berkaitan dengan hati. Sejalan dengan selera dan kepuasan batin. 

Banyak orang yang berkata, agar kita harus menjadi orang yang tidak cepat puas. Sebab hal itu akan membuat kita menjadi berhenti di satu titik dan tidak lagi mengusahakan hal-hal yang lebih untuk dapat terus meraih puncak. Namun agaknya hal ini menjadi begitu tipis batasnya dengan masalah kesyukuran tadi. 

Apakah memiliki mimpi yang tinggi selalu berarti bahwa kita tidak boleh bersyukur? Apakah jika kita telah bersyukur, bermakna bahwa kita tidak boleh berikhtiar untuk pencapaian yang lebih tinggi lagi? Nah, tentu kita akan menemukan perbedaannya. Sebab ini masalah niatan, maka semuanya kembali kepada seberapa dalam kita dapat benar-benar memahami apa yang terlintas di hati. Seberapa kenal kita dengan diri sendiri. Ah, jangan-jangan justru yang paling kita tidak kenali adalah diri kita sendiri? 

Termasuk saat orang lain beranggapan buruk tentang kita. Jangan buru-buru melengos dan mencemberutkan wajah! Kembali tengok lagi kedalam diri. Hmm..jangan-jangan justru lebih banyak keburukan yang masih Allah tutupi...

Apalagi saat ekspektasi orang lain ternyata begitu tinggi, dengan prasangka baik ditunjukkan secara terang-terangan. Sehingga membuat diri kita menjadi sangat dihargai dan merasa begitu bermanfaat. Kembalilah berhati-hati dalam menata hati. Aih, jangan-jangan mereka bersikap begitu justru sebab mereka belum benar-benar mengenali diri ini...

(Tentang hal-hal tersebut, tentu yang menulis catatan inilah yang paling perlu untuk belajar lebih banyak lagi!)

Ya, agaknya dalam hidup ini, segala hal akan dipergilirkan, datang silih berganti. Dan hanya orang-orang dengan pegangan yang kuatlah yang terhindari dari terhempas, dibawa oleh arus. Orang-orang itu, mungkin tidak akan selalu terlihat tertawa dan bergembira. Sesekali, ada kalanya mereka akan meneteskan air mata. Namun mereka tahu, bahwa suatu hari, tangis itu akan mereka kenang sebagai awal dari sebuah kebahagiaan.

Wallahu a'lam

Makassar, 2 April 2013
#note2myself