Rabu, 17 April 2013

Tentang Doa, Ujian, dan Mimpi


Saya benar-benar menginginkannya, ukhti... Bahkan itu menjadi salah satu doa yang saya panjatkan di depan Ka’bah..” ucap saudari saya yang manis itu, menceritakan salah satu pengalamannya saat menjalani ibadah umrah.

Siang itu, kami berjumpa di beranda sebuah masjid, lalu ia bercerita tentang seorang muslimah asal Perancis yang mengenakan jilbab syar’i yang begitu menarik perhatiannya. Muslimah Perancis itu sempat berpapasan dengannya beberapa kali. Namun, ia selalu merasa malu untuk bertanya perihal jilbab yang ia kenakan, namun ia tetap menyimpan keinginan yang besar untuk memiliki jilbab yang sama. Hingga dalam sebuah kesempatan shalat di Masjidil Haram, ia berdoa kepada Allah, semoga dipertemukan kembali dengan muslimah Perancis itu, setidaknya ia bisa bertanya, di mana wanita itu membeli jilbabnya. 


Dan Allah mengabulkannya (bahkan melebihi yang ia pinta).


Saat ia berdoa, ternyata di sampingnya sedang shalat pula si pemilik jilbab idaman itu. Singkat cerita, atas takdir Allah, Muslimah Perancis itu akhirnya memberikan secara cuma-cuma jilbab tersebut pada saudari saya ini. Masya Allah...

Saya hanya tersenyum-senyum mendengar cerita tersebut. Tapi, yang membuat saya tertegun kemudian adalah perkataan saudari saya itu selanjutnya.

“Jika untuk permintaan seperti itu saja langsung Allah kabulkan, apalagi permintaan yang lebih penting lagi, ukhti!” sahutnya dengan bersemangat.

Ingatan saya langsung terbang kepada untaian doa yang saya titipkan padanya, menjelang keberangkatan umrah. Doa yang saya yakin telah ia panjatkan di tempat-tempat mustajabah di Makkah dan Madinah.  Ya, maka untuk doa-doa tersebut pun, saya yakin Allah akan mengabulkannya, dalam bentuk yang terbaik yang patut saya terima.


Apakah ada doa yang selalu kamu panjatkan, namun belum terkabul hingga sekarang?

Diantara doa-doa itu kita tetap menjalani hidup, menyaksikan waktu terus berlalu, bergelut dengan kegiatan sehari-hari yang selalu memiliki tenggat waktu. Bahkan, mengatur jadwal-jadwal sehari-hari pun tidak jarang berdasarkan tenggat waktu tersebut. Namun, bukankah sebagai seorang hamba, kita harus tahu diri untuk tidak memberikan Allah ‘deadline’ dalam mengabulkan doa kita? Ya, sebab Allah yang paling tahu kapan saat yang paling tepat untuk doa itu dikabulkan, pun dalam bentuk apa ia akan diijabah. Tugas kita, hanyalah yakin dan berbaik sangka

“Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan permohonan kalian.” ( QS. Al Mu'min: 60).


Apakah ada ujian yang selalu ditimpakan padamu, dan ia datang berkali-kali?


Seorang saudari yang lain menasihatkan, bahwa jika ujian yang sama menimpa, maka kemungkinan karena kita belum sempurna melewatinya dalam kesempatan sebelumnya. Maka jalanilah saja terus, berusahalah saja terus, meski mungkin tidak mudah. Tugas kita, hanyalah yakin dan berbaik sangka.

Tentu bukan tanpa sebab, jika kemudian sejarah mencatat sirah tentang Perang Badar yang fenomenal itu. Dan di sana, Rasulullah Shallalahu ‘alahi wasallam mencontohkan, bagaimana keyakinan yang kuat, baik sangka yang tinggi kepada Allah, menjadi satu hal yang sangat penting dalam kemenangan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan kecerdasan analisis perangnya tahu, bahwa pasukan Islam yang berjumlah sedikit,  tentu secara teoritis agak sulit mengidamkan kemenangan menghadapi kafir Quraysy yang berjumlah berkali lipat itu. Namun selalu, teori, hapalan, dan kecerdasaan otak, bukanlah pertimbangan utama dalam memilih sebuah langkah. Justru dalam banyak hal, keyakinanlah yang membuat kita akhirnya memulai. Because, sometimes we win, we just need to fight. Dan semangat untuk memulai perjuangan, bermula dari sebuah keyakinan.

Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-’Ankabut: 1-3)

Maka antara doa, ujian, dan impian, terkadang saling kait-mengait dalam kehidupan kita. Betapa beruntungnya kita dianugrahkan orang-orang yang dari mereka kita bisa mengambil ilmu, sesederhana apapun kisah yang mereka ceritakan. Betapa beruntungnya kita ditakdirkan untuk menyusuri perjalanan kehidupan ini, dengan sungai-sungai bening yang siap kita ciduk airnya kapan saja, memberikan lagi kesegaran pada jiwa kita yang terkadang ditimpa musim kering. Bagi saya, sungai-sungai bening itu adalah saudari-saudari di jalan Allah, yang bisa mengingatkan kita kapan saja.

Dan menjadi lucu –dan mengharukan rasanya, saat musim kering itu datang, lalu kita membaca kembali apa yang pernah kita tuliskan, atau diingatkan oleh orang lain tentang apa yang telah kita tuliskan. Lalu ternyata, justru di sana kita menemukan jawaban dan pencerahan, atas apa yang sedang kita alami. Sebab, hidup ini begitu berwarna, segala hal datang silih berganti. Bukankah telah dikabarkan bahwa keimanan itu akan naik dan turun? Maka saat ia sedang menukik menuju puncaknya, betapa beruntungnya jika kita dapat merekam jejak dengan ‘mengabadikannya’ lewat tulisan. Kita tidak tahu, siapa nanti yang akan mendapatkan manfaat dari hal-hal baik yang tertuliskan tersebut. Bahkan bisa jadi –dan sudah seharusnya, yang mendapatkan manfaat pertamakali adalah yang menuliskannya sendiri. Baik saat ia mulai menuliskannya, atau saat selesai menuliskannya, atau pada masa dimana kita menjadi orang yang paling membutuhkannya. Dan ya, sungai-sungai bening itu juga nampaknya adalah tulisan-tulisan, yang bisa menasihatkan kebaikan.

Keyakinan bahwa Allah saja yang paling tahu yang terbaik bagi diri kita-lah, yang semoga selalu menuntun kita pada setiap sangkaan baik atas takdirNya. Yang selalu membuat kita merasa hidup dalam kedamaian sebagai seorang hamba. Sebab terkadang, apa yang kita inginkan –mimpi, kebebasan, rencana-rencana masa depan, apapun itu!, bisa saja bukanlah sesuatu yang kita butuhkan.

Pada titik tersebut, saya merasa perlu untuk (membersihkan papan tulis di kamar) lalu menuliskan sebuah kutipan, yang saya kutip dari tulisan saudari saya yang manis, yang ia pun kutip dari suatu tempat.  Semoga kini, esok, dan nanti, kita dapat terus yakin, terus berbaik sangka.

eventhough, sometimes being free means choosing not to go, but to stay

Tulisan ini untuk seseorang yang menasihatkan saya agar mengejar syurga. Dan untuk putri cahaya yang manis. Ukhti Agustina dan Ukhti Nurmayanti Zain. Terima kasih sudah menjadi sungai yang bening.

Makassar, 18 April 2013

2 komentar:

  1. Masya Allah... Tabaarakallahu Ta'ala... Tak ada kata yang bisa terucap saat ini. Tahu alasannya? Sederhana, karena kata yang tak sempat terucap biasanya tersimpan dalam air mata :) Ukhtayya, uhibbukifillah <3 barakallahu fiik...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahabbakilladzi ahbab tanii lahu.. wa fiik barakallah :)

      Hapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)