Kamis, 27 Januari 2011

Belajar Cinta dari Mereka; Habibie dan Ainun (Sebuah Review)


Bacharuddin Jusuf Habibie. Orang Indonesia yang tidak mengenal beliau berarti harus diterawang ijizahnya di bawah sinat matahari! Tokoh nasional ini memang terkenal kiprahnya, baik di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, bahkan agama. Sosoknya yang bersahaja dengan senyum menenangkan yang senantiasa menghiasi wajahnya, menjadi ciri khas beliau. Ah, Pak Habibie, saya selalu bangga bahwa kau adalah putra Sulawesi ! ^_^

Sejak pertama kali mendengar bahwa Pak Habibie akan menerbitkan buku tentang diri dan istrinya –Ibu Ainun, saya sudah berazzam akan menjadi salah satu pembacanya. Apalagi setelah membaca reviewnya di sebuah Koran lokal. Maka saat berkesempatan mengunjungi Gramedia, tanpa pikir panjang, saya langsung menyambar buku yang masih terletak di rak depan itu. Dengan modal subsidi dari Ibu, saya merasa lebih ringan untuk berjalan di kasir dan memilikinya. Harganya memang lumayan mahal untuk buku dengan softcover; delapan puluh lima ribu. Tapi, setelah membaca isinya, dan setelah mengetahui bahwa SELURUH hasil penjualannya akan digunakan untuk organisasi sosial beliau, saya rasa buku ini memang pantas dihargai demikian. Bahkan mungkin seharusnya lebih dari itu, mengingat berbagai macam kelebihan dari buku ini.

Habibie dan Ainun yang ditulis langsung oleh Pak BJ Habibie ini memang bukan sekedar catatan perjalanan biasa. Buku setebal 323 halaman ini mengcover 48 tahun 10 hari kebersamaan pasangan cinta sejati Pak Habibie dan Ibu Ainun. Tidak hanya romansa rumah tangga yang terekam di sana, tapi banyak pula pengetahuan tentang dunia kedirgantaraan, kedokteran, nilai-nilai keagamaan, dan juga sejarah. Semuanya terangkum dengan cara penulisan yang khas; seolah saya sedang mendengar penuturan langsung dari bibir Pak Habibie, seperti saat menyaksikan interview eksklusif beliau di program Mata Najwa Metro TV. Ya, khas sekali!

Sangat terasa bahwa Pak Habibie menulis buku ini dengan menghadirkan segenap perasaannya. Baru membaca pengantarnya saja, saya sudah bisa merasakan itu. Ada getaran yang menjalar di hati saat membaca untai kalimat-kalimatnya. Semacam kerinduan yang tertahan atas sosok yang teramat beliau cintai. Kehadiran ruhiyah dalam menulis itu kemudian membekas pada hati yang membacanya. Dan Pak Habibie sukses membuat saya berkaca-kaca di halaman-halaman pertama.

Buku ini dimulai dengan pertemuan keduanya setelah bertahun lamanya terpisah sejak Pak Habibie melanjutkan studi ke Jerman, sementara di tanah air, Ibu Ainun menuntaskan kuliah kedokterannya di UI. Dengan manis, Pak Habibie menggambarkan pertemuan yang langsung membekaskan ‘sesuatu’ pada hatinya itu. Sejak pertemuan tersebut, kisah ini berlanjut hingga keduanya menikah pada 12 Mei 1962. Terlepas bahwa terdapat proses pacaran sebelum pernikahan tersebut –yang bagi saya tetap merupakan sesuatu yang tidak dibenarkan, bahkan meski dilakukakan oleh seorang tokoh sekalipun, saya tetap berprasangka baik bahwa tentunya pacaran jaman dulu tentu jauh berbeda dengan yang sekarang, apalagi mengingat keduanya berasal dari keluarga yang sangat religious (sekali lagi, ini bukan legitimasi –pembenaran atas aktivitas pacaran).

Setelah melewati proses bulan madu dan mengunjungi sanak family di Indonesia, keduanya bertolak ke Aachen, Jerman, sebab saat itu Pak Habibie harus menyelesaikan program doktoralnya. Dan kesetiaan Ibu Ainun jelas terlihat saat beliau memutuskan untuk meninggalkan karirnya sebagai dokter di tanah air, lalu menjadi full time mom mendampingi Pak Habibie di Jerman, sambil menunggu kehadiran buah hati mereka.

Kehidupan awal mereka digambarkan tidak mudah. Tinggal di flat kecil yang hanya cukup untuk keduanya, dengan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga secara mandiri. Tempat tinggalnya pun jauh dari keriuhan kota, karena harga sewa yang lebih murah. Pak Habibie menggambarkan bagaimana beliau mengumpulkan uang –dalam keadaan masih kuliah pula, untuk membeli perabot pertama mereka; sebuah mesin cuci, dan mengakhiri aktivitas membawa berkarung cucian ke tempat mesin cuci umum yang ada di kota.

Ibu Ainun digambarkan sebagai sosok istri idaman. Pengertian dan selalu setia mendampingi suaminya. Tidak banyak bicara dan tidak pernah ingin mengusik konsentrasi Pak Habibie yang kala itu menanggung banyak amanah; kuliah dan bekerja. Sisi religious beliau pun patut di contoh. Pak Habibie menuturkan bagaimana Ibu Ainun selalu mendampingi beliau mengerjakan tugas-tugasnya hingga larut sambil membaca Al Qur’an, sehingga hanya membutuhkan waktu yang singkat bagi beliau untuk mengkhatamkannya. Pasangan ini juga dikenal selalu rutin berpuasa senin kamis dan sangat menjaga ibadah shalat mereka. Subhanallah!

Tiap menceritakan tentang Ibu Ainun, terasa betul aliran kasih sayang pada tiap untai kalimat yang Pak Habibie tuliskan. Beliau selalu mengulang hingga berkali-kali dalam buku ini frasa; Ainun dan saya manunggal berdasarkan cinta yang murni, suci, sejati, sempurna, dan abadi. Ada kerinduan yang bersembunyi di sana. Ada kecintaan yang menyeruakkan makna; menjelaskan semuanya lebih dari sekadar kata-kata!

Ainun selalu memberi senyuman yang bagi saya memukau, menenangkan, mengilhami, dan sepanjang masa kurindukan

See? Maka saya rasa tak perlu mempertanyakan bagaimana cinta telah bekerja pada keduanya. Pada pertemuan, lalu evolusinya yang menjelma kasih sayang, hingga terpisahkan hanya oleh kematian.

Sebenarnya, harus saya akui bahwa di bagian-bagian tertentu saya sering melompat-lompat membacanya, mencukupkan diri dengan kalimat utamanya saja. Apalagi pada saat Pak Habibie menjelaskan tentang berbagai teori tentang dunia pesawat yang bagi saya sangat njlimet dan asing. Tapi saya rasa, bagian ini akan sangat menyenangkan bagi para mahasiswa teknik. Sebuah khasanah pengetahuan tentang ilmu teknik yang dikuasai dengan sangat mumpuni oleh Pak Habibie. Sangat membanggakan rasanya mengetahui bagaimana bangsa asing sekali pun mengakui kemampuan beliau. Maka penawaran untuk menjadi professor setelah beliau menuntaskan doktornya, hingga pekerjaan di perusahaan bonafid pun berdatangan. Tapi hal itu beliau tolak; sebab akan sulit untuk meninggalkan Jerman jika ia menerimanya. Sementara, dalam sebuah kejadian saat Pak Habibie masih kuliah dahulu, beliau pernah bersumpah akan kembali ke tanah air dan mengabdikan dirinya untuk memajukan bangsa. Hmm…luar biasa!

Ada yang menarik dari kehidupan keduanya semasa di Jerman. Pak Habibie yang saat itu telah berhasil mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi, serta Ibu Ainun yang memutuskan bekerja sebagai dokter saat kedua anaknya sudah cukup besar ternyata tetap hidup dengan bersahaja. Ibu Ainun memang sempat membeli sebuah mobil untuk memperlancar kegiatannya. Tapi Pak Habibie tetap memilih menggunakan bus, bahkan berjalan kaki atau bersepeda ke tempat kerja. Hmm, patut dicontoh!

Maka setelah berhasil hidup dengan berkecukupan –setelah melalui masa-masa sulit bersama. Saat anak mereka sudah dua orang (Ilham dan Thareq) dan sedang membangun sebuah rumah indah di Jerman, Pak Habibie memutuskan untuk menerima ajakan Presiden Soeharto untuk kembali ke Indonesia. Beliau di tugaskan untuk sebuah proyek pembuatan pesawat yang dilakukan oleh para putra bangsa sendiri. Banyak yang memandang sinis pada proyek ini. Tentang anggarannya yang cukup besar, juga keraguan mereka pada kompetensi Pak Habibie yang kala itu memang masih cukup muda.

Namun, beliau membuktikannya pada 10 Agustus 1995, saat pesawat pertama hasil rakitan anak negeri, N-250 Gatotkoco berhasil lepas landas. Sebuah pesawat yang cukup canggih di kelasnya, tapi banyak mengundang sentiment bahkan hingga ke pihak asing. Dan ini adalah salah satu bab favorit saya, dimana ketegangan bercampur dengan akhir yang mengharukan, saat ternyata, pesawat yang dinilai tidak akan sanggup terbang itu, ternyata sukses menunaikan tugas pertamanya. Kereenn…sekali!

Kala itu, Pak Habibie mendapatkan amanah sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi. Sementara Ibu Ainun juga aktif dalam berbagai organisasi sosial. Namun, kedua selalu terlihat harmonis, bahkan menjadi keluarga panutan oleh banyak orang. Selanjutnya, berbagai tugas penting banyak dipegang oleh Pak Habibie, mulai menjadi menteri selama beberapa periode, dipercaya menjadi ketua ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia –menghasilkan banyak karya seperti Dompet Dhuafa, Bank Muamalat, Takaful, dan Republika, perintis International Islamic Forum for Science Technology and Human Resources Development (IIFTIHAR), menjadi wakil presiden, hingga terangkat menjadi presiden di masa-masa sulit, saat terjadi revolusi besar-besaran di Indonesia.

Kekaguman saya pada sosok Pak Habibie selalu muncul mengingat bagaimana Jerman sangat berat melepas kepergian beliau. Banyak tender yang dimenangkan oleh perusahaan tempat Pak Habibie bekerja karena kepercayaan mereka pada kapabilitas seorang BJ Habibie. Pernah pula beliau mengunjungi Philipina dan disambut oleh presidennya dengan penghormatan bahwa Pak Habibie bukan saja kebanggaan Indonesia, tapi juga kebanggaan ASEAN. Pernah pula beliau menerima Edward Warner Award, penghargaan tingkat dunia kepada tokoh yang berpengaruh dalam teknologi penerbangan. Cerita yang unik terdapat dalam episode ini. Saat konferensi pers, seorang wartawan internasional bertanya pada Pak Habibie, “Apa yang Bapak lakukan 50 tahun yang lalu, saat ICAO (badan yang memberikan penghargaan ini) pertama kali didirikan?”. Dan Pak Habibie menjelaskan bahwa, waktu itu ia berada di sebuah desa kecil bernama Landrae di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Dan pada jam tersebut, ia biasanya sedang membaca Al Qur’an di rumahnya. ^_^

Satu hal yang saya tunggu-tunggu dalam buku ini adalah penggambaran tentang masa-masa sulit saat Pak Habibie memangku jabatan sebagai Presiden. Saat suhu politik memanas dan kekacauan banyak terjadi. Pak Habibie menuturkan bagaimana ketegangan yang saat itu muncul. Sampai-sampai keluarga beliau harus diungsikan ke wisma presiden menggunakan helicopter karena dianggap terancam keamanannya. Dan Pak Habibie memang merupakan sosok pemimpin sejati; ia mengerti kapan harus memulai, dan kapan saatnya mengakhiri. Tidak ada ketamakan dalam proses menjabatnya beliau. Di saat orang-orang berlomba-lomba mencapai jabatan, Pak Habibie –dengan pertimbangan bersama dengan Ibu Ainun, memutuskan untuk tidak ingin lagi dicalonkan sebagai presiden, setelah masa jabatannya selama 17 bulan.

Dan buku ini pun menjadi buku pertama yang berhasil mengaduk emosi saya habis-habisan dalam lima bab non stop. Bab-bab terakhir di masa Ibu Ainun sakit hingga akhirnya berpulang ke rahmatullah sangat terasa ditulis dengan air mata yang berlinang. Perasaan Pak Habibie terwakili di tiap hurufnya. Ketegangan, kesedihan, tapi juga pengharapan besar terlukis disana. Hal ini juga menjawab pertanyaan saya, “Mengapa Pak Habibie tidak menetap di Indonesia? Tidak cintakah ia pada negerinya?”. Yah, sebab ternyata, penyakit Ibu Ainun membuat beliau tidak cocok tinggal di negara beriklim tropis. Bahkan beliau harus menjalani terapi dengan menghirup angin laut, sehingga sering ikut dalam pelayaran ke berbagai negara, dengan alasan kesehatan.

Kanker ovarium yang baru terdeteksi di stadium keempat membuyarkan rencana keduanya untuk kembali ikut berlayar. Lalu kemudian segera memutukan menuju Jerman untuk mendapat perawatan. Dan pesona keduanya begitu terasa saat pesawat yang ingin mereka tumpangi ternyata telah full, namun sejumlah warga negara asing merelakan kursi mereka untuk Ibu Ainun saat mengetahui bahwa keadaan beliau sedang kritis. Masya Allah…

Di Jerman, Ibu Ainun menghadapi 12 kali operasi, dan direncana operasi ke 13, Pak Habibie tidak lagi menyetujui usulan dokter, sebab keadaan Ibu Ainun yang justru semakin memburuk. Para dokter yang menanganinya bahkan mengakui bahwa mereka mengambil pelajaran besar, dan baru kali itu menyaksikan bagaimana sepasang suami istri dapat begitu setia dan tabah menghadapi keadaan sulit itu. Pak Habibie, berjanji tidak akan pernah meninggalkan Ibu Ainun. Selama dua bulan itu, beliau terus berada di rumah sakit dan hanya menyaksikan sinar matahari dari balik jendela. Bahkan hingga kesehatan beliau pun dikhawatirkan oleh banyak pihak, ia tidak peduli.

Suatu hari, Pak Habibie mendapati Ibu Ainun nampak menangis dan sangat sedih. Pak Habibie bertanya, apa yang membuatnya menangis, apakah ia merasa sakit, atau ia takut pada alat-alat kesehatan yang begitu banyak tersebut? Ibu Ainun menggeleng. Lalu Pak Habibie kembali bertanya, “Apa kamu menangis karena khawatir pada kesehatan saya?” dan Ibu Ainun mengangguk. Subhanallah… Saya hanya bisa terus menahan air mata saat membaca bagian ini.

Dan detik-detik terakhir kehidupan Ibu Ainun digambarkan Pak Habibie dengan sangat detil. Bagaimana keduanya selalu shalat bersama, Pak Habibie melantunkan Al Qur’an dan doa-doa di telinga cinta sejatinya, hingga saat beliau mengusap tubuh Ibu Ainun dengan air zam-zam. Hingga pada 22 Mei 2010, pukul 17.30, Ibu Ainun berpulang, berpindah kepada dimensi lain yang berbeda dengan lelaki yang sangat mencintai dan dicintainya. Pak Habibie terus mendampingi beliau, hingga sampai di perkuburan. Maut memang telah memisahkan keduanya. Tapi jiwa mereka akan tetap bersatu dan ‘manunggal’, demikian Pak Habibie membahasakannya.

Membaca buku ini, sebenarnya seperti membaca tulisan duet pasangan ini. Di beberapa tempat, Pak Habibie menukil tulisan Ibu Ainun dalam buku Setengah Abad Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie; Kesan dan Kenangan. Buku ini mengajarkan kita, bagaimana cinta berwujud kesejatiannya dalam bahasa pengertian dan kesetiaan. Mereka membuktikan bahwa selalu ada harapan, dan masih ada nilai-nilai indah dalam kehidupan. Mereka mengajarkan kita pemaknaan kasih sayang yang sebenarnya; memberi, menerima, dan saling memahami. Mereka mengajarkan kita tentang cinta. Dan Pak Habibie memaklumkan kita perihal rasa yang sedang ia rajut untuk kekasih hatinya. Perasan itu adalah; kerinduan.

Para anggota majelis pengajian itu bersama saya telah merasakan kehilang sesuatu yang tidak bisa kami ucapkan. Mungkin, itu sebuah kerinduan.

Untuk Dea Hanifah; maaf kurang lengkap, Teh…Kalo mau lengkapnya bisa panjaaaang sekali. Buku ini recommended, baca langsung, deh! ^_^

(Makassar, 27 Januari 2011)

4 komentar:

  1. sungguh potret kesetiaan tiada banding, semoga ibu Ainun bahagia di alam sana, juga bapak Habibie yg ditinggalkan agar selalu tabah.aamiin
    http://kafebuku.com/habibie-ainun/

    BalasHapus
  2. membaca sepenggal kisahnya saja sudah membuat terharu.. saya penasaran dengan isi bukunya.. jadi ingin beli

    BalasHapus
  3. baru baca kutipan bukunya saja saya sudah nangis,,sungguh cerita cinta yang luar biasa,,ternyata masih ada di dunia ini cinta sejati,,buat almarhuma ibu Ainun semoga beliau bisa bahagia disisi Allah SWT, dan buat pa Habbie Semoga tetap semangat menjalani hidup ini meski telah terpisahkan oleh belahan jiwanya secara fisik,,,

    BalasHapus
  4. PERMAINAN ONLINE TERBESAR DI INDONESIA

    Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia ^^
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat :)
    Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino

    Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang asli ^^
    * Minimal Deposit : 20.000
    * Minimal Withdraw : 20.000
    * Deposit dan Withdraw 24 jam Non stop ( Kecuali Bank offline / gangguan )
    * Bonus REFFERAL 15 % Seumur hidup tanpa syarat
    * Bonus ROLLINGAN 0.3 % Dibagikan 5 hari 1 kali
    * Proses Deposit & Withdraw PALING CEPAT
    * Sistem keamanan Terbaru & Terjamin
    * Poker Online Terpercaya
    * Live chat yang Responsive
    * Support lebih banyak bank LOKAL


    Contact Us

    Website SahabatQQ
    WA 1 : +85515769793
    WA 2 : +855972076840
    LINE : SAHABATQQ
    FACEBOOK : SahabatQQ Reborn
    TWITTER : SahabatQQ
    Blogger :
    * Dunia Traveling
    * Dunia Sex
    * Artikel Seks
    * Film & Movie
    * Majalah Kesehatan

    Daftar SahabatQQ

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)