Senin, 11 November 2019

Mencandai Poligami

Ibu muda itu misuh-misuh. Baru kali itu ia merasa menyesal betul sudah iseng mengutak-atik pesan singkat di hp suaminya. Hingga ia kemudian mendapati pesan-pesan dari beberapa rekan kerja sang suami yang cukup mengganggu hati.

“Halalkan cinta barumu!” diikuti dengan berbagai quotes tentang poligami  


Ada pula yang mengakhiri obrolan dengan doa untuk suami perempuan itu, semoga bisa beristri lagi. Pake bahasa arab pula!

Suami saya, batin perempuan itu, kok justru kawan-kawannya yang 'keliatan' ngerti agama yang malah doyan sekali dengan pembicaraan, obrolan, dan candaan bernada seperti ini. Seolah-olah timeline hidupnya sebagai lelaki adalah sekolah-kerja-nikah-nikah lagi. Memangnya di kajian-kajian itu yang dibahas poligami melulu?

Sementara di sudut lain, seorang istri dengan bayi merah dalam gendongannya, plus bekas jahitan di jalan lahir yang jangan ditanya gimana nyerinya, masih harus menanggung kecamuk perasaan di tengah kondisi hormonal pemanggil mood-swing yang luar biasa, saat kemudian ia dapati sang suami enteng saja bercakap dengan rekan sesama suami perihal rencana beristri lagi. Sebab katanya; ini nih hikmahnya poligami, biar kalau istri nifas, masih ada istri yang lain...

Ok. Ngertilah arah pembicaraannya ke mana...

Poligami. Sebuah kondisi yang dalam syariat sudah diatur ketetapannya. Pembahasannya tidak pada ranah ikhtilaf, tapi bahkan dijelaskan secara gamblang dalam ayat al Quran dengan tafsiran yang telah tuntas ulasannya. Tak ada lagi celah diskusi. Tak ada lagi ruang untuk menolak. Jelas hukumnya, sejelas sinar matahari di siang hari.

Tapi duhai poligami, dalam penerapannya, ia melibatkan lelaki dan perempuan, dengan sifat bawaan yang secara umum saling berseberangan dalam memandang ini. Okelah kita tahu, bahwa konon seorang lelaki memang bisa menyimpan beberapa nama sekaligus di dalam hati. Bahwa katanya, mencintai dua istri bukanlah pertanda dipertanyakannya kesetiaan suami. Bahwa konon, membuka ruang untuk hati yang baru, tidak selalu berarti melupakan si dia yang telah ada lebih dahulu.

Tapi duhai bapak-bapak yang sedang mengangguk-angguk di sudut sana, ketahuilah bahwa perempuan pun punya fitrah. Yang kala perasaannya bicara, terkadang ambyarlah sudah segala yang selainnya. Yang mungkin bisa menjelma superwomen saat harus mengerjakan ini itu di satu waktu, namun seketika bisa jadi keok saat ketenangan batinnya yang terusik dengan nama lain sebagai isu. Cemburu, bagi seorang wanita mungkin berkali lipat lebih berat dari rindu. Dan sejarah mencatat, sekelas ummahatul mukminin saja merasakan ini. Perempuan-perempuan terbaik, juga punya rasa demikian, pada lelaki terbaik sepanjang sejarah. Lalu apa ekspektasi kita, pada perempuan akhir zaman saat menghadapi suaminya yang juga masih perlu banyak perbaikan?

Jadi, baik laki-laki dan wanita punya pembawaan umum masing-masing. So, harus adil. Jangan pas ditegor karena canda-canda poligami, langsung bawa fitrah lelaki. Tapi giliran istrinya ngambek karena ini, malah dibilang lagi ribet baper sendiri. Ngambeknya istri juga fitrah, keleus.

Pada titik kritis itu, kemudian entah mengapa di kalangan pria, ada semacam gelitik nan renyah saat kemudian isu poligami ini dibawa sebagai canda. Entahlah pelajaran tentang sunnah yang ini sudah sampai bab berapa. Yang jelas, lidah sudah ringan saja berseloroh,

“Ini anak dari istri keberapa?” .

“Trus kapan nih rencana mau nambah?”

“Duit sudah banyak, masa Cuma menafkahi satu keluarga saja? Situ beneran jantan?”

Nah loh...

Saat poligami dibawa sebagai candaan, ironisnya ketika mendapat teguran, kata-kata 'sunnah' malah diikut-ikutkan. Mungkin sejenak lupa, bahwa syariat tak boleh jadi bahan mainan. Biasanya memang, justru yang belum sanggup menerapkan yang lebih kencang suara dan tawanya.

Padahal, jangan ditanya perihal kasus seorang lelaki yang 'nekat' poligami hanya karena tak tahan dikompori. Akhirnya berniat menyelamatkan perempuan lajang, tapi malah jadi menjandakan istri. Dalihnya, si istri yang tak siap. Padahal hakikatnya, memangnya siapa yang harusnya menyiapkan istrinya? Trus sejatinya, yang belum siap sebenarnya siapa? Tarakdungces!

Padahal jika poligami dibicarakan dengan landasan ilmu, maka yang terbentang selanjutnya adalah seabrek kewajiban. Mengokohkan rumah tangga itu lebih berat dari membangun rumah makan, kan ya? Maka jika baru diajak seriusin ngobrol parenting buat membangun generasi aja sudah malas-malasan, lah giliran candain poligami malah paling depan.

Menyebut poligami sebagai sunnah, maka so pasti berkaca pada Rasulullah. Bukan, bukan mau bahas tentang istri-istri Rasulullah yang mayoritas janda. (Sebab jaman now biasanya justru mencari yang masih gadis untuk jadi yang kedua) Tapi, ini perihal bagaimana para shahabiyah terbaik itu, di tengah fitrah kewanitaan dengan cemburu yang kerap hadir, tapi toh tidak ada dari mereka yang minta diceraikan karena alasan dipoligami, kan? Kemudian saya teringat pada renungan seorang ahli psikologi, saat memandangi miniatur bilik istri-istri Rasul, bahwa di antara hikmah poligami yang dijalani sang Nabi, mungkin sebab keindahan rumah tangga nabi memang tak cukup untuk hanya dibicarakan oleh satu istri.

See?

Maka mengutip perkataan Ustadz Abu Ihsan al Maidani, kepada lelaki yang berniat poligami; silakan tepuk dada, tanya hati: ingin poligami untuk masuk surga atau mau masuk neraka? Sebab ada ganjaran bagi ia yang berpoligami tapi tak terapkan adilnya, yakni berjalan dengan tubuh miring tak seimbang kelak di hari perhitungan.

Ya, jangan sampai ternyata poligami jadi salah jalan, sehingga aib rumah tangga memang jadi harus dibicarakan oleh istri yang beberapa. Maka putuslah layangan di mana-mana... Naudzubillah...

Dan buat para istri yang jika mendengar bahasan poligami masih bisa santuy tanpa baper sama sekali, jangan buru-buru ngejudge mereka para wanita yang begitu berapi-api pas bahas poligami. Sebab latar belakang tiap orang itu beda-beda, Bunda. Selama bukan syariatnya yang dicela, maka mungkin ada background story yang bikin seseorang memandang poligami jadi tak mudah. Silakan dinasihati saja dengan lembut dan penuh cinta. Tak perlu makin dicela, apalagi dipertanyakan keimanannya. Jangan jadi kuat, dengan membuat perempuan lain terlihat lemah.

Akhirnya, membahas poligami sudah seharusnya didudukkan pada porsinya. Diilmui jika memang sudah perlu. Jangan dicandai berlebih, hingga mengakibatkan kenekatan yang akhirnya bikin segalanya jadi ribet sendiri. Katanya mau bawa keluarga sampai di surga? Coba deh, dibuat sakinah dulu di dunia.