Selasa, 31 Oktober 2017

Usia Kehilangan

Penghujung Oktober setahun yang lalu.

Pagi masih cukup muda saat kami merasa tengah berkejaran dengan waktu. Membelah jalanan setelah sebelumnya menitipkan Fayyadh di rumah mertua, lalu segera bergegas menuju rumah sakit.

Pagi itu, saya harus segera tiba di.rumah sakit dan membuat keputusan tentang kelanjutan penanganan Bapak yang sedang terbaring di ICU. Setibanya di sana, ternyata kami tidak bisa langsung menemui dokter. Maka saya dan suami beserta seorang tante yang sejak semalam bermalam di pelataran ICU, kembali terduduk di tempat tersebut. Menunggu.

Tak lama, seorang perempuan muda mendekati karpet tempat kami duduk dan menanyakan perihal kondisi kesehatan Bapak. Ia memperkenalkan diri sebagai kerabat yang mengenal Bapak dengan sangat baik. Sembari berbincang, saya mendapati matanya menatap berkeliling di area rumah sakit. Ada selapis bening yang mulai nampak di sana. Ia segera menyekanya dengan ujung jemarinya kemudian berkata dengan suara yang sedikit bergetar.
''Bapak saya dulu di rawat di sini juga. Dan Bapak saya meninggal di rumah sakit ini lima tahun lalu. Makanya tiap ke sini, saya selalu teringat kembali...'' ujarnya.

Lima tahun lalu. Ya, dia bilang kejadian itu sudah berlalu lima tahun yang lalu.

Lima tahun bukan masa yang singkat. Tapi ternyata masih cukup pendek untuk membuat seseorang tetap mengingat rasa kehilangan yang pernah ia rasakan. Mungkin, dengan getar pedih yang masih sama, hingga ia harus berusaha menyembunyikan air matanya.

Yang tidak saya tahu pada saat itu, adalah bahwa saya akan punya kenangan tentang kehilangan di tempat yang sama. Sebab pada pergantian hari memasuki November tahun yang lalu, saya pun kehilangan Bapak. Untuk selama-lamanya.

Waktu pun berlalu. Beberapa tempo setelah Bapak saya meninggal, saya kembali mendengar kabar perihal seseorang yang juga berpulang. Ia adalah sahabat karib Bapak, sudah seperti saudara. Saya pun mengenal putri sulung beliau dan menganggapnya sebagai seorang senior yg saya hormati.

Ibu meminta saya dan suami bertakziyah ke rumah beliau pagi itu. Kami pun segera menuju ke sana. Tiba di rumah duka dan mendapati semburat kesedihan yang menyelimuti tempat itu. Saya maju mendekati tempat si mayit dibaringkan dengan wajah tertutup. Istrinya duduk di sampingnya dengan kedukaan yang amat kentara. Saya mendekati beliau dan menyebutkan nama saya sebab ia tidak mengenali wajah saya yang tertutup cadar.

Dalam pada itu, ia langsung menghaburkan diri memeluk saya sambil menangis. Kesedihan mengalir pada setiap tetes air mata dan kata-katanya.

''Sekarang Om sudah sama dengan Bapak kamu, Nak...'' ucapnya di antara isak.

Sesungguhnya rasa sedih itu sudah saya rasakan sejak tadi. Getarannya pun masih sama. Persis terbayang rasanya ketika saya kehilangan Bapak saya sendiri. Persis rasanya ketika satu persatu pelayat datang untuk mengucapkan belasungkawa. Persis seperti saat saya menyaksikan jenazah Bapak di hadapan saya yang telah tertutup dengan kain panjang. Ingatan yang terbawa pada setiap detik-detik terakhir kebersamaan dengan Bapak di rumah sakit itu. Juga ingatan tentang banyak hal yang terjadi sebelum-sebelumnya.

Dan nyatanya, setiap mengingat itu semua, rasa pedih atas kehilangan itu masih saja sama. Hanya mungkin, ketahanan untuk tidak mengekspresikannya dengan nyata yang kini berbeda.

Saya tidak pernah tahu, berapa lama waktu yang saya butuhkan untuk meringankan sedikit perihnya. Dan ini bukan masalah ikhlas atau tidak ikhlas atas kepergian orang yang kita cintai. Hanya saja, memang setiap perpisahan selalu menyisakan lukanya sendiri. Kerinduan atas kebersamaan yang pernah ada, membuat tiap kenangan yang telah berlalu itu menjadi sedemikian suram. 

Faktanya adalah, saya harus tetap melanjutkan hidup, meski tanpa Bapak. Setelah sebelumnya, Bapak telah membersamai banyak momentum-momentum penting dalam kehidupan saya. Maka saya kerap kali bertanya-tanya; ketika melihat tumbuh kembang anak saya, bagaimana kira-kira ekspresi Bapak saat melihat cucunya sudah bisa berjalan? Saat melihat Fayyadh berceloteh dengan cerewet? Apakah Bapak akan senang menggendong cucunya sebagaimana ia dulu suka menggendong anak-anaknya? Mungkin Fayyadh akan gemar memainkan janggut Bapak yang kelabu saat ia digendong oleh kakeknya.. Apa yang akan Bapak katakan saat tahu saya hamil anak kedua? Bagaimana raut wajahnya ketika mendengar bahwa cucu keduanya telah lahir, bujang lagi! Dan berbagai macam pikiran yang berkelindan dalam otak saya, berandai-andai, jika saja Bapak masih di sini...

Dan sekali lagi, tentang usia kehilangan itu, saya tidak pernah tahu. Yang jelas, kebersamaan di dunia ini memang tak ada yang abadi. Akan tiba masa di mana kita akan merasai perpisahan dan mengecap kehilangan.

Dan akhirat itulah yang abadi. Kebersamaan selama-lamanya yang tidak ada lagi episode lain setelahnya. Maka hanya di sana jua seharusnya kita berharap dapat kembali berjumpa. Kepada mereka yang telah tiada, masih ada waktu untuk kita langitkan doa, semoga dengannya Allah memberikan rahmat dan memasukkannya ke surga. Dan kita yang masih hidup di dunia, setiap hela nafas adalah kesempatan untuk berbuat baik lagi, untuk bertaubat kembali, hingga kita pun pergi meninggalkan dunia. Dan berharap, di tempat yang terbaik kelak kita dikumpulkan. Di sana, di surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya.

Makassar, 1 November 2017
Setahun setelah kepergian Bapak.

Jumat, 08 September 2017

Manusia Manusia Hening

Manusia-Manusia Hening

''Apakah memang, dunia ini terlalu ribut untuk manusia hening macam kita, Pak?''

Memang tak mudah menjadi manusia hening. Saat hiruk pikuk dunia menjadi standar normal kehidupan. Saat kiri dan kanan berbicara tentang angan-angan panjang yang dikemas dalam kata visi dan misi, padahal sejatinya kosong belaka, tanpa makna, kecuali untuk membesarkan diri saja.

Tak pernah mudah menjadi manusia hening. Yang memilih memojokkan diri dalam sepi yang terkadang disangka buruk oleh yang lain. Saat pilihan-pilihan hidup dianggap tak biasa, dan memilih untuk tidak membicarakan segalanya. Sebab memang, tidak semua hal harus untuk diceritakan.

Menjadi hening dalam sabar, terkadang menjadi yang paling tidak diperhitungkan perasaannya. Menjadi yang tidak perlu dianggap kebutuhan-kebutuhannya. Seolah yang terjadi di sekelilingnya hanya akan terlewat begitu saja.

Kelak, saat mereka telah pergi, tak ada pula yang mencari. Kecuali saat akhirnya semua orang mengerti, bahwa dunia ini bisa terus berputar pada poros harmoni sebab selalu ada yang mengalah untuk diam. Sebab tidak ada yang bersedia mendengarkan jika semuanya memaksa ingin berbicara. Sebab keheningan adalah jeda, yang membuat kita bisa berjalan untuk langkah selanjutnya.

090917

Jumat, 25 Agustus 2017

Syawal, Walimah, dan Awal Perjalanan Kita

Kalau boleh saya bilang, Syawal itu bulan yang penuh cinta. Seolah bunga bermekaran di mana-mana. Gelaran walimah menemukan waktunya yang nyunnah. Alhamdulillah, dua tahun lalu Allah menakdirkan saya menggenapkan separuh dien pada bulan Syawal pula. Jadilah, Syawal bagi kami adalah kenangan atas cinta :)

Nostalgia sedikit boleh tak? Hehe.. Jadi saya nikah pada 18 Syawal, tepatnya 3 Agustus 2015. Proses taaruf sendiri sudah dimulai sejak akhir tahun 2014. Lama ya? Iya, banget.

Diawali dengan tukaran biodata. Nama si ikhwan benar-benar baru saya baca pertama kali lewat biodata itu, walaupun dia adalah kakak kandung dari seorang junior di lembaga dakwah. Tapi dasar sayanya yang gak gaul -lagian ngapain juga gaul dgn update nama-nama ikhwan kan yak? Saya sama sekali tidak tahu menahu sedikitpun sama sosok dalam biodata itu.

Setelah beberapa komunikasi via perantara, saya akhirnya mempersilakan dia untuk menemui orangtua saya. Saya pikir, selanjutnya biarlah orang tua pun ikut menilai dan memberi pertimbangan. Maka tanggal 1 Januari 2015 dipilih menjadi saat untuk pertama kalinya si dia menginjakkan kaki di rumah saya. Tentunya hanya ketemu Bapak. Saya? Ngumpet di dalam lah! Malu gitulo.

Dengan tiga kali perjumpaan (baca: sesi tanya jawab) dengan Bapak, taaruf itu pun diakhiri dengan khitbah di akhir Januari itu. Kenapa harus buru-buru khitbah sementara walimahnya baru di 3 Agustus? Sebab saat itu, si ikhwan hanya bisa memanfaatkan waktu liburan semesternya. Di akhir Januari doi harus balik ke negeri jiran untuk lanjut kuliah lagi, dan baru bisa pulang buat walimahan pada liburan berikutnya, libur semester plus Ramadan dan Lebaran.

Gimana rasanya nunggu selama itu? Wakwaw, kaka. Sebab dalam penantian banyak celah syaitan. Dan hanya pertolongan Allah yang menjaga kami dari tipu daya itu. Alhamdulillah, kami komitmen untuk tidak ada komunikasi langsung, semuanya lewat perantara. Waswas datang dari arah lain yang kadang membuat hati ini ingin berpaling, tapi lagi-lagi Allah bantu kami melewati itu. Alhamdulillah... Tapi jika boleh nyumbang saran, lamanya penantian kami jangan ditiru. Ba'da khitbah, segerakan walimah! Insya Allah lebih selamat :)

Nah pas berita tentang walimah kami sudah menyebar, berbagai spekulasi pun muncul. Beberapa pihak menilai saya memilih dirinya karena melihat pencapaian akademiknya. Beberapa menduga-duga kira-kira berapa mahar yang harus si ikhwan siapkan. Yang lainnya penasaran, kira-kira siapa yang si ikhwan ini lobi sehingga bisa menaklukkan Bapaknya Diena..hehe..

Saya sungguh tidak tahu bagaimana khalayak di luar sana menilai saya (dan keluarga saya). Tapi sejujurnya, tidak ada alasan lain untuk saya menerima pinangan si dia, selain karena saya PERCAYA pada agama dan akhlaknya. Sungguh. Cukup itu saja. Yang lainnya, bagi saya bukan opsi penting yang harus mempengaruhi keputusan.

Intinya kita berdua beristikharah; agar memilih bersama Allah,lalu tak ada ragu, hingga tak ada sesal suatu waktu. Dan beristisyarah; bermusyawarah dengan mereka yang kami percaya; agar niatan itu menancap erat dalam dada, ada penguat saat langkah melemah atau waswas datang menerpa. Lalu kami melalui prosesnya, diikhtiarkan agar selalu terjaga dari apa yang Allah tidak suka. Halang dan rintangan bukannya tak ada, tapi Alhamdulillah Allah selalu menunjukkan jalan penyelesaiannya hingga akhirnya akad suci terucapkan.

Nah trus, saya jadi ingat perjumpaan pertama dengan calon ibu mertua (saat itu). Saat pertama ketemu saya, satu pertanyaan dilontarkannya dengan nada heran...

''Kok Dina mau nikah sama anak tante? Dia kan belum punya kerjaan... masih mahasiswa...''
Ditanya kayak begitu, saya cuma bisa cengengesan sambil jawab santai; ''Yang penting kan ada keinginan untuk bertanggungjawab dan berusaha, Tante...''

Iya, santai betul saya menjawab saat itu. Meski nyatanya, dalam tataran praktek, menjalaninya kadang harus gak nyante..hehe

Waktu awal nikah dan saya 'pasrah' ikut diboyong ke negeri seberang, dengan status suami yang kala itu pure hanya mahasiswa dengan scholarship yang tak nanggung keluarga, suami mengaku 'takjub' dengan 'keberanian' saya: ini akhwat kok mau-maunya ikut sama saya.. mungkin gitu dia mikirnya.. hehe

Tapi lagi-lagi yang saya PERCAYA bahwa rejeki itu sudah Allah atur. Mau lewat suami, atau lewat jalan lain, rejeki yang sudah Allah takdirkan untuk saya lebih tahu di mana saya berada dibandingkan pengetahuan saya tentang rejeki itu ada di mana.

Maka saat saya menyemangati suami untuk bekerja, saya katakan padanya; Saya senang lihat Aba bekerja bukan karena senang bakal punya duit dari gaji Aba. Sebab saya yakin rejeki saya bisa lewat mana saja. Tapi, saya pahami bahwa untuk Aba bekerja adalah kewajiban, adalah ibadah, yang dengan menjalankannya Aba bisa dapat pahala.. itu saja.

Lalu Pak Suami pun sukses terharu. Kadang dia natap saya sambil bilang kasian sama saya. Dia bilang, mungkin saya sering memendam keinginan yang saya tahan untuk ucapkan. Saya katakan, sejak gadis saya bukan tipe perempuan yang suka ini-itu. Saya sukanya nabung, bukan belanja. Saya sukanya liat nominal rekening yang besar buat simpanan masa depan (huehehe). Dan setelah nikah, sikap itu nyatanya sangat membantu untuk bisa ngontrol diri. Banyak gadhul bashar meski jualan olshop yang cuantik2 wara wiri di beranda. Tahan. Tahan. Masih ada kebutuhan yang lebih penting dan substansial dari sekadar gamis baru atau cemilan unyu.. tapi saya bukannya anggap orang yang suka belanja itu salah loh ya, bisa jadi memang itu kebutuhan dia, sedangkan kebutuhan saya beda. Gitu aja sih.

Nyatanya, tawakkal masalah rejeki memang terasaaaa banget pelajarannya setelah nikah. Dan langsung ambil ibrahnya saat nyadar, toh meski nikah sama mahasiswa yang bukan pegawai bergaji banyak, sampe hari ini kami masih bisa happy. Iya, karena ternyata kebahagiaan memang tidak selalu terletak pada materi.

Trus kalo liat sekeliling, ternyata ada-ada saja barang yang bisa kebeli setelah nikah. Padahal kalau mau hitung-hitungan angka, logikanya sih tak sampai ke sana. Tapi itulah rejeki, sekali lagi, dia lebih tahu di mana kita berada. Toh saya masih bisa punya gamis dan daster baru, yang mungkin sebelum nikah, walaupun tabungan lebih banyak, tapi tidak pernah terpikirkan untuk dimiliki. Suami juga masih bisa punya barang baru. Fayyadh juga bisa kami belikan pakaian, susu, popok, buku, dan mainan. Kalo mau ngemil, ada saja rejeki yang bisa dipake buat jajan. Kalau mau jalan-jalan, alhamdulillah ada motor yang statusnya sudah milik pribadi tanpa harus nyicil ala-ala riba, meski capnya secondhand dan dibeli dengan harga sodara dari sahabatnya si Aba. Alhamdulillah..Alhamdulillah...

Waktu dulu suami belum dapat 'kerjaan beneran' kayak sekarang, doi sempat usaha jualan. Istilah kerennya dia; bisnis. Hehe..

Suatu waktu saya dengar sendiri dia telepon kenalannya, tawarin jualannya dia. Trus yang ditawarin itu menolak. Saya lihat ada raut kecewa di wajah suami. Trus suatu waktu kami ngobrol, suami bilang; kadang ada sih rasa malu karena harus jualan, apalagi kalau ditolak. Suami ngomong begitu, ada selapis bening saya lihat pada matanya. ''Tapi kan yang penting halal, ini kan ibadah. Aba akan rasa sangat puas kalau bisa kasih penghasilan Aba buat Ummi dan Fayyadh, meski ndak banyak.''

Trus saya gantian terharu. Mengharu biru dan bersyukur.

Suatu waktu, saya tiba-tiba pengen ngemil. Suami lagi di luar. Saya watsap deh beberapa poin cemilan yang saya mau. Maklumlah ya lagi hamil #modus. Tapi trus saya coba ingat lagi. Kayaknya beberapa hari ini suami lagi ndak ada pemasukan. Kemarin-kemarin kalo ada rejeki, suami selalu setoran ke dompet saya (hehehe). Jadi di akhir watsap itu saya tanya: eh, tapi di dompet Aba memangnya masih ada uang?

Trus suami jawab gini: insya Allah ada.. selama kita masih ada umur, rejeki dari Allah insya Allah selalu ada..

Maknyes.. jadi adem lagi deh.

Sebenarnya, yang kadang bikin nyesek itu karena kita -dan biasanya pihak wanita, senangnya nengok ke rumput tetangga. Yang selalunya, keliatan lebih hijau dan segar. Macam kayak saya, ndak jarang ada yang komentar; wah pasti bangga ya suaminya bisa sekolah tinggi...keren!

Hmm..iya sih, alhamdulillah... tapi ya sebanding juga sama konsekuensi di baliknya. Diduakan sama tugas kuliah atau tetek bengek penelitian, harus legowo sama senin-jumat yang dipakai cari nafkah dan sabtu-ahad yang tersita untuk kuliah, juga harus rela saat kas rumah tangga ikut teralokasi untuk kepentingan akademik. Alhamdulillah ala kulli hal... Alhamdulillah masih ada tetangga yang anggap rumput halaman kami lebih hijau. Hehe..

Oh iya, yang saya camkan dalam diri juga, jangan membandingkan kehidupan sebelum dan setelah nikah. Waktu sebelum nikah, status kita masih seorang anak, yang mungkin segala kebutuhannya terpenuhi sama orang tua. Setelah nikah, anggap diri mulai dari nol lagi. Kita mungkin kadang gak ingat, bahwa apa yang dicapai ortu kini itu adalah hasil perjuangan panjang mereka. Pas dewasa, kita tinggal nikmati buahnya. Maka saat kita nikah, kita pun harus memulai dari AWAL perjuangan yang sama.

Itu baru satu perkara ya. Masalah rejeki dan bagaimana kita memandangnya. Angelnya memang akan terasa bedaaaaa sekali dibanding waktu masih singel dulu. Kami berdua, memang sejak awal berkomitmen untuk 'mendaki gunung' bersama. Jika kelak Allah takdirkan sampai di puncak, maka itu kami raih dengan saling bergandeng tangan, bukan menunggu satu pihak sukses, trus baru mau hidup sama-sama. Dan kami ingin dalam keadaan itu pula anak-anak kami tumbuh dan berkembang. Kelak, mereka bisa mengerti bahwa tak ada kisah yang happily ever after kecuali di dongeng Disney. Hidup yang sebenarnya adalah tentang meraih bahagia lalu syukur, atau melalui ujian lalu bersabar.

Tapi saya bukannya menganggap rumah tangga yang dimulai dengan kemapanan itu salah loh ya. Saya yakin tiap pernikahan punya medan ujiannya masing-masing. Mungkin dari sisi hidup yang lainnya lagi. Kita hanya perlu saling support dan menyemangati. Menginsyafi bahwa apa yang Allah takdirkan, itulah yang terbaik.

Dan menemukan cinta dalam ikatang agung pernikahan, bukanlah akhir dari kisah. Namun justru sebuah awal dari perjalanan panjang kita. Bersama.

Makassar, Syawal di tahun ini.

Untukmu, Para Ayah yang Lelah

Untukmu para anak lelaki shalih, yang sepenuh bakti berhikmat kepada ibu bapaknya
Yang tak peduli seberapa jarak yang membentang, selalu tahu ke mana ia harus pulang
Pada pemilik doa-doa paling tulus untuknya, sejak ia dilahirkan.

Untukmu para lelaki pemberani yang tak gentar meninggalkan dan menanggalkan kebebasan masa bujang
Saat independensi pada materi dan waktu berada dalam genggaman
Tapi ia melangkah untuk mengucap perjanjian agung yang Allah menjadi saksinya
Menggenapkan separuh agama dalam bingkai suci pernikahan
Bersiap menanggung segala tanggung jawab sejak di dunia, seterusnya hingga yaumil hisab atas istri dan anak-anaknya

Untukmu, para suami berhati lembut
Yang senantiasa menyediakan pundak, telinga, dan hatinya untuk mendengar keluh kesah sang belahan jiwa
Tak peduli seberapa remeh setiap cerita yang mengalir dari lisan istrinya
Didengarnya dengan penuh perhatian, dengan sepenuh pengertian

Untukmu, sang nahkoda rumah tangga yang bening hatinya
Yang menyimpan tenaga terbaiknya untuk meringankan beban tugas domestik pendampingnya
Yang tak malu ikut turun dalam tetek bengek kebersihan rumah, cucian yang menumpuk, piring kotor, atau bahkan urusan kebersihan anak-anaknya
Yang tak memandang sepele tiap peluh dan keluh yang tersampaikan atau yg tak tersampaikan oleh istrinya

Untukmu, para ayah yang sepenuh cinta
Yang tak menggantungkan masalah masa depan dan pendidikan anaknya hanya kepada sang ibunda semata
Yang berada pada garis depan dalam membimbing buah hatinya
Yang selalu menyediakan waktu dan perhatiannya pada anak-anaknya

Duhai, betapa lelah dirimu wahai ayah
Yang membanting tulang mencari nafkah dalam bingkai ibadah
Yang menyimpan segala beban pikiran dan mengatup bibirnya rapat-rapat dari segala keluhan
Yang menahan air matanya saat masalah datang menghimpit untuk dapat tampak tegar di tengah keluarganya
Yang rela menanggung segala urusan istri dan anak-anaknya mulai dari yang sederhana hingga yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Duhai, padamu para ayah yang lelah
Semoga segala letih dan peluh raga dan hatimu berbuah surga
Hingga tercapai cita-citamu untuk kembali berkumpul bersama
Di jannahNya saja.

Makassar, 2017

Senin, 31 Juli 2017

Perjalanan 3 Hati: Buku Yang Menjawab Pertanyaan Saya

Sebuah review, apresiasi sederhana atas rilisnya buku Perjalanan 3 Hati, 3 Cerita, 3 Cinta oleh Nafisah, Aisyah, dan Reyhana Ikhwan.

Judul buku: Perjalanan 3 Hati, 3 Cerita, 3 Cinta
Penulis: Nafisah Ikhwan, Aisyah Ikhwan, Reyhana Ikhwan
Editor: Muhammad Fakhrurrazi Anshar
Penerbit: Telaga Aksara
Jumlah halaman: 288 halaman

Selalu ada sisi lain dari kehidupan seseorang. Pun akan selalu ada pertanyaan dari 'orang luar' ketika memandang tentang satu sosok person atau keluarga. Saat sebuah keluarga tumbuh di tengah masyarakat dengan refleksi yang 'tidak biasa' serta membawa output yang luar biasa, berbagai pertanyaan tentu saja akan muncul.

Saat remaja pada umumnya tumbuh dengan kebebasan berekspresi yang kebablasan, menikmati ekspresi cinta semu yang jauh dari makna hakiki, kemudian justru di elu-elukan bahkan difavoritkan dan dijadikan 'goal' oleh remaja lainnya.

Di satu sisi, para pemuda yang berusaha meniti jalan kebenaran, justru terkadang menemukan penentangan dari orang terdekatnya sendiri. Kita sudah sering mendengar kisah hijrah yang diwarnai dengan jilbab yang digunting oleh ibunda yang belum paham ilmunya, atau boikot dari pihak keluarga karena berupaya menerapkan sunnah.

Lalu, bagaimana kehidupan para anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang kondusif untuk berkebaikan? Malah, motivasi terbesar itu hadir dari kedua orang tuanya? Bagaimana saat mereka harus dihadapkan pada aktivitas dakwah orang tuanya yang padat dan 'beban' moril sebagai anak seorang ustadz yang dikenal banyak orang? Bagaimana rasanya saat mereka dikondisikan untuk menghapalkan al Quran, mengerti ilmu syar'i, saat ternyata dalam dada mereka ada mimpi yang lain? Bagaimana jika takdir mengantarkannya untuk berubah status di usia yang masih sangat belia? Adakah pergolakan di dalam hati mereka yang jiwanya masih ingin bebas?

Buku ini, menjawab semua pertanyaan di atas dengan balutan kata-kata yang dituturkan dengan hati plus bahasa nan sastrawi.

Perjalanan 3 Hati ditulis oleh tiga bersaudara Nafisah, Aisyah, dan Reyhana. Buku yang dituturkan secara naratif dengan rasa yang sangat personal ini memang terkesan sebatas menceritakan berbagai kisah dalam keseharian mereka. Namun sejatinya, banyak nilai yang bisa kita petik dari cerita ketiga hafizah muda ini.

Kita akan melihat bagaimana kedua orang tua mereka, biidznillah, sukses membentuk anak-anaknya hingga mampu tertanam pada merena nilai-nilai Islami yang teramat sangat kental. Meminjam istilah Ust Ihsan Zainuddin dalam pengantar buku ini, para penulis buku ini telah sampai pada titik di mana: seorang anak 'memahami jalan hidup' orang tua mereka.

Dari apa yang tertuturkan dalam beberapa bagian di buku ini, nilai itu bukan tertransfer dari ucapan, kata-kata,  dan nasihat secara lisan dari orang tua mereka semata, namun lebih dari itu, yakni melalui teladan langsung berupa perjuangan, akhlak, dan gaya pengasuhan yang terterapkan langsung kepada anak-anaknya. Sebuah nilai parenting yang layak untuk kita renungkan.

''Dan aku telah paham. Bahwa dakwah ini harus terus dilanjutkan. Dan mereka pelanjut itu, seharusnya lahir dari rahim-rahim kita sendiri...'' (hal:12)

Sebagai seorang hafidzah, aroma qur'ani juga menyeruak dengan sangat kental di buku ini. Kita akan diajak oleh Nafisah dan adik-adiknya untuk turut mengharu biru dalam perjuangan mereka menghapalkan kalamullah. Bagaimana kita ikut bergetar ketika membersamai puncak saat seluruh ayat dalam kitab suci itu berhasil mendapatkan sanad hingga sampai kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Sebuah perjalanan religi di tanah Haram yang akan ikut membangkitkan semangat kita untuk berinteraksi dengan al Qur'an.

''Kita akan berekspedisi mencari sanad!'' Wajah Aba berbinar. Demikian pula mataku.'' (hal 104)

Lalu bagaimana dengan cinta? Ya, seperti sampulnya yang didominasi merah muda, buku ini pun memang pekat dengan aroma cinta. Bentuk pengejawantahan cinta yang -menurut saya, antimainstream mengingat usia mereka yang masih sangat belia saat kemudian 'berani' untuk terjun ke belantara pernikahan. Bagaimana Nafisah menghadapi pernikahan di usia dini saat ternyata sekaligus otomatis merubah sosoknya menjadi seorang ibu dua anak? Bagaimana Aisyah menjalani masa pernikahannya di tempat asing lintas benua dari tanah kelahiran? Bagaimana gejolak Reyhana saat debaran hati itu tak kunjung muncul padahal akad telah dilafalkan? Buat yang sudah berkeluarga, bagian-bagian romantis dari buku ini mungkin akan membuat kita senyum-senyum sendiri. Buat yang masih jomblo, hati-hati... jangan sampai malah baper berkepanjangan. Hehe..

''Hari itu, doa-doa yang terpanjat mengangkasa, memberi setitik rasa indh dalam qalbu. Dan hey! Kau tahu, aku belum merasakan apa-apa padanya yang kini resmi jadi suamiku.'' (hal 247)

Namun, tak ada gading yang tak retak. Beberapa kesalahan dalam penulisan dan penggunaan EYD yang kurang tepat rasanya perlu lebih diperhatikan untuk semakin menambah keistimewaan dari buku ini. Tapi terlepas dari masalah teknis kepenulisan tersebut, keberanian ketiga penulis muda ini untuk merilis karya mereka dalam bentuk buku, kemudian mempublikasikannya secara independent namun cukup profesional dan terorganisir, bagi saya sangat patut untuk diacungi jempol. Kita berharap ke depannya masih bisa menikmati karya-karya mereka yang lainnya sehingga bisa terus mengambil pelajaran dan inspirasi dari ketiganya.

Agaknya, cahaya semangat baru dalam dakwah bil qalam sedang mulai berpendar dengan indah. Sebagai pembaca, kita tinggal memilih: ikut menikmatinya, atau tidak. Saya, memilih yang pertama.

Minggu, 26 Februari 2017

Menengok ke Dasar Kurva

Pernah ada masa di mana saya banyak berbicara, mengulas, dan menulis tentang pemuda. Dalam pada itu, saya akan membahas betapa besar keutamaan dari masa muda, pun betapa besar tanggung jawab di dalamnya.

Dalam empat pertanyaan yang dipertanyakan di padang mahsyar kelak, masa muda menjadi salah satunya; untuk apa ia dihabiskan. Ini menjadi satu pengkhususan, meski pada poin pertanyaan lainnya ada pula tanya tentang bagaimana menghabiskan usia pada umumnya.

Saya selalu menyebut masa muda sebagai puncak kurva. Jika diibaratkan hidup manusia pada sebuah kurva kualitas versus umur, maka bentuk kurva itu layaknya sebuah gunung, yang memulai dari titik nol, mendaki ke puncak, lalu kembali ke titik nol.

Ujung kiri dan kanannya adalah saat kita baru lahir, dan saat kita meninggal dunia. Titik-titik rendah itu berada saat kita masih seorang bayi yang tak berdaya, dan seorang manula yang juga sudah banyak kehilangan kemampuannya.
Maka jika dulu saya banyak membahas dan berinteraksi dengan mereka yang tengah berada di puncak kurva, ternyata pada satu titik dalam kehidupan saya, Allah menakdirkan saya menyaksikan dasar kurvanya.

Dalam satu periode yang sama, saya tertakdir tengah mengurus anak pertama saya yang masih berusia beberapa bulan, bersamaan dengan menyaksikan akhir-akhir usia Bapak rahimahullah.

Dan benarlah, pada keduanya kala itu, saya melihat ketidakberdayaan.

Leher Fayyadh kala itu belum lagi cukup tegak untuk menopang kepalanya, saat Bapak juga dianjurkan dokter untuk menjalani operasi di bagian kepala.

Lepas dari operasi-operasi itu, saya ikut serta mengurus Bapak, dengan pengurusan yang nyaris sama dengan apa yang saya lakukan pada Fayyadh. Memandikan, memberi makan, memakaikan baju dan menggantikan popok.

Saya memperhatikan, bagaimana sekiranya saya membiarkan bayi kecil itu begitu saja. Ia sungguh akan kelaparan, tidak terurus, kotor dan bau pesing, sungguh tidak berdaya. Demikian halnya dengan Bapak yang kala itu bahkan harus saya tuntun untuk shalat gerakan per gerakannya.

Kami kembali melatih kemampuan Bapak menggerakkan anggota badannya dan berjalan pasca operasi. Bapak berpegang pada pundak kami dan berjalan dengan sangat lambat. Saya mencoba mengingat bahwa pernah pula ada masa di mana saya tidak berdaya sebagai seorang bayi kecil dan kala itu Bapak yang dengan sabar menuntun saya belajar berdiri dan berjalan.

Saya menggosok badan Bapak ketika mandi dan menyuapkan makanan kepadanya saat waktu makan tiba sembari mengingati bahwa saat saya seperti Fayyadh hari ini pun, Bapak adalah orang tua yang ikut andil mengurusi segala keperluan saya, sebagaimana hari ini pun saya mengurus Fayyadh.

Berada di puncak kurva, semoga tidak membuat kita lupa, bahwa kita pernah ada di dasarnya, dan jika Allah menakdirkan, kelak pun kita akan kembali pada titik dasarnya.

Saat masa itu datang, saya berharap ada anak-anak shalih yang kedua belah tangannya tak berat untuk menanggung apa-apa yang tidak sanggup saya tanggung.

Sebelum masa itu datang, saya berharap dapat terus memiliki kekuatan untuk membentangkan kedua belah tangan saya agar menjadi tempat kembali dari anak-anak saya ketika mereka menemui kesulitan.

Hari ini, tiap rasa rindu pada Bapak datang, saya mendoakan semoga Allah memperbaiki keadaan beliau di alam barzakh sana, sebab tak bisa lagi Bapak menunaikan amalan apapun. Kelak, jika saya yang berada di sana, saat saya pun telah kehabisan kesempatan untuk beramal, semoga ada anak-anak shalih yang juga melantunkan doa yang sama untuk saya.

Kini, saya masih berada di puncak kurva, dan sekali lagi; Berada di puncak kurva, semoga tidak membuat kita lupa, bahwa kita pernah ada di dasarnya, dan jika Allah menakdirkan, kelak pun kita akan kembali pada titik dasarnya.

Lalu, apa yang pantas kita banggakan?

Makassar, 26/2/2017

Kamis, 16 Februari 2017

Bapak, Fayyadh Sudah Sembilan Bulan

'Mau coba gendong, Pak?' Abu Fayyadh menawarkan bayi yang dalam gendongannya. Cucu pertama di keluarga itu belum lagi genap sebulan kala itu. Bapak menggeleng. Konon sejak dulu ia memang tidak pernah menggendong anak-anaknya yang belum kuat lehernya.

'Dicoba dulu, Pak..' Abu Fayyadh kembali menawarkan. Bapak mulai terlihat tertarik. Dipasangnya model tangan yang tepat untuk bisa menimang bayi kecil itu. Saat ia berhasil menggendongnya, raut wajahnya berubah menjadi sedemikian cerah. Seolah ingin dipamerkannya kepada semua orang bahwa ia sudah bisa menggendong cucu pertamanya.

Bapak, sekarang Fayyadh sudah sembilan bulan.

Saat leher Fayyadh sudah cukup tahan untuk digendong dengan posisi tegak, Bapak sudah sakit. Padahal Mama bilang, bahwa Bapak dulu senang sekali menggendong anak-anaknya saat sudah cukup besar. Saya pun juga ingat, bahkan saat adik saya sudah berusia 3 tahun sekalipun, Bapak masih suka menggendongnya dalam perjalanan pulang kami jalan-jalan subuh.

Bapak, sekarang Fayyadh sudah sembilan bulan.

Qadarullah wa maasyaafa'alaa.. Bapak tidak sempat menyaksikan Fayyadh yang sudah lincah sekali di atas babywalkernya. Meraih apa saja yang bisa diraihnya, dan lagi heboh-hebohnya tepuk tangan sesuka hatinya.

Bapak tidak sempat menyaksikan Fayyadh yang kadang doyan saat disuapi, kadang juga geleng-geleng sendiri, kadang tiba-tiba pengennya tepuk tangan lagi.

Bapak tidak sempat menyaksikan Fayyadh mulai berceloteh macam-macam, mulai bisa dipakaikan baju macam-macam, dan hal lucu-lucu lainnya.

Bapak, Fayyadh sudah sembilan bulan. Jika adzan terdengar dan Fayyadh sedang dalam gendongan, maka saya akan mengajak Fayyadh turut menjawab adzan. Lalu kemudian memanfaatkan momentum waktu makbulnya doa di antara adzan dan iqamah. Saya akan mengajak Fayyadh turut mendoakan Bapak, semoga Bapak disayangi oleh Allah, dan kelak kita bisa berjumpa kembali dalam keadaan yang lebih baik, insya Allah.

Bapak, Fayyadh sudah sembilan bulan. Bapak baik-baiklah di sana, kami terus mendoakan.

Makassar yang hujan, menyaksikan Fayyadh dan Mama tidur siang berdampingan.
16 Februari 2017

Minggu, 22 Januari 2017

Talk To Me...

TALK TO ME...

Beberapa hari lalu saya sempat baca blog yang cerita tentang kehidupan kuliah di luar negeri plus stress atau depresi yang kadang menjangkit di dalamnya. Sebagai seseorang yang tidak pernah kuliah di luar negeri, saya tentu membaca tulisan itu dengan sudut pandang 'orang luar'. Saya jadi banyak ngangguk, banyak dapat pencerahan baru, betapa kehidupan seseorang yang kita lihat dari luar itu sama sekali tidak bisa jadi acuan kita untuk menilai.

Selama ini kalau kita melihat kawan yang kuliah di luar, paling yang terbayang ya enaknya saja. Bisa liat budaya lain, bisa jalan-jalan ke tempat asing, bisa foto-foto di kampus kerennya, bisa pamer makanan luar negeri, dan hal-hal lain yang kelihatannya enak-enak saja. Tapi kita tidak tahu, bahwa banyak di antara mereka yang mungkin tengah berjuang untuk bertahan dengan keadaannya. Yang sedang dilanda stress berat karena tuntutan akademik yang selangit. Yang sedang suntuk parah karena didera rindu pada keluarga di tanah air. Ya, kita tidak pernah tahu.

Dan parahnya, terkadang pas kita dengar bahwa ada di antara mereka yang stress bahkan hingga depresi (bahkan ada yang sampai bunuh diri), kita dengan mudahnya merasa berhak untuk melakukan justifikasi: ah kurang iman tuh, ah kurang kuat mental tuh, ah kurang ini, ah kurang anu... Padahal, kita tidak pernah tahu apa yang mereka hadapi.

Sama juga waktu banyak dibahas tentang post partum depression alias depresi pasca melahirkan. Mungkin ada yang sampai heran: lah kok bisa anak bayi yang cute dan lucu tanpa dosa itu bisa bikin ibunya sendiri nyaris gila? Mana mungkin rumah yang aman, yang tenang, yang tidak ada deadline macam kantor-kantor itu bisa bikin ibu rumah tangga stress dan butuh me time? Kok bisa sih sudah punya suami, sudah punya anak, punya gelar mulia sebagai ratu dalam rumah, malah berpikir sejenak bisa bebas dari semua itu dan jalan bak gadis lajang? Kok bisa? Kok aneh? Iya, mungkin memang aneh kalau bukan kita yang merasakan sendiri. Nyatanya, babyblues, PPD, dan semacamnya itu benar-benar ada.

Nyatanya, orang-orang yang kita anggap bahagia macam mahasiswa LN dan ibu rumah tangga itu ada yang bahkan harus berjuang menghadapi diri mereka sendiri. Nyatanya, mungkin kita hanya tidak tahu bahwa justru terkadang di balik tembok tinggi rumah yang mewah itu paling banyak jatuh air mata. Sebab kita tidak tahu, siapa yang menangis di balik pintu kamarnya, untuk kemudian tersenyum paling lebar saat harus kembali menghadapi dunia.

Ya menghadapi dunia dan orang-orang yang saat mereka ingin curhat sedikit saja , tiba-tiba mereka jadi sasaran  empuk untuk langsung dianggap lagi jauh dari Tuhan, dan orang lain tiba-tiba jadi paling bisa mengukur keimanan. Padahal memberikan penghakiman seperti itu, saat orang lain tengah terpuruk hidupnya adalah satu perilaku yang jahat.

Kenapa ya, kita sering merasa berat untuk cukup hanya mendengarkan saja. Pun saat harus bernasihat, sangat bisa sekali kita melakukannya tanpa harus menjatuhkan orang lain, membuatnya merasa sebagai pendosa, atau bahkan tidak perlu sambil memperlihatkan 'kehebatan' kita sendiri. Sebab kita tidak pernah tahu, pada nasihat yang manakah saudara kita yang sedang sempit hatinya itu bisa merasa terbantu. Kita tidak tahu, bahwa mungkin saja seseorang bisa kita selamatkan hidupnya saat kita menatap matanya dengan tulus, lalu mengucap padanya dengan lembut, ''Everything will be ok insya Allah... , just talk to me...''

Makassar yang hujan
23 Januari 2017

Jumat, 13 Januari 2017

The Journey of Motherhood

A Journey of Motherhood

Menjadi ibu adalah sebuah perjalanan. Perjuangan dimulai sejak masa kehamilan tiba. Kegembiraan saat mengetahui bahwa diri ini hamil memang begitu manis. Namun beratnya masa ngidam di hamil muda adalah jalan menanjak yang terkadang teramat meletihkan. Swing mood luar biasa di saat idealnya seorang calon ibu harus selalu bahagia. Bahkan, seseorang yang diberi kemudahan dalam kehamilan pun tak lepas dari ujian: mampukah ia menahan ujub atau berusaha untuk tidak memandang remeh para ibu yang ngidamnya kewalahan?

Saat masa hamil muda terlewat, masa bulan madu dengan cadebay pun datang. Tapi, perut tak urung makin bertambah bebannya. Makin besar, dan makin besar. Cari posisi saat berbaring pun jadi serba salah. Belum lagi saat kontraksi palsu datang. Berbagai komplikasi mengancam; plasenta previa, sungsang, preeklampsia, dkk..

Lalu melahirkan. Tak usah tanya letak perjuangannya di mana. Kata sepupu saya, rasanya kayak sakit karena seluruh tubuh dikuliti. Kalau kata saya, tak ada deskripsi yang paling tepat kecuali merasakannya sendiri. Tiap ibu punya cerita melahirkannya masing-masing.

Kemudian si bayi pun hadir ke dunia. Luar biasa rasa syukur dan bahagia itu, hingga seolah tuntas semua rasa sakit saat partus tadi. Tapi benarlah, bahwa bayi itu tidak selalu seimut yang diiklan minyak telon di tivi. Nyatanya, manusia kecil ini begitu fragile, begitu tergantung sama kita. Luar biasanya, mengurus si bayi bisa bikin ibunya jumpalitan tak jelas waktu tidur, harus terbiasa dengan suara tangisnya, meski kemudian selalu merasa damai saat memandangnya terlelap.

Perjuangan menyusui lalu dimulai di sana. Menyusui memang aktivitas yang alamiah, tapi ternyata perlu banyak ilmunya, apalagi yang mengalami proses menyusui yang bermasalah. Menyusui sampai ketiduran, menyusui sambil makan atau sambil menggendong, itu biasa.

Masuk masa di mana si kecil sudah harus makan. Pada fase ini, tak kurang pula dramanya. Begitu besar syukur dan bahagia saat si baby makannya lahap. Tapi jika badai Gerakan Tutup Mulut datang, ibu harus kembali putar otak. Saya tercengang saat seorang kawan menceritakan bahwa alasan bayi GTM bisa macam-macam. Mulai dari tumbuh gigi, bosan sama menunya, bosan sama suasananya, bosan sama warna alat makannya, bosan karena pengin makan sambil naik sepeda, dan lain sebagainya. Walah!
Fase si anak mulai bisa jalan, mulai terampil bicara, masuk masa-masa tantrum, masa-masa banyak nanya ini itu, kemudian gaul sama kawannya, menjadi remaja, kemudian dewasa. Perjalanan seorang ibu, akan terus kelanjutannya.

Bahkan hingga si anak pun punya anak, bahkan hingga si cucu pun sudah punya keluarga. Status ibu, tidak akan berubah. Dan di setiap fase ada ujiannya, pun ada nikmatnya. Di setiap fase ada pelajarannya, ada pula masa indahnya. Maka benarlah bahwa seorang wanita akan terlahir tiga kali seumur hidupnya -jika Allah berkehendak: pertama saat ia terlahir sebagai seorang anak dari rahim ibunya, kedua saat ia terlahir sebagai istri setelah dipinang oleh suaminya, kemudian saat ia pun terlahir sebagai seorang ibu, bersamaan dengan melahirkan anaknya. Dan dalam tiap perjalanan hidup anak-anaknya, dalam itu pula ia terus berjalan, dan memerankan perannya.

Makassar, Januari yang banyak mendungnya, dan Fayyadh yang sudah sliping byuti.
13 Januari 2017

Sabtu, 07 Januari 2017

Safar Bersama Bapak

Kalau ditanya apa moment yang paling dirindukan bersama Bapak.. saya akan menjawab: safar!

Dulu, Bapak punya jadwal kegiatan tiap enam bulan yang mengharuskannya berkumpul dengan sejumlah orang dari seluruh Indonesia di satu daerah. Daerahnya ini pun berubah-ubah tiap jadwalnya. Oleh panitia kegiatan itu, diberikan pula fasilitas untuk istri mendampingi suami mereka. Karena Mama tidak bisa, jadilah saya dan adik bergantian mendampingi Bapak.

Saya sudah pernah dapat 'jatah' ke Malang, Aceh transit sikit di Medan, Riau, dan Banten. Saya ingin sekali ke Jogja tapi pas ke sana ternyata yang dapat jatah adik saya. (Setelahnya ternyata saya kebagian kesempatan perjalanan lain ke KL, Pattani, Bangkok, dan Ho Chi Minh). Ketemu sama ibu-ibu istri teman Bapak yang hobi foto-foto dan shopping ke pasar di daerah manapumon kami berada. Saya sih ikut mereka saja..

Saya kangen bersama Bapak di ruang tunggu bandara. Kadang Bapak mengajak saya menunggu do lounge salah satu penerbangan yang selalu dia pakai. Saya makan puas aneka kue dan minuman, tidak mau rugi karena makan berapapun bayarannya tetap sama.

Saya kangen duduk di samping Bapak di pesawat. Bapak selalu mempersilakan saya duduk di kursi dekat jendela karena saya senang pemandangan langit dan awan. Bapak lebih banyak tidur di perjalanan, memasang headset yang tidak disambungkan dengan apapun, dan memesan jus guava saat pramugari menawarkan minuman.

Saya kangen tiba di penginapan dan membantu Bapak beberes barang-barangnya. Jika bertemu kawannya, Bapak akan memperkenalkan saya sebagai putrinya. Jika dijemput dengan mobil oleh panitia, Bapak selalu meminta saya ditempatkan di kursi depan samping supir, agar tak perlu berjejalan dengan bapak-bapak lainnya di kursi tengah. Saya kadang dapat tugas menenteng ransel hitam yang selalu Bapak bawa saat safar. Jika Bapak membutuhkan saya, saya akan terus berada di sampingnya meski harus ikut dalam rombongan bapak-bapak, jika tidak, saya akan berada di antara para ibu-ibu, atau sekalian berjalan paling belakang. Saat Bapak lelah, Bapak akan meletakkan telapak tangannya di pundak saya. Saya tahu lelah Bapak tengah bertambah jika langkahnya makin pendek dan tangannya yang menyandar di bahu saya makin berat dengan cengkraman yang makin kuat. 

Saya kangen sarapan pagi di penginapan bersama Bapak. Makan aneka makanan dan melihat Bapak selalu suka mengambil satu piring khusus buah.

Saya kangen menikmati perjalanan balik ke rumah bersama Bapak. Biasanya kami singgah dulu beli ole-ole, Bapak memberi sejumlah uang dan meminta saya bertanggung jawab pada semua pesanan orang-orang rumah.

Saya kangen menyaksikan betapa disiplinnya Bapak mengabari Mama di rumah tentang apapun dalam perjalanan kami. Saat kami tiba di ruang tunggu bandara keberangkatan maupun kepulangan, saat kami tiba di penginapan, saat acaranya tengah berlangsung, atau disetiap waktu makan tiba. 

Saya kangen ketika akhirnya tiba di Makassar kembali bersama Bapak. Biasanya kami akan singgah dulu untuk shalat di masjid bandara. Lalu terus pulang hingga tiba di rumah.

Saya kangen.
Saya kangen sama Bapak.

Makassar, sambil nunggu Fayyadh bangun dari tidur paginya.
8 Januari 2017