Jumat, 31 Mei 2013

Mamak

"Apakah orang yang bersaudara bisa menikah?", akhirnya pertanyaan itu yang terbit dari segala kebingungan gadis sepuluh tahun itu. Ya, selama ini ia hidup dengan cukup tenang. Namun, desas-desus orang-orang disekelilingnyalah yang membuatnya pada akhirnya mencoba mencari kesimpulan sendiri. Kesimpulan yang ia tuangkan dalam satu pertanyaan, yang justru membuatnya semakin bingung saja. 

.
.

Usianya baru tiga tahun saat itu. Masih terlalu kecil untuk mengingat apapun. Saat ia kemudian hidup sebagai seorang anak perempuan, adik dari seorang sulung laki-laki berwajah tampan. Wanita yang ia panggil 'Mami' itu pun dalam kurun waktu yang cukup lama, selalu ia yakini sebagai ibu kandungnya. Mami adalah seorang perempuan-superior, dengan harta melimpah berupa kebun-kebun produktif yang luas. Ia dikelilingi begitu banyak orang yang betah bekerja dengannya. Ia memang dapat merangkul siapa saja. Namun, jangan dekat-dekat dengannya saat ia marah, sebab moncong pistol menjadi senjatanya. 

"Pistol anginkah?"
"Bukan, pistol itu berisi peluru sungguhan. Mami akan menembakkannya dengan brutal jika ia sedang marah. Semua orang akan tiarap dibuatnya"

Pribadi yang unik. Hasil bumi dari kebun-kebunnya terkadang bahkan hingga diletakkan dalam karung-karung besar. Lembar dan koin-koin rupiah itu berjejal di sana, sesak. Namun, beberapa bulir nasi yang tersisa di meja, atau terbuang karena melengket di panci, dapat membuatnya murka. 

"Jangan jadi orang mubazir!," kira-kira demikian pekiknya. 

Mami menikah dengan seorang tentara. Tentara berwajah tampan, mungkin nampak seperti pria blasteran, didukung oleh tubuhnya yang tinggi dan kekar, kulit putih, dan hidung bangir; lengkap sudah. Tentara itu kemudian disekolahkan oleh Mami ke kota, tentu dengan duitnya yang melimpah. Naas, bukan hanya melanjutkan sekolah, suami Mami itu malah bertemu dengan wanita lain di sana, lalu menikah. 

Tanggapan Mami? Tentu lebih dari sebuah kemarahan. Mendengar kabar itu, sudah cukup baginya untuk menjadi alasan mengakhiri masa pernikahan mereka. Mami cerai. Lalu kemudian ia menikah lagi dengan seorang lelaki lain. Pejuang pula, namun bukan dibawah naungan institusi TNI. Ironinya, suami kedua, sekaligus terakhir dari Mami ini, dikemudian hari akan menjadi salah satu orang yang paling dicari oleh TNI, mantan suami Mami salah satunya. 

Lelaki itu mungkin tidak setampan si tentara. Namun, ia memiliki kharisma luar biasa. Kecerdasan dan kemampuan strateginya tidak diragukan. Anak buahnya banyak, hebat-hebat pula. Ia pun mengangkat seorang tangan kanan, yang tidak lain dan tidak bukan adalah kakak laki-laki dari Mami. Dikemudian hari, lelaki ini terlibat seteru dengan para TNI, ia pergi meninggalkan rumah. Lalu, kembali hanya dengan sebuah kabar; TNI telah berhasi membekuknya, ia telah meninggal. Namun, jasadnya tidak pernah benar-benar disaksikan oleh siapapun. Onggokan tubuh kaku dalam balutan kain kafan itu tidak pernah betul-betul dibuka hingga kemudian dimakamkan oleh negara. Lelaki itu, ia sebut Papi.

Cukup lama gadis kecil itu menghabiskan hari-harinya dengan keyakinan bahwa ia adalah anak dari Mami dan Papi. Berbagai fragmen pun telah ia lalui. Mulai dari kenikmatan hidup tanpa berkekurangan di rumah Mami yang begitu luas itu, hingga akhirnya 'pemberontakan' itu pecah, lalu keadaan berubah seratus delapan puluh derajat. Papi dikejar TNI, Mami dan kakak lelakinya menjadi tahanan politik. Keluarga-keluarga mereka diungsikan. Terbirit-birit ke hutan, bahkan hingga suatu hari ia menghilang dari gerombolan. Lalu di hari yang lain ia ditemukan tak sadarkan diri dengan lintah menempel di seluruh tubuhnya. Pada masa itu, kehidupan menjadi begitu sulit. Ia dititipkan pada seorang bibinya yang masih muda pula, belum bersuami. Mereka mengharap uang kiriman yang entah darimana. Saat masa 'kering' datang, ia dan beberapa orang anak harus pergi mencari kayu bakar, atau menampung air pada pipa-pipa bocor milik tetangga. Betapa nelangsa. 

Maka pada saat kondisi telah tenang, sampailah kabar bahwa Mami telah dibebaskan dari tahanan. Isu itupun muncul. Beberapa orang disekelilingnya kerap kali membisik setiap kali melihat gadis itu. Dengan bahasa bugis yang tidak pernah diajarkan kepadanya -ia hanya berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, Mami melarangnya mengguna bahasa bugis sejak kecil, orang-orang itu kerap bertanya..

"Memangnya ini anaknya siapa?", tanya mereka pada Mami. 

Jika sudah begitu, Mami akan merangkulnya, memeluknya dan mengusap kepalanya sambil tersenyum penuh arti (mungkin disertai kedipan mata pada si penanya), "Anak siapa? Ini anak saya...", ujarnya kemudian. 

Tanda tanya di kepalanya tentang hal itu membuat dirinyanya yang biasanya ceria, menjadi pendiam. Sesekali, kakak laki-laki tampan yang bersekolah di kota itu datang menghiburnya. Membawakan oleh-oleh berupa sikat gigi dan odol kecil yang tidak pernah dijual di kampung, lalu membuatnya tersenyum lagi. 

Tapi isu itu tetap mengemuka. Orang-orang menyebut kakak laki-laki Mami sebagai ayahnya. Tapi ia terlalu bingung untuk mencari dimana letak Papi, jika ada lelaki lain yang disebutnya Ayah. Selain itu, lelaki itu bukannya adalah saudara dari Mami-nya? Ia makin bingung. 

Hingga akhirnya pertanyaan itu terjawab. Setelah ia melalui lautan dengan kapal kecil kayu yang selalu terlihat akan tenggelam. Doyong kesana-kemari hanya mengharap embusan angin yang mudahkan pelayarannya. Sampai biru badannya menahan mual, bersama beberapa orang anak yang selama ini ia pahami sebagai saudara-nya. Ia menemui lelaki itu. Lelaki yang orang-orang sebut sebagai ayahnya. 

"Jadi, saya ini ayahmu...", ujar lelaki itu. 
"Lalu, Papi?", tanya gadis itu. 
"Papi itu Papimu, suaminya Mamimu.. Tapi saya adalah ayahmu, kamu juga punya ibu yang melahirkan kamu, tapi kalian belum bisa bertemu sekarang...", lelaki itu memberikan penjelasan. 

Awalnya, ia masih saja tidak bisa mengerti. Terlalu memusingkan untuk anak sekecil itu memahami sebuah konsep yang bertumpuk-tumpuk tidak jelas. Namun dikemudian hari ia akhirnya sadar, bahwa ia memang bukanlah anak kandung Mami. Entahlah, mungkin sudah menjadi bagian dari ego Mami sehingga menyembunyikan ini dari dirinya. Bahkan meski setelah ia telah mengetahui fakta itu, lalu tumbuh berkembang sebagai seorang wanita dewasa dan belajar di kampus di kota, Mami tetap tidak dapat melepaskannya. Contohnya, saat ia kemudian menikah dengan seorang lelaki yang bukan berasal dari suku mereka. Mami marah besar. Ia mungkin masih menganggap dirinya tetap memegang kendali atas hidup gadis itu. Tapi tidak lagi. Ayahnya terlanjur setuju. 

Ayahnya adalah seseorang yang anti-feodalisme. Selama ini ia berjuang, ikut dalam perang melawan penjajah dan menjadi saksi kemerdekaan, tetap dengan membawa misi menghapuskan permasalahan kasta. Ia tidak ingin mengguna gelar kebangsawanan apapun meski sangat mungkin. Bahkan hingga akhirnya orang-oranglah yang memberikannya julukan, menambah nama lain yang mereka ambil dari salah satu nama gunung yang terkenal. Dikemudian hari, oleh anak-cucunya ia dikenang sebagai seorang pejuang. Namun, buku-buku sejarah terbitan pemerintah justru menyebut ia dan kelopoknya (yang dipimpin oleh Papi) sebagai pemberontak. 'Hanya' sebab mereka memperjuangkan hal lain setelah NKRI dapat berdiri kokoh tanpa penjajahan. Mereka justru bermimpi, akan sebuah negara dengan syari'ah Islam sebagai landasannya.

Ya, demikianlah tetang ayahnya. Tapi, dimana ibunya?

Well, jika orang lain dapat hidup bersama  dan sangat mengenal wanita yang melahirkannya, tidak demikian dengan gadis itu. Baru saat usianya menginjak kepala dua, ia ditakdirkan bertemu dengan ibu kandungnya. Dari Makassar, tempatnya berkuliah, untuk pertama kalinya ia menumpang pesawat menuju Kendari, bersama ayah dan ibu tirinya (seorang janda, istri terakhir ayahnya). Di sebuah tempat yang bukan bagian dari kota, mereka sampai. Ia baru saja hendak mengistirahatkan dirinya malam itu. Saat tiba-tiba kamar yang ia tempati diketuk. Saat pintu dibuka, muncullah sesosok wanita di baliknya. 

Ia memandangi wanita itu sekilas. Mata itu... Ah, bukankah begitu pula matanya? Dan bagian dari dirinya yang tidak mirip dengan Ayah, ternyata ada pada wanita itu. 

"Saya ini ibumu." ucap wanita dengan wajah menawan itu. "Kita malam ini tidur sama-sama, yah?" ujarnya sambil melangkah ke tempat tidur. Ia hanya mengangguk. Tidak bisa mengucapkan terlalu banyak kata. Hey, bukankah selama ini ia adalah seorang aktivis perempuan paling terkenal sekampus? Dikenal pula sebagai gadis yang supel dan mudah bergaul dengan siapa saja? Tapi kenapa kali ini lidahnya kelu untuk memulai kata apapun?

Ia pun turut melangkah ke tempat tidur itu. Mengambil sisi yang lain yang tidak ditempati ibunya. Mereka lalu berbaring, lalu saling memunggungi. Beberapa menit berselang, yang ada hanya diam dan hening. Lalu tanpa komando keduanya membalikkan badan. Saling menatap dalam sepersekian detik. 

.
.
.
.
.
Lalu keduanya saling memeluk. Menangis. 

Bertahun-tahun setelahnya, keduanya kembali terpisah. Kali ini bukan oleh rahasia, atau ketidakinginan, ataupun keengganan. Mereka justru sangat ingin berjumpa, namun dalam ketidakmampuan. Gadis yang kini adalah seorang ibu dari tiga anak itu sebenarnya rela saja memilih kendara paling cepat meski harus berkorban harta, demi bertemu dengan ibunya. Namun serangkai gangguan pada syaraf, juga sesuatu tentang obat-obat yang tidak dapat ditinggalkan, membuatnya tidak mampu melakukan itu. Ia akhirnya hanya dapat menitipkan pesan pada saudaranya di kampung yang kini merawat ibunya itu. Pesan itu tidak bisa ia sampaikan langsung sebab pendengaran sang ibu kini nyaris tidak dapat lagi berfungsi.
"Minta ibu doakan saya. Maafkan kesalahan saya...", ujarnya dengan mata berkaca. 

Di hari yang lain saudaranya itu mengabarkannya. Saat menyampaikan pesannya lewat kertas dan spidol, Ibunya lalu bergumam dengan suara pelan, "Anakku yang satu itu, tidak punya dosa apapun kepada saya..".

Mendengar kabar itu, ia kembali terdiam. Sekali lagi, ia menangis. 

----------------------------------------------------------------------------------------

"Tiap orang punya ujian yang berbeda-beda, Nak.", ujar Mamak sambil berbaring, kepalanya diserbu oleng lagi setelah beberapa menit yang lalu mencoba duduk. Tuntas sudah cerita masa lalunya itu ia kisahkan pada saya. 


manusia mengakhiri urusannya
lalu mereka mencari dan mengejar,
mungkin dunia

tapi kau
tidak perlu kemana-mana untuk meyakinkan berita itu
bahwa surga
memang ada di bawah telapak kakinya

Makassar, 31 Mei 2013

Sabtu, 25 Mei 2013

Saya Mulai Menyukai Anak Ini

Ya, saya mulai menyukai anak ini. Lalu kemudian berandai-andai, suatu saat kami akan bertemu dalam perjumpaan yang tidak disengaja. Mungkin di angkutan kota? Atau di toko buku? Ataukah di masjid sehabis shalat? Entahlah. Toh, itu hanya ada di angan-angan saya. Tapi jika itu benar-benar terjadi, saya akan sangat menikmati mencuri pandang kepadanya. Mendapati wajahnya yang berhias senyum yang ramah itu. 

Dia, setidaknya mengingatkan saya pada dua orang. Yang seorang adalah seorang kawan yang lembut tutur katanya. Wajahnya selalu tampak tersenyum dan auranya selalu terasa begitu lembut. Dia adalah hangat yang bisa melelehkan saya yang sering membeku. Entah apa yang ia pikirkan tentang saya, tapi tentangnya, saya akan selalu mengingat keteguhan dan kebesaran hati. Kehebatannya dalam memaafkan, kehebatannya untuk dapat bergaul dengan siapa saja, dan -ini yang paling penting; semangatnya untuk menebar manfaat.

Yang seorang lagi adalah seseorang yang sangat manis. Wajah itu.. Ah, sama saja! Selalu nampak ceria. Seolah-olah ada bintang gemintang yang selalu berkelap-kelip di atas kepalanya. Membuatnya nampak sumringah, namun di waktu yang sama juga penuh ketenangan. Tidak ada yang menyangsikan kecerdasannya, namun ia adalah tipe orang cerdas yang sangat memesona itu; menjadi cerdas tanpa harus membuat orang lain terlihat bodoh. Betapa saya menyukainya. 

Maka sosok yang ini menggabungkan dua orang diatas. Luar biasa. Dia bukan hanya pintar, cerdas, tentu ia punya manajemen waktu yang baik. Dia pun seorang pejuang, bahkan mungkin tidak berlebihan jika menyebutnya sebagai pahlawan. Semakin lama dan dalam menyaksikan dirinya, maka rasa itu saja yang terus menerus muncul; saya mulai menyukai anak ini.

Jika ia adalah warna, rasanya tak cukup menggambarkannya dengan satu warna saja. Sebab ia begitu kompleks; dengan ketenangan, keceriaan, keahlian berbahasa, keterampilan bergaul, kepekaan rasa, sensitivitas yang tinggi, dan.. sesekali saya mendapatinya menggalau pula. Tapi tak mengapa, toh itu adalah hal yang wajar untuk usianya. Dan ya! Dia juga adalah seorang pemberani yang sangat-sangat jujur. Dia punya kemampuan yang baik dalam mengolah kata, namun itu tidak membuatnya menjadi tergoda untuk bergenit-genit dalam merangkainya; saya justru lebih sering menemukan kejujuran, namun tetap masih memerlukan kemampuan membaca lebih 'dalam' untuk menemukannya. Untungnya, ada jalinan benang merah yang dapat saya untai dari berbagai macam tarikan-tarikan. 

Saya berharap bisa berinteraksi dan berkenalan dengannya. Saya masih malu-malu. Meski saya tahu, dia pasti dapat dengan mudah mencairkan kebekuan yang saya ciptakan sendiri. Tapi, saya masih perlu menentukan waktu yang tepat. Seperti biasa, overthinking membuat saya mempertimbangkan dan memprediksikan langkah setelah langkah setelah langkah. Lama. Jika dia jadi saya, mungkin dari kemarin-kemarin kami sudah saling tahu. Ah, sudahlah...

Jika kamu sama seperti saya, saya yakin kamu pun akan mudah menyukainya. Hmm.. Hey.., jangan-jangan kamu sudah lebih dahulu menyukainya pula? Hahaha.., saya tidak sabar menantikan bagaimana kelanjutan cerita ini! Akhir-akhir ini prediksi saya lumayan bagus, semoga kali ini pun begitu. 

Makassar, 25 Mei 2013
Tentang seorang adik yang cantik, apakah titik kita akan bersinggung suatu masa?

Rabu, 22 Mei 2013

Bicaralah...


Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
maka (jawablah), bahwa Aku adalah dekat.
Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,
maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku)
dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. 
(QS. Al Baqarah, :186)


Televisi rusak. Ada gambar, tidak ada suara. Begitulah kira-kira cara beberapa orang menganalogikan orang lain yang tidak begitu gemar berbicara. Manusia sebagai makhluk sosial agaknya mempersyaratkan komunikasi sebagai satu hal yang mutlak. Dan komunikasi yang paling jamak adalah dengan bicara.

Banyak orang yang gemar bicara. Mereka berbicara apa saja. Kadang kecepatan lisannya melebihi kecepatan pikir otaknya. Berbicara menjadi satu hal yang mudah dan tidak perlu terlalu panjang pertimbangan. Kemanfaatan? Tidak jadi soal. Ada begitu banyak kata-kata yang harus diucapkan, sehingga hitung-hitungan manfaat dianggap hanya akan membuat segalanya menjadi kaku dan sulit saja. Celetuk sana dan celetuk sini adalah hal yang biasa. Menyakitkan? Itu pun bukan menjadi bahan pikiran. Toh setiap orang dianggap memiliki hak untung mempergunakan mulutnya.

Banyak orang yang berbicara dengan begitu menyenangkan. Mungkin, kemampuan berpikirnya layaknya pembalap F1. Kreatifitas dan wawasannya membuat berbagai macam topik dapat ia rajut dan rapikan dengan begitu menawan. Duduk dengan siapa saja, kapan saja, dimana saja, seperti disulap dengan mantra, dan.. aha! Ia langsung dapat membicarakan banyak hal dan membuat suasana menjadi hingar bingar; terang benderang. Orang-orang akan betah berlama-lama di dekatnya. Orang-orang akan dapat dengan mudah merasakan kehangatan dan keakraban dengannya. Lisannya mudah memuji, gampang bercanda, dan ringan pula bersimpati, apalagi sekadar bertegur sapa, menanyakan kabar.

Banyak orang yang berbicara seperti payung, atau daun pisang, atau beranda rumah di saat hujan; meneduhkan. Bibir itu hanya sesekali saja berucap. Namun, sekali ia mengeluarkan suara, maka begitu banyak telinga yang siap mendengarkannya. Ah, begitu banyak pula hati yang dapat dirasuki oleh kesejukannya. Beberapa pasang mata bahkan hingga berkaca-kaca. Kata-katanya menenangkan. Seperti menghapus noda-noda buram dan menggantikannya dengan cahaya. Tiada perkataan yang sia-sia. Tiada kata yang mengalir tanpa makna. Bahkan ada yang bersedia menuliskan, merekam-abadikan tiap kalimatnya. Mungkin, saat sang pemiliki perkataan telah tiada, tiap pembicaraannya bisa jadi masih dikenang oleh orang-orang yang pernah mendengarnya, bahkan meski ia sendiripun tidak pernah benar-benar mengingatnya.

Banyak orang yang berbicara dengan sayap, mengawang-awang. Indah, namun menyisakan kerutan pada kening. Atau menyisa prasangka. Atau semacam getaran tak terdefinisi, tak pula pasti. Entah apa maksud yang seperti ini. Mungkin, ia lebih sedang berbicara pada dirinya sendiri. Mungkin, ia pun belum teramat yakin dengan yang sedang ia bicarakan. Namun, ia menikmatinya saja. Mungkin suatu hari semua itu akan terterjemah, dan saat masa itu datang, ia telah yakin dengan seyakin-yakinnya. Dan ia akan membicarakannya dengan lebih jelas dan nyata. Maka nikmati saja. Toh, ia tidak sedang berdusta. Perkataan yang dusta, yang bohong itu adalah yang tidak sesuai dengan kenyataan. Beberapa orang pun melakukan pembicaraan yang bohong ini. Lalu ia dituduh berbohong, lalu ia membicarakan kebohongan yang lain untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Demikian seterusnya hingga kebohongannya yang telah berderet seperti kereta api itu, akhirnya terbongkar. Ada banyak cara sehingga aib terbuka lebar, diketahui oleh begitu banyak orang. Sebaliknya, saat sebuah kebohongan dipercaya, itu bukan berarti bahwa kebohongan itu telah berhasil menutupi dirinya, hanya saja, Allah belum menakdirkannya untuk ketahuan saja. 

Diantara itu semua, yang paling indah adalah berbicara denganNya. Berbicara denganNya secara langsung dan tanpa perantara adalah momentum yang luar biasa bagi setiap hamba. Beberapa orang menyepelekannya. Namun yang lain begitu yakin akan kekuatan doa. Begitu banyak orang yang terhindar dari putus asa atau pun tidak menjadi gila karena keyakinannya bahwa; sebesar apapun sebuah masalah, meski tidak sanggup diselesaikan oleh sekuat apapun, sehebat apapun, sebesar apapun, secerdas apapun seorang manusia, namun masih ada Allah tempat mengadukan segala. Mereka mengadu bukan sebab menyangka Allah tidak tahu. Bukan. Namun, bersama dengan pembicaraan itu ada ketundukan yang setunduk-tunduknya, ada kemesraan yang tidak bisa ditukar dengan apapun juga. Berbicara denganNya, adalah sebaik-baiknya percakapan. Itu saja yang bisa kita lakukan kini. Namun, semoga nanti dapat ditambah dengan menatapNya secara langsung pula, di syurga yang penuh keindahan. Semoga. 

Makassar, 22 Mei 2013

bicaralah...

“Nak, ayo kita lari ke syurga!”, ujar wanita itu kepada anaknya. Sang anak hanya tertawa, tapi ada bulir bening di ujung matanya.  Selalu begitu, mereka tidak harus bicara banyak, untuk bisa saling memahami. 

Rabu, 15 Mei 2013

Tetangga Kecil (part 2)

"Kakak!"
Pemilik suara itu tersenyum, memperlihatkan gigi-gigi kecilnya. Matanya membulat. Telapak tangannya melambai.

Itu Baim.

Baim adalah salah seorang tetangga kecil saya. Sekilas tentang sosoknya pernah saya ceritakan dalam postingan di sini

Oh iya, sekarang aktivitas 'salim' para tetangga kecil saya sudah mengalami penurunan. *hehehe... Namun, Baim adalah salah satu yang masih tetap istiqamah dengan kebiasaan bersalim-ria itu. Jika tidak salim, saat melihat saya, minimal ia akan menyapa sambil melambaikan tangan. Atau jika sedang dalam kondisi 'ndak mood', semisal habis berkelahi dengan salah seorang temannya, atau habis menangis, Baim akan tetap melambaikan tangan saat saya sapa, bahkan meski masih dengan tampang cemberutnya. 

Nah, selain salim-salim-ria, Baim terkadang main ke rumah saya. Salah satu syarat untuk boleh-masuk-ke-rumah-Kakak adalah kalau sudah mandi. Terkadang Baim muncul diambang pagar memang sudah mandi. Tapi di waktu yang lain dia 'nekat' ingin tetap masuk walaupun belum mandi. 

"Baim sudah mandi?", tanya saya
"Sudahmi...", ujarnya, dengan nada bohong yang terasa. Hehehe..
"Aiih, Baim bohong... Itu bajunya belum diganti dari kemarin sore..." ujar saya sambil tersenyum mendapati wajah Baim yang malu-malu. Ketahuan.

Jika sudah begitu, bocah ini akan berlari menuju ke rumahnya. Kadang dia benar-benar pulang untuk mandi. Terkadang, dia punya 'jurus' lain. 

Si Baim akan muncul kembali dengan wajah berlepotan bedak. Sayangnya, Baim lupa kalau bajunya tidak ia ganti. 

"Sudahma mandi, Kakak..", ujarnya, bangga. 
"Lho? Kenapa ndak ganti bajunya, Baim?", tanya saya
"Ih, ini sudahma pake bedak...", jawabnya sambil mengelus pipinya yang berbedak. 

Baim..Baim... *geleng2 kepala*

Jika sudah 'lolos' masuk rumah dan bertemu dengan ibu, maka biasanya bocah ini akan merajuk ingin uang jajan. Oleh ibunya, Baim sebenarnya sudah dilarang melakukan kebiasaan ini. 

"Dimalaika Mama kalo minta uang (Saya dimarahi sama Mama kalau minta uang)...", ujarnya suatu hari. 

Nah, suatu waktu, saya sedang mengetik sesuatu di kamar ibu, di sebuah meja yang berada di dekat jendela yang mengarah langsung ke jalanan depan rumah. Di sanalah si Baim berdiri, di samping sebuah pohon yang ditanam berjejeran di depan rumah kami.

"Halo, Baim!", saya balik menyapanya. "Kenapa tidak pergi sekolah?", yang ini jelas pertanyaan bercanda. Wong si Baim memang belum sekolah. Hehehe...

"Libulka, kakak..", ujarnya, ada senyuman keusilan di ujung bibirnya. Anak ini membalas bercandaan saya dengan bercanda juga rupanya. Ckckck..

"Kakak...", ujarnya kemudian. Tangan kecilnya nampak memegang sehelai daun dari pohon di sampingnya. "Kakak, mauka cabut ini daun...", ia terlihat bersiap menggenggam daun itu lebih erat. 

"Eeeh..ndak boleh, Baim.. Ndak boleh cabut-cabut daun...", jawab saya.

Sejurus kemudian muncul lagi senyum usil di bibir bocah itu. "Kalau cabut daun nanti ndak dikasi uang, Kakak?", tanyanya. 

Beberapa detik saya berpikir. Wah, anak ini sedang menggunakan logika terbalik rupanya! Anak kecil memang tidak ada menyerahnya yah! :) 
 
Makassar, 15 Mei 2013
*saya berdoa semoga Baim tumbuh besar dan menjadi anak yang shaleh. Aamiin :)

Kamis, 02 Mei 2013

Per-ca-ka-p-an


Jangan beri tahu siapa-siapa tentang ini...”, ucapnya, lirih.

Langit sedang tidak biru. Hujan merintih satu per satu. Menyisakan tanah yang basah dan bau khas.

Aku telah membaca banyak hal tentang mimpi dan motivasi. Mereka, orang-orang yang memotivasi itu, menyebutkan cita-cita luar biasa yang seperti menggantung di langit yang paling tinggi. Hebat sekali.”, lanjutnya. Datar-datar saja, tanpa semangat.

Tapi pada titik ini, aku mencoba untuk menginsyafi. Hmm... ternyata...”, ia menghembuskan nafas pada huruf terakhir ucapannya.

Ternyata aku masihlah gadis kecil belasan tahun yang lalu. Dan tahukah, mimpiku ternyata adalah mimpi belasan tahun yang lalu itu. Semesta dan orang-orang saja yang berganti di sekelilingku.”.
Aku beruntung,” ucapnya, ada senyum di sudut bibirnya. “Aku sekarang berada dalam kondisi yang dapat mewujudkan mimpi itu.”, lanjutnya.

Aku tidak mengerti


Aku hanya tidak mengerti. Pada sepasang manusia yang saling mencintai sejak lama. Mereka bahagia, atau setidaknya nampak bahagia saat melalui masa-masa yang menyenangkan. Tapi, mereka seperti memutuskan untuk ditinggalkan, atau memutuskan untuk meninggalkan, saat kondisinya tidak lagi sama.”, ia mengerutkan kening.

Atau jangan-jangan...”, air matanya mulai menggenang. “Itu bukanlah cinta? Atau justru itulah ekspresi cinta mereka yang sebenarnya?”, meneteslah bulir bening itu dari matanya –berlomba dengan tetes-tetes hujan.

Aku hanya berpikir, semuanya mungkin akan lebih mudah jika aku berada di posisi yang lain.”, tangisnya mereda. Yang mendengarkannya hendak mengulurkan usapan lembut untuk menenangkannya.

Lamat-lamat ia mendengar sebuah ayat di telinganya. 
Laa yukallifullahu nafsan illa wus'aha..

Jangan!”, ia menyanggah usapan itu, “Aku sudah terbiasa mengusap air mataku sendiri...”, ucapnya.

"Banyak hal bisa saja habis. Kecuali kesabaran.", lanjutnya.

Lalu seseorang datang membawa roti yang enak, beberapa saat setelah air matanya mulai mengering. Ia tersenyum sambil mengunyah. 

Mungkinkah ini cara untuk menghiburku, Tuhan?”

Makassar, 2 Mei 2013