Senin, 31 Desember 2012

Surat Untukmu, Nak


Nak,

Entah mengapa malam ini aku sangat ingin berbincang denganmu. Maka kutuliskan surat ini, dari ketinggian lantai tujuh sebuah bangunan pada malam pergantian tahun. Bukan. Bukan untuk turut merayakannya. Tapi justru untuk menghindari suara gempita kembang api dan petasan yang beberapa tahun lalu sempat memperburuk kondisi kesehatan ibuku –nenekmu, akibat shock berat akibat bunyi petasan pada jam 00.00 itu.

suara petasan mulai ramai, padahal pergantian tahun belum juga dimulai


Kelak, janganlah kau seperti mereka, Nak. Mereka yang melakukan berbagai hal tanpa pernah benar-benar mengilmuinya. Bahkan mungkin, tanpa ingin dan tertarik untuk mengetahui asal-muasal perayaan itu. Sehingga, mereka kemudian mengerjakan sesuatu dengan mengikut pada kesukaan orang banyak. Meniupkan terompet, tidak peduli pada guyuran hujan, meminum minuman yang memabukkan, bahkan melakukan dzikir massal yang tidak pernah dicontohkan Rasul. Maka seberbusa apapun mulut orang-orang yang sadar itu untuk mengingatkan mereka, tetap saja hidayah kebenaran itu adalah hak-Nya.

Mungkin, perayaan-perayaan ini menemukan pembenaran sebab telah terlalu banyak orang yang melakoninya. Padahal Nak, terkadang kebenaran bukan hanya dapat kita temui dalam banyaknya jumlah. Bahkan justru bukankah, semakin bumi ini tua, maka nilai kebaikan pun akan makin samar dan terasingkan? Maka percayalah Nak, betapa kita harus bersyukur sebab terlahir dengan agama yang begitu menjujung tinggi tradisi ilmu. Pun budaya membaca dan menulis yang tak lepas darinya. Bersyukurlah, dan teruslah menjadi pembelajar.

Tahukah kau bahwa kini aku pun sedang melakukannya? Ya, belajar. Terkhusus mempelajari bagaimana seharusnya membersamaimu kelak. Mendidikmu di masa depan. Dan kudapati, ternyata itu bukanlah suatu hal yang mudah. Maka benarlah, pembelajaran tentangnya memang tidak bisa dilakukan dengan tiba-masa-tiba-akal. Ada banyak hal yang harus dipahami. Ada sudut pandang yang harus digeserkan. Setelah bertahun-tahun berada dalam posisi anak, tanpa pernah merasai jerihnya sebagai orang tua.

Maka semakin kupelajari itu, semakin pula kuinsyafi mengapa posisi kedua orang tua menjadi teramat penting, ditinjau dari sisi manapun! Tersebab tugasnya yang memang berat, bukan hanya masalah mencukupi kebutuhan lahiriyah seorang insan baru, namun lebih dari itu; membangun generasi penerus. Maka itu pula berarti membangun peradaban masa depan. Ah, entah seperti apa zaman yang akan kau hadapi, Nak. Maka untuk itu, akupun semakin sadar betapa banyak hal yang memang harus kupelajari lagi, kubaca lagi, untuk kelak kuajarkan kepadamu.

Maka peradaban itu kita akan bangun bersama dari sana. Dari sebuah rumah yang semoga akan selalu kau rindukan untuk pulang padanya, sejauh apapun kau kelak telah melangkah. Tak perlu megah ataupun mewah, namun kita harus pastikan ia menjadi tempat dimana kalimat Allah kita tinggikan bersama. Menjadi bangunan yang tiap sudutnya mengingatkan kita pada dzikir. Dan ketenangannya mampu membangkitkan kembali semangat-semangat yang mungkin terserak setelah aktivitas seharian itu.

Dari sana Nak, setiap pagi kita akan melepas kepergian lelaki itu. Lelaki yang kelak akan kau panggil ‘Ayah’. Aku pun belum tahu siapa dia, dan bagaimana pula sosoknya. Apakah ia juga senang menulis puisi dan menyukai warna biru? Hahaha..., entahlah! Sepertinya itu bukan hal yang teramat penting, bukan? Yang terpenting adalah, kebaikan agamanya dapat menuntun kita semua menuju syurga, berkumpul kembali di sana dalam kekal. Yang terpenting adalah, kita dapat benar-benar yakin dan percaya, bahwa setiap rezeki yang ia suapkan ke mulut kita adalah yang halal-halal saja. Yang terpenting tentu saja, ia layaknya seorang imam yang mendoakan kita, dan kita pun mendoakannya. Maka dari itu, Nak. Lelaki yang kau panggil Ayah itu sungguh menanggung beban yang berat. Juga ujian dan rintangan yang juga tidak ringan. Maka cintailah dia, berikanlah baktimu padanya, karena Allah saja. Mungkin, kau akan mendapati wajahmu pada wajahnya, dan sebaliknya pula. Maka kasihilah ia, hingga seterusnya, hingga tua menggamitnya dalam rambut beruban.

Oh iya, di masa kecilku dulu, aku sering membaca dongeng-dongeng dari barat sana. Rangkaian ceritanya telah mendunia. Namun, sebagian besar ditutup memang dengan ending yang indah; bahagia selamanya. Karena itulah, Nak. Kuharap kau tidak perlu membaca cerita-cerita macam itu di masa kecilmu nanti. Cukup aku saja.

Sebab, tahukah?

Hidup yang bahagia selamanya itu tidaklah ada. Kehidupan yang terus menerus diwarnai suka cita itu memang hanya ada dalam cerita tak nyata. Sebab hidup ini Nak, sesekali akan diselingi dengan kesukaran, kesulitan, bahkan kepayahan. Mungkin kau akan menangis karenanya, terluka, dan tertekan. Ah, aku bukan sedang ingin menakutimu, sungguh!

Maka begini saja, bagaimana kalau kita cukup menjadikan kisah para nabi sebagai dongeng menjelang tidurmu? Aku dan ayahmu mungkin akan membacakannya bergantian, atau bersama-sama –entahlah. Tapi dari kisah para nabi itu kita belajar bersama, bahwa hidup yang tidak mudah ini, bukanlah tanda bahwa Allah tidak adil. Justru, dari kesulitan kita akan lebih mudah bersabar. Bahkan tahukah kau, justru para manusia terbaik itulah, para Nabi dan Rasul, yang merasakan seberat-beratnya ujian hidup, karena tingginya keimanan mereka. Maka saat ujian itu datang, kenikmatan kecil sekalipun akan dapat tersyukuri. Maka sabar dan syukur itu anakku, kata Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu adalah dua tunggangan yang tidak perlu kau khawatirkan akan gunakan yang mana. Keduanya akan saling kait-mengait. Panggil-memanggil. Maka ya, kami tidak menjanjikan bagimu kehidupan yang bahagia selamanya itu, tapi maukah kau bersama-sama menjalani setiap detik kebersamaan kita nanti dengan sabar dikala cobaan dan syukur dalam kenikmatan?

Nak, seperti apapun kau nanti. Lelaki ataupun perempuan. Ceria ataupun pendiam. Cukuplah kau menjadi dirimu sendiri. Namun, itu bukan berarti kau tidak perlu mencari teladan dalam bersikap dan menyikapi hidup. Temukanlah paket lengkap dari kehidupan dalam diri Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam. Belajarlah kebeningan nurani dari Abu Bakar. Menjadilah tegas dalam kebenaran layaknya Umar. Pupuklah kelembutan hati dan kedermawanan seperti milik Utsman. Lalu contohlah kecerdasan dari  Ali bin Abi Thalib, radhiyallahu ‘anhum. Tak harus persis Nak, sebab tentu saja itu sulit. Sedikit saja, perlahan saja. Namun tetaplah niatkan, bahwa besar inginmu meneladami mereka, generasi paling bercahaya itu. Bahwa kau cinta pada mereka, dengan sebenarnya cinta. Maka semoga kelak itu pula yang menjadi sebab dibersamakannya kau –dan kita,  dengan mereka di tempat terindah bernama syurga.

Maka harus segera kuselesaikan tulisan ini, agar esok tak terlambat memulai hari. Penanggalan masehi akan berulang lagi. Kehidupan akan kembali berlanjut. Sungguh, aku tidak tahu apa yang akan menantiku di depan sana. Tapi Nak, bukankah sebab terhijabnya kita dari masa depanlah, yang membuat kita menjadi bersemangat untuk mengikhtiarkan yang terbaik dalam hidup?

Humm, aku tidak tahu kapan kita akan berjumpa, bahkan apakah kita memang akan benar-benar berjumpa. Tapi, Nak. Menulis ini saja semoga sudah menjadi satu manfaat bagiku. Sebab segala hal yang kubincangkan padamu, sebenarnya hanyalah satu caraku, untuk membincangi diriku sendiri, menasihati diriku sendiri. Maka, terima kasih.

Makassar, 31 Desember 2012
2012 adalah harapan
2013 semoga menjadi pencapaian

Minggu, 30 Desember 2012

Saya Tidak Bisa Mengerti



Lelaki itu jelas telah melakukan kesalahan besar. Fatal sekali. Kehidupan masa lalunya sebagai seorang yang bekerja di bidang pengadaan bahan bakar gas, ternyata bisa mendatangkan banyak uang. Banyaknya uang berkombinasi dengan kondisi dimana ia dituntut selalu jauh dari keluarga ternyata membuatnya gelap mata. Saya tidak bisa mengerti, mengapa ia bisa lupa pada istri dan tiga orang anaknya yang masih kecil-kecil, saat ia kemudian berani-beraninya main perempuan. Perempuan yang berselingkuh dengan suami orang itu pun –yang inipun saya tidak bisa mengerti; bagaimana bisa seorang perempuan tega menyakiti perempuan yang lain? akhirnya membawanya pada dunia kelam penyalahgunaan narkoba.

Maka lengkap sudah.

Tidak ada harta yang tersisa akibat gerogot perempuan nakal dan obat-obatan terlarang itu. Lalu musibah berikutnya datang ketika sang lelaki digerebek polisi saat sedang ‘high’. Maka diboyonglah ia dan perempuan bejat itu ke hotel prodeo. Bertahun lamanya ditahan di sana. Menyisakan malu yang tak tertanggungkan, dan tiga orang anak yang kehilangan sosok ayah, namun harus tetap diberi nafkah.

Maka saat itulah sang ibu harus bersusah payah melengkapi dua sosok sekaligus bagi anak-anaknya. Segala pekerjaan ia tekuni, mulai yang wajar, hingga yang berbau maskulin, dilakukannya untuk menyambung hidup., asalkan halal.  Tidak ada pilihan lain. Bagi mereka, inilah kehidupan keras yang sebenarnya. Anak-anak kecil itu, dipaksa pula untuk segera merasa dewasa. Dipaksa untuk segera mengerti bahwa memang hidup tidak mudah. Anak sekecil itu, harus ditinggal pergi oleh sang ibu yang bekerja diluar. Tanpa pengawasan siapapun kecuali para tetangga yang sesekali melihat mereka dari daun jendela rumah masing-masing. Mereka memang bermain, tertawa, menangis seperti anak-anak lain. Namun semuanya tentu akan terasa berbeda, tanpa ayah. Tanpa ayah mereka.

Suatu hari anak kedua dan ketiga itu ditinggal di rumah –seperti hari-hari lainnya, hanya berdua saja, sebab kakak pertama mereka pergi sekolah, juga seperti biasa. Hujan turun mengguyur kota, maka mereka tidak bisa bermain keluar; berkeliling dengan sepeda bututnya, atau sekadar berdiri di depan rumah melihat-lihat orang yang lewat. Keduanya hanya duduk termenung di depan teras. Ah, mereka bahkan belum genap lima tahun! Hanya mereka dan Tuhan yang tahu apakah perut-perut kecil mereka sudah terisi penuh atau bahkan kelaparan? Hanya mereka dan Tuhan yang tahu adakah mereka akan ketakutan sekiranya guntur menyambar? Ibu, ibu mereka sedang mencari nafkah di luar sana, di bawah guyuran hujan pula. 

Awalnya, keduanya nampak tertawa-tawa. Bahagia dengan cara mereka sendiri; anak kedua itu duduk di tumpukan kayu dan kardus bekas di teras mereka yang menumpuk tinggi, menggoyang-goyangkan badannya hingga benda itu seperti terayun-ayun. Si bungsu menatapnya sambil tertawa-tawa. Hingga kemudian, goyangan itu membuat dirinya kehilangan keseimbangan. Jatuh. Lalu darah merembes dari betis kecilnya yang kurus. Tawa seketika berubah tangis. Sang bungsu hanya menatap kakaknya yang menjerit kesakitan, entah mengerti atau tidak.

Bocah kecil yang terluka itu menangis keras, memegangi lukanya yang mengeluarkan darah. Tapi tak lama. Masih dengan sesunggukan, ia lalu masuk ke rumah kecilnya yang tidak pernah rapi, mengambil sehelai kain yang nampak tak bersih, lalu menutupkan lukanya dengan kain itu. Masih menangis.

Lalu ia duduk di depan pintu rumah, dengan air mata berlelehan di pipi, menatap hujan yang masih terus berlanjut. Si kecil juga ikut masuk, lalu muncul keluar di depan pintu pula sambil menarik sebuah bantal guling, lalu berbaring di samping kakaknya yang masih meringis dan bersandar di depan pintu. Keduanya menatap hujan yang masih terus berlanjut. Ah, hanya mereka dan Tuhan yang tahu, adakah sakit di lutut itu lebih perih dibandingkan sakitnya kehidupan yang mereka hadapi?

Lelaki macam apa, yang tega melakukan berbagai kesalahan, dan menyebabkan pilunya hidup anak-anak yang harusnya ia pertanggungjawabkan?

Hingga hari itu tiba. Hari dimana si lelaki telah menuntaskan masa tahanannya. Lalu kabarnya pun tiba hingga ke rumah kecil itu. Sore hingga malam ia bercakap dengan istrinya dan anak-anaknya.

Nanti kalau ayah pulang, saya akan dibelikan barbie dan mainan masak-masakan...” ujar bocah perempuan itu menceritakan percakapannya dengan sang ayah.

Pantasan dari kemarin kayaknya berbunga-bunga... Rupanya habis ditelepon toh...” sahut ibu-ibu tetangga, menggoda perempuan yang bertahun ditinggal suaminya itu. Yang digoda hanya tersipu malu, menyisakan senyum di sudut bibirnya.

Saat menyaksikan sebuah truk pengangkut tabung gas, ia bahkan sempat bercerita, “Suami saya dulu bekerja begitu, uangnya banyak Bahkan hampir semua orang-orang di situ mengenal saya. Sampai kemudian perempuan nakal itu masuk ke kehidupan kami...” ujarnya. Ada nada bangga atas pekerjaan suaminya di sana.

Saya tidak bisa mengerti; mengapa kau bisa mengenang lelaki itu lagi?

Melalui tingkah polah keluarga tersebut, saya mencium adanya gelagat bahwa mereka akan kembali menerima kedatangan lelaki itu. Saat si lelaki mendapat perkerjaan kelak, sepertinya mereka akan kembali melanjutkan hidup seperti keluarga normal lainnya; dengan ayah, ibu, dan anak-anak.

Maka saya tidak bisa mengerti, mengapa mereka bisa menerima lelaki itu kembali?

“Mungkin dia punya pemikiran lain. Sakit hati itu pasti, tapi ada anak-anak yang harus tetap dinafkahi. Dengan adanya suami, hal itu bisa berlangsung dengan lebih baik. Dia tentu bukan hanya memikirkan dirinya, perasaannya sendiri. Lebih dari itu, ada anak-anak yang masih panjang masa depannya, yang harus ia jadikan rencana dan perhitungan untuk melanjutkan hidup”, seorang wanita yang lain menjelaskan itu pada saya.

Dan, ah.. Entah kapan saya bisa mengerti.

“Mungkin, memang akan ada hal-hal yang tidak akan bisa kita mengerti,
bahkan hingga kita mati.“

Ruang Tamu, 31 Desember 2012

Jumat, 28 Desember 2012

Aku Ini Istimewa...


Gadis itu akan menceritakan kisahnya pada saya. Sesekali ia memandang jauh ke arah tak terbatas. Seolah sedang mencoba menguak kembali kenangan masa lalu dan menghadirkannya. Bukan untuk apa-apa, katanya. Tapi agar terperlihatkan, bahwa memang tak ada hidup yang sempurna. Bahwa segala masalah itu, kadangkala akan muncul dan membuat segalanya terlihat kacau balau. Tanpa mungkin kita sadari, bahwa justru masalah hidup itulah, yang menyempurnakan kehidupan. Bukan untuk apa-apa, katanya. Selain untuk membagikan kisah, lalu membuat setiap orang percaya, bahwa setiap jiwa berhak untuk merasa istimewa.
Ia berdehem sejurus kemudian. 

Lalu memulai kisahnya dengan sebaris kalimat; Aku ini istimewa....

Aku ini istimewa. Sebab aku lahir dari keluarga yang nyaris sempurna. Ayah dan ibuku adalah pemuda dan gadis terbaik di jamannya. Ayah adalah lelaki pendiam dan sederhana. Ia tidak banyak bicara, datang dari sebuah kampung yang terkenal dengan kegarangannya, maka mungkin ia adalah anomali. Meski menempuh studi dalam jangka lama, melintas berbagai generasi di kampusnya, namun itu tidak mengubah pandangan siapapun tentang dia; ia pemuda yang cerdas. Kota tempat ia menuntut pendidikan tinggi itu menjadi saksi; ia mengisi masjid dengan ceramah sebagai ustadz muda yang ‘baru jadi’. Ia sibuk sebagai anak pramuka. Melintas lautan dengan kapal besar yang terkenal. Menjelajah dengan pesawat udara lalu terjun payung kemudian. Ia juga belajar menembak hingga salah satu sisi pendengarannya menjadi terganggu di masa depan. Membereskan urusan kampusnya, lalu segera terangkat sebagai dosen di sana.

Ibuku adalah primadona kampus. Berkulit putih bersih dan berwajah cantik, digilai para pria. Menjadi perempuan pertama yang muncul dengan jilbab dan motor bebek hitam yang mengilat. Cerdas pula. Di masa selanjutnya, ia menjadi satu-satunya dosen perempuan yang bisa menundukkan para cecunguk kampus yang suka bikin ricuh. Keduanya kemudian menjalin kasih, tanpa seorang pun tahu. Tanpa seorang pun tahu tentang berlembar-lembar surat cinta itu. Tanpa seorang pun tahu hingga keduanya menikah. Lalu melahirkan anak; seorang lelaki pertama yang dikemudian hari akan menjadi seorang pemuda jenius. Seorang anak kedua, perempuan yaitu aku. Dan anak terakhir yang terlahir cantik dan kemerahan itu.

Semuanya sempurna hingga di waktu yang entah –sungguh, aku telah lupa. Saat jarang lagi kudapati nasi goreng nikmat buatan ibu. Tidak pernah lagi aku  diajak untuk menjemput adik di sekolah taman kanak-kanak. Saat sepulang sekolah, aku hanya mendapati ibu terbaring menahan sakit yang tidak pernah kumengerti. Orang-orang itu berbicara tentang jantung, kolesterol, syaraf, dan istilah yang bagiku terdengar seperti bahasa alien.

Aku ini istimewa. Sebab pak guru di SD tidak pernah tahu bagaimana aku menahan takut saat ia memaksa kami giat belajar dengan mendeskripsikan bagaimana jika orang tua kami meninggal. Bagi teman-teman yang lain itu sekadar motivasi. Tapi bagiku, hal itu sangat mungkin nyata terjadi. Aku ini istimewa, sebab tukang becakku tidak pernah tahu, bagaimana aku menyembunyikan tangis dalam perjalanan pulang sekolah. Takut, saat tiba di rumah, aku hanya akan mendapati jasad ibu yang kaku, seperti yang digambarkan pak guru.

Hingga hari itu tiba, ayah mengajak kami ke Jakarta. Ibukota negera tempat Dufan berada. Kami di sana akan tinggal di rumah teman ayah yang seorang anggota DPR. Kami ke sana dengan sebuah kapal laut, lalu aku tahu Ayah tidak dapat tiket untuk kelas yang menggunakan kamar. Aku tahu tiket kami kelas ekonomi, hingga kami harus tidur di lorong-lorong kapal. Tak mengapa, sebab kami akan ke Jakarta. Di sana, kami tidur melantai dengan karpet di ruang tengah. Suatu hari kami diajak ke Sea World. Suatu malam, sang empunya rumah yang bekerja hingga larut itu membawakan kami hamburger yang enak, kumakan sedikit-sedikit. Hingga suatu waktu, ayah mengajakku ke Monas, makan pangsit yang tidak kuhabisi. Lalu saat pulang ke rumah, kejadian itu terjadi.

Aku baru tahu bahwa kami ke sini sekaligus untuk membawa ibu berobat. Obat satu paket untuk satu pekan seharga sepuluh juta. Kami sudah satu pekan di sini. Obat itu nampaknya sudah habis, dan kami tidak punya uang lagi.  Dan kulihat ibu menangis. Kudengar ibu mengucap kata ‘mati’ berkali-kali. Kudapati ayah juga menangis, pertama kalinya. Orang-orang yang tidak kukenal di ruangan itu juga menangis. Ruangan itu seolah dipenuhi awan mendung yang tebal dan panggil-memanggil. Tiba-tiba aku tidak bisa mendengar apa-apa.

Aku ini istimewa. Sebab aku menahan tangisku, walau aku takut sekali. Aku tidak ingin kehilangan ibu. Aku belum bercerita bahwa tadi aku sudah berfoto di depan monas. Aku belum pernah ranking satu di sekolah. Aku tidak menangis, tapi masuk ke kamar mandi. Di kamar mandi aku menangis tanpa suara. Rasanya ada yang sakit sekali di dadaku, mungkin itu namanya kesedihan. Lalu aku mencuci muka. Lalu keluar dari sana, seolah aku tidak tahu apa-apa. Memang, sebab yang aku tahu, sepertinya saat itu ibu dekat sekali dengan ajal. Aku ini istimewa, sebab aku percaya, saat itu ibu tidak akan meninggalkan kami. Aku ini istimewa, sebab aku benar.

Gadis itu berhenti bercerita. Menyeka air mata yang mulai muncul di pelupuk matanya.

Aku ini istimewa...., lanjutnya

Aku ini istimewa. Sebab kulewati hari-hariku seperti biasa. Meski setelah itu hidup tidak lagi sama. Ibu tetap sakit. Dan aku tetap bingung saat ditanya tentang itu. Yang aku tahu, semua orang berusaha untuk membuat keadaan lebih baik. Aku ini istimewa, sebab aku tetap yakin, semua ini tidak akan sia-sia.

Di masa remaja, masa SMA. Sebuah kejadian kembali mengguncang keluarga kami. Kejadian yang membuat tidurku tidak nyaman. Kejadian yang membuat rumah kami menjadi semakin muram. Suatu hari aku menuliskan puisi di kelas tentang itu. Selesai menulis dan membacanya dalam hati, aku menangis. Aku tidak tahan tahan lagi. Tapi aku istimewa, sebab hingga kini, tidak seorang pun tahu tentang itu. Sebab hari itu, sahabat-sahabatku mengira aku menangis karena kalah debat dalam diskusi Kewarganegaraan. Aku istimewa sebab masalah itu dapat kusimpan, hingga ia selesai dengan sendirinya.

Di masa kuliah. Aku masuk ke jurusan yang diperintah ibu. Jurusan yang sebenarnya tidak kusukai, namun kujalani hingga selesai. Aku ini istimewa, sebab bukan meski keputusanku, tapi langkah yang itu dapat kujalani dengan tanggung jawab, meski berat. Sebab siapapun yang menyuruhku, jika aku sudah mengiyakannya, maka itu tetaplah keputusanku. Dan aku harus menjalaninya dengan baik.

Tempat itu, kampus itu, fakultas itu, menjadi seolah neraka, saat ternyata ada banyak orang yang suka memaksakan kehendaknya pada mahasiswa baru. Aku bukan anak yang sangat cerdas atau sangat cantik. Tapi aku adalah penentu hidupku sendiri. Aku tidak suka dipaksa. Sebab memaksa adalah perbuatan para penjajah, dan aku benci penjajah. Maka aku dibenci senior, dan membuat kawan seangkatanku bingung.

Aku ini istimewa. Sebab dalam sebuah pertemuan saat kawan seangkatan menyidangku karena tidak taat pada peraturan lembaga mahasiswa, aku dapat berdiri dengan kepala tegak. Menyampaikan argumen dan apa yang aku yakini sebagai jalan yang benar. Aku istimewa, sebab saat itu aku tidak kalah. Sebab saat itu aku berkata pada mereka; ini prinsipku, lalu kalian mau apa?

Aku ini istimewa,. Sebab hingga saat ini kujalani hidupku dengan baik sangka. Baik sangka pada kondisi ibu yang beberapa hari ini memburuk. Baik sangka akan masa studiku yang harus segera berakhir, dan dengan semakin banyak orang-orang yang sepertinya senang sekali mengancam –atau memang seperti itulah kami harus diperlakukan untuk bisa sukses? Dan baik sangka pada berbagai masalah yang datang dan pergi.

Aku ini istimewa. Sebab aku percaya bahwa tidak ada hidup yang sempurna. Yang ada hanyalah, orang-orang yang terlihat sempurna dalam menjalaninya. Dengan senyum terbaik yang mereka punya. Dan dengan tangis yang dapat mereka simpan di tempat yang tepat. Sungguh, hidup ini tidak sempurna. Masalah-masalah itu kawan, mungkin justru menyempurnakannya.

Aku ini istimewa, sebab aku sadar; sejak awal, hidupku bukan untuk diriku sendiri.

Gadis itu berhenti lagi. Saya menatap cermin tempat bayangannya terpantul. Lalu berbisik lirih padanya; kau yakin saya harus menuliskan ini?

Selasa, 25 Desember 2012

Logika Sederhana untuk Sesuatu yang Tidak Sederhana


Dia merasa beruntung sekarang. Logika sederhana di masa kecilnya ternyata telah sesuai dengan fitrah yang sebenarnya: lurus, insya Allah. 

Masih terekam jelas dalam ingatan, saat ia masih bocah. Kala itu, ia protes saat menyaksikan presenter acara TV yang mengucapkan selamat pada saat hari raya Islam, lalu mengucapkan selamat pula di hari raya agama lain. Protesnya itu, ia sampaikan kepada teman-temannya yang juga para bocah. Teman-temannya hanya menatapnya aneh, tanpa berkata apa-apa. Di dalam hati mereka, mungkin mereka tidak merasakan adanya keanehan. Tapi tidak dengannya,

“Memangnya orang di TV itu agama apa sih?!” ucapnya sambil bersungut-sungut.

Keluarga besar dengan latar belakang Islam yang cukup kental memang telah membentuk pribadi anak itu. Tanpa pernah diajarkan secara gamblang, ia sudah cukup belajar dari apa yang ia lihat sehari-hari. Tapi, itu bukan alasan baginya untuk menjadi seseorang yang intoleran dan punya pikiran keras yang tanpa batasan. Di lingkungan rumahnya –hanya berjarak sebuah rumah, tinggal pula seorang keturunan Tionghoa yang bukan beragama Islam. Bahkan, setiap Ahad tiba, rumah itu selalu hiruk pikuk dengan alunan nyanyian puji-pujian. Masih di masa kecilnya, terkadang ia mengintip-intip momen tersebut dari pagar sang tetangga, lalu terbirit-birit saat ketahuan. Itu saja, tanpa diikuti perilaku destruktif lainnya. Dan tetap dalam hati dan pemahaman bocah yang paling sederhana, ia mengerti; antara dia dan tetangganya itu, ada yang berbeda.

Namun sekali lagi, ia cukup belajar dari lingkungannya. Ia bahkan belum dapat benar mengeja kata t-o-l-e-r-a-n-s-i saat hal tentang itu telah ia pelajari dengan sendirinya. Tersebutlah di suatu waktu, masih di masa kecilnya. Kala itu, karena sebuah kejadian, kota tempat tinggalnya dikepung dengan kericuhan. Terjadilah rusuh yang sangat kental dengan nuansa SARA. Para etnis Tionghoa diburu, rumah mereka dibakar, rukonya dijarah. Tak sedikit dari mereka yang konon sampai harus menjemur sajadah di depan rumahnya agar terhindar dari amuk massa, agar dikira Islam. Maka saat itu, tentu gusarlah sang tetangga yang bertahun-tahun hidup dikelilingi komunitas Islam-Makassar yang lumayan tattara’ (mungkin semakna dengan taat atau ‘fanatik’ –ingat, dengan tanda kutip!).

Melihat kondisi tersebut, sang Ibu yang kala itu telah sakit, memintanya untuk menemani berkunjung ke rumah tetangganya itu. Dengan berdiri di depan pintu pagar, sambil tertatih dan berpegang di bahunya, ibunya berjumpa dengan sang tetangga, wanita muda dengan kulit putih dan mata sipit itu.

Tenang saja. Kalian aman bersama kami.” ujar ibunya.

Ringkas saja. Dan wanita Tionghoa itu pun hanya menatap anak-beranak itu bergantian, sambil tersenyum lega. Mencipta mata sipitnya yang nampak segaris. Fragmen itu terkenang hingga bertahun setelahnya. Saat itu, ia sama sekali belum tahu tentang pembagian orang kafir bagaimana. Perbedaan hak dan kewajiban mereka pun bagaimana. Perlakuan pada mereka dalam kondisi damai, kondisi perang, kondisi saling berhadap-hadapan bagaimana. Tapi kala itu, dengan hati dan pemahaman bocah yang paling sederhana, ia mengerti; kita memang berbeda, tapi bukan berarti boleh saling menyakiti. Dan agama kami, memanglah rahmatan lil alamin; kasih bagi seru sekalian alam, tanpa terkecuali.

Logika sederhana itulah yang terus ia bawa, terus ia pahami hingga kemudian ia temukan sisi ilmiah yang ternyata mendukung apa yang selama ini ia mengerti. Maka di saat masa SMA, ia terkaget pada pendapat seorang temannya yang berkata,

“Saya pikir, semua agama itu punya surganya masing-masing! Ibarat ingin ke pasar sentral, ada rutenya, namun ujung-ujungnya sama saja menuju satu tujuan. Hanya caranya yang berbeda. Maka yang penting beragama (apapun) dengan benar, maka bisa masuk surga!

Demikian sang teman berargumen. Ia tentu menggeleng kuat. Tidak! Itu tidak benar. Baginya selama ini, tidak ada pengecualian dan tawar menawar dalam masalah aqidah. Aqidah adalah harga mati tanpa kata ‘kecuali’. Islam saja yang benar. Titik!

“Tapi bukankah mudah bagi Tuhan untuk mencipta banyak syurga? Syurga untuk agama ini dan agama anu! Apa susahnya?

Logika yang lainnya kembali datang. Ah, jika memperturutkan otak kita yang secuil ini, bagaimana bisa kita tandingi ilmuNya yang sesamudra? Namun meski tidak berucap dalil, maka sebenarnya logika pun bisa dibalas logika!

Bagaimana bisa, ada seorang pembantu yang digaji dan diberi tempat tinggal, lalu kemudian ia bekerja dan mengabdi kepada Tuan yang lain. Jika begitu, apakah Tuannya akan sudi memberinya hadiah, bonus, atau semacamnya? Maka demikian pula agama ini. Seorang manusia dicipta dengan fitrah yang lurus, dengan nikmat yang datang tanpa ia pinta, dengan kewajiban yang jelas; untuk ibadah kepada Allah. Maka jika ia menyembah Tuhan yang jelas-jelas berkonsep berbeda, bagaimana bisa disiapkan untuknya surga?

Maka cukuplah asbabun nuzul dari QS. Al Kafirun menjadi pelajaran bagi kita. Saat para kaum kafir memberikan penawaran pada Rasulullah, tidak tanggung-tanggung; sang Rasul akan dihadiahkan harta melimpah, tahta terhormat, juga wanita sebagai pendampingnya!

Tapi dengan suatu syarat:  ikutilah ritual agama kami, cukup setahun saja! Maka kamipun akan ikuti agamamu, setahun pula!

Maka surah itu muncul dalam menjelaskan dengan gamblang, ditutup dengan kesimpulan tegas di ayat terakhirnya; bagimu agamamu, bagiku agamaku. Tidak ada tawar menawar dalam hal ini. Maka jelas saja semua pernik keduniaan itu tidak akan mempan untuk merayu Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam, sebab bukankah ia telah bersabda:

Namun apakah sikap tegas itu menjadi legitimasi untuk asal-asal menyakiti sebab aqidah yang berbeda? Apakah itu adalah pembenaran untuk memaksakan keyakinan? Bukan! Sebab di ayat lain Allah berfirman, Laa ikraha fiddin... (QS. Al Baqarah: 256). Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam!

Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin merentangkan tafsir ayat ini bahwa; Sungguh, dalam menganut agama ini,  tidak ada paksa-paksa! Sebab agama ini telah sempurna dan sesuai fitrah, maka tanpa dipaksa pun seharusnya manusia yang ‘lurus’ akan dengan mudah mengikutinya.

Ya, jangan memaksa orang diluar Islam untuk masuk Islam! Apalagi dengan cara yang tidak indah, kasar, dan mengaburkan kasih sayang Islam. Tetap, tetap ada konsep dakwah ke arah sana, namun perhatikanlah bahwa ia juga masih dengan ciri general dakwah; tepat isinya, bagus caranya, pas waktunya. Bukankah demikian yang Rasul contohkan?

Maka cukuplah logika masa kecilnya itu membuatnya merasa beruntung, sebab ia ternyata sejalan dengan nash syari’i. Tidak berucap menyelamati ritual keagamaan agama lain, namun tetap memberikan jaminan ketenangan saat mereka merasa terancam. Tetap. Tetap dalam koridor dan batasan yang benar. Bukan hanya sekadar logika yang menggampang-gampangkan, atau taqlid buta yang berlebih-lebihan, tapi dengan ilmu yang dikembalikan kepada asal sumbernya;  al Qur’an dan Sunnah.

Maka setelah para ulama bersepakat untuk keharaman berucap selamat pada hari raya agama lain, lalu  asatidzah masa ini berbusa-busa mengingatkan tentang hal yang sama. Bagaimana ceritanya, kita yang ‘datang belakangan’ ini kemudian mencari dalih macam-macam untuk membenarkannya?

Kamar Ibu, 25 Desember 2012
untuk ibu, madrasah pertama itu; semoga lekas sembuh.