Jumat, 19 Juni 2015

Surat untuk Ramadan - Ajari Aku Lagi, Ya...

Ahlan, Ramadan       
                                                                               
Terima kasih telah datang kembali. Seperti biasa, kau selalu hadir tepat waktu tanpa perlu membuat kami menunggu. Tahukah kau, Ramadan, betapa kau begitu dirindu. Dan, setiap orang selalu punya alasannya masing-masing saat menantikan kehadiranmu.  Lalu sebab segala sesuatu bergantung dari niatnya, dari alasannya, aku berharap bahwa bahkan kerinduan itu pun hadir karena niat yang tepat. 

Betapa beruntungnya kami, Ramadan, sebab kembali berjumpa dengan waktu-waktumu yang utama. Dan betapa celakanya kami jika kemudian tidak mendapatkan apa-apa dari itu semua. Beberapa orang mungkin telah menjalani tahun ini dengan berbagai macam hal yang terjadi dalam hidupnya. Lalu kau datang, pada sebuah pertengahan yang seolah menjadi jeda yang begitu manis untuk kami kembali mematut diri dan berkaca. Kemarin-kemarin, apa saja yang sudah kami lakukan? 

Ramadan, kau menawarkan masa yang hening untuk kami menengok ke dalam diri sendiri. Dan satu hal yang tak pernah lupa untuk kau ajarkan, adalah perihal sabar yang harus selalu dipupuk, dan menjadi bekal untuk menjalani kehidupan setelah ini. Kesabaran yang kau latihkan itu, tentu bukan tanpa alasan. Bukan hanya sekadar agar kami mampu menghabiskan hari tanpa makan dan minum. Namun, tentu lebih dari itu. Sebab ternyata, semakin terasa, bahwa hari-hari kedepan ini sangat menghajatkan kesabaran yang berlebih. 

Aku mencoba untuk menjadi dewasa, Ramadan. Sesuatu yang selalu kuartikan sebagai satu fase di mana kita mencoba untuk selesai dengan diri kita sendiri. Saat kita mencoba untuk terus melihat dari sudut pandang sekeliling, lalu mengharap dan mengusahakan yang terbaik untuk membuat lebih banyak lagi orang yang tersenyum. Dan kini kudapati, tidaklah itu dapat terlewati, kecuali dengan melatihkan kesabaran dalam diri. 

Beberapa orang masih menganggap bahwa hidup ini adalah perihal menang dan kalah. Mereka mengira bahwa terwujudnya keinginannya adalah tanda kemenangan, dan tidak terwujudnya keinginan orang lain adalah tanda kalahnya. Tapi, bukankah hidup ini harusnya tidak seegois itu, Ramadan? Sebab nyatanya, kita ini adalah makhluk yang paling banyak maunya, sementara terkadang memang ada hal-hal yang di luar kendali kita. Kita tahu, tidak akan selalu tersenyum sepanjang hidup, tapi kita terus mengharapkan itu. Dan saat kita menghadapi lebih banyak air mata di sana, seketika kita merasa kalah. Padahal, tidak selalu. Dan, itu yang kau selalu ajarkan kepadaku. 

Ramadan, aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Namun kini, kurasa hidup memang harus selalu dijalani dengan sepenuhnya berbaik sangka pada takdirNya. Pada titik di mana kita hanya dapat menangis, mungkin justru di situlah kita sangat paham tentang diri kita sendiri; betapa lemahnya kita, betapa kita selalu butuh pada bantuanNya, betapa kita tak akan sanggup ditinggal olehNya bahkan meski sekejap mata. Dan, untuk menjalani hidup macam itu, kurasa satu hal itulah yang sangat kita butuh. Satu hal yang selalu datang untuk kau ajarkan di saat lengkung sabitmu menandai awal dan akhirnya. Kami, merangkainya hanya dengan beberapa huruf yang begitu mudah diucap namun tidak selalu gampang untuk dilakukan; sabar. 

Ramadan, ajari aku lagi, ya...  

Makassar, Juni 2015 

HARMONI

Bukankah akan repot,” demikian seorang ustadz memulai penjelasannya dalam sebuah sesi tanya jawab di majelis yang ia isi, “Saat seorang pengemis menggunakan ayat-ayat tentang sedekah agar orang-orang sudi memberikannya uang, sementara orang yang berharta menggunakan hadits tentang larangan meminta-minta untuk dapat menahan pemberiannya...” 

Ya, bayangkanlah kondisi ini. Tentu memang akan rumit jadinya, jika kedua belah pihak itu tetap keukeuh pada pijakannya masing-masing. Meski kita tahu, tidak ada yang salah dari perintah membersihkan harta dengan sedekah, pun tiada pula yang keliru dari perintah untuk menahan diri dari meminta-minta pada manusia. Namun, akan menjadi runyam saat kemudian yang menggunakan dalil itu adalah pihak yang tidak tepat. Lebih rumitnya lagi, ketika ternyata ia tertukar antara satu dengan yang lainnya, sementara keduanya merasa yang paling benar, keduanya merasa berada di pihak yang paling ‘menderita’. Benarlah, bahwa terkadang yang menjadi masalah bukanlah masalah itu sendiri, namun saat semua pihak merasa paling berhak untuk sakit hati. 

Akan berbeda ceritanya saat kedua hal tadi berada di porsinya masing-masing. Para dermawan semangat untuk menyedekahkan hartanya sebab ia termotivasi dengan dalil-dalil tentang keutamaan bersedekah. Sementara, orang-orang yang kurang berpunya juga tetap menjaga izzahnya dengan cara tidak mengulurkan tangan ke bawah sebagai satu-satunya cara menyambung hidup. Lagipula, tanpa meminta pun, kan ada para dermawan yang akan selalu peka untuk memberi. Nah. 

Jika ceritanya sudah demikian, maka akan tercipta harmoni. Tiada lagi yang merasa punya kewenangan untuk memaksakan kehendak, atau merasa paling benar sendiri. Dan dalam banyak hal dalam hidup ini, saya percaya, bahwa dengan memahami posisi kita, dan dengan berusaha menjaga kesetimbangan itu, insya Allah kita bisa hidup dengan lebih baik. 

Dalam lingkaran bangsa kita hari ini, misalnya. Kita, setidaknya terdiri atas dua bagian besar; para pemimpin, dan orang-orang yang dipimpin. Hari ini, memang rasanya kita harus punya stok kesabaran ekstra serta lebih menguat-nguatkan diri lagi untuk meletakkan prasangka baik kita kepada penguasa. Berbagai macam hal terjadi, berbagai isu mengemuka, yang bukan hanya mengikis kepercayaan kita yang sudah krisis sejak lama, namun juga mencipta semacam ketakutan-ketakutan yang terkadang malah kita ekspresikan dengan sumpah serapah. 

Tapi bagaimana jika kita mencoba berdiam sesaat dan melihat hal ini dari sudut pandang seperti yang kita lakukan pada kasus dermawan-pengemis tadi. Bagaimana sepatutnya kita bersikap sebagai rakyat, dan seperti apa seharusnya pemimpin kita mengambil langkah. 

Kita, sebagai pihak yang kini dipimpin oleh orang-orang yang ditakdirkan Allah itu –yang masih menegakkan shalat itu, diajarkan untuk tidak gegabah dalam menyikapi dan mengomentari sesuatu. Sesulit apapun melakukan hal itu kini. Sebab lisan tempat terbitnya kata-kata ini, serta ujung jemari yang dengan lincah merangkai kalimat demi kalimat ini, kadangkala bertindak begitu cepat, sehingga kita lupa pada kewajiban kita yang seharusnya, ataupun tentang hal-hal yang tidak sepatutnya muncul pada diri kita. 

Padahal, jauh-jauh hari, di tempo yang lampau itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam telah mengabarkan kita tentang pedoman saat menghadapi kondisi seperti saat ini. Dan kita yakin betul, bahwa apa yang diucap sang Nabi, selalu sesuai dengan setiap jaman, pada setiap bangsa. Ia tidak berkata melainkan dituntun oleh wahyu yang datang dari Rabb Yang Maha Mencipta. 

“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu), dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka, orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia.” 

Hudzaifah bin al Yaman Radhiyallahu anhu, sahabat yang meriwayatkan hadist ini, bertanya; “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”. Beliau bersabda, “Dengarlah dan taat kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan taat pada mereka.” (HR.Muslim)

Maka menghadapi itu, kita diminta untuk taat, untuk bersabar. Kita diseru untuk bernasihat dengan cara yang ahsan, kita dituntut untuk terus mendoakan kebaikan dengan pinta yang penuh keikhlasan. Maka mari kita bertanya pada masing-masing diri, sebelum kita mengumpat pemerintah ke sana kemari, adakah semua itu telah tunai kita lakukan terlebih dahulu?

Sementara posisi pemimpin kita pun punya pembahasan yang lain lagi. Menjadi Presiden Indonesia saja, misalnya, sama maknanya dengan bersiap-siap untuk bertanggung jawab atas dua ratus juta lebih jiwa yang akan menuntutnya di hari pembalasan. Hari di mana tiada naungan lain selain naungannya, hari di mana akan diputarkan setiap fragmen hidup yang mungkin bahkan telah kita lupa, hari di mana lisan kita dikunci lalu anggota badan lain yang mewakilinya berkata-kata, hari di mana kita tak perlu lagi sibuk menempuh jalur pra-peradilan, hari di mana bukan hanya tertuduh pencuri beberapa potong kayu saja yang harus siap menghadapi pengadilan, hari di mana tiada lagi yang mampu berkelit dan bersilat lidah. Sebuah hari, saat tiada lagi amalan, dan yang ada hanya perhitungan. Di hadapan Allah Azza wa Jalla kita akan mempertanggungjawabkan segalanya. Dan jika atas diri kita saja, kita akan begitu gelisah saat kita menyadari memiliki salah, apatah lagi bagi pemimpin yang mesti mempertanggungjawabkan pula amanah besar atas sekian banyak orang yang ia pimpin?

Maka mungkin sebab itulah, kita tahu perihal bagaimana seorang lelaki mulia menanggapi kekuasaan yang diberikan kepadanya. Ia, masih keturunan salah satu dari manusia yang kini berbaring di samping Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Ialah cicit Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu, bernama sama, dengan rona kepemimpinan yang serupa pula, kita mengenang sosoknya dengan haru dan rindu; Umar bin Abdul Aziz. Dialah pemimpin yang memberi kebanggaan pada sejarah Dinasti Umayyah. Ia yang pada masanya mampu menyejahterahkan rakyatnya, menjaga keadilan dalam pemerintahannya, mencipta kedamaian pada semesta, bahkan hingga terkisahlah tentang serigala yang menjadi sahabat dengan domba. 

Namun, ingatkah kita tentang satu untai kalimat yang ia ucap saat diangkat sebagai Amirul Mu’minin kala itu? Bukan. Bukan rencana untuk keliling kota dengan kereta kencana dalam balutan pakaian mewah dan senyum lebar. Tentu bukan itu. Umar bin Abdul Aziz malah beristirja’; innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Ah Tuan, betapa beningnya pemahamanmu tentang pertanggungjawaban yang akan kau emban! 

Maka bayangkanlah rakyat yang bersabar, hingga tak perlu dibungkam dengan kekerasan. Namun mereka tidak diam dengan kedzaliman, tapi menanggapinya dengan sebaik-baik nasihat dan sekhusyu’-khusyu’nya doa. Bayangkanlah tentang pemimpin yang berupaya melayani rakyatnya, tak perlu ia ditakuti dengan kudeta atau dicekam dengan pemberontakan. Bayangkanlah, saat pemimpin mencintai rakyatnya, dan demikian pula sebaliknya. Saat rakyat mendoakan pempimpinnya, dan demikian pula sebaliknya. Bayangkanlah harmoni itu. 

Lalu mari berpindah ke lingkaran yang lebih kecil. Izinkan saya bercerita tentang pertemuan dua orang yang tidak saling bertalian darah. Sebelumnya, sama sekali tidak ada persambungan antara keduanya. Namun, takdir Allah menyebabkan mereka harus menghabiskan sisa umur bersama. Dan di sana ada seorang pria yang menjadi suami, dan seorang perempuan yang menjadi istri. Keduanya merasa saling memiliki, benar. Pertemuan itu bahkan adalah salah satu dari sekian banyak tanda-tanda kekuasaan Allah, yang ini pun tidak lagi terbantahkan. Namun, adakah itu berarti bahwa ikatan-ikatan yang sebelumnya telah ada akan terputus begitu saja? 

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Rum:21) 

Lelaki itu, dulu adalah seorang anak yang dinanti kelahirannya. Dibesarkan sedemikian rupa hingga berhasil mencapai apa yang ia cita-citakan. Dibelai dengan kasih sayang oleh ibunya, dan dinafkahi dengan penuh tanggung jawab oleh ayahnya. Bagaimanapun, lelaki itu adalah anak dari seorang ibu, anak dari seorang ayah. Bahwa ada tanggung jawab lain yang coba ia ambil pada satu fase kehidupannya, maka ini bukan perkara siapa yang menggantikan siapa. Syariat kita mengatur, bahwa sampai kapanpun seorang anak lelaki adalah milik ibunya. Istri yang ia temui di kala ia telah dewasa, dengan semua pencapaian yang telah ia punya, tetap tidak dapat mengubah ketentuan itu, selamanya.

Dan perempuan yang menjadi istri itu pun, nyatanya adalah anak dari seorang ibu, dan anak dari seorang ayah. Dua orang tua yang juga mendidiknya dengan sebaik-baik cara yang mereka bisa. Menjaganya hingga tak terganggu dan tak kurang meski hanya seujung kuku. Memastikan dirinya nyaman dan tumbuh hingga dewasa; bertransformasi dari seorang gadis kecil, menjadi seorang wanita. Lalu saat seorang lelaki yang bukan berasal dari lingkaran pertalian darahnya itu datang kepada walinya, seketika ada tanggung jawab yang berpindah, dan ada ketaatan yang tidak lagi sama.
Jika kita mencermati betapa besar hak seorang suami atas istrinya, maka di saat yang sama kita pun akan paham, bahwa atas hak yang besar itu, ada kewajiban yang tidak kalah besar yang diemban oleh seorang lelaki. Ketaatan yang penuh, bahkan hingga diceritakan perihal shahabiyah yang menyediakan cemeti di tembok rumahnya agar suaminya dapat mengingatkannya dengan benda itu saat ia tidak melaksanakan kewajibannya dengan benar. Bahwa jika ada manusia yang seseorang boleh sujud kepadanya, maka seorang istri akan diperintahkan sujud kepada suaminya. Maka dalam sudut pandang yang berbeda, kita tahu; kewajiban sebesar hak yang besar pula itu, telah menanti. 

Sejak mitsaqan ghaliza itu digelar. Sebuah perjanjian agung yang dalam satu tarikan napas akan mengubah yang haram menjadi halal. Juga sekaligus menasbihkan perpindahan tanggungjawab, dan perpindahan ketaatan setelah taat pada Allah dan RasulNya. 

Saya tidak pernah berhenti untuk takjub saat kembali menyaksamai bahwa; sungguh, frase ini hanya muncul dua kali di tempat lainnya di dalam al Qur’an, selain saat membicarakan tentang akad nikah. Saat Allah mengambil perjanjian dari para nabi Ulul Azmi, dan saat Allah mengangkat gunung Thursina dalam perjanjian dengan Bani Israil. Betapa agungnya! 

Ya, sebab nyatanya pertanggungjawaban itu, sekali lagi, bukan hanya sebatas perkara dunia. Bukan hanya tentang perut yang tetap terisi penuh sehingga dapat tertidur lelap. Bukan hanya tentang menyediakan kediaman yang nyaman dan membuat aman dari panas atau hujan. Bukan juga sebatas adanya pakaian-pakaian indah yang dapat dikenakan. Lebih dari itu, ini tentang pertanggungjawaban di hari akhirat kelak. Apakah kebersamaan itu akan mampu bertahan hingga ke surga, atau justru menjadi sebab saling berbantah-bantahan di hadapan Allah? Naudzubillah...

Maka jika segenap pihak dalam lingkaran kecil itu telah paham pada porsi kewajibannya masing-masing, pada porsi ketaatannya masing-masing, maka secara otomatis; hak akan tertunaikan.  Dan, tentu tidak ada yang akan merasa kehilangan atau tergantikan, sebab mereka akan saling bahu membahu untuk semakin menguatkan bakti kepada para orang tua yang telah membesarkan. Dan lagi, ini tentang harmoni. 

Kemudian pada lingkup yang lebih kecil lagi; antara anak dan orang tuanya. Adalah seorang anak itu, yang menjadi amanah besar, dan selalunya menjadi kebahagiaan bagi ayah dan ibunya. Seorang anak tidak pernah bisa meminta atau memilih kepada ayah dan ibu seperti apa ia akan lahir dan dibesarkan. Olehnya itu, sekencang apapun rengekan mereka, sesibuk apapun orangtua dibuatnya, dan serepot apapun usaha-usaha yang harus ditempuh untuk membesarkannya, tetap saja, mereka adalah pemberian dari Allah, yang juga kelak akan dipertanggungjawabkan. Bukan hanya kesehatan badannya, tapi juga kekuatan jiwanya.  Tak heran jika kita melihat gambaran orang tua teladan, nabi yang mulia yang bertanya kepada anak yang akan ia tinggalkan; bukan tentang harta benda atau perhiasan dunia, namun pada hal yang jauh lebih substansial dari itu; Apa yang akan kalian sembah sepeninggalku? 

Sebuah pertanyaan dengan aroma aqidah yang menghujam kuat. Menunjukkan prioritas terbesar perihal apa yang paling patut menjadi bahan perhatian. 

Maka demikianlah, kasih para orangtua adalah sepanjang masa, meski terkadang kasih seorang anak hanya sebatas penggalah. 

Betapa besar kebanggaan orang tua saat melihat keberhasilan anaknya. Mungkin perasaan yang membuncah itu jauh lebih membahagiakan dibanding jika ia sendiri yang meraih keberhasilan itu. Mereka telah marajut satu demi satu sayap-sayap yang kelak akan digunakan sang anak untuk terbang tinggi; menjemput janji kehidupannya. 

Tapi, sejauh apapun pencapaian itu, bukankah kita tahu bahwa kita telah diperingatkan tentang pintu surga paling tengah itu? Adalah bakti kepada kedua orang tua, yang menjadi sebuah perkara wajib yang disebutkan setelah perintah tauhid kepada Allah. 

Maka seorang anak, sejauh apapun ia telah melangkah, seluas apapun pandangan dan cita-cita yang ia kejar-kejar itu, maka pada akhirnya, ia akan tahu, ke mana harusnya ia akan pulang, kepada sapa ingatan itu tidak boleh lekang. Kepada pemilik netra yang selalu basah oleh air mata saat mendoakan kebaikan untuknya. Kepada pemilik kedua belah tangan yang paling pertama merengkuh tubuh kecilnya, yang mengusap air matanya, yang membersihkan kotorannya. Kepada pemilik hati yang begitu bening untuk selalu mencintainya bahkan sebelum ia benar-benar lahir ke dunia. Ada rindu yang mereka tahan-tahan, ada permintaan untuk tetap tinggal yang hanya tercekat di lisannya yang memilih untuk terkatup. Demi apa? Demi anak-anaknya. Maka meski tanpa dipinta, ada langkah-langkah yang harus kembali kepada mereka, kembali menyapa mereka, kembali meyakinkan mereka, bahwa hingga di penghujung usia, tidak akan ada yang membiarkan keduanya dalam kesepian. 

Demikianlah para orang tua yang dengan segenap usaha membesarkan anak-anaknya, dan anak-anak yang sepenuh bakti berkhidmat untuk orang tuanya. Kedua pihak ini menempuh jalan cinta itu semata-mata untuk meraih ridha dari Rabbnya. Di sana, harmoni bekerja. 

Akhirnya kita memasuki lingkaran yang paling kecil, tentang diri kita sendiri. Maka kita punya jasad, punya hati, punya pikiran yang akan selalu menuntut haknya masing-masing. Jika kita telah selesai dengan menjaga raga ini agar tetap sehat –dengan segala rupa asupan bergizi, diet-diet yang ketat, dan berbagai penganan yang sehat, kita juga menjaga otak kita agar tak tumpul, belajar berbagai macam ilmu, mengisi pikiran dengan berbagai macam wawasan, serta berbagai upaya lain untuk tetap dapat mengoptimalkan kerja-kerja fikriyyah kita. Maka, ingatlah pula perihal jiwa yang asalnya selalu akan mengharap agar ia kembali kepada fitrahnya. Kepada kebenaran yang hanya datang dari Allah Azza wa Jalla. Maka saat kita menjauh dari cahaya kebenaran itu, tidakkah kau dengar nuranimu meronta meminta haknya? Dan, tidaklah ketiganya terpenuhi kebutuhannya, melainkan dengan itu; harmoni tercipta. 

Ah, saya masih harus banyak belajar. 

Makassar, Mei 2015