Rabu, 22 Desember 2010

Dia, yang Selalu Membenarkan


Cemburu. Selalu ada perasaan itu, halus-halus menyelinap saat kudapati dirimu. Kau yang dibaluri oleh cinta dari dia yang selalu kurindu. Tak tanggung-tanggung! Kecintaan tertingginya untuk kalangan makhluk. Kau dari golongan lelaki, dan anakmu dari golongan wanita. Dua orang yang akan selalu di hatinya.

Tapi bagaimana pun, aku tahu tak akan pernah pantas menandingimu. Saat dia, putra Al Khattab pun mundur dan tak sanggup ‘bersaing’ denganmu. Waktu ia datang memberikan separuh hartanya dalam perang Tabuk. Lalu kau maju dengan seluruh hartamu! Yah, katamu, kau mencukupkan Allah, dan dia yang selalu kurindu, untuk keluargamu.

Tak cukup sampai disitu. Dalam sebuah perjalanan hijrah yang menyejarah. Kalian berdua berlindung di sebuah gua. Lalu di sana, dibaringkannya kepala manusia paling mulia dalam pangkuanmu. Lalu demi menjaga dirinya, demi kecintaanmu yang membuncah padanya, terkisahlah cerita saat kau menahan sakit oleh gigitan seekor makhluk Allah. Perih. Tapi kau tahan. Berbuah sebentuk bening yang murni mengalir dari pelupuk matamu. Menimpa dan membangunkan ia yang pulas di atas pangkumu. Lalu kalian saling mendapati cinta itu. Karena Allah. Ya, Karena Allah…

Dan di suatu fajar setelah shalat subuh selesai dihelat. Kau kembali nampak dengan keutamaan yang membahana. Saat ia yang selalu kurindu, bertanya pada khalayak; “Siapa di antara kalian yang pagi ini berpuasa?” Lalu kau berkata, bahwa kaulah orangnya. “Siapakah yang telah mengantarkan jenazah?”. Dan kau kembali mengiyakannya. “Siapakah yang telah memberi makan pada mereka yang papa?”. Lalu kau bercerita tentang setangkup roti dari tangan anakmu, yang telah kau sedekahkan. “Siapa yang telah menengok orang sakit?”. Kau menjawab, “Aku, ya Rasulullah!”. Lalu selanjutnya kabar darinya membuat wajahmu menjadi cerah ceria. “Tidaklah semua amal di atas terkumpul dalam diri seseorang melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Bukhari)

Dan ini bukan hanya tentang syurga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Sebab saat Rasulullah, dia yang selalu kurindu, mengabarkan tentang pintu-pintu syurga yang beraneka jenisnya. Untuk mereka yang syahid, untuk mereka yang berpuasa, untuk yang ahli shalat dan berbagai jenis lainnya… Ah, dia Shallallahu alaihi wa sallam lalu mengharapkan, agar kelak kau dapat memasuki jannah lewat semua pintunya!

Kau, As Siddik yang selalu membenarkan. Langsung mengangguk mantap saat dikisahkan tentang perjalanan sang Rasul dari masjidil haram ke masjidil Aqsa. Lalu dalam semalam naik ke Sidratul Muntaha. Para kafir Quraisy menertawakan dan semakin tak percaya. Tapi kau hadir dengan keyakinan yang gagah. Berucap mantap dengan segala keimanan, “Bahkan, jika Rasulullah mengabarakan tentang hal yang lebih mustahil dari itu, maka aku akan tetap membenarkannya!”.

Putrimu yang jelita. Pipinya kemerahan merona. Ilmunya menjadi cerita gemilang tentang kearifan. Menjadi wanita yang paling dicinta Rasulullah. Yang mengakhiri hidupnya dalam dekapannya. Dan yah, sirah tentang masa yang duka itu. Di akhir hidup Rasulullah yang selalu menerbitkan air mataku. Tak dapat lepas dari kebeningan sikapmu.

Saat semua orang tau, bahwa kecintaanmu padanya adalah niscaya. Bahwa pengorbananmu untuknya tak dapat lagi diragukan. Dan bahwa, telah nyata keyakinanmu pada risalah yang dibawanya. Lebih dari itu, kalian adalah kerabat yang telah dikuatkan dengan ikatan kekeluargaan. Yang jiwanya telah menyatu dalam dekap cinta karena Allah saja.

Tapi di hari akhir Muhammad bin Abdullah, saat amarah dan duka Umar bin Khattab naik ke ubun-ubunnya. Hendak ia penggal mereka yang mengatakan bahwa Rasulullah telah tiada. Bukan, bukan karena khalifah kedua itu tidak menerima takdir Allah. Tapi jelas bahwa ia juga cinta. Cinta pada sosok mulia sepanjang masa yang tak akan pernah tergantikan.

Lalu kau hadir menenangkan. Dan kunamakan itu sebuah kebeningan.

“Barang siapa yang menyembah Muhammad, maka sungguh Muhammad telah wafat. Tapi barangsiapa yang menyembang Allah, sesungguhnya Allah hidup kekal.”

Lalu kau melanjutkan dengan lantunan ayat cinta;

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran [3]:144)

Ah,

Pusaramu yang membersamai Sang Rasul adalah sebuah simbol kebersamaan kekal kalian kelak. Maka kupilih untuk menepis cemburu dan menukarnya dengan cinta. Bukankah ia akan terhitung sebagai sunnah sebab Rasulullah pun mencontohkan kecintaan pada dirimu?

Sosok yang berdua dengan Rasulullah di dalam gua. Yang diturunkan ketenangan di hatinya. Lalu diabadikan kebersamaan mereka dengan Allah, dalam kitab yang mulia.

“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita." (QS. At Taubah [9]: 40)

Maka demikianlah wahai sahabat yang mulia! Kau yang menyejarah namanya. Termahsyur di bumi dan membumbung ke langit. Abu Bakar As Siddik.


sumber gambar

Senin, 20 Desember 2010

Ababil; Abege Labil?


Entah sejak kapan istilah ini mulai malang-melintang dalam pergaulan masyarakat Indonesia. Biasanya ia muncul di dunia maya, namun tak jarang pula diucapkan di dunia nyata. Ababil. Dianggap sebagai akronim dari ABG labil. Istilah ini diberikan pada mereka yang terkesan plin-plan dan tidak teguh pendirian. Meski terdapat frase ABG di sana, tidak jarang orang yang berusia tidak lagi muda juga mendapatkan nisbat atas istilah ini.

Padahal, tahukah kau bahwa frasa ababil telah diabadikan dalam kitab suci Al Qur’an, jauh sebelum istilah 'gaul' ini muncul?

“Wa arsala’ alaihim thairan ababiil…” (QS. Al Fiil [105]:3)

(dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong)

Perisitiwa ini terjadi pada tahun gajah, tahun kelahiran Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam. Saat pasukan dari Yaman datang berderap-derap dengan dipimpin oleh Abrahah sebagai panglimanya. Pasukan ini hendak meruntuhkan Ka’bah yang terdapat di Kota Makkah. Maka atas izin Allah, didatangkanlah sekelompok burung yang digambarkan dengan kata ababil yang ditafsirkan sebagai berkelompok, bergerombol, sangat banyak, atau dari segala penjuru. Burung-burung itu bersenjatakan batu-batu dari tanah yang terbakar, lalu dengan gilang gemilang mengalahkan pasukan bergajah tadi. Mungkin atas dasar ini pula, nama Ababil digunakan oleh negara Iran sebagai nama dari pesawat tempur militer mereka.

Kembali ke istilah ababil pada masyarakat (gaul) Indonesia. Kita mungkin telah bersepakat bahwa masalah kedewasaan tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah umur seseorang. Dapat dengan mudah kita temukan para usia tua yang masih kekanak-kanakan. Dan meski tak banyak, ada pula mereka yang masih imut-imut namun dapat berpikir dan bertindak lebih dewasa dari mereka yang menyebut diri ‘orang dewasa’.

Maka bahwa istilah Ababil ini pada akhirnya tidak terkait dengan usia, kita anggap tidak ada salahnya. Tapi mengapa harus labil? Mengapa tidak dapat konsisten?

Banyak orang yang menganggap dirinya sedang melakukan pencarian. Beralih dari satu jalan ke jalan lain untuk mencari kebenaran. Berpindah dari satu prinsip ke prinsip berbeda demi menemukan keyakinan yang mutlak. Namun berapa banyak orang yang melakukan ‘pencarian jati diri’ tanpa pernah benar-benar mengetahui esensi dari apa yang ia cari?

Lebih ekstrim lagi, ada yang mengistilahkan pencariannya sebagai upaya ‘mencari Tuhan’. Hmm…, padahal bukankah Tuhan tidak pernah hilang? Bukankah ia terus di sana, bersemayam di atas Arsy. Mungkin, kita saja yang kadang menutup mata jiwa. Tertutup oleh hiruk pikuk dunia, atau mungkin oleh berbagai kelalaian atau bahkan kemaksiatan. Sehingga Tuhan tidak lagi nampak oleh kita. Tidak lagi nampak oleh hati kita.

KehadiranNya kadang hanya kita batasi pada waktu dan tempat tertentu saja. Mungkin di sudut-sudut masjid atau saat Ramadhan datang. Selebihnya, dengan mudah kita berucap; Ah…, jangan hubung-hubungkan ini dengan agama…

Padahal bukankah waktu kita tidak banyak? Bukankah kita hanya serupa musafir yang menempuh perjalanan panjang menuju kampung sejati kita. Tempat awalnya nenek moyang kita, Adam Alahissalam berada: surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya! Sementara dunia, tak lebih dari sebatang pohon tempat kita bernaung dan mengumpulkan perbekalan untuk perlajanan selanjutnya. Yah, dunia. Dari asal kata yang berarti dekat. Serupa dengan eksistensinya yang memang tidak akan abadi adanya.

Lalu mengapa kita masih sibuk ber-labil ria. Lalu menjadikan istilah ‘pencarian jati diri’ sebagai tersangkanya? Bukankah tujuan penciptaan kita telah jelas tertera di sana. Kawan, ambillah mushaf Al Qur’anmu, lalu bukalah surah Adz Dzariyat ayat 56. Tidak akan kutuliskan di sini agar kau dapat menikmati kemesraan dengan kitab Allah dan membangun kedekatan antara kalian. Percayalah, di sana terdapat jawaban atas proses pencarian yang sedang kita lakukan.

Mungkin tanpa sadar, kita sering melewatkan begitu saja taman syurga yang terbentang di dunia. Mungkin oleh semua kesibukan dunia; akademik, bisnins, perniagaan, hiburan, dan lain sebagainya. Taman syurga yang dahulu dikejar para sahabat hingga ia tergopoh-gopoh meraihnya. Yang di sana mereka merunduk syahdu hingga disangka pohon kayu oleh para burung-burung. Yang dedaunan yang gugur tak sanggup menyentuh tanah sebab rapatnya mereka duduk. Taman syurga, begitu Rasulullah menamakannya. Lalu oleh kita, majelis Ilmu syar’I itulah sejatinya ia.

Kawan, waktu kita tak panjang. Segeralah mencari dan segeralah menentukan. Sebab mungkin tanpa kita rasa tamu terakhir itu akan datang. Dan tak mungkin kita menangguhkannya. Jangan ingin terus menjadi “ababil’ yang terombang-ambing. Jadilah segerombolan burung yang perkasa, seperti saat ia mengusir pasukan gajah dari kota Rasulullah! Temukanlah!

#kepada kawan2ku yang teguh pendiriannya. ^_^

#pesan sponsor: @sari: it's the last!



sumber gambar

Minggu, 19 Desember 2010

Jalan Dakwah; dengan Atau Tanpa Kita


Ada saja masa dimana seorang kawan seperjuangan kita, duduk di hadapan. Ia datang dengan wajah risau dan jiwa yang bergemuruh. Lalu dengan terbata, ia berkata;

“Ukhti, aku ingin mundur dari jalan ini…”

Selanjutnya ia berucap tentang berbagai alasan.

Tentang masa luangnya yang sempit untuk dakwah

Tentang keluarga dan berbagai tuntutan mereka

Juga bahwa ilmu dunia perlu ia jadikan priorotas utama

Atau berbagai hujjah lain yang seolah akan memaklumkan keinginannya untuk menghentikan langkah.

Maka saat itu, tataplah matanya dalam-dalam. Genggam telapaknya dengan hangat. Lalu dekap hatinya agar ia peroleh ketenangan. Katakanlah,

“Ukhti, bagaimana jika, dahulu Rasulullah berpikiran sama denganmu?”

Mungkin saat terguncang jiwanya demi menyaksikan para sahabat tercinta yang didera siksa oleh para kafir Quraisy

Atau saat ia bersujud di depan Ka’bah dan dijerat lehernya dengan temali yang kasar, diletakkan kotoran unta di atas punggungnya, lalu anandanya datang menangis tersedu kepadanya, tapi ia justru berkata, “Anakku, Allah bersama ayahmu…”

Mungkin waktu ia dicecar oleh kerikil dari para bocah Thaif. Lalu berdarah-darah tubuhnya, dan gerimis perasaannya

Atau saat diludahi tepat di wajahnya, atau waktu diletakkan kotoran di depan pintu rumahnya

Atau saat kaumnya merencanakan pembantaiannya dan ia harus meninggalkan kampung halamannya yang tercinta?

Ukhtiku yang jiwanya sedang meragu,

Bukankah Rasulullah punya alasan yang lebih kuat darimu?

Tapi pernahkah kau jumpai ia dalam sesal sebab telah terpilih menjadi seorang Rasul?

Pernahkah kau temukan sirah dimana ia mengeluh dan memilih untuk berhenti menyampaikan risalah ini?

Pernahkah ukhti? Pernahkah….?

Lalu dengan sisa-sisa keyakinanmu, kau kembali berhujjah dengan bibir yang gemetar,

“Tapi aku tak pantas berada di jalan dakwah ini, ukhti…” katamu

Maka kembalilah eratkan dekapanmu. Lalu sadarkan nuraninya yang mungkin sedang dilanda kalut, katakanlah padanya:

Kau pikir siapa yang sanggup menanggung amanah ini?

Amanah yang bahkan bumi, langit, dan gunung pun enggan mengembannya?

Amanah yang dahulu hanya diperuntukkan bagi para Nabi dan Rasul yang suci jiwanya?

Sebuah beban yang beratnya adalah nyata, yang jalannya sepi dan penuh duri. Yang dengannya harus tercurah segala milik diri.

Kau pikir siapa yang sanggup untuk mempertanggungjawabkan jiwa-jiwa yang kita tunjukkan jalan cahaya ini?

Mempertanggungjawabkan semua dakwah yang kadang tidak mendakwai diri kita sendiri?

Mempertanggungjawabkan semua ucap yang keluar dari lisan-lisan kita, lalu bergidik mendengarkan ayat Allah yang menghujam kita dengan peringatan…

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Al Shaff: 2-3)

Kau pikir siapa yang sanggup berdiri di hadapan Allah kelak, dengan semua alasan yang kini sering kita keluhkan pada orang yang memimpin kita?

Semua pembenaran atas ketidakmampuan kita untuk bertahan lebih kuat?

Dan berbagai amanah yang kita mangkir darinya?

Kau piker siapa yang sanggup, wahai ukhtifillah???

Maka lebih baik duduklah sejenak. Lalu temukan dirimu yang masih dalam semburat cahaya hidayah. Dapati dirimu bahwa kalaupun kau mundur, maka tidak banyak yang akan berubah, bukankah Allah telah menjanjikan kemenangan?

Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. (QS. Al Fath: 28)

Kemenangan yang pasti, dengan atau tanpa kita. Lalu posisi kosong akan selalu diisi oleh generasi yang lebih indah akhlaknya. Yang lebih mantap ilmunya. Yang lebih teguh keyakinannya. Dan yang lebih percaya pada semua kemuliaan yang telah dijaminkan Allah untuknya.

Maka diamlah dalam hening. Lalu tetaplah lanjutkan langkah, seberapa berat apapun ia. Sebab kita telah berjanji untuk tetap saling bergandeng dalam suka dan duka. Dalam dekap ukhuwah. Dalam untai doa penuh cinta. Dan biarlah Allah saja yang menentukan, jiwa-jiwa yang pantas untuk menjadi penolong agamanya. Wallahu a’lam.

__muhasabah aktivis

dibacakan dalam Temu Aktivis Rohis, 19 December 2010

di Aula SMA Neg. 17 Makassar

gambar diambil di

sini

Jumat, 17 Desember 2010

MONOLOG


“Ada sesuatu yang berbeda di wajahmu…”

“Apa?”

“Kacamata itu, coba lepaskan!”

“Ada apa dengan kacamata ini?”

“Bukan, bukan itu rupanya”

“Mungkin karena aku tidak menyisir alis tadi pagi?”

“Bukan, bukan pula dengan alismu”

“Lalu apa?”

“Ah, iya! Topeng itu! Topengmu terlalu tebal dan tidak lagi terlihat natural!”

“Tidak, topeng ini memang begini. Dari dulu begini”

“Ah, kau tidak lagi mengenakannya dengan benar. Topeng senyum saat kau sedih. Topeng tegar saat kau gusar. Topeng lapang saat kau tertekan. Semua topeng-topeng itu tidak terpancang dengan benar!”

“Mengapa? Tidak mungkin…”

“Ya, kau kehilangan satu hal sekarang”

“Apa?”

“Ikhlas. Kau tidak lagi ikhlas mengenakannya. Sehingga senyummu hambar. Ketegaranmu berlubang. Mimik lapangmu bercampur tekanan. Karena kau tak ikhlas”

“Ya, aku mungkin sedikit lelah”

“Itu karena kau enggan untuk belajar lebih banyak”

“Aku tak ada waktu. Aku juga takut, akan semakin banyak yang harus kupertanggungjawabkan saat terlalu banyak yang kupelajari”

“Hei, kau! Lalu jika kau ditanya mengapa kau tidak bersujud, apa yang akan kau jawabkan?”

“Akan kukatan aku belum mempelajarinya”

“Jika ditanyakan mengapa kau tidak mencari ilmu tentangnya bagaimana?”

“Kau… Kau itu terlalu konservatif. Kau terlalu fundamentalis. Tak takutkah kau disebut teroris?”

“Jangan mengalihkan pembicaraan. Setauku, inilah yang memang seharusnya aku lakukan. Aku tidak peduli dengan semua cap itu.”

“Tidak bisakah kau menjadi manusia yang biasa-biasa saja?”

“Hmm…Sekarang kutanyakan kepadamu, apa mimpimu?”

“Aku ingin ke bulan!”

“Lalu bagaimana jika kau sudah sampai di langit, lalu kukatakan padamu untuk turun saja, tak usah terlalu ngotot. Cukup biasa-biasa saja. Apa kau akan mendengarkanku?”

“Tentu tidak. Aku akan tetap meraih mimpiku”

“Aku pun begitu. Mimpiku adalah syurga. Dan inilah yang kulakukan untuk menggapainya. Dan aku tak ingin hanya biasa-biasa saja.”

“Tapi aku nyaman dengan diriku sekarang. Aku merasakan ada sinar yang terang dalam jalanku saat ini.”

“Yakinkah kau bahwa yang bercahaya itu adalah malaikat yang membawa kebenaran? Jangan sampai kau salah mengira, sebab iblis pun tercipta dari api yang benderang”

“Sebenarnya… Aku pun tak yakin…”

“Mengapa kau tidak kembali bersujud? Kembali pada tujuan penciptaan kita untuk mengabdi?”

“Tapi mengapa terasa berat? Bukankah tak ada yang baik jika ia dipaksakan?”

“Kadang kita memang harus memaksakannya. Memaksa untuk menjadi baik meski lelah. Sebab fitrah kita adalah malas dan santai. Kau mau terus mengikutinya?”

“Tidak. Aku juga berharap suatu hari bisa menjadi lebih baik”

“Tapi kapan?”

“Entahlah…”

“Mengapa kau tidak memulainya saat ini?”

“Berat…”

“Langkah awal memang salalu begitu. Tapi ia akan lebih mudah saat kau melewatinya”

“Benarkah?”

“Ya, ayo kembalilah bersamaku. Agar kita bisa bertemu dengan lelaki itu, nanti…”

“Bertemu dengan siapa?”

“Seorang lelaki berwajah purnama, dia menunggu kita di telaga…”

“Siapa dia?”

“Namanya, Muhammad bin Abdullah, Shallallahu Alaihi Wa Sallam…”

(11 Muharram 1432 H)



gambar dicomot dari sini

Selasa, 14 Desember 2010

Gorengan dan Kehidupan


inspiring by ‘Seni Menggoreng’-nya Mbak Fajar dari kampung MP. ^_^

Sebab hikmah juga dapat datang dari dalam wajan penggorengan…

Sebuah episode di salah satu sudut dapur. Seorang gadis kecil menempel di samping ibunya. Menatap lekat pada berkeping-keping kerupuk mentah yang siap digoreng.

“Ibu,” ujarnya dengan mata membulat, “Goreng kerupuk itu susah yah?”. Sang ibu membelai lembut rambut ekor kuda bocahnya.

“Tidak susah, sayang…” kata Ibu dengan suara lembutnya, “Tapi butuh kesabaran…” katanya sambil menuangkan minyak goreng pada wajan.

“Kenapa tidak langsung digoreng, bu?” tanya si bocah sambil menatap minyak goreng yang masih adem ayem di wajan. Ibu lalu tersenyum tipis dan meminta gadis kecil itu memasukkan kerupuk ke minyak yang belum panas. Setelah beberapa lama, sang ibu kembali memintanya untuk memasukkan kerupuk ke wajan. Mata gadis kecil itu berbinar demi menyaksikan kerupuk mentah tadi langsung mekar dan terlihat gurih, berbeda dengan kerupuk sebelumnya.

Setelah itu, ibu meminta anaknya memakan kedua kerupuk tadi.

“Yang ini keras… Yang ini enak” ujar gadis kecil itu dengan wajah heran

“Yang pertama digoreng tanpa kesabaran…Yang enak itu digoreng dengan sabar…” ibu menjelaskan dengan wajah cerahnya, “Beda khan?” ujarnya kemudian.

-------------------------------------------------------------

Kawan, hidup kita hampir sama dengan proses penggorengan tadi. Keduanya sama-sama membutuhkan kesabaran. Membutuhkan proses. Terkadang, kita terlampau terburu-buru dengan sesuatu, sehingga hasilnya pun akan alot seperti kerupuk pertama. Atau kita kadang melihat orang lain dengan hasil yang dicapainya, sibuk ber-iri ria dengan hasil tersebut. Tanpa pernah mencoba melihat proses yang dilalui di dalamnya.

Maka jika dalam kehidupan dunia kita harus meyakini proses, maka seperti itu pula ketakwaan. Seorang guru menjelaskan kepada saya, “Takwa itu,” ujarnya suatu senja, “Tidak didapatkan begitu saja, tapi diperoleh dengan perjuangan.”

Ya, bahkan ketakwaan pun membutuhkan proses untuk meraihnya. Jangan terlalu cepat takjub dengan kawan yang begitu ringannya bangun shalat malam. Tapi lihatlah bagaimana ia bersusah payah membangun kebiasaan tersebut malam demi malam. Memaksakan matanya untuk tersadar saat orang lain larut dalam tidurnya. Hingga akhirnya ia dapat merasakan kenikmatan berdiri di sepertiga malam.

Jika kita menengok sejarah, maka akan kita dapati bagaimana keluarga Yasir dan Sumayyah –yang namanya menyejarah sebagai syahidah pertama dalam Islam, peroleh janji syurga setelah melewati bengisnya kafir Quraisy menyiksa mereka. Siksaan itu, kawan, adalah proses yang mengantarkan mereka pada hasil yang setinggi-tingginya.

Namun terkadang, proses tidak selalu sejalan dengan hasil yang kita dapat. Terkadang kita sudah mencoba bersabar menunggu minyak hingga panas, tapi ada kalanya kerupuknya malah gosong hasilnya. Yah, proses yang mantap sekalipun masih bisa jadi memberi hasil yang membuat kita nelangsa. Tapi rupanya cukuplah kita menghibur diri dengan ayat cintaNya yang turun dari langit, untuk kita:

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.(Al-Baqarah: 216)

Lalu sebagai ummat yang percaya pada takdirNya, maka cukuplah pejamkan mata, lalu yakini bahwa apapun yang terjadi adalah kebaikan yang sebenarnya!

Maka jika dulu kita sibuk dengan tujuan, dengan berbagai titik mimpi-mimpi yang ada, maka saat ini, cobalah untuk lebih mengkomplekskan langkah untuk itu. Jika kita dapat memimpikan hasil, maka harus pula kita berani memimpikan proses. Lalu memulai menjalaninya dengan ikhtiar full energy, berdoa dengan segenap pengharapan, lalu tawakkal dengan segala keyakinan. Lalu tunggulah bagaimana Allah menentukan hasilnya pada akhirnya. Lalu percayalah, bahwa yang Dia lihat adalah serangkai perjalanan yang kita lalui, bukan sekadar pada titik akhir tempat kita menambatkan diri. So, keep spirit!

Untuk semua teman seperjuangan di Mixtura, Pharmacy ’07 UH; Selamat menjalani proses kita, Kawan! Semuanya akan baik-baik saja, insya Allah!

(Makassar, 8 Muharram 1432 H)

Pesan sponsor: Besok dan lusa puasa sunnah Tasu'a (9 Muharram) dan 'Asyura (10 Muharram) yuuuk…! ^_^

Senin, 06 Desember 2010

Episode Hujan


Selalu ada yang disisakan hujan selain dedaunan yang basah.

Saat tiap rintiknya adalah panggilan alam bagi para survivor kehidupan. Bocah-bocah keluar dari rumah dengan payung lusuh, menemani menjemput rejeki malam itu. Berlari mengikuti peminjam payungnya, yang selanjutnya menyelipkan receh diantara jemari yang gemetar oleh dingin. Sesekali terus menyapa mereka yang sibuk melindungi ubun-ubun dari air hujan. “Payung, Teh?”

Selalu ada yang disisakan hujan selain pelangi

Saat bulirnya yang dingin memaksa seorang ayah memacu motor lebih cepat. Sementara ibu sibuk melindungi ananda dengan jaket biru muda. Tak setetes pun boleh menyentuh kulit buah hatinya. Sementara ia, tengah kuyup oleh guyuran hujan. Oooh, kasih ibunda.

Selalu ada yang disisakan hujan selain tanah yang becek

Waktu seorang lelaki kelabu menatap rintiknya dari balik kaca jendela. Mengulang kembali memori dengan wanita bermata teduh yang membersamainya di waktu yang lampau. Lalu pergi lebih dahulu, tanpa pernah dapat ia meminta jeda waktu. “Aku tidak menyangka,” ucapnya dengan lirih, dengan mata berkaca, “Perasaan antara dua manusia bisa sampai sedalam ini…”. Lalu ia pejamkan mata. Dengan beruntai doa, semoga di tempat yang lebih indah kelak keduanya berjumpa.

Episode hujan, tiap kita memiliki ceritanya.

(Desember 6, 2010)

Senin, 29 November 2010

Sore yang Biru


Setelah beberapa rencana tidak berhasil saya eksekusi dalam beberapa hari ini, maka saya kemudian meninggalkan kampus sambil mencemarkan pemandangan sore dengan tampang kusut. Kemudian berusaha menekuk-nekuknya agar terlihat lebih rapi, tapi masih dengan setengah hati.

Di dalam perjalanan, saya hanya bisa ikut mendengarkan perbincangan sekelompok mahasiswi lain dengan mata yang tinggal segaris. Antara ngantuk dan suntuk. Lalu menatap langit lewat jendela angkot dan mulai merasakan hawa-hawa ‘winter blue’ yang menerpa hati saya lamat-lamat.

Ditengah-tengah keadaan yang menjengkelkan itu, saya mencoba menerka-nerka. Biasanya, dalam kondisi seperti ini, saya akan ditakdirkan bertemu dengan seseorang atau menyaksikan sesuatu yang akan membawa saya pada ‘aha-moment’ untuk kembali bangkit dari jiwa yang terserak-serak itu.

Dan benarlah.

Bermula dari sebuah pesan singkat yang mengantarkan saya pada sebuah perbincangan sore hingga pulsa saya yang limit ludes, sampai ke bonus-bonusnya! Tapi tak mengapa, toh saya mendapat pelajaran besar dari percakapan saya dengan ‘Arai’.

“Siapa yang sakit?” tanya saya, lewat pesan singkat.

Dia lalu menjawab bahwa dirinyalah yang sedang tidak sehat. Penyakit masa lalu yang sempat hilang kini muncul lagi. Sakit menusuk di dada kiri yang tembus hingga punggung.

“Bagaimana kalau saya mati, Din?” ucapnya, setengah bercanda, setengah getir.

“Kadang saya mau lari dari semua ini,” ujarnya dengan nafas tertahan, “ Tapi mereka, adik-adik saya khan amanah…”

Ia menceritakan tentang betapa beratnya bebannya. Betapa tidak mendukungnya kenyataan.

“Saya cuma butuh orang untuk berbagi, Din. Orang yang bisa memeluk saya dalam keadaan seperti ini. Mungkin ibu, atau Ayah…” ucapnya. Mengenang kedua orangtua yang kini tak ada lagi di dunia.

Dan saya, hanya dapat mengucap kata-kata enteng yang berat penjabarannya, “Sabarlah, kawan…”

Malamnya, sambil menyantap makan malam yang nikmat itu, saya menyaksikan tayangan televisi. Nampak seorang ibu sedang membuat kue kecil untuk jualan.

“Dari usaha ini,” seorang gadis yang sengaja tinggal di rumah ibu itu untuk program TV ini bertanya, “Berapa keuntungan yang ibu dapat sehari?”

“Empat ribu…” ujar wanita tua itu.

“Segitu…” gadis tadi berucap sambil menyembunyikan selaput kaca di matanya, “Bisa buat apa, Bu?”

“Yah…bisa buat beli beras, Neng..” sang wanita berucap sambil tersenyum. “Satu liter…”

Dan…

Perbincangan sore itu, dan tayangan malam ini, dengan telak menampar-nampar saya. Menikam dengan tepat pada tempatnya. Menusuk-nusuk jiwa kerdil yang picik ini. Lalu menghamburkan bentakan-bentakan ke hati yang bengkak: “MEREKA JAUH LEBIH MENDERITA DARIMU, GADIS CENGENG!”

Saya ngos-ngosan.

Lebam di sana sini mulai terasa. Tonjokan dan tikaman dari kejadian-kejadian itu memang perih dan menyakitkan. Tapi sepertinya memang harus demikian adanya. Agar saya belajar bahwa hidup memang tak mudah. Tapi mengeluh tak akan membuat berkurang kesulitannya. Bergeraklah!

Sabtu, 27 November 2010

Liontin Berukir Nama Allah, Bertahta Permata


Suatu saat, orang itu memanggil saya untuk membicarakan sesuatu. Saya pun mendatangi tempatnya dengan tanda tanya di kepala. Saat saya sudah berada di hadapannya, ia mengansurkan sebuah gulungan tissue yang dibentuk menyerupai bola-bola, sambil memperbaiki letak tas tangan di pangkuannya. Refleks, saya segera berlari kecil menuju tempat sampah di dekat saya. Membuang gulungan tissue yang saya taksir adalah sampah yang ia minta untuk dibuangkan.

Saat saya kembali di hadapannya, ia mengernyitkan keningnya seketika.

“Tissue tadi,” ujarnya sambil menatap tangan saya yang kini melompong, “Kamu letakkan dimana?”

Saya menunjukkan tempat sampah dan menjelaskan bahwa tissuenya sudah saya buangkan. Seketika ia terlihat sedikit panik dan segera meminta saya untuk mengambilnya kembali.

“Itu bukan buat dibuang…” pekiknya
Tanpa tedeng aling-aling, saya segera kembali ke tempat sampah dan mengambil tissue tadi.
“Memangnya ini apa?” tanya saya dengan sedikit kesal. “Bukan buat dibuangkah?”
“Buka saja gulungan tissuenya…” ujarnya dengan wajah lebih lega

Saya pun segera membuka gulungan tissue itu, lalu sejenak kemudian langsung tertegun demi menyaksikan sebuah leontin berkilap dengan ukiran nama Allah di atasnya. Nampak berjejeran permata-permata putih di pinggiran logam mulia itu.

“Ini…” ujar saya dengan takjub, “Emas betulan?”

Orang itu tersenyum simpul. Mungkin geli dengan ke-katro-an saya pada segala jenis ‘barang berharga’.

“Untuk itulah kamu saya panggil. Emas itu beratnya delapan gram. Mau saya sumbangkan.” katanya.

Saya semakin terbelalak. Delapan gram? Disumbangkan?

“Pokoknya saya mau emas itu digunakan di jalan Allah, terserah disalurkannya kemana. Yang jelas saya niatnya sedekah.” lanjutnya lagi, seolah tidak peduli dengan tampang saya yang shock.

“Semoga dengan itu, Allah memberikan kemudahan bagi saya. Doakan, yah!”

Dan saya pun masih terbelalak.

Kawan, kita mungkin sudah sering mendengar orang-orang yang menyumbangkan hartanya yang melimpah. Dibandingkan nilai delapan gram emas, tentu telah banyak manusia di jaman ini yang pernah bersedekah lebih dari itu. Tapi bagi saya, baru kali ini saya menyaksikan langsung, sekaligus dijadikan wasilah untuk menyalurkan sedekah dengan jumlah segitu.

Setelah kejadian tadi, saya jadi sibuk mengerjap-ngerjapkan mata saya yang berair. Terharu karena telah menjadi saksi bagaimana Allah mampu menuntun seseorang memiliki hati yang berkilau seperti itu. Apalagi, saya tahu betul bahwa akhir-akhir ini dia sedang menjalankan rencana-rencana yang juga membutuhkan dana yang besar. Dan saya tahu, dana yang ia butuhkan belum juga cukup untuk rencananya itu. Maka menyaksikannya dapat memutuskan untuk bersedekah dalam jumlah demikian dalam keadaan tersebut, membuat saya makin takjub!

“Pemilik toko emasnya bilang,” seorang kakak yang diamanahkan untuk menjual emas –tentunya agar dananya dapat lebih mudah disalurkan sesuai keinginan penyumbangnya, mengisahkan “Harga emasnya jadi lebih tinggi, karena leontin itu masih sangat baru…” ujarnya, tanpa bisa menutupi ketakjubannya. Persis seperti saya.

Setiap mengingat itu, hati saya bergemuruh. Lalu tidak bisa membayangkan jika saya juga hadir dalam salah satu fragmen kisah para salaf, saat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam meminta para sahabatnya untuk bersedekah. Datanglah sang gagah Umar bin Khattab dengan separuh hartanya. Namun, kemudian muncul Abu Bakar dengan seluruh hartanya. Baik, saya ulangi: SELURUH HARTANYA!

Lalu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, bertanya pada lelaki yang paling dicintainya tersebut, “Lalu apa yang kau tinggalkan untuk keluargamu?”

Abu Bakar, pria dengan keimanan kualitas langit, dan dengan keyakinan yang sekokoh gunung itu berucap, “Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan RasulNya.”

Ah, begitu indahnya kalimat itu…

“Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan RasulNya.”
Jika saya ditakdirkan Allah untuk menyaksikan langsung kejadian tersebut, mungkin saya sudah guling-guling dan menangis sesunggukan karena tertampar pada aura keimanan mereka yang membuncah-buncah. Subhanallah!

Sementara saya sendiri, apa yang sudah saya sumbangkan untuk agama ini?
Lalu saya kembali meretas-retas, mengingat-ingat, membuka-buka memori masa silam, yang dekat dan yang telah jauh tertinggal. Kemudian, menemukan bahwa belum ada apa-apa. Yah, belum ada apa-apa yang saya berikan.

Sekarang, saya mulai paham, untuk apa seharusnya saya menangis.

Ya, menangisi diri sendiri.

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. Al Baqarah [2]: 261)

Rabu, 24 November 2010

Saat Pesta Pernikahan Berdampingan dengan Rumah Duka




Siang itu, matahari sedang terik-teriknya bersinar. Meski tak ada yang pernah tahu bahwa sorenya hujan akan mengguyur bumi, sejenak mengaburkan ingatan kita tentang terik.

Saya sedang membelah jalanan menuju kampus saat melewati sebuah rumah dengan warna-warni hiasan di pagarnya, khas menandakan ada sebuah hajatan bahagia di sana. Mobil-mobil berderet-deret, mengambil separuh badan jalan yang sejak awal sudah cukup sempit itu. Ada pesta pernikahan di rumah tersebut.

Entah mengapa, saat menyaksikan pemandangan itu, saya justru membayangkan hal lain. Membayangkan bagaimana jika, di samping rumah tadi, berdampingan pula sebuah rumah yang salah satu penghuninya baru saja dipanggil untuk kembali pada Rabbnya. Pulang kampung ke negeri akhirat.

Tentu akan menjadi pemandangan yang ganjil, saat kedua takdir itu bersanding. Pastinya akan ada perasaan tak enak yang menggelayuti pemilik rumah masing-masing. Sementara, tak ada satu pun diantara keduanya yang dapat menangguhkan hal tersebut.

Pesta pernikahan yang telah didesign sedemikian rupa dengan perencanaan yang matang sejak jauh-jauh hari, tak mungkin ditunda, apalagi dibatalkan karena tiba-tiba ada tetangga yang meninggal. Terlebih lagi tentang ajal, meninggalnya seseorang, tak mungkin bisa ditahan-tahan karena kerabat sebelah rumah sedang ada hajatan walimah.

Beberapa menit kemudian, saya sudah sampai di jalan raya. Lalu tiba-tiba terdengar suara sirene yang diikuti dengan pemandangan segerombolan pengendara sepeda motor yang membawa bendera putih. Dan saya pun takjub. Meski mungkin kedua peristiwa tadi tidak berlangsung di area yang sama –seperti yang saya khayalkan, tapi setidaknya kedua hal ini terjadi di waktu yang dekat jaraknya.

Sekali lagi tentang kematian.

Tiba-tiba saya disergap ketakutan, mata berkaca, dan perasaan bergemuruh, teringat pada kelalaian saya semalam –belum lagi dengan segala dosa selama ini, ah…. Tapi belum lagi saya selesai dengan gemuruh itu, kembali muncul gerombolan lain yang juga membawa bendera putih.

Dua.

Dua kematian yang saya saksikan hari ini. Mungkin saya hanya melihat iring-iringan jenazahnya saja. Tapi cukuplah itu menjadi sebuah pengingat, nasihat yang nyata.

Kawan, tak perlulah kukabarkan bagaimana kematian itu bisa saja datang tiba-tiba. Tanpa pernah direncakan seperti sebuah acara pernikahan. Tak pernah bisa kita mengancang-ancang dimana kita akan tertimpa takdir itu nanti. Tak bisa kita berencana busana apa yang akan kita kenakan saat itu. Terlebih lagi bahwa tak ada seorang pun yang bisa kita ajak turut serta saat tamu terakhir itu datang menjemput. Dan tentu tak mungkin kita berucap, “Tunggu dulu, saya belum siap!”

Mungkin ada baiknya jika kita duduk sejenak, menghadirkan diri dan hati secara utuh untuk kembali bertanya; untuk apa kita hidup? Kembali mengevaluasi apa saja yang telah kita lakukan selama nafas ini berhembus.

Kita, seorang anak dari kedua orang tua, sudah berapa banyak amal bakti yang kita beri kepada ayah dan bunda?

Kita, seorang saudara atas kaum muslimin yang lain, kemanfaatan apa yang telah kita sumbang untuk jiwa-jiwa yang dengannya Rasulullah menjadikan ‘satu tubuh’ sebagai analoginya?

Kita, pemuda yang diberi begitu banyak nikmat, seberapa besar rasa syukur itu datang, seberapa mampu kita bersabar atas cobaan, seberapa jauh kita bisa ikhlas atas takdir, bandingkan dengan seberapa sering kita mengeluh -bukan kepada siapa-siapa, Kawanku! Tapi esensi keluahan sebanrnya adalah kita sedang mengeluh pada Allah yang telah menggariskan semua perjalanan ini!

Kita, seorang penuntut ilmu yang ingin menjejalkan cahaya pada hati dan pikirannya, sejauh mana segala teori itu berbuah amal?

Kita, manusia yang hidup berdampingan dengan makhluk Allah yang lain, seberapa mampu kita mengejawantahkan jalan ini sebagai rahmatan lil alamin?

Kita, seorang hamba atas Rabbnya yang Maha Kuasa, sudah seberapa tundukkah kita pada aturanNya, sudah seberapa kuat kita menghindari larangannya, sudah sebesar apa rasa harap, takut, dan cinta itu bermuara?

Kutuliskan kata ‘kita’ itu, kawan, meski sebenarnya segala pertanyaan itu lebih tepat terhujam pada diri ini saja.

Bukankah saat gigi dicabut itu sakit? Lalu bagaimana pula saat nyawa ini yang dicabut dari jasadnya?

Bukankah ujian sidang itu menegangkan? Lalu bagaimana saat kita diuji dengan pertanyaan para malaikat?

Tidakkah nilai E di kartu hasil studi itu menggelisahkan? Lalu bagaimana gelisahnya saat yang error tenyata adalah amalan kita selama hidup di dunia?

Tidakkah api dari sebatang lilin itu panas? Lalu bagaimana pula dengan api neraka? Yang siksa paling ringannya adalah terompah yang dapat mendidihkan hingga ke otak.

Lalu bukankah kita sudah tahu betul dengan itu semua? Tapi ah, kata ‘lupa’ itu, kawan, itu yang selalu membuat kita silau dengan dunia, dan rela menukarkan masa yang kekal dengan sesuatu yang tidak lebih berharga dengan sayap nyamuk saja.

Wahai Allah, sebelum masa itu tiba, telah tuntaskah segala peran yang Engkau amanahkan? Peran sebagai khalifah di muka bumi, bukan sebagai perusak yang menumpahkan darah dan air mata, persis seperti apa yang dikhawatirkan para malaikat, saat nenek moyang kami Engkau cipta. Wallahu a’lam. T_T

“Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-sekali tidak akan dapat dikalahkan” (QS. Al Waaqi’ah [56]: 60)

Senin, 15 November 2010

Inilah yang Kumaksud dengan Cinta


Mengapa harus cinta? Sebab ia adalah kata ajaib yang menggiring Anda untuk meng-klik judul ini. Selamat membaca!

Seorang lelaki telah melewatkan masa mudanya dengan pencarian yang berat. Ada pula kisah penghancuran berhala di sana, hingga ia dapat terbebaskan dari panasnya api yang membakar. Namun, lain halnya saat ananda yang telah lama dinantikan akhirnya datang juga masanya, namun telah datang perintah agar ia membawa anak dan istrinya ke sebuah gurun pasir tak bertuan.

Berat perasaannya meninggalkan keduanya begitu saja. Lalu sang istri bertanya, “Mengapa?”, begitu berkali-kali. Namun, tak juga mampu dijawabnya. Ia terus melangkah menjauh.

“Apakah ini perintah Allah?” tanya istrinya kemudian.

“Ya.” jawabnya pada akhirnya.

Maka inilah yang kumaksud dengan cinta, saat segala beban dan perasaan harus rela dikesampingkan demi sebuah perintah agung dari langit. Meski berat terasa, meski seolah tak sanggup terlewatkan.

Dan sebagaimana awal-awal proses kehidupannya, sang anak tumbuh menjadi buah hati yang tak akan terganti. Baik budinya, halus perangainya. Menyenangkan bila dipandang dan meneduhkan untuk perasaan. Lalu saat pertemuan pertama dengan sang ayah ditakdirkan, pecahlah segala rindu. Tuntaslah semua gundah yang menggelayut oleh jarak yang terbentang.

Hingga dalam kebersamaan yang indah itu, datanglah sebuah mimpi yang merupakan perintah yang sekali lagi menguji diri. Kali ini bukan sekadar meninggalkan di gurun pasir, tapi lebih dari itu, bahkan mengakhiri nyawa buah hatinya dengan tangannya sendiri.

Namun, rupanya perintah itu kembali disambut dengan keyakinan yang sama; ini perintah Allah.

Maka, inilah yang kumaksud dengan cinta, waktu bibir pemuda itu berucap kata yang abadi dan terjaga hingga akhir dunia, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (QS. Ash Shaffat: 102)

Lalu kisah selanjutnya telah diceritakan di masa kanak-kanak kita. Saat digantikanlah sang ananda dengan hewan sembelihan. Lalu kembali abadi ‘reka ulang’ kisah ini dalam setiap tahun kehidupan kaum muslimin, setiap 10 Dzulhijjah.

Inilah yang kumaksud dengan cinta. Tentang Ibrahim Alaihissalam, Siti Hajar, dan Ismail Alaihissalam. Wallahu a’lam.

Belajar dari Ibrahim, belajar takwa kepada Allah…

Belajar dari Ibrahim, belajar untuk mencintai Allah…

Selamat menyambut Hari Raya Idul Adha!



(Makassar, 8 Dzulhijjah 1431 H)

Kamis, 11 November 2010

Perjalanan Senja


Seperti pertemuan sahabat lama di sebuah angkutan kota. Seperti itu pula setiap cerita dari hidup mengajarkan kita tentang skenarionya. Saat seorang adik tersenyum di hadapan, pada suatu sore, di beranda masjid. Lalu berikutnya, namanya terucap dalam sebuah kabar tentang perpisahan abadi yang tak bisa dicegah.

Seperti pemuda yang tak lekat matanya dari sebuah buku bersampul biru muda. Demikianlah kita dituntut untuk bersabar, mendidik jemari saat membuka tiap helai ilmu. Bersabar dengan waktu yang tergadai dalam setiap detik yang terlewat padamu. Adakah datangnya adalah cahaya yang kelak ditukar syurga? Atau justru menjadi saksi atas amal yang tak pernah menjadi nyata?

Seperti jalan yang basah oleh air hujan. Saat tiap perciknya bersatu dengan tanah lalu selesai begitu saja. Waktu ibunda Aisyah mengajarkan kita arti ketidakbermaknaan manusia. Lalu Umar berharap, lebih baik bila ia menjadi tanah yang terlupa. Lalu kita, sepantasnya menjadi apa?

Makassar, 11 November 2010

Dalam perjalanan senja menuju rumah. Diatas 07 yang membelah anging mammiri, sejuk sekali!

Dedicated to Kak Fitri Salsabila; “Ayo rayakan hari dengan menggapai cita-cita ^_^”

Special for Kak Achie (Ummu Azka Khadijah): “Ajari saya punya hati bernuansa langit sepertimu, kak!”

Jumat, 05 November 2010

Volunteer Wanna Be


[WARNING: Postingan GeJe. Tidak perlu lanjutkan membacanya jika Anda punya hal lain yang lebih bermanfaat untuk dikerjakan!]
“Seharusnya saya di sana…” ucap saya sambil memandangi layar televisi dengan mata meradang. Benda eketronik itu menampilkan berita bencana alam yang kian memilukan.

“He…?” adik saya mendelik. Khas seperti biasanya.

“Jiwa ini bergejolak. Seharusnya saya di sana. Menjadi relawan… Menjadi relawan!” ucap saya dengan berapi-api. Ditambahkan tangan yang mengepal mantap ke angkasa

Mata adik saya membentuk garis. Mulutnya mengatup kuat, tapi siap menyemburkan kata-kata pedas. “Memangnya kalo di sana kamu mau apa? Mau bikin shake herbalife rasa Dutch chocolate, ha?!” ucapnya. Ya, pedas, Kawan. Pedas bukan buatan!

“Memangnya apa yang bisa kau lakukan selain bikin shake!” lanjunya lagi. Cabai. Sepedas cabai, Kawan!

Saya menggelepar tak karuan. Membentuk body language yang tidak menerima kata-katanya yang menyayat hati. Sambil sesekali melirik shaker Ibu yang sudah nampak tandas, menunggu saya menggunakannya juga.

“ Setidaknya…” ucap saya dengan wajah memelas yang berusaha menyakinkan makhluk keriting yang tidak lain dan tidak bukan adalah penghuni rahim yang sama setelah saya mbrojol ke dunia, “Saya di sana bisa membuatkan mereka puisi…” saya menghembuskan nafas berat, dramatis. “Untuk mengentaskan duka lara mereka…” lanjut saya dengan syahdu.

“He?” mata adik saya kembali membentuk garis. tatapan itu berkata lebih sengit dari ucap lisannya: Katakanlah, dan aku tak peduli!

Percayalah, Kawan. Seharusnya saya ada di sana, seharusnya KITA di sana. Menjadi relawan. Become a volunteer! Baiklah, kesepatan saja yang belum datang.

Rabu, 03 November 2010

Menikmati Cinta dalam Gelas di Padang Bulan


“Saya sedang rindu setengah mati…” ucap saya dalam perbincangan sore itu

“He?” adik saya mendelik, tatapan seperti itu khusus ia hamburkan hanya saat mendapati saya sedang heboh mendramatisir sesuatu (baca: lebay)

“ Rindu sama Gramedia…, lama kayaknya kita tidak kesana.” lanjut saya dengan tampang sok melankolis. Dan obrolan itupun berlanjut dengan konspirasi terselubung antar kakak beradik yang menghasilkan sebuah action yang sesuai tujuan: ayah dan bunda bersedia men-drop kami ke Gramedia malam itu juga! Sek aseeek…

Saya, meminjam istilah sobat saya Gabriella Dwiputri, telah tumbuh dan berkembang bersama nama toko buku itu. Mulai dari saat ia berada di lantai dua Swalayan pertama Makassar, Makasa –yang berakhir dengan kebakaran maut yang mengenaskan, karena memusnahkan begitu banyak komik dan buku cerita yang di masa itu selalu rutin dibelikan ayah tiap habis gajian. Lalu setelah beberapa waktu kami, tiga bersaudara, merana tanpa Gramedia, toko buku itu muncul lagi saat Mall pertama di Makassar berdiri; MaRI. Hingga saat ini, Gramedia favorit kami adalah yang di Mall Panakukang. Gramedianya luas, nyaman, ada tempat duduk, dan yang paling penting; selalu ada buku sampel yang bisa dibaca gratis karena telah lepas dari sampul plastik!

Lalu, setelah mengentaskan rindu pada toko yang telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa itu –maaf, saya lagi lebay, saya akhirnya memutuskan untuk berfokus pada tujuan utama saya. Sebuah karya penulis favorit saya, Salim A. Fillah, Dalam Dekapan Ukhuwah. Dan setelah bersitegang dengan karyawan Gramedia yang tidak bisa menunjukkan rak dimana buku itu berada –karena tenyata stoknya kosong, saya akhirnya memutuskan untuk kembali ke rak depan pintu masuk. Rak tempat buku-buku laris berjejal dengan anggun. Saya menimang-nimang sebuah buku yang sebenarnya sudah lama saya incar, tapi selalu berat di angka-angka yang berderet pada label harganya.

Kemarin-kemarin, saya selalu berhasil membaca buku-buku keren karya penulis itu dari hasil boleh minjem. Kali ini, saya berinisitif akan membelinya. Bagaimana pun, walau sudah beratus-ratus ribu manusia yang membeli bukunya, saya tetap merasa perlu melakukan hal yang sama. Lebih kepada wujud apresiasi saya kepada beliau dan bahwa setelah bergelut langsung di dunia media cetak –walau masih dalam taraf media lokal, saya merasa betapa pentingnya seorang pembeli karya kita. Bahwa terkadang ini bukan masalah uang yang harus dikeluarkan, tapi bahwa tiap orang yang memutuskan untuk menyisihkan hartanya demi membeli tulisan kita, adalah pelecut semangat tersendiri agar kita terus berkarya. Baiklah, anggap saja ini sebagai semacam solidaritas.

Saya jadi teringat sebuah malam saat saya melihat ayah membuka amplop yang diberikan panitia masjid kepada beliau, sehabis beliau mengisi ceramah tarawih. Saya sempat bertanya seberapa etiskah kita menerima ‘honor’ atas kebenaran yang kita sampaikan. Terlebih lagi atas ilmu agama yang kita bagi. Pantaskah?

Tapi, malam itu, Ayah mengajarkan saya bahwa ini bukan masalah nominal. Ini adalah perihal penghargaan kita terhadap ilmu. Mengapa umat manusia bersedia menghabiskan uang-uang mereka untuk baju, make up, rumah, kendaraan, atau pulsa handphone? Sementara untuk membeli majalah islami seharga Rp 6000 saja, harus berpikir hingga kening berkerut –maaf, yang ini lagi curhat. Baiklah, anggap saja ini sebagai apresiasi.

Nah, kembali ke Gramedia tadi. Akhirnya saya resmi menjadi satu diantara begitu banyak pemilik dwilogi Padang Bulan-Cinta dalam Gelas karya (yang saya hormati) Bung Andrea Hirata. Membuka halaman awalnya saja sudah membuat saya tersenyum sendiri. Di sana berderet huruf yang menyusun kalimat yang manis: “Untuk A Ling”. Dan seketika saya merasa bahwa perempuan Tiong Hoa itu adalah wanita yang paling beruntung seluruh dunia! ^_^

Memasuki bagian awal, kita disuguhi dengan potret keteguhan seorang Enong dan keluarganya. Dibuka dengan gambaran cinta sederhana Syalimah dan Zamzani (orang tua Enong). Pria penyayang itu ternyata hanya bertahan satu bab di buku ini, diakhir bab, beliau meninggal dunia. Meninggalkan perempuan yang akan membawa cinta padanya hingga akhir hayat pula.

Tokoh Enong kemudian digambarkan sebagai wanita perkasa yang membanting tulang menggantikan peran ayahandanya. Ia kubur mimpinya menjadi guru Bahasa Inggris –pelajaran kesukaannya. Gadis itu lalu banting stir menjadi buruh timah pertama di dunia.

Padang Bulan banyak diisi dengan dilema cinta pertama Ikal. Bagaimana ia gusar saat mendapati gadisnya konon bakal dibawa lari oleh seorang pria tampan nan tinggi pula; Zinar. Langkah lulusan luar negeri ini lalu maju mundur untuk mengadu nasib di Jakarta. Ibunya uring-uringan menyaksikan pemuda itu hanya tinggal menganggur, hingga sang ibu menerawang ijazahnya dibawah matahari, menyangsikan keaslian ijazah-ijazah itu! Hehehehe…

Dari dua belah dwilogi itu, saya lebih menjuarakan bagian Cinta dalam Gelas. Mungkin, karena Padang Bulan lebih banyak diisi dengan kisah jenaka perjalanan cinta dan tipu muslihat Ikal dengan Detektif M. Nur (pemilik burung merpati bernama Jose Rizal yang sangat cerdas cendekia).

Cinta dalam Gelas sendiri banyak bercerita tentang Enong, yang selanjutnya disebut Maryamah. Setelah menemukan ladang tambangnya, Maryamah memutuskan untuk mengisi harinya dengan mengikuti kursus bahasa Inggris di kota. Suatu hari, ia mengundang Ikal dan M. Nur untuk menghadiri wisuda kursusnya. Ia nampak paling dewasa diantara wisudawan lainnya. Lalu berkacalah mata kedua sahabatnya itu saat ternyata Enong berada di peringkat lima dalam penamatan itu.

Selanjutnya, Cinta dalam Gelas banyak diisi dengan seluk beluk dunia catur, saat Maryamah memutuskan mengikuti turnamen catur 17 Agustus untuk melibas mantan suaminya, Matarom. Matarom dinikahinya atas permintaan ibunda yang telah sakit-sakitan. Namun, tidak ada yang tahu bahwa pernikahan itu harus berakhir tragis sebab lelaki tersebut ternyata sama mengerikannya di dunia nyata dengan saat melibas musuh di atas papan catur peraknya yang fenomenal; tak terkalahkan.

Dan papan catur menjadi sebuah medan dimana balasan atas budi baik terjadi, saat Maryamah mengalahkan seorang kakek tionghoa yang pernah menolongnya di masa kecil. Ia mengalahkan pria tua itu dengan cara terhormat, mengundang tepuk tangan pada permainan yang anggun itu. Lalu papan catur juga menjadi ajang saat wanita kekar itu membalas dendam pada Overste Djemalam, pria buas yang pernah bersekongkol hingga nyaris memperkosa dan membunuhnya demi sepetak ladang timah. Hingga akhirnya kecerdasan Maryamah membawanya pada partai final yang tak terbayangkan; menghadapi Matarom, juara bertahan catur warung kopi itu. Lalu setelah raja-nya telah tegang karena disasar oleh bji catur Matarom, Maryamah berhasil membalikkan keadaan dan menyelesaikan game dengan gilang gemilang!

Permainan catur dituliskan dengan begitu deskriptif dan menarik. Bagaimana papan catur menjelma Laut China Selatan. Dan gambaran saat Raja catur tertunduk lemas saat kena skak hingga berakhir tragis dan meregang nyawa di atas papan kotak-kotak. Sungguh menarik dan keren sekali!

Lalu apa pula yang membawa seorang buruh timah menjadi begitu cerdas memainkan olahraga intelek itu? Ternyata, dibelakangnya berdiri kawan-kawan klub catur dadakannya Klub Catur Kemenangan Rakyat Adalah Kebahagiaan Kita Semua. Belum lagi dengan tuntunan langsung Grand Master dunia, Ninochka Stronovsky, sahabat Ikal semasa kuliah di Sorbonne.

Cinta dalam Gelas juga membuka rahasia bagaimana Ikal menjadi seorang karyawan Warung Kopi pamandanya yang berkepribadian ganda. Juga bagaimana ia menyusun Buku Besar yang berisi tetek bengek per-kopi-an yang mengundang gelak tawa.

Buku ini, seperti buku-buku Andrea Hirata sebelumnya, mengandung motivasi dosis tinggi. Motivasi untuk terus belajar dan tidak menyerah pada berbagai tantangan. Melintasi setiap tembok yang menghalang dan mematangkan ikhtiar sebelum tertunduk menyerah.

Buku ini juga adalah buku paling jenaka karya Andrea Hirata yang pernah saya baca. Berkali-kali ibu memandangi saya dengan tatapan heran karena tergelak sendiri saat membaca buku ini di sampingnya.

Ada dua bagian favorit saya di halam 11 dan 99 Cinta dalam Gelas;

Meski tak terkatakan, anak-anaknya tahu bahwa senyum itu adalah ucapan saling berterima kasih antara ayah dan ibu mereka untuk kasih sayang yang balas-membalas, dan kopi itu adalah cinta di dalam gelas

Saya berhenti beberapa detik dan mengulum senyum setelah membaca deret kata ini. Lezat sekali! Membacanya seperti menikmati sepotong pizza dengan lelehan keju yang meletup, lalu membayar dosa junkfood itu dengan segelas Shake Herbalife rasa Dutch Chocolate yang kental dan dingin. Luar biasa!

Ia tidak dapat disurutkan oleh bimbang, tak dapat dinisbikan oleh gamang. Darinya, aku mengambil folisofi bahwa belajar adalah sikap berani menantang ketidakmungkinan; bahwa ilmu yang tak dikuasai akan menjelma dalam diri manusia menjadi sebuah ketakutan. Belajar dengan keras hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang bukan penakut

Bagian ini seharusnya dibaca oleh seluruh pelajar Republik Indonesia agar tidak mudah memutuskan untuk membolos jam pelajaran atau seenaknya menyontek pas ujian karena malas untuk belajar lebih keras!

Akhirnya, saya memberikan full bintang lima untuk dwilogi ini! Mencerahkan dan sangat indah. Membacanya seperti membawa kita menyusuri Belitong yang berwarna-warni dengan manusianya dan memesona dengan keindahan alamnya.

Membuat saya menambah nama tempat yang ingin saya jejaki setelah Makkah dan Madinah. Tempat itu adalah Rumah Puisi Andrea Hirata di pinggir kampung Ikal, dekat sekolah Laskar Pelangi di Belitong. Tunggu saya di sana! Insya Allah.



(Makassar, 3 November 2010)

Kamis, 28 Oktober 2010

Bencana, Tak Pernah Meminta Izin Kita


Tulisan ini dibuat ditengah hiruk pikuk pemberitaan bencana alam yang terjadi di Indonesia. Teriring belasungkawa kepada semua korban. Semoga dimudahkan untuk menerima takdir ini. Sebab hanya kalian yang sanggup. Sungguh, hanya kalian yang sanggup.

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”( QS. Al Baqarah [2]: 286)

Saat mendengar berbagai macam pemberitaan bencana alam tersebut, saya mencoba menerka-nerka, detik-detik saat kejadian terjadi. Mungkin segalanya akan terjadi dengan sangat cepat: tidak terkira. Lalu saya kembali membayangkan bagaimana jika kejadian tersebut menimpa saya –wal iyyadzubillah… Menimpa kita yang saat ini sedang berada dalam keadaan yang aman dan baik-baik saja.


“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Rum [30]: 41)

Bahwa bencana tidak pernah meminta izin sebelum ia datang, tentu akan sangat besar kemungkinan bahwa kita sedang berada dalam kondisi ‘tidak siap’. Mungkin, tidak siap saat sedang berada dalam keadaan menunda waktu shalat. Saat adzan berkumandang dan kita memilih untuk menangguhkan menghadapNya. Lalu bagaimana jika dalam rentang waktu itu, bencana datang dan memusnahkan kita?

Mungkin dalam sedang keadaan berhutang? Atau saat ada khilaf yang belum termaafkan? Ada janji yang belum tertunaikan? Ada amanah yang belum dilakukan? Belum lagi dengan dosa-dosa yang belum pula terampunkan?

Maka saat dalam keadaan MENUNDA kebaikan itu, keadaan MENUNDA memperbaiki diri itu, MENUNDA meninggalkan maksiat itu. Maka bagaimana jika saat itu gempa mengguncang, menimpakan material keras ke atas tubuh ini. Atau jika tiba-tiba gelombang besar menerjang, tanpa pernah mengetuk pintu dengan sopan, ia akan menerjang apapun –siapapun yang menghalangi lajunya!

Lalu bukankah setelah itu, segalanya akan selesai? Berakhir.

Kawan, lalu tanda-tanda alam macam apa lagi yang kita tunggu untuk mengingatkan kita untuk kembali merutinkan sujud? Apa lagi yang ingin kita lihat agar jemari ini kembali memulai membuka dan membaca tiap huruf di atas lembaran kitab suci? Agar kita mencoba mengumpulkan kembali segala rasa takut pada ngerinya azab bagi pelaku dosa dan betapa ruginya penikmat kesia-siaan. Tunggu apa lagi untuk berhenti hanya mengingat syariat di bulan suci atau meninggalkannya di tempat ibadah dan hanya dikaji oleh santri pesantren saja?

Tunggu apa lagi, untuk menjadi manusia yang kembali pada tujuan penciptaannya yang sebenarnya:

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]:56)
Makassar, 28 Oktober 2010

gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj18Si4hxKHu4G0ODMBi0-8wYwe7lEi5ck-lppRUctDz3Y3Daq_u7_d_EaNE2CxEnuuozMIkhdO1_3GW_IWSF2UNGFsiW64di6c-IAOZguePlmFLdj-gVCi49Dl4XBcpef2_eYXBJoiYQ/s1600/bencana-alam.jpg

Sabtu, 23 Oktober 2010

Semangatmu, Bisakah Sepertinya?


?

Entah mengapa tiba-tiba aku mengingatnya. Mengingat sosoknya dengan nyata dan kembali mereka-reka tiap perjumpaan masa lalu yang selalu berbekas di tiap jenaknya. Lalu mulai bertanya tentang bagaimana keadaannya sekarang. Ah, bukankah aku yang lebih banyak angka di umurnya? Tapi ternyata kau yang dipilih untuk lebih dahulu mengakhirinya.

Tiba-tiba aku mengingat sosoknya. Sosok yang aku temui di awal-awal perjalanan dakwah sekolah, dimana aku pertama kali secara konkret menyentuh langsung mereka, adik-adik dengan binar mata penuh rasa ingin tahu dan kehausan akan ilmu itu.

Aku masih sangat ingat, bagaimana degup jantung yang berkejaran saat pertama kali melangkahkan kaki menuju gerbang sekolahmu, Dik. Tak henti-henti hati ini berdoa, semoga tidak ada khilaf di pertemuan pertama kita hari itu. Yah, Jum’at pertama itu memang kita belum bertemu. Tapi aku sudah mulai bertanya-tanya tentang sosokmu saat kebanyakan temanmu merujuk namamu saat aku bertanya ini dan itu.

Lalu di Jum’at kedua, berhasil kudapati senyummu. Dengan langkah tegas dan jabat tangan hangat kau raih telapak tanganku. Lalu selanjutnya tiap hadirmu adalah semangat tersendiri agar aku dapat terus teguh berdiri.

Suatu malam, dengan tubuh yang telah luluh lantak dengan aktivitas laboratorium di semester dua kala itu, dengan mata yang terbuka sebagian, kucoba meraba saku rok panjang yang kukenakan. Dalam perjalanan melelahkan sepulang dari kampus itu, kucoba membaca sebuah pesan singkat yang ternyata darimu. “Kak, saya sudah kumpulkan nama-nama adik2 kelas 1. Semoga mereka semua bisa tarbiyah. Tolong carikan murabbiyahnya nah kak.”

Aku tertegun. Kembali terhenyak untuk sekian kalinya. Tertegur oleh semua semangat yang selalu meletup dari dirimu. Di lain kesempatan, kita kembali berbincang lewat sms saat kau mencoba lagi menjadi jalan cahaya bagi kawanmu yang lain. “Kak, tolong ajari dia shalat. Kalau sama orang lain mungkin dia malu. Mudah-mudahan sama kakak tidak”. Ah, dik…
Sifat keragu-raguanku selalu berhasil kau redam dengan senyum itu, Dik. Saat kita mencoba menyusun berbagai rencana dan program-program untuk terobosan dakwah di sekolahmu. “Insya Allah bisa, Kak!” ucapmu dengan mantap. Selalu.

Hingga akhirnya kita dipisahkan oleh takdir. Takdir saat aku tidak lagi diamanahkan di sekolahmu. Juga sebab kau harus mempersiapkan diri menghadapi dunia kampus. Terakhir kali perjumpaan kita di sekolah, kau berkata, “Saya mau lanjut belajar agama saja, Kak. Sudah capek belajar teknik… Heheheh…” Dan aku hanya tersenyum. Sambil menyelipkan doa dalam hati, semoga yang terbaik untukmu, Dinda.

Suatu saat kita kembali bertemu di masjid itu. Tak banyak berubah darimu. Juga dari sorot mata itu. Semangat, kehangatan, dan konsekuensi masih melekat erat di sana. “Saya lanjut tarbiyah di sini lagi, Kak…” ujarmu waktu itu. Dan aku pun selalu dapat yakin, bahwa keberadaanmu di jalan ini akan bertahan lama. Yah, bertahan lama.

Sampai hari itu datang. Sebuah pesan singkat menghentakkan kesadaranku di siang itu. Seorang adik kelasmu mengabarkan kepergianmu. Bukan. Bukan kepergian seperti dahulu, saat selalu ada kemungkinan untuk perjumpaan selanjutnya. Kali ini kepergian untuk selamanya. Setelah perjuanganmu koma selama beberapa hari, Allah pada akhirnya memanggilmu lebih dahulu. Mendahului segala mimpi-mimpi serta pengharapan orang-orang di sekitarmu.

Hidupmu yang singkat, aku yakin, adalah sebuah pelajaran besar bagi kami yang sempat bersinggungan denganmu di salah satu titik. Kau adalah semangat yang tak pernah padam. Dan memilih Sang Pemilik Cahaya sendiri yang mengakhiri bias sinarmu. Mengajarkan kepada kami yang masih diberi waktu untuk terus menebar sinar, namun kadang jengah dan sok capek dengan segala kesempatan ini. Kami yang lebih sering mengeluh dan jauh dari rasa syukur. Diantaranya, ada aku yang selalu bertanya-tanya; dimanakah ujung jalan cahaya ini?
Tapi mengingat sosokmu selalu membuatku merangkai sendiri jawaban pertanyaan itu; Ujungnya berada di sana, nanti saat kaki kita menapak di syurga! Benar begitu, khan Dik?

Adikku Kalsum Amalia, bagaimana kabarmu di sana? Masih ingatkah kau pada taman syurga yang dulu selalu membuatmu singgah? Semoga wanginya telah kau rasa. Semoga segala salah dan khilafmu telah tertebus dengan segala perih dan sakit yang kau terima dengan ikhlas. Semoga selalu mengalir keindahan pada tempat terakhirmu, mengalir dari semua jalan hidayah yang kau ambil andil di dalamnya. Juga dari semua debu-debu yang kau seka dari lantai masjid, yang tak pernah kau tinggalkan barang sedikit.

Dinda, aku rindu

Semoga kelak, kita berjumpa dalam keadaan yang lebih indah. Uhibbukifillah.

(Makassar, 23 Oktober 2010)

gambar:http://www.floridachildinjurylawyer.com/weather%20heat%20bright%20sun%20shine.jpg

Senin, 04 Oktober 2010

Tahun Keempat di Kampus Merah


Alhamdulillah…

Berada di semester tujuh, tahun keempat sebagai seorang mahasiswa membuat saya banyak berpikir. Terlebih lagi pada keadaan yang rasanya cukup terasa berbeda dibandingkan dengan semester-semester selanjutnya. Lalu saya kembali menapak tilas perjalanan saya sejak awal memutuskan akan menujukan diri ke Universitas Hasanuddin, Fakultas Farmasi. Hmm..sepertinya ini akan menjadi tulisan yang panjang…

Berawal dari lepasnya saya dari dunia SMA yang penuh warna itu. Berbagai macam pikiran mulai berkelabat, tentang masa depan, juga berbagai macam mimpi yang ada di dalamnya. Setelah cukup lama sibuk dengan kebingungan, akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti mandat ibunda untuk melanjutkan pendidikan di tempat saya berada sekarang. Konsekuensinya adalah, menguburkan mimpi-mimpi yang telah begitu lama saya pendam. Juga berbagai macam cerita tentang masa depan yang tak jarang saya risaukan. Terlihat jelas bagaimana berkecamuknya saya saat itu dalam sepotong puisi,

lalu apa lagi yang harus diperjuangkan?

jika sejak awal kita memetik bunga-bunga melalui semua catatan yang ditentukan

pada mimpi sebelum kita terlelap

pada kisah yang tak rampung dituliskan

(Perempuan Bertanya, 1 Juni 2007)

Tapi pada akhirnya, saya toh menguat-nguatkan diri dan mencoba meniatkan ini sebagai sebuah bentuk birrul walidain, berbakti kepada orang tua. Sejak awal saya berada di sini, hingga nanti pada akhirnya.

Selanjutnya, berbagai macam hal saya lakukan untuk bisa memuluskan jalan menuju kampus merah. Ikut bimbingan belajarlah… Ikut try out dimana-manalah.. Yah, seperti umumnya pelajar-pelajar lainnya. Hingga suatu malam, saya malah dilarikan ke rumah sakit karena masalah di lambung yang sudah cukup lama saya idap. Sayangnya, hal itu terjadi menjelang batas akhir pengumpulan formulir pendaftaran universitas.

Maka sehari setelah keluar dari rumah sakit, saya terseok-seok menuju Unhas untuk mengembalikan si formulir yang saya dapatkan lewat jasa bimbingan belajar. Rasa-rasanya saat itu, saya sama sekali tidak berjuang apa-apa dalam proses mendaftarkan diri. Sebab setelah sampai di sana, saya malah menerobos lautan antrian yang sudah kusut masai wajah-wajahnya akibat udara panas dan penantian panjang. Saya malah datang dengan wajah pucat, didampingi seorang kerabat yang punya koneksi dengan ‘orang dalam’ sehingga saya bisa langsung masuk tanpa mengantri sedikit pun. Duh…, sampai saat ini saya masih sering merasa mencekam jika mengingat ekspresi lautan manusia yang saya serobot antriannya. Maaf yah…, saya sedang sakit… ^_^

Masa SPMB pun terlalui dengan caranya. Meski sudah cukup heboh dengan persiapan belajar macam-macam, saya tetap merasa tidak percaya diri dengan hasil jawaban saya saat itu. Apalagi jika membayangkan bahwa saya sedang memperebutkan beberapa puluh kursi dengan ratusan pelajar cerdas. Perasaan pesimis datang seketika sore itu, pada hari kedua sepulangnya saya dari SDN Sudirman, lokasi SPMB saya.

maka ajarkanlah, mentari,

apa yang bawamu kembali ke sini ?

katanya ; “sebab segalanya terus berputar, bukan kita penentu hentinya, maka pantaskah kita padamkan cahaya?”.

(Cerita Senja, Juli 7 ’07)

Potongan puisi di atas saya tulis guna memberi semangat pada diri yang nyaris kehilangan optimis setelah mencocok-cocokkan jawaban saya dengan kunci jawaban yang beredar di Koran.

Lalu waktu terus berputar. Hingga takdir mengantarkan saya menginjakkan kaki di kampus merah. Melewati deretan pepohonan yang meneduhkan sejenak dari sinar matahari. Juga deret gedung yang berdiri angkuh, seolah mengajarkan bahwa hidup adalah perjuangan keras yang membutuhkan banyak perjuangan.

Dan memang begitulah yang terjadi. Berjuang. Menjadi mahasiswa baru dengan berbagai macam tuntutan sempat membuat saya jengah dengan segala intimidasi yang ada. Terlepas dari komunitas masa SMA yang dipenuhi dengan orang-orang berhati cahaya yang tanpa sadar membuat warna hati saya juga ikut berubah. Lalu bertemu dengan orang-orang baru dengan berbagai karakter yang kadang tidak dapat diduga.

Saya sempat merasa sendiri. Merasa terasing. Apalagi dengan pola pikir saya yang mungkin dianggap aneh dan berada pasa posisi minoritas (Baiklah, kalimat yang terakhir memang agak berlebihan ^_^). Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa sejak awal saya menjalani ini semua dengan agak-agak setengah hati. Hmm…, maka saya mendapati diri yang ogah-ogahan bangun di subuh hari. Lalu mengakhirinya dengan tampang kusut saat saya tiba di rumah di waktu maghrib. Seingat saya, waktu itu belum musim hujan, tapi bagi saya, musim beku telah datang lebih dahulu.

lalu diserap tanah dan tumbuhkan pohon tanpa bunga, tanpa daun, bahkan yang paling layu sekalipun

waktu musim beku ditengok sebuah ruang, dingin, sunyi, sepi...

apakah itu kau, hati ?

(Waktu Musim Beku, September 20 ‘07 )

Sibuk. Itulah kata yang paling tepat menggambarkan keadaan di awal-awal semester. Memasuki dunia kuliah dengan pelajaran yang njlimet. Kesibukan praktikum yang seolah tak ada habisnya. Datang ke kampus, melalui perjalanan panjang saat matahari masih jingga warnanya. Mengikuti kuliah tidak karuan sambil mencuri-curi mengerjakan laporan atau tugas pendahuluan. Lalu sibuk mendaki lantai demi lantai di siang hari demi menjalani aktivitas laboratorium. Komat-kamit menyiapkan diri untuk responsi, lalu berlari-lari saat nama dipanggil dalam absen.

“Hadir kak…!”

“Tiga…dua…satu… Bintang meko de’!”

Lalu berkutat dengan mencit-mencit, tabung-tabung, si imut E-coli, atau hamparan dedaun hijau hingga matahari terbenam. Keluar dari lab dan menatap langit yang mulai kelam dengan hembusan napas panjang. Sadar bahwa hari akan berganti, dan perjuangan hari ini akan dilanjutkan dengan hal serupa di keesokan harinya.

Bergelut dengan setumpuk laporan yang membuat jari keriting. Diskusi dengan asisten yang membuat otak keriting. Hingga menyiapkan diri untuk ujian lab hingga jiwa pun rasanya ikut keriting. Sayangnya itu semua tidak bisa dituntaskan hanya dengan rebonding. Kecuali dengan kembali berjuang dan mengalahkan mata kantuk serta bersepi-sepi ria di malam hari bersama kerta double folio dan pulpen yang sudah bengkok ujungnya. Ah..

Dan konsekuensi dari semua itu adalah kesadaran bahwa waktu memang tidak bisa terbeli. Segala macam amanah diluar tanggung jawab akademik pun menjadi ternomor duakan.

“Maaf kak, saya tidak bisa ikut, saya ada lab..”

“Lho, ini khan tanggal merah, dek?’

“…”

Yah, tanpa banyak yang perlu tahu, betapa perih terasa saat mendapati diri sibuk terus dengan berbagai aktivitas duniawi dan ditinggal para pejuang-pejuang itu menyusuri jalan yang sepi. Ah…, masa itu saya diliputi kerinduan yang teramat sangat pada mereka, ukhtifillah…

--- tapi taukah kalian?

rindu itu kini sembunyi

lalu kata dan senyum itu, entah dimana lagi kucari

waktu kalian tak lagi di sini

waktu kalian tak lagi di sini

rindu tak habis-habis.

(Rindu Tak Habis-Habis, Oktober 13 ‘07)

Tapi apapun yang terjadi, saya mendapati begitu banyak kawan-kawan seangkatan kala itu yang memilih mundur. Tentu dengan alasan masing-masing, dengan hak mereka masing-masing. Bagaimana pun, orang yang masih bertahan bukan berarti lebih kuat dibandingkan mereka yang berhenti. Setiap orang memiliki takdir masing-masing. Mungkin mereka di sana, dan saya masih di sini. Masih bertahan. Tak peduli sekurus apapun sudah segala aktivitas itu menggerogoti saya. Mendapati bahwa begitu sulit menyatukan pemikiran dalam sebuah team work. Hingga tak jarang gesekan pun terjadi. Air mata tertumpah. Tapi tidak untuk saya. Bukan itu saatnya. Masih banyak hal lain yang perlu saya tangisi tentang berbagai kealpaan diri, dibanding harus mengusap pipi karena laporan yang dibatalkan setelah semalaman diperjuangan. Atau setelah meninggalkan medan lab karena tidak lulus dalam respon.

saat terlewat lagi satu waktu dengan peristiwa

tapi kembali datang lagi pada eskonya

saat tersadarlah

aku harus bertahan

aku harus bertahan

(Bertahan, Okt 6 2007)

Dimalam hari saat saya sibuk melukis huruf membuat laporan, tak jarang saya berpikir pada sebuah kaidah yang saya dapatkan dalam lingkaran majelis. Seseorang akan mengakhiri hidupnya seperti bagaimana ia mejalaninya. Yah, semua orang pasti mendamba husnul khotimah. Sebuah akhir hidup yang indah, misanya meninggal dalam shalat, atau dalam sujud, atau saat bertilawah, atau bahkan dalam medan jihad. Yang paling saya takutkan kala itu adalah, jangan sampai nyawa saya dicabut saat berada ditengah tumpukan laporan. Huhuhu.. Sangat tidak keren sekali rasanya!

diantara malam hening dan detak jarum jam antara pukul tiga

antara laporan biokim dan sintesis obat

antara ayat-ayat al anfal

ada tanya yang menyeruak tiba-tiba

tentang masa depan bagaimanakah ia nantinya ?

(Antara; Oktober30 ’08)

Tahun keempat di kampus merah,

Saya merasa banyak yang berbeda. Tidak ada lagi laboratorium. Jadwal kuliah di sore hari. Jarang lagi berkumpul bersama teman-teman seangkatan. Saya akui bahwa dalam beberapa momen ngumpul-ngumpul saya memang jarang ikut serta –jika tidak dikatakan tidak pernah sama sekali. Bukan karena tidak ingin merasakan kebersamaan, apalagi karena eksklusifitas. Tapi memang keadaan yang terkadang tidak memungkinkan. Maaf yah, teman-teman…

Tapi pada akhirnya saya tidak bisa membohongi diri, bahwa saya mulai merindukan itu semua. Bagaimanapun, saya merasa beruntung dapat bertemu dengan teman-teman seangkatan saya sekarang. Meski mungkin, saya bukanlah teman yang baik untuk mereka. Lebih banyak diam di suatu sudut dan hanya sesekali tertawa menimpali. Mungkin ada diantara mereka yang pernah terjebak dalam suasana kaku bersama saya. Atau saat saya agak-agak tidak nyambung saat bercakap dengan mereka, atau mungkin saya yang minta tolong ini-itu dan macam-macam. Ah, sekali lagi saya minta maaf, Kawan!

Di tahun keempat ini, masing-masing dari kami pasti sedang sibuk meretas jalan untuk mengakhiri perjuangan ini dengan hasil terbaik. Mulai sibuk dengan penelitian dan perencanaan sendiri-sendiri. Atau terbatas pada kelompok yang satu tim. Tapi meskipun begitu, masing-masing kita telah melewati perjuangan sebelum-sebelumnya, khan? Dan pada akhirnya semuanya pun akan terlewati. Suatu saat, insya Allah.

Tahun keempat di kampus merah,

Saya berharap saya telah banyak belajar. Tentang disiplin ilmu saya sendiri. Juga pelajaran tentang kehidupan.Bahwa kita di sini, membuat obat dan segala hal tentangnya, bukan untuk apa-apa. Bukan untuk menyembuhkan siapapun, sebab kesembuhan-sakit-dan ajal adalah rangaian takdir yang bukan hak kita. Kita di sini, untuk memberi harapan, bahwa masih ada jalan untuk berjuang, Untuk hidup dengan lebih baik.

Mari melihat lebih dalam tiap peristiwa yang terlewat. Menengok lebih dalam saat melalui pemulung-pemulung cilik yang memegangi perutnya di salah satu sudut tangga. Atau tentang cleaning service yang cemberut saat kita injak bekas pelnya. Atau saat saya kembali merindukan sekelompok iringan awan yang membentuk formasi indah di langit senja, saat saya berdiri dari beranda Lab Fitokimia. Mereka bertasbih memuji nama Tuhannya; ALLAH.

-------------------------------------------------------------------------------------------------

suatu saat

saat dipandang langit sore yang jarang kita lihat

mungkin karena kita terlalu lama melukis huruf

atau tak sadar dengan pergantian waktu

saat masa terlewat begitu saja

dan kita tetap sibuk dengan kertas dan pena

apa kabar bumi hari ini ?

tak sadar kita bahwa tak pernah lagi kita jenguk daun-daun yang berguguran

atau angin yang berhembus sepoi, ingatkan bahwa hidup adalah serangkaian permainan

permainan yang entah mengapa kita terlalu banyak tertegun di dalamnya

berapakah tetes air mata yang telah tercurah untuk itu semua ?

berapa malam yang kita lewatkan bersama jemari yang tak ada tidurnya ?

berapa peluh yang kita cucurkan saat harus teraih tingkat paling puncak ?

tapi berapakah sesungguhnya yang telah kita beli

dengan harga mahal, dengan waktu, raga, dan hati ?

adakah semua ini telah dimaknai

moga bukan hanya sekedar sia-sia

dan kelak kita temukan jawaban

untuk apa kita di sana

( april 27’08)

Untuk semua teman-teman Mixtura07, Farmasi Unhas. Keep spirit! Semoga urusan kita dimudahkan!


Makassar,5 Oktober 2010

diantara penulusuran inspirasi buat Skripsweet… ^_^


gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1_B4cgn_vOTpdS28rj-vVeb3Q6yd5Cim9D0mXqlyaq5td4NOROT9ES0JzIuFouhOu5bAg3yM3ECAh__12YeJ4izafRr16KCbc4652thHS4OrwuXQu2DkIh0jJMmSvUj9EiayQNEqWKoi2/s1600/unhas.jpg

Selasa, 28 September 2010

Ambulance dan Saat Saya DIVONIS MATI

http://neilhoja.files.wordpress.com/2009/03/10format-ilustrasi-pusara.jpg


Bismillahrirrahmanirrahim…

Hari itu siang cerah ceria. Nampak berbeda dari siang-siang sebelumnya yang digelayuti awan kelabu, disusul hujan rintik hingga deras. Saya menyusuri salah satu jalan di Kota Makassar saat suara khas itu terdengar dengan jelas. Suara sirene. Pandangan saya seketika mencari sumber suara dan mendapati sebuah mobil putih bergerak cepat diantara kerumunan kendaraan. Beberapa motor mengikut di sampingnya. Bergerak tak kalah cepat.

Sejenak peristiwa itu membuat saya menerka-nerka. Apa gerangan yang sedang terjadi di dalam ambulace itu? Apakah ada yang sedang kritis? Atau bahkan si ambulance sedang menggiring sebuah mayat menuju peristirahatannya yang terakhir? Ah, apapun itu, kejadian tadi tetap mengingatkan saya pada satu kata. MATI.

Saya sudah divonis mati.

Yah, saya tidak sedang bercanda, kawan. Bahkan tangan saya sampai dingin saat mengetik tulisan ini. Ide kalimat di atas mencuat saat membaca tulisan salah satu rekan blogger di MULTIPLY yang membuka cakrawala berpikir saya bahwa saya pun telah divonis mati. Ya. KITA SEMUA TELAH DIVONIS MATI.

Kematian. Bukankah hal itu merupakan sebuah kepastian diantara berbagai macam ketidakpastian dalam hidup ini. Sayangnya, kebanyakan kita justru lebih sibuk mempersiapkan segala hal yang belum pasti dibandingkan menyiapkan satu hal yang pasti ini. Menyiapkan kematian!

Setiap yang berjiwa akan merasakan mati…(QS. Ali Imran [3]:185)

Bukan hanya soal menyiapkan liang kubur tempat kita bersemayam nanti. Bukan juga tentang berapa meter kain kafan yang kita butuhkan sebagai pakaian terakhir. Tapi lebih kepada perbekalan untuk menghadapi perjalanan panjang yang melelahkan dan tidak akan ada akhirnya.

Saya selalu mengingat analogi dari seorang ustadz yang saya dengar ceramahnya di TV. Saat itu musimnya Idul Qurban. Dan beliau mengumpakan manusia layaknya hewan kurban. Bukan untuk merendahkan kita yang telah tercipta dengan sebaik-baik penciptaan. Tapi justru untuk mengetuk nurani kita, bahwa terkadang akal yang sangat sering kita agungkan dan kita andalkan ini sangat membutuhkan sentuhan lembut dari bisikan hati kecil yang kadang tak terdengar karena terlalu pikuknya dunia. Kita seperti hewan kurban yang sibuk mengunyah rumput, bahkan saat hewan kurban lainnya digiring ke tempat penyembelihan. Bahkan disembelih didepan mata. Dileher hewan yang disembelih itu ada nomor urut 5. Lalu hewan yang masih sibuk meruput lainnya punya nomor urut 6. Tapi masih saja sibuk memamahbiak sambil sesekali mengembik tak karuan.

Sering kita tertegun dengan kabar kematian seseorang. Tapi sekejap saja, untuk selanjutnya kembali tertawa-tawa. Kembali tenggelam dalam santai dan terus berkelakar; “Mau-mau gue dong!”. Padahal kita tak pernah tahu. Mungkin saja setelah ini, kita berada di urutan selanjutnya untuk mengakhiri hidup.

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Munafiqun [63]:11)

Ah, saya begitu sering mengingat mati. Namun bersamaan dengan itu pula saya malu dengan diri ini. Mengingat mati tapi tetap berkubang dalam maksiat dan kesia-siaan. Berbagai macam kemalasan. Berbagai macam kebodohan dan keluhan yang tiada guna. Sering tak sabaran merawat ibu. Sering tak bisa menjadi contoh adik dan kakak yang baik. Sering lalai dalam berbagai kewajiban. Sering sibuk mengingatkan sementara paling sering pula lupa. Sangat kurang bersyukur dan terus meminta ini-itu. Begitu sedikit ilmu, dari yang sedikit itu, begitu banyak yang belum teramalkan, amal yang belum terdakwahkan, ataupun dakwah yang tidak disertai dengan kesabaran, tidak dengan keikhlasan. Sering merengek dan berbuat seolah-olah sedang tidak disaksikan Allah! Astaghfirullah… Belum lagi begitu banyak aib yang masih ditutupiNya dari mata orang sekitar. Ah…, andai kau tau siapa saya sebenarnya…

Jika kau bertanya mengapa saya senang menulis, itu sebab saya tahu bahwa saya tidak akan abadi. Tapi tulisan ini mungkin bisa lebih lama bertahan daripada umur saya sendiri. Saya memang bukan Imam Bukhari yang keberadaannya masih terasa lewat karya fenomenalnya. Bukan pula ulama-ulama lain yang tinta emasnya memberi pencerahan hingga beratus-ratus tahun setelah ia tiada. Terlalu sedikit ilmu dan cahaya yang bisa saya bagi. Tapi, semoga yang sedikit itu dapat berarti saat saya menuliskannya di sini. Agar yang tersisa dari saya bukan hanya sekedar nama dan keterangan lainnya di batu lisan saya nanti. Tapi juga beberapa tulisan yang dapat mengingatkan, bahwa saya pernah ada. Bahwa saya pernah berbuat sesuatu. Dan kelak, semoga ia bisa menjadi bekal yang tak terputus dikirimkan saat saya nanti akan sangat membutuhkan.

Kawan, kita telah divonis mati.

Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. Al Jumu’ah [62]:8)

(Makassar, 28 September 2010)

--------------------------------------------------------------------------

wasiat

dik, jika nanti aku mati

bukalah tiap lembar sajak untuk ingat pada kakakmu ini

tak banyak memang yang dapat mengerti

sebab sejak awal ia adalah seorang penyimpan rahasia abadi

dik, jika nanti aku mati

bunga-bunga mungkin tak banyak berganti

sebab memang jarang kutengok mereka

rumput di depan rumah pun begitu

sebab mungkin pernah kuinjak mereka dengan angkuh

pun dengan tiap makhluknya yang jarang kusentuh

dik, jika nanti aku mati

sajak-sajak itu rupanya telah bercerita tentang diri

belajarlah dari tiap untai kata yang cipta siluet-siluet kakakmu.

sebab tanpa mereka mungkin telah lama nafasku tersengal

dan hanya dapat memandang bulan sebagai malam

dan mentari adalah siangnya.

(ramadhan 23 1429)


Minggu, 26 September 2010

Menyoal CINTA dan Iklan Kosmetik di TV


Ya, ya, ya! Setelah beberapa lama site multiply saya nelongso dengan QN-QN ndak penting, blogspotnya prihatin tanpa satupun postingan baru, dan FB diberondong dengan notes jadul, hari ini saya mulai nulis lagi. Sebuah tulisan baru yang idenya sebenarnya sudah cukup lama mengendap dikepala. Temanya tidak jauh dari favorit banyak pihak (oh ya?). Yah, tentang cinta!

Tapi kali ini saya mencoba menelaah cinta dari sudut pandang tontonan yang sering nongol di TV kita. Yah, sepakat ataupun tidak, TV memang seolah menjadi barang yang ‘agak’ sulit terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern, walaupun saya percaya, pasti tetap ada saja orang-orang yang memilih menjauhkan diri dari si kotak ajaib ini. Tapi, tetap tidak dapat dipungkiri bahwa begitu banyak pemikiran, sudut pandang, bahkan keyakinan mengenai sesuatu yang terinfluence dari apa yang disuguhkan oleh si kotak ajaib ini.
Salah satunya yah tentang itu tadi; cinta! Maka pembahasan ini pun saya kerucutkan pada salah satu bagian dari tayangan TV, yaitu iklannya. Mengapa iklan? Sebab sebagian besar channel TV pasti punya iklan, dan meski penonton pasti langsung refleks mengganti channel saat iklan yang muncul, pasti akan ada celah saat iklan juga ikut disaksikan oleh para penonton (kalau tidak buat apa beriklan?).

Mari kita kerucutkan lagi pada iklan produk dengan jenis kosmetika. Yah, iklan kosmetika-lah ini yang menurut saya sebagian besar mengambil tema besar seputar CINTA. Bungkusannya saja yang bermacam-macam. Sebagian besar menampilkan wanita-wanita cantik yang dipasangkan dengan laki-laki tampan yang selanjutnya diskenariokan dengan suatu alur tertentu.
Tapi apapun ceritanya, kebanyakan dari iklan tersebut menggiring pemahaman penontonnya bahwa CINTA, ‘hanya’ dapat datang kepada cewek-cewek cantik berwajah mulus tanpa jerawat apalagi flek hitam, punya bentuk badan yang bagus, selalu beraroma wangi semerbak, serta punya kulit putih mulus. Nah, cewek yang tidak memenuhi kriteria diatas secara tidak langsung dianggap tidak akan bisa menemukan cinta sejatinya, akan dijauhi oleh kaum adam, dan akan tersisih dari pergaulan!

Wah…wah..wah… Apakah saya yang terlalu lebay dalam menginterpretasikan iklan-iklan itu? Entahlah. Saya juga tidak sedang menganggap bahwa berbagai hal positif seputar kecantikan wanita sebagai sesuatu yang negative. Tidak. Bagaimanapun setiap wanita yang dianugrahi hal-hal itu dari Allah tetap harus mensyukuri dan merawat nikmat tersebut dengan baik. Dan para wanita yang tidak secara alami memilikinya pun tidak berarti tidak boleh berusaha untuk mencapai kondisi ‘cantik’ seperti itu.

Hanya saja, sangat disayangkan jika factor-faktor fisik seperti itu kemudian dianggap/digambarkan sebagai penyebab datangnya rasa cinta oleh iklan-iklan itu. Ataukah sebenarnya iklan-iklan itu tidak sedang ingin menunjukkan tentang cinta? Entahlah.

Saya memang bukan orang yang benar-benar mengerti tentang perasaan manis berwarna merah muda itu. Saya juga salah satu orang yang absolutely tidak percaya pada istilah cinta-pada-pandangan-pertama, bagi saya, hal itu lebih tepat disebut sebagai nafsu-pada-pandangan-pertama. Juga dengan kalimat dari-mata-turun-ke-hati. Jika yang dimaksud ‘turun’ pada kalimat itu adalah ‘nafsu’, yah, saya percaya! Intinya adalah, saya hanya ingin memurnikan makna cinta dari segala alasan-alasan bersifat fisik dan sangat matrealistis itu. Apalagi jika perasaan macam itu yang kemudian ingin diandalkan untuk membangun sebuah keluarga baru, alias menjadikan masalah fisik sebagai alasan untuk memilih pasangan hidup. (Meskipun memang bukan hal yang salah juga, tapi setidaknya tidak menjadi prioritas utama, setidaknya menurut saya lho yah!)

Yah, untuk orang-orang yang memilih ‘belahan jiwa’nya dengan hanya melihat aspek fisiknya yang indah, maka saya ingin katakan : Selamat bermusuhan dengan waktu. Sebab dialah yang akan memperlihatkan bagaimana kerutan dan tubuh yang makin bungkuk mencabut satu demi satu kecantikan pasanganmu! Dan saat alasan untuk mencintainya telah direbut oleh waktu, jangan sampai kau sudah tak lagi sempat mencari alasan lain untuk itu. Hingga berakhirlah segalanya. Hingga berakhirlah cinta. Naudzubillah…

26 September 2010
Diantara flu yang saingan sama hujan

gambar:http://www.vtv.lt/images/kosmetika.jpg