Selasa, 14 Januari 2014

Yang Melebihi Kasih Ibunda

Tidak mungkin, ya Rasulullah!”, kira-kira demikian jawaban para shahabat atas pertanyaan yang baru saja dilontarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka.

Saat itu, mereka baru saja menyaksikan sebuah kejadian yang haru. Baru saja seorang ibu menemukan anaknya yang hilang beberapa waktu. Anak itu masih dalam usia disusui. Kehilangan permata hati tentu membuat sang ibu sedemikian kalut dan cemas. Tidak heran, jika saat ia menemukan anaknya, ia langsung mendekapnya erat. Segera dipeluk dengan hangat dan disusui dengan penuh cinta. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyia-nyiakan momentum itu untuk kembali memberi kita pelajaran nan indah. Beliau lalu bertanya pada para shahabat yang membersamainya,

“Bagaimana menurut kalian,” , Sang Nabi memulai pertanyaannya,  Apakah ibu itu tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?

Maka tentu sama halnya dengan apa yang kita pikirkan, serta merta para shahabat yang ditanya pun menjawab dengan spontan. “Selama ia masih bisa mempertahankan anaknya, tidak mungkin ibu itu akan melemparkan anak yang baru ia temukan ke dalam kobaran api! Tidak mungkin!”.

Ya, sungguh jawaban yang jelas dan terang benderang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menanyakan hal itu tentu bukan sebab beliau menyangka para shahabat tidak mampu menjawab secara benar. Namun sebelum kita menyibak untaian hikmah dari kejadian itu, mari kita membawa ingatan dan pikiran kita kepada satu sosok, wanita yang paling pertama kita rasakan kasihnya; Ibu.

Ibu. Sosok manusia biasa yang mungkin bagi kita begitu sederhana. Di kala dewasa, kita bisa saja begitu sibuk tumbuh dan berkembang dengan segala mimpi yang kita punya. Semoga kesibukan itu tidak membuat kita lupa, bahwa wanita yang sangat kita cintai itu pun terus menua.

Namun, bagaimana pun kondisi ibu kita sekarang, tentu masa lalu tidak akan pernah berubah. Ada masa dimana wanita itu menanggalkan semua sifat manusiawinya. Bukankah tiada yang melebihi kesakitan saat seorang perempuan melahirkan anak? Lalu siapa pula manusia di dunia ini yang rela bersakit-sakit dan berpayah-payah menanggung derita? Ya, dialah Ibu. Yang dengan curahan tangis, peluh, dan darahnya, rela merasakan derita hanya untuk menjadi jalan hadirnya kita di dunia. Bahkan saat tangis kita pecah, ia dalam segala nyeri yang ia rasa, justru malah tersenyum dan mendekap kita dalam pelukannya.

Dan waktu pun terus berjalan, kita tiada henti menyusahkannya. Tidak cukup dengan kerepotan yang kita timbulkan atasnya saat kita dikandung, kita kembali membuatnya susah saat harus disapih dan disusui. Diperhatikan di kala terjaga, bahkan saat telah terlelap. Seolah tidak boleh seekor nyamuk pun yang hinggap di kulit kita. Ditenangkan dengan berbagai cara saat kita rewel, bahkan ibu rela sakit demi kita, rela begadang, rela melakukan apa saja demi anaknya.

Demikian pula dengan ayah. Lelaki itulah yang mencurahkan segenap kekuatannya demi kepingan rejeki yang hanya untuk kita, anak-anaknya. Ayah menahan lapar meski ada uang di kantong dan ada warung di hadapan, hanya agar bisa menikmati santapan rumah bersama-sama. Ayah bekerja dan melindungi kita di waktu yang bersamaan. Ayah rela tidak tidur, bahkan meski esoknya harus kembali bekerja, hanya untuk menemani kita yang sedang sakit semalaman. Ayah membela kita, dan memberikan kita rasa aman siang dan malam.

Betapa besar kasih sayang keduanya kepada kita. Bahkan sejak kita belum dilahirkan, hingga kita telah dewasa, tak putus-putus doa-doa mereka untuk keselamatan kita, bahkan meski tanpa kita pinta. Dan saat kita tersalah, mereka mungkin akan sejenak marah dan kecewa. Namun mereka memaafkan kita, bahkan sebelum kita meminta maaf. Bahkan, meski kita lalai dan tidak merasa bersalah atasnya.  

Maka mari kita kembali pada kisah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat di atas. Lalu bersama kita temukan bahwa ternyata, ada yang melebihi kasih sayang keduanya.

Saat mendengar jawaban para shahabat perihal ibu yang baru saja menemukan anaknya itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah lebih sayang kepada hambaNya, dibandingkan kasih sayang ibu kepada anaknya tersebut!

Ya. Allah-lah itu Sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ar Rahman, Ar Rahim yang kasih sayangnya melebihi kasih ibunda.

Maka kasih sayang itu memang tidak selalu berarti pembebasan kepada kita untuk melakukan apa saja. Pernahkah kita melihat seorang anak kecil yang bermain-main dengan pisau dapur? Ia belum mengerti bahwa pisau itu berbahaya untuknya. Maka saat ayah atau ibunya mendapatinya, tentu keduanya akan segera mengambil pisau itu darinya. Anak kecil itu mungkin akan menangis meraung-raung karena tidak terima. Ia akan memelas dan meminta agar ‘mainan’-nya itu dikembalikan padanya. Apakah perbuatan orang tuanya itu salah? Apakah itu pertanda bahwa anak itu tidak disayangi? Tentu saja tidak. Justru sebab rasa sayang itulah, harus ada larangan yang bertujuan untuk menjaga kesalamatan sang anak. Harus ada aturan, yang berfungsi agar si anak tetap aman dan terhindar dari keburukan.

Maka demikian pula dengan perintah dan larangan dari Allah. Allah Subhana Wata’ala telah menurunkan petunjuk kepada kita, bukan untuk membuat kita sulit. Bukan untuk mengekang kebebasan kita. Bukan untuk memenjarakan kita dalam tembok-tembok yang menyedihkan. Allah menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi kita, sepanjang masa.

Thaha.Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi sengsara” (QS. Thaha [20]: 1-2)

Sungguh. Allah menurunkan Al Qur’an sebagai wujud sayangNya kepada kita semua. Tak berbeda dengan petunjuk yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Pernahkah kita merasa berat untuk mengerjakan sunnah? Adakah kita terkadang heran dengan larangan-larangan yang terpatri dalam hadits-hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam? Adakah Rasul adalah orang yang kejam yang bisa membuat kita menjadi berada dalam malapetaka? Atau menjadi kampungan dan tertinggal dari roda jaman? Sekali-kali tidak! Bahkan beliau telah disifatkan oleh Allah sebagai seorang yang amat besar kasih sayangnya.

Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah [9]:128)

Allah memerintahkan kepada kita berbuat kebaikan, Allah memerintahkan kepada kita untuk senantiasa berdzikir mengingatNya. Allah, Rabb yang menciptakan kita yang paling tahu bahwa tidak mungkin ketenangan dan kebahagiaan akan hadir kecuali kita berdizikir kepadaNya. Dan hanya dengan amal shalih kita bisa memeroleh kehidupan yang baik. Allah memerintahkan kita shalat, puasa, zakat, menutup aurat, berakhlak baik, menjaga kesucian dan pergaulan, dan berbagai amalan lainnya, untuk membuat hidup kita menjadi selamat. Sebab hidup ini hanya sekali, hidup ini sungguh fana, dan begitu merugi kita jika menyia-nyiakan kesempatan yang ada di dalamnya.

Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’d [13]: 28)

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(QS. An Nahl [16]:97)

Seorang ayah tentu akan marah jika anak gadisnya keluyuran di malam hari. Seorang ibu tentu akan tidak senang melihat anak lelakinya merokok. Keduanya melarang anak-anak mereka dari hal-hal yang buruk, bukan untuk membuatnya terlihat kuno dan kolot. Namun sebab mereka sangat menyayangi anaknya, dan tidak ingin melihatnya berada dalam kesalahan. Jika logika ini dapat kita terima, maka tentu kita pun bisa memahami, mengapa Allah melarang kita berbuat maksiat? Mengapa Allah menurunkan berbagai macam larangan yang sekilas nampak membuat hidup ini susah dan ribet untuk dijalani. Dengarkanlah, Allah paling tahu, bahwa perbuatan buruk hanya akan membuat hidup kita sempit, bahkan membawa hal-hal buruk itu hanya akan kita sesali di hari akhir nanti. Apakah kita menyangka bahwa kita akan hidup selamanya? Ataukah kita kita bahwa setelah kematian tidak akan ada pertanggung jawaban atas setiap perbuatan?

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (QS. Thaha [20]: 124)

Semoga kita tidak menjadi orang-orang yang terburu-buru untuk membantah perintahNya. Semoga kita terhindar dari sifat sombong, menolak kebenaran dan meremehkan orang lain, hanya sebab sedikit kedudukan dan gelar yang menyemat pada nama kita. Semoga kita termasuk dalam barisan orang-orang yang beruntung, yang memandang segala aturanNya sebagai sesuatu yang begitu indah. Sebab, kita sedang berhadapan dengan kasih sayangNya.
Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Nur [24]:51)

A note to my self. Dituliskan berdasarkan ceramah singkat Ustadz Muhammad Nuzul Dzikry. “Melebihi Cinta Ibu kepada Anaknya” di Yufid.TV

Makassar, 12 Rabiul Awwal 1435 H

Jumat, 10 Januari 2014

Sudahkah Kau Berjihad?


Banyak orang yang merasa sedang berada di dalam barisan jihad, padahal sebenarnya tidak. Mereka menganggap dirinya telah melakukan yang terbaik, namun sebenarnya mereka adalah orang yang sangat merugi.
Jihad. Sebuah kata yang menghadirkan kesan tersendiri saat ia diucapkan. Beberapa kalangan mungkin akan bergidik saat mendengarnya. Sebagian yang lain menganggapnya sebagai hal yang biasa, bahkan merasa telah melakukannya setiap harinya. Nah, adakah kita benar-benar telah memahami maknanya?

Jika kita merujuk pada definisi, maka tentunya tidak lepas dari dua tinjauan. Aspek bahasa dan aspek istilah. Pada aspek yang pertama, kata jihad terdiri atas tiga huruf; jim, ha, dan dal. Kata ini menunjukkan masyaqqah atau kesulitan, kesukaran, dan hal-hal lain yang semisal dengannya. Di lain sisi, kata ini juga mengandung makna potensi dan kekuatan. Pada kesimpulannya, secara bahasa, kata jihad merujuk pada penggunaan kekuatan untuk mencapai tujuan dalam menghadapi kesulitan. 

Sedangkan dari aspek istilah atau syar’i, jihad bermakna memerangi orang-orang yang menghalangi Islam dengan menggunakan senjata. Pada tinjauan ini, jihad bermakna peperangan melawan orang-orang yang memerangi Islam. Tapi, apakah jihad selalu bermakna demikian saja? Mari kita simak salah satu firman Allah dalam al Qur’an;

Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar.” (QS. Al Furqan [25]: 52)

Jihad yang besar dalam ayat ini, justru digambarkan dengan jihad menggunakan al Qur’an. Ya, jihad pun menyimpan makna sebagai segala upaya untuk menegakkan dienullah dan mencari keridhaan Allah. Makna jihad ini dapat menjadi jalan dalam terwujudnya kemenangan dalam jihad dalam arti peperangan, sehingga jihad dengan al Qur’an tidak boleh disepelekan karena anggapan bahwa baru dikatakan berjihad jika telah menggunakan senjata dan menumpahkan darah. Dakwah pun adalah jihad. 

Tidak membatasi jihad hanya dari makna perang bukan pula berarti memudah-mudahkan makna jihad. Sebab hari ini, tidak sedikit pula yang memahami jihad dengan cenderung menggampangkan diri menganggap dirinya telah berjihad. Tentu sulit disebut jihad jika bersedekah seribu rupiah sementara di dompet masih tersisa ratusan ribu banyaknya. Tentu aneh disebut jihad yang diberikan hanyalah sisa-sisa waktu dan tenaga belaka. 

Maka pertanyaannya, adakah kita telah berjihad? Untuk menjawab itu, mari kita muhasabah diri ini, apakah kita sudah memenuhi tiga komponen utama yang harus ada saat seseorang menyebut dirinya tengah berjihad. 

Pertama, kesungguhan. Kesungguhan berarti memberikan perhatian yang banyak pada sesuatu. Jika sesuatu yang ia perjuangkan itu telah menjadi bahan pemikirannya setiap saat dan setiap waktu, maka itu pertanda bahwa kesungguhan itu telah ada pada dirinya. Bagaimana mungkin disebut sungguh-sungguh jika tidak ada perhatian dan justru lebih banyak lupa? Astaghfirullah.. Kesungguhan juga berarti adanya persiapan. Banyak orang yang kehilangan kesempatan untuk mendapatkan apa yang ingin ia capai hanya karena tidak melakukan persiapan di dalamnya. Sebaliknya, seseorang yang tidak benar-benar menginginkan sesuatu dengan sungguh-sungguh tentunya akan malas untuk mempersiapkan dirinya. Demikian Allah menggambarkan kondisi orang-orang munafik yang enggan untuk turut berangkat ke medan jihad. 

Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: "Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu." (QS. At Taubah [9]: 46)

Hal lain yang berkaitan dengan masalah kesungguhan adalah kontinyu dalam melakukan sesuatu. Tidak hanya bersemangat di awal, lalu layu kemudian. Tidak hanya membara pada permulaan tapi justru melempem di akhir-akhir perjuangan. Bukankah Allah mencintai amalan yang sederhana namun selalu dijaga agar terus dikerjakan? 

Kedua, berjihad tentu mengandung pengorbanan. Tidak dapat disebut berkorban jika tetap merasakan yang nyaman-nyaman saja. Tentu akan terlewati pula masa-masa yang sulit, atau harus dipertaruhkan berbagai kepentingan lain, segala potensi yang ada, bahkan hingga hal-hal yang sebenarnya kita cintai. Bagaimana disebut jihad jika yang diberikan hanyalah yang sisa-sisa? Yang bahkan meski kita kehilangannya, kita tidak akan merasakan kerugian apa-apa? Bukan. Itu bukan pengorbanan. Bahkan, para shahabat yang mulia pun membenci perang. Fitrah mereka sebagai manusia biasa pun tidak senang dengan anyir darah dan beratnya perpisahan. Namun memang demikianlah jihad, ia adalah berkorban.  

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al Baqarah [2]: 216) .

Yang terakhir adalah kesulitan. Kesulitan memang sangat dekat maknanya dengan kata jihad. Kesulitan untuk menghadapi segala hal, mulai dari perasaan yang tersakiti, hingga melayangnya nyawa. Kesulitan yang merupakan ujian yang juga turut menjadi saringan yang akan memisahkan antara mereka yang memang benar-benar ingin berjuang dan dengan mereka yang hanya bisa mengucapkan perjuangan itu sebatas di bibir saja.

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar. (QS. Ali Imran [3]: 143)

Penyebutan kata ‘sabar’ setelah kata ‘jihad’ dalam ayat ini memperjelas makna ‘kesulitan’ yang terdapat dalam jihad.

Tersebutlah cerita tentang sepasang suami istri yang menempuh perjalanan 700 km dengan menggunakan sepeda motor. Apakah yang hendak mereka tuju? Adakah harta yang dijanjikan di tempat tujuan itu? Ataukah mereka bisa memeroleh popularitas dengan perjalanan yang berat lagi sulit itu? Apakah waktu dan tenaga mereka akan terbayar jika telah sampai? Bahkan, mereka sempat harus mengalami kecelakaan di jalan, juga turut membantu orang yang mengalami kecelakaan pula. Sepeda motor itu digantungi dengan perbekalan yang bahkan disantap sambil kendaraan sedang melaju, sang istri menyuapi suaminya yang tetap menjalankan motornya, demi menghemat waktu. Ada pula pompa ban manual yang mereka siapkan sekiranya ban motornya kempis di jalan. Kehabisan bensin? Jangan ditanya, tentu hal itu kerap kali mereka alami dalam perjalanan panjang nan melelahkan itu. Lalu, apa sebenarnya yang mereka cari? 

Kesungguhan, pengorbanan, dan kesulitan telah terhimpun dalam cerita ini. Ya, mereka tengah berjihad. Mereka menuju tempat dimana mereka yakin akan menemukan tambahan ilmu, sekaligus melaporkan keadaan dakwah yang tengah mereka rintis. Tidak usah persoalkan tentang pengadaan dana yang seharusnya disiapkan untuk keberangkatan itu, sebab nyatanya, mereka telah berusaha mengumpulkannya, hingga akhirnya menyanggupi untuk menggunakan jalur yang dianggap paling hemat. Bahkan cerita ini pada awalnya tidak ingin mereka bagi pada siapapun. Sebab ya, jihad itu karena Allah, tidak perlu pula penilaiaan dari siapa-siapa yang hanya setingkat makhlukNya. Tapi Allah menakdirkan cerita ini sampai kepada kita, tentu bukanlah sesuatu yang sia-sia.

Sungguh, sudah sepatutnya kita berhenti sejenak dalam arus detik kehidupan kita. Sudah seberapa sering kita menganggap diri kita berkorban dalam jihad. Seberapa banyak kita telah merasa ikhlas dan menilai diri tengah berjuang. Tapi adakah itu semua telah terisi dengan kesungguhan, pengorbanan, dan kesulitan? Maka setelah kita memahami makna perjuangan, dan menemukan cerita nyata yang hari ini terjadi dan dilakukan oleh saudara-saudara kita, mari kita mematut diri di hadapan cermin. Menatap pada bayangan yang terpantul di sana, lalu tanyakan padanya; sudahkah kau berjihad? 

Oleh-oleh dari sebuah pagi di 4 Januari 2014
Makassar, 10 Januari 2013

Senin, 06 Januari 2014

Pada Suatu Hari Nanti

pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari
(Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni pg. 111)

Saya sedang berdiri di depan pukis-pan, menatap dua batch terakhir adonan pukis yang baru mencapai hasil maksimal setelah beberapa kali revisi #halah. Tiba-tiba adik sepupu saya muncul dengan sebuah bungkusan berwarna ungu muda di tangannya, baru saja ia terima dari seorang kurir, katanya. Dan itu adalah paket yang saya tunggu-tunggu dalam beberapa waktu ini. Paket dari seseorang yang spesial di pulau seberang.

Senyuman bahkan sudah mampir duluan di bibir saya sebelum melihat isi paket itu. Sebenarnya, isinya sudah dapat saya tebak. Namun entah mengapa, sensasi tersendiri selalu saja muncul setiap menerima kiriman macam begitu. Apalagi kali ini saya tahu betul, bahwa sesuatu yang istimewa akan segera saya terima. Sebuah buku Sapardi Djoko Damono, sepucuk surat cinta, dan sebuah undangan yang membawa kabar bahagia. Kau tahu, betapa bahagianya saya saat mendengar kabar itu. Seperti ada seseuatu yang mumbuncah di dada ini, bekerjasama dengan baik dengan sesungging senyuman yang rasa-rasanya tidak cukup untuk mengejawantahkan kebahagiaan itu. Aneh memang, mengingat secara intensitas berinteraksi apalagi pertemuan yang baru hanya sekali, serta dengan bentangan jarak yang jauh, mengapa saya bisa sepeduli itu? Namun kemudian saya menginsyafi, demikianlah ukhuwah itu bekerja. Begitulah persaudaraan ini telah mengeratkan kita. Maka sekali lagi harus saya sampaikan hal ini; saya sangat berbahagia untukmu, Kak Ai.

Dituliskan pada 31 Desember 2013; sepucuk surat, buku SDD, dan undangan walimah Kak Ai
 

Kak Ai. Sosok pecinta semangka yang saya kenal lewat dunia blog di multiply dahulu. Saya sering melihatnya malang melintang dengan postingan yang selalu ramai komentar. Atau menemukan namanya menyempil diantara komentar rekan-rekan blogger lain yang nampak begitu akrab dengannya. Pada suatu waktu, saya melihat postingannya tentang buku barunya yang baru saja terbit; Surga di Telapak Kaki Ayah. Nama lengkapnya Sari Yulianti, dan kala melihat informasi itu, saya kemudian baru sadar mengapa ia cukup eksis di ranah MP; Ooh..rupanya penulis buku toh... Batin saya.

Hingga kemudian kami sempat membuat sebuah lomba menulis bersama, didukung oleh beberapa blogger lainnya. Kak Ai, proyek menulis dari lomba itu sepertinya harus kita tuntaskan tahun ini.. *sigh*. Dan sepertinya, dari sanalah kami kemudian menjadi akrab. Bahkan meski kemudian para blogger MP digusur dari rumahnya sendiri saat fasilitas blog MP dihapuskan, kami tetap keep in touch *ceile.. Kak Ai adalah orang pertama yang menyapa saya dengan sebutan ‘Rifa’, nama tengah yang kemudian saya jadikan nama pena. Kak Ai pula yang membantu saya untuk bisa masuk ke sebuah komunitas menulis keren bernama Be a Writer yang dikomando Mbak Leyla Imtichanah, serta turut serta dalam proses penerbitan Jeda Sejenak dan memberikan endorsment untuk manuskripnya.  Dan sungguh, saya sangat berterima kasih untuk itu. Termasuk untuk satu-satunya pertemuan kami di dunia nyata, saat saya berkesempatan mengunjungi kota tempat tinggal Kak Ai di Jekardah sono. Kak Ai bahkan datang ke tempat menginap saya, lebih dahulu daripada kakak kandung saya yang juga ada di kota yang sama. Perjumpaan kami selain lewat koneksi internet pun terjadi saat Kak Ai mengirimkan kepada saya buku solonya beserta sebuah majalah Tarbawi dan surat cinta pertamanya untuk saya. Surat yang ditulis di kertas surat semangka yang tentu adalah barang yang sangat Kak Ai sukai. Surat yang hingga kini masih saya simpan, dan akan selalu saya simpan sampai kapanpun. In syaa Allah.

Maret 2012; sepucuk surat, buku Surga di Telapak Kaki Ayah, dan Majalah Tarbawi

 

Seperti yang sudah saya sampaikan padamu, Kak. Entah mengapa beberapa waktu yang lalu ada semacam feeling baik tentang Kak Ai yang selalu singgah di kepala saya. Kak Ai seumur dengan kakak lelaki saya, mungkin itu juga salah satu faktor yang membuat saya menerka-nerka, bahwa tahun ini adalah saat yang tepat untuk mendengar kabar Kak Ai tentang hari ‘cahaya’. Dan ternyata, feeling itu benar. Sebentar lagi, Kak Ai akan menyempurnakan separuh dien-nya. Saya sangat bersyukur atas kabar itu. Sembari takjub demi merasakan bagaimana Allah menakdirkan semua ini. Mustahil rasanya kita yang hanya saling mengenal lewat dunia maya, menjadi turut dapat membersamai kehidupan masing-masing, mengetahui satu demi satu fragmen yang kita hadapi satu sama lain, meski mungkin dengan cara yang begitu terbatas. Sebenarnya, saya ingin sekali bisa melihat langsung wajah bahagia Kak Ai, sambil berpesan kepada lelaki beruntung itu agar kelak menjaga Kak Ai baik-baik *hehehe... Tapi semoga ketidakhadiran itu, tidak mengurangi makna dari setiap doa yang saya langitkan untukmu, Kak.

Maka pada akhirnya tulisan ini harus saya akhiri, sambil terus berharap semoga semuanya dijaga dan dilancarkanNya, hingga hari yang indah itu tiba. Inipun harus saya akhiri karena saya harus bersiap untuk menulis surat cinta balasan yang hanya ada satu di dunia J

Barakallahu fiik, Kak Ai. Semoga bahagia selalu menyertaimu. Terima kasih untuk hadiahnya, dan untuk semuanya.

Makassar, 6 Januari 2014 

Dan tulisan pertama di tahun ini saya persembahkan untuk dan hanya untuk kakanda shalihah; Sari Yulianti. Maapkeun karena adikmu ini tidak bisa menghadirkan jasadnya di hari bahagiamu nanti. Kau tentu tau karena diri ini memang benar-benar tidak bisa terbang ke sana, bukan karena lebih memilih untuk menghadiri walimahnya Mbak Oki Setiana Dewi. Hehehe! Oiya, saya suka sekali dengan doa di akhir suratmu *clingcling*. Selamat menghitung hari