Senin, 15 Juli 2013

Malam Ketujuh Ramadhan

Malam ini saya berpikir tentang perbincangan dengan banyak orang di sore tadi. Mereka, sungguh orang-orang yang sangat baik sekali. Saya bersyukur mengenal mereka. Melihat sisi-sisi indah pada diri mereka. Sungguh, membersamai mereka mungkin adalah salah satu keindahan yang ditawarkan dunia, tanpa melupakan kehidupan abadi setelah kematian. Mereka berbicara tentang cita-cita jangka panjang. Bukan mimpi muluk-muluk tentang arogansi pribadi, tentu. Bahkan, jejak-jejak menjelajah yang mereka impikan dengan semangat itu, tetap dalam koridor untuk kemaslahatan orang banyak. Jauh dari kemilau dunia. Setiap bersama mereka, di ruang maya, apalagi dunia nyata, saya selalu merasa tidak pernah berbuat apa-apa. Tidak pernah beranjak kemana-mana. Bahkan merasa tidak pernah pantas berada di antara mereka. Baik secara raga, apalagi jiwa, juga fikriyyah. Mereka adalah rekan-rekan seperjalanan menuju puncak gunung, dan mereka tentu berada lebih di atas. Sesekali berbalik ke arah saya yang ketinggalan. Terseok-seok ingin pula menuju puncak. Berharap ada yang sudi untuk menjulurkan tangannya saat saya jatuh, atau tertinggal terlalu jauh. Meski saya selalu yakin, mereka tidak akan menolak untuk melakukan itu. Melihat mereka dengan segala ketaatannya membuat saya rasanya selalu ingin bertanya -pertanyaan retoris, tentu; bukankah bagi kalian syurga menjadi terasa dekat?

Tapi, mereka pun tetaplah manusia biasa. Punya khilaf dan salah. Persis pula seperti saya. Begitu Maha-Penyantun-nya Allah sehingga banyak aib saya yang ditutupiNya. Hasilnya; ekspektasi yang kadang menyakitkan. Betapa segala pujian terkadang lebih terdengar seperti sindiran betapa tinggi prasangka baik orang lain, betapa lembut hati yang berprasangka itu. Namun, kepada mereka -orang-orang yang baik itu, saya memutuskan untuk hanya memandangi sisi baiknya saja. Mungkin, itu adalah salah satu cara saya, untuk mencoba memahami bahwa memang, di dunia ini, malaikat tidak perlu punya sayap. 

Perbincangan sore tadi mengulas tentang kemenangan. Kemenangan yang dijanjikan, yang telah dekat waktunya. Ingin sekali rasanya turut menyaksikan kemenangan itu. Namun, saya sadar akan umur yang sama sekali tidak ada di genggaman saya. Tidak ada yang tahu masalah kapan kita akan mati, bukan? Maka selain dari bahasa arab yang ditransliterasi kebahasa Indonesia, saya kadang berpikir, bahwa tiga huruf dari nama depan saya adalah cara untuk selalu mengingat pemutus segala kenikmatan itu; die. Maka saat kememangan itu datang, saya dan mereka mungkin saja sudah tidak ada di dunia ini. Hanya menjadi cerita, atau mungkin terlupa. Maka alih-alih turut menyaksikan kemenangan, saya kini berpikir setidaknya bisa mengambil bagian kecil dari perjuangan kemenangan itu. Ah, perjuangan. Betapa beratnya kata itu, sebenarnya. Dan saya kembali mendapati diri yang sama sekali belum melakukan apa-apa. Hey, bahkan untuk diri saya sendiri! Saya berharap bisa menjadi manusia yang lebih baik jika mengingati kembali tiga huruf pertama pada nama depan saya. 

Dan saya menuliskan ini. Di suatu malam diantara malam-malam indah bulan Ramadhan. Bulan mulia yang kembali bertandang dengan segala kemuliaannya. Saya bermohon agar bisa menjalaninya dengan baik, agar bisa menambah bekal perjalanan panjang berikutnya. Walau rasanya pertanyaan itu masih saja berat dan menakutkan untuk dijawab; Jika Engkau ambil nyawa saya sekarang, Duhai Rabb, apa yang bisa saya banggakan di hadapanMu kelak? 

Makassar, 15 Juli 2013
Sambil bertanya pula; adakah blog ini sudah pantas untuk menjadi warisan yang baik?

Selasa, 09 Juli 2013

Ada Apa dengan Cinta?


Aku masih sibuk membuka payung yang dipinjamkan ibu saat kupandang kau dibawah hujan. Berjalan berjingkat-jingkat menghindari genangan air di bawah teduh payung transparan yang kau genggam kuat-kuat. Membersamaimu baik dalam perjumpaan fisik maupun lewat dunia maya, membuatku seringkali berandai-andai; tentu akan lebih baik, jika dimasanya kini, hadir seseorang yang dapat berdiri tegap di sampingmu. Kau tau, tentu ini bukan hanya tentang tampilan secara raga, namun juga jiwa. Jiwa tegap yang mampu tegas dalam kelembutannya. Yang dapat memberikan keyakinan yang besar padamu. Yang dapat meneguhkanmu pada jalan cahaya yang kau pilih. Singkatnya, yang dapat berjuang bersama denganmu.

Suatu malam sebuah pesan singkat darimu mendarat dengan sukses di ponselku. Diawali dengan getaran yang kemudian membuatku tersenyum, demi mendapati bahwa mungkin memang terkadang mimpi-mimpi dapat menjadi kenyataan dengan begitu cepat; tanpa kita duga. Lalu kau bertanya, “Sudah bolehkah aku jatuh cinta?”

Dan aku pun tetap menggunakan rasionalitas dalam menanggapi tanyamu. Maka kau ingat, bagaimana aku berpikir bahwa kedepannya masih banyak hal yang bisa terjadi, maka tetap lebih aman untuk mengamankan perasaan; apapun itu. Alih-alih mempersilakanmu, aku malah membuat sajak tentang cahaya merah muda, untukmu; itu pun jika kau menyadarinya.

Lalu kemudian begitu banyak hal yang terjadi setelahnya, silih berganti. Aku pun tak tahu mengapa perkiraan-perkiraanku yang dahulu lebih sering meleset dan terjadi berkebalikan, justu sekarang ini menjadi lebih sering tepat. Tapi aku selalu berharap akan adanya jalan yang lebih baik setiap kali kita membicarakan tentang banyak hal itu. Lalu kemudian, tiba-tiba kau kembali mengabarkan satu hal. Kali ini tidak lagi bertanya atau meminta persetujuan; kau malah hadir untuk menginformasikan bahwa; “Sepertinya, aku jatuh cinta,” ujarmu.

Dengarlah, selama ini aku selalu beranggapan; cinta butuh alasan. Maka cinta kepadaNya dan cinta karenaNya bagiku telah terang benderang; karena alasan ketaatan. Cinta padaNya yang mengantarkan kita pada keikhlasan, juga cinta pada RasulNya yang membawa kita untuk menyusuri jalan keteladanan, keduanya adalah syarat mutlak jika kita ingin setiap amalan kita tercatatkan; ikhlas dan ittiba’urrasul. Pada dua perkara itu, cinta bekerja.

Bahkan cinta menjadi bagian dari tiga hal yang merupakan pilar ibadah. Dialah cinta, yang menjadi serupa kepala seekor merpati yang melengkapi kedua sayapnya yang berupa rasa takut dan harap. Cinta karenaNya pun bagiku menjadi lebih mudah dipahami. Cinta karena Allah, cinta pada siapapun, kepada apapun hanya karena alasan iman. Maka jika penyebab cinta itu tiada, maka tiada pula cinta. Sebuah konsep yang sederhana.

Namun tersebab pengakuanmu itu, aku menjadi berpikir; jangan-jangan ada yang kulewatkan tentang hal ini? Maka aku balik bertanya padamu; Sebenarnya, apa itu cinta? Hal ini membawaku untuk memohon penjelasan dari Ibnu Qayyim al Jauziyah lewat Taman Orang Jatuh Cinta-nya. Dan pencarianku belum selesai. Setidaknya sampai benar-benar menyelesaikan bacaan itu seutuhnya. Ya, sesuatu yang mungkin akan terjeda, sebab masih ada beberapa hal lain yang harus kukerjakan. Bulan Ramadhan akan segera menjelang, bukan?

Maka tentang perasaan ‘cinta’ yang muncul pada lawan jenis itu, sesuatu yang disebut dengan ‘kilik’, sesuatu yang dianggap bisa datang begitu saja itu. Maka, diriku sendiri mencoba membuatnya untuk tidak didramatisasi. Bahwa pada akhirnya, sebelum ada ikatan yang sah di hadapan agama ini, maka perasaan kita adalah urusan kita sendiri. Dan perasaan orang lain terhadap kita, juga urusan mereka sendiri. Bagiku, mencintai dan dicintai bukanlah masalah sebab-akibat. Ia menjadi urusan kita masing-masing dan hanya patut untuk ditanggung oleh diri kita sendiri. Harus balas mencintai sebab dicintai, ataupun harus dicintai karena telah mencintai, menurutku saat ini, bukanlah sesuatu yang mutlak. Cinta bukan barter.

Masa-masa penantian nan menggalaukan, romantisme perasaan, dan hal-hal merah muda lainnya rasanya telah terlewatkan. Kita kini masuk ke fase realistis. Bahwa saat ini, di hadapan kita terpampang begitu banyak hal yang harus dipikirkan dan dilakukan. Maka tidak ada waktu untuk bergalau-ria.

Aku, ingin sekali merasai wujud cinta seperti Umar bin Khattab, yang begitu mudah mengubah posisi cinta kepada Rasul-Nya yang tadinya berada di bawah cinta pada dirinya sendiri, menjadi berada di atasnya; dalam sekejap. Juga cinta Salman al Farisi yang langsung saja turut berbahagia saat wanita yang ingin ia pinang, justru lebih memilih Abu Dzar al Ghifari yang menemaninya, bahkan mendanai walimatul 'ursy mereka. Aku masih bertanya; dimana letak ‘perasaan’ disana? Ya, perasaan yang sangat mungkin justu belum terlalu kita pahami itu. Kau ingat? Kadang yang paling tidak kita mengerti adalah perasaan kita sendiri.

Aku mencintai orang shaleh meski aku bukan bagian dari mereka, aku setuju dengan kekata Imam Syafi’i itu. Aku mencintai para saudariku di jalan Allah, manusia-manusia yang siang-malam memikirkan urusan orang lain itu, urusan ummat. Aku mencintai adik-adikku di jalan Allah, mereka yang terus berusaha menjadi lebih baik, yang terus bermetamorfosis menjadi lebih indah itu.

Aku mencintaimu. Sebab agama yang ada padamu. Sebab ketaatanmu padaNya. Sebab dirimu yang terus berusaha untuk menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Dan cahaya keemasanmu yang membuat warna hatiku yang biru-kelabu ini, bisa menjadi lebih cerah dari sebelumnya. Aku mencintaimu. Menginginkan kebaikan untukmu, sambil berusaha untuk sedikitpun tidak menyakitimu. Mengusahakan yang terbaik, bahkan lebih yang kuusahakan untuk diriku sendiri. Jadi, seperti yang telah kuberitahukan padamu, setidaknya mungkin cinta yang seperti itulah yang saat ini bisa kupahami.

Aku akan terus ada. Aku akan terus menjadi saudarimu selama iman itu masih ada di dadamu. Aku akan selalu ada, apapun yang terjadi. Maka perkara kegemaran menulis pun, termasuk menuliskan hal ini, juga merupakan salah satu caraku agar kau tahu, aku tidak akan kemana-mana, bahkan meski diriku telah benar-benar tak ada. Kau paham?

Setiap kita punya mimpi-mimpi yang berusaha kita raih. Tapi, tidak semua dari itu ternyata bisa menjadi kenyataan. Ya, kau benar; hidup tidak sesempurna itu. Tapi bukankah ajaib, saat kita bisa menjadi begitu bahagia karena kebahagiaan orang lain, dan juga bisa menjadi sangat bersedih jika melihat orang yang kita cintai tersakiti? Maka setelah apa yang terjadi kini, satu hal yang tersisa yang bisa kulakukan adalah; memastikan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Berjanjilah, bahwa kau akan baik-baik saja. Deal?

Makassar, 9 Juli 2013
Tulisan terakhir sebelum memasuki Ramadhan
Ahlan, Ramadhan.
Selamat menikmati ibadah di bulan penuh berkah (^_^)


Rabu, 03 Juli 2013

Juara

Kau mencari namamu, yah?

Masih. Aku masih memandangmu dari jauh. Beralih dari satu daftar ke daftar yang lain. Nama-nama yang tertempel di masing-masing kelas itu adalah salah satu kabar awal tentang bagaimana kau akan menghabiskan waktu satu tahu ke depan. 

Aku tidak akan bertanya, mengapa setahun belakangan nilai-nilaimu sangat anjlok. Sama sepertimu, tentu aku tidak akan menyalahkan tentang tiga organisasi yang kau geluti sekaligus, bukan? Sebab sungguh, aku melihat dirimu menemukan 'jiwa' di sana. Atau, apakah ini tentang kawan-kawan sekelasmu yang melaju terlalu cepat? Sehingga kau lebih sering terengah-engah mengejar di belakang mereka. Entahlah. Tapi aku tetap bangga melihatmu kukuh untuk menatap lurus pada lembar soal dan jawaban meski sekelilingmu riuh memanfaatkan kesempatan saat pengawas lengah, misalnya. Aku bahagia kau akhirnya menemukan kebenaran yang sebenarnya. 

"Akulah perempuan paling pintar di sekolah ini! Mungkin, aku memang berada di nomer tiga, tapi lihatlah! Yang mengisi nomer pertama dan kedua khan laki-laki!", kira-kira mungkin itu yang muncul di kepalamu saat pertama kali melaju ke kelas unggulan itu. Namun aku tahu, akhirnya kau menyadari juga, bahwa ternyata tidak semua bahagia akan berjalan seterusnya. Kau melaju dengan teramat tinggi kala itu. Lalu setelahnya kau harus puas untuk turun dari ketinggianmu, bahkan harus pasrah meski dengan cara terjun bebas sekalipun. 

Maka di sanalah kau sekarang. Terpekur dengan mata terbelalak saat ternyata mendapati namamu di sana. Bertengger dengan manisnya di daftar di depan pintu sebuah kelas yang bagimu teramat asing. Orang-orang di dalamnya semuanya tidak pernah kau bersamai dalam dua tahun sebelumnya. Dan ternyata kau hanya perlu beberapa saat saja untuk menerima informasi, bahwa mereka; para pemuda-pemuda belia itu kebanyakan diperjumpakan dalam kelas tersebut dengan satu kesamaan; sering berbuat onar! Seketika, ada kabut di matamu. 

"Lihatlah! Bahkan wali kelas saja sulit untuk menerima kenyataan ini! Apalagi aku!," demikian jeritmu tertahan. Ini perihal seorang guru yang didaulat untuk menjadi nakhoda di kelas itu. Beliau bahkan butuh waktu tiga hari untuk kemudian benar-benar masuk ke kelas dan mendeklarasikan diri sebagai wali. 

"Jika bukan karena mendapati nama-nama guru favoritku dalam list guru yang mengajar di kelas ini, rasanya aku juga ingin mencari tempat lain...", ujarmu. Tentu hanya dalam hati. Sebab saat seorang siswi lain menyapamu, kau tetap berusaha menyunggingkan senyum yang paling manis, "Iya, aku akan tetap di sini...", itu yang akhirnya keluar dari bibirmu. 

Meski kemudian kau kembali menunduk. Terpekur saat mendapati pesan singkat dari ibumu. 
"Mau bagaimana lagi, jalani saja sisa masa SMA mu di kelas itu. Meski bukan kelas unggulan seperti dua tahun sebelumnya. Semoga kamu bisa mengambil pelajaran dari ini semua.". Lalu kau kembali setengah mati menyembunyikan air mata. 

Hari-hari berikutnya berusaha kembali kau lewati dengan terus berusaha menguatkan diri. Meski beberapa kawanmu kala itu tidak lagi memandangmu seperti dulu. Meski terkadang ada semacam sesak yang kau rasakan saat siswa kelas unggulan yang dulunya sekelasmu itu, begitu bersemangat bercerita tentang asyiknya atmosfer kelasnya sekarang; tanpamu. Dan itu menyakitkan. 

Baru saja kau menata-nata perasaan yang lebam-lebam itu, tiba-tiba seorang kawan bersenyum menawan memberi tahu sesuatu padamu. Di sebuah siang di beranda mushala..
"Ada yang ingin bertemu denganmu. Katanya, dia baca tulisanmu di majalah untuk murid baru...",  ujarnya. Seketika, aku bisa melihat cahaya dari matamu. 

Lalu akhirnya kau bertemu dengannya. Seorang murid baru yang mengenalmu lewat kata-kata. Kini ia duduk manis di hadapanmu sambil menggenggam majalah tempat tulisanmu berada. Ia terlihat begitu antusias. Begitu bersemangat. Kau bahkan hingga berpikir, "Inikah yang dirasakan seorang artis saat bertemu dengan fansnya?", lalu kau menyimpulkan senyuman. Berusaha untuk menghalau rasa GR itu. Namun, perasaan melambung-lambung itu tidak bertahan lama, saat kemudian pertanyaan itu muncul;
"Kakak di kelas mana?"
Senyummu pudar. Kau menyebutkan kelasmu. Dan tiba-tiba, antusiasme dan semangat itu, menghilang pelan-pelan. 

"Di saat-saat seperti itu tetap belajar?", gadis berjilbab itu bertanya padamu. Ini perihal masa libur beberapa hari yang sempat berlalu. Liburan yang kau habiskan dengan mencari-cari isomer dari berbagai rumus struktur, juga menghimpun beberapa rumus fisika yang telah diajarkan di pertemuan-pertemua yang lalu. 

"Ah, aku ini lemot. Kalau tidak begitu, otakku akan beku. Dan tidak ada lagi yang bisa diharapkan... Hehehe.." ujarmu, seolah bercanda. Padahal dalam hati, kau memahami hal itu sebagai kebenaran yang terang benderang. Kau harus belajar lebih keras. Bukan hanya untuk bisa membantu beberapa kawan sekelas yang kerap kali bertanya padamu. Bukan hanya agar layak disebut 'tentor sebaya' oleh guru matematikamu. Bukan. Ada semacam obsesi tersendiri yang kau simpan tentang angka empat puluh. 

Ya, angka yang menunjukkan jumlah kursi di kelas unggulan itu. Angka yang menasbihkan posisi bahwa diantara ratusan siswa yang ada di angkatan itu, di sekolah itu; hanya ada 40 anak yang berhak untuk menduduki kelas prestisius tersebut. Dua tahun lalu, namamu selalu masuk dalam daftar. Tahun ketiga, kau terdepak dari sana dengan sangat menyedihkan. Maka pada paruh pertama perjalanan tahun tersebut, kau tidak peduli lagi harus berbuat apa; yang penting bisa menyoretkan kembali namamu di sana. Tidak muluk-muluk; terserah mau di angka berapa; kau ingin berada diantara empat puluh nama itu! 

Lalu hari-hari pun kau lalui. Sebenarnya, aku senang melihatmu di kelasmu yang sekarang. Meski isinya bukanlah orang-orang serius seperti kelasmu sebelumnya, namun kini aku lebih mudah melihat senyumanmu yang merekah. Tertawa. Bahkan hingga berguncang terkekeh-kekeh. Kelas itu sebenarnya menyenangkan. Orang-orang di dalamnya senang sekali nyeletuk aneh yang dapat menimbulkan riuh bahagia. Mereka memang kadang berbuat onar, tapi setidaknya di hadapanmu, mereka bisa seketika menjadi sopan.

Tentu ini pengecualian pada tragedi-jempretan-di-upacara itu. Saat kau begitu murka -lagi, tetap dengan murka yang tertahan, saat sebuah kamera tanpa izin membekukan sosokmu dengan teknologi cahaya. Dan kau tidak menerima itu. Kau tidak rela, kau marah. Setelah itu kau terlihat lebih hati-hati. Untungnya, mereka pun akhirnya ikut lebih berhati-hati dalam memperlakukanmu. 

Hingga akhirnya hari itu pun tiba. Hari dimana hasil pembelajaran selama enam bulan akan diumumkan. Beberapa hari yang lalu, kau mendengar kabar yang pasti telah membuatmu tidak bisa tidur semalaman, khan? Ya, saat seorang kawanmu, yang juga sebelumnya menghuni kelas unggulan, namun juga terdepak dari sana, namun ia masih lebih beruntung karena 'terdapar' di kelas yang lebih dekat, menarikmu ke salah satu sudut beranda mushala sekolah. 

"Kamu juara umum!" pekiknya, tertahan. Takut membuat keributan. Kau hanya dapat melongo menatapnya sepersekian detik. Lalu kemudian menyemburkan tawa sambil menepuk pundak kawanmu itu. 
"Heiiii... Kalau mau bercanda tidak begitu juga, kali!", ujarmu, nyengir. Tapi kawanmu itu tidak terpengaruh. Ia malah dengan sigap menatap matamu lurus-lurus. 
"Aku. Tidak. Sedang. Bercanda." ujarnya. Kau kembali tertawa, berpikir bahwa akting kawanmu kali ini bagus sekali.
"Guru kimia menyebutkan namamu di depan kelasku. Beliau bilang nama itu tidak ada di kelas unggulan. Tapi nilainya adalah yang tertinggi diseantero kelas jurusan IPA. Dia penasaran, dan mengira nama itu ada di kelasku. Dan aku tahu betul, itu namamu!", ujarnya dengan geregetan. Tawamu seketika berhenti. Matamu yang dinaungi jejeran alis tebal itu kini membulat.
"Benarkah?"

Maka kau berdiri di sana. Diantara barisan kawan sekelasmu yang mulai riuh menyebut-nyebut namamu jelang pengumuman. Tapi kau masih terus meremas jemarimu sendiri. Basah. Kau tetap mengggigit bibir. Tegang. Bagimu, sebelum pengumuman resmi disampaikan, semua orang masih berpotensi untuk memberikanmu harapan semu.

Namun ternyata, namamu benar-benar disebutkan di sana. Sebagai peraih nilai tertinggi. Bukan hanya masuk dalam jajaran empat puluh yang selama ini kau letakkan di depan jidatmu untuk kau kejar selalu. Tapi namamu berada di puncaknya. Menggeser nama-nama lain yang selama enam bulan silam duduk manis di bangku kelas unggulan. Kau, yang sering diremehkan, yang hanya mendapatkan pengakuan di kelas yang di-under-estimate pula, ternyata bisa meraih apa yang selama ini tidak terpikirkan itu. 

Keriuhan terjadi. Ini sebuah anomali. 

Kau tersenyum. Tidak terlalu lebar. Namun, dalam hati, dirimu tengah berloncat-loncat kegirangan. Kau tersenyum. Mungkin lebih karena kau sadar, bukan hanya kau yang akan bahagia dengan semua itu. Sebab pada akhirnya kau mengerti, tentang langkah mundur yang membuatmu dapat melihat segalanya dengan sudut pandang yang lebih luas lagi. Tentang langkah mundur yang sukses meruntuhkan semua keangkuhan yang kau susun rapi tanpa sadar. Tentang langkah mundur yang membuatmu mengakui bahwa kau tidak sehebat yang kau bayangkan. Tentang langkah mundur yang membuatmu belajar tentang banyak hal.

Tentu tidak kau bayangkan khan, saat selepas upacara dan kau malah memilih untuk menunggu di mushala dan tidak langsung ke kelas. Kau tentu terkaget saat salah seorang kawan sekelasmu datang menyampaikan pesan. 

"Jangan berdiam di sini. Teman-teman tidak ada yang mau melangkah masuk kelas kalau kau tidak masuk lebih dahulu... Ayolah...", ujarnya sambil menarik-narik tanganmu. 

See...? Kau tentu teramat kaget, saat melangkah keluar dai mushala dan menuju kelas, ternyata telah begitu banyak orang yang memandang ke arahmu. Sebagian dari mereka bertepuk tangan dengan riuh. Membentuk semacam barisan penyambutan hingga kau benar-benar masuk kelas. Siapa lagi kalau bukan teman sekelas yang selama ini selalu membuatmu terpingkal-pingkal itu? Dan di sana, di kursi guru di kelasmu, sudah duduk wali kelasmu yang akhirnya mendapatkan kebanggaannya setelah enam bulan yang berat itu. Pada deklarasi juara sebelum-sebelumnya, hal ini tidak pernah terjadi.

Selepas menerima buku rapor, kau terlihat berdiri di beranda. Bersama gadis berkacamata dan tinggi semampai, gadis yang tempo lalu memberitahukan kabar itu padamu. 

"Ini bukan hanya kemenanganmu, Kawan. Ini kemenangan kita!", ujarnya sambil menatap pada ruangan kelas di pojok lantai dua di seberang sana. Ruangan kelas unggulan. 

Dan kau, kembali hanya tersenyum.

Biar kutebak!

Itu senyum kesyukuran, bukan?

Makassar, 3 Juli 2013