Mengikat makna yang terburai di setiap detik waktu. Karena kita terlampau cepat melangkah dan kadang tak ada waktu menengok kembali jejak yang telah tersisa sebelumnya. Bacalah, maka sejatinya kita sedang berbincang.
Sabtu, 31 Desember 2016
Lelaki yang Tak Pernah Pergi Hingga Allah yang Memanggilnya Kembali
Kamis, 29 Desember 2016
Life is About Choosing
Hidup adalah tentang memilih. Tiap hari kita akan dihadapkan dengan berbagai macam pilihan yang menunggu untuk ditentukan. Satu pilihan kita akan membawa kita pada pilihan berikutnya. Begitu seterusnya. Kita selalu punya kendali untuk menentukan ke mana arah langkah kita. Dan bagaimanapun orang lain memaksa kita, pada akhirnya keputusan final ada pada diri kita sendiri. Pada akhirnya, kita yang akan menjalaninya, dan mempertanggungjawabkannya.
Selepas tuntas masa pendidikan terakhir beberapa tahun yang lalu, berbagai pilihan muncul di hadapan saya.
Saat itu saya memilih untuk tidak melanjutkan kuliah, pun tidak bekerja. Meski kedua pilihan itu punya peluang besar untuk saya jalani. Tabungan saya masih ada untuk kuliah lagi, dan beberapa panggilan kerja datang begitu saja tanpa saya cari. Tapi saya memilih untuk tetap di rumah. Tahun-tahun yang panjang dalam masa studi telah saya lewati dan saya menganggap saat itu adalah titik yang tepat untuk benar-benar 'pulang'. Ibu saya sakit dan saudara-saudara yang lain masih sibuk dengan rutinitas mereka. Saya, memilih tinggal di rumah menjaga ibu sambil menerima tawaran menulis berhonor yang lumayan untuk uang jajan. Oleh seorang kerabat saya disebut apoteker pengangguran, ada pula yang menyangka saya keenakan santai karena ingin terus bergantung pada harta orang tua. Saya tidak nyaman dengan justifikasi itu tapi saya memilih diam sebab tidak semua hal perlu diceritakan. Keadaan ini terus berlanjut hingga saya menikah dan punya anak. Ijazah-ijazah saya cukup puas dengan hanya mendekam di lemari saja.
Tapi saya tidak pernah merasa bahwa ibu yang bekerja itu lebih buruk. Mereka memilih menjadi working mom dan saya yakin di balik itu ada alasan yang besar. Maksud saya, bukan hal yang mudah untuk meninggalkan dan menanggalkan tugas kerumahtanggaan dan kewajiban pendidikan anak untuk sebuah tanggung jawab yang tidak utama, yakni bekerja. Tapi beberapa perempuan memilih itu dengan alasan mereka masing-masing dan bagi saya it's totally ok.
Saya pernah menjalani beberapa bulan kehidupan terpisah dari suami dan kami selanjutnya bersepakat untuk tidak lagi menjalani itu. Bagi kami, kebersamaan dalam pernikahan adalah keniscayaan. Di bumi manapun kami harus berada, asalkan masih bisa bersama. Ada hak-hak anggota keluarga yang tidak bisa tertunaikan dengan maksimal saat berjauhan. Tapi itu tidak membuat saya merasa berhak mencela mereka yang harus berhubungan jarak jauh dengan pasangannya. Sebab itu juga bagian dari pilihan dan tiap pilihan punya sebab-sebabnya. Mereka yang berjuang membangun cinta meski terkendala oleh jarak, saya yakin, juga selalu memimpikan kebersamaan yang utuh. Tapi ada rindu yang harus mereka pendam, untuk sebuah alasan besar yang membuat mereka harus memilih jalan itu.
Saya menjalani proses persalinan normal dan tidak ada alasan untuk memilih sectio caesaria sebab saya berbaring di ruang persalinan saat ternyata telah pembukaan lengkap, disusul pecah ketuban, lalu diminta mengedan selama setengah jam, kemudian Fayyadh lahir di dunia, biidznillah. Tapi kenyataan itu tidak membuat saya merasa boleh mencela perempuan yang harus melahirkan di atas meja operasi. Mereka pun adalah ibu seutuhnya dan goresan di perut mereka dalam perjuangan caesar juga adalah perih berdarah-darah yang juga adalah penanda jihad akbar mereka.
Fayyadh tidak lulus ASI ekslusif. Saya menambahkan sufor dalam konsumsi Fayyadh selain ASI. Kini, Fayyadh bahkan menjadi bayi full sufor di samping menyantap MPASI-nya.
Sebelum itu, saya telah melalui waktu berjam-jam dengan bayi yang menempel terus menyusui pada saya tapi tak pernah puas. Saya berjuang untuk hanya memberikan ASI saja meski di masa itu saya tidak punya aktivitas lain selain menyusui, mencoba semua tips memperbanyak ASI, memakan dan meminum segala galactogogue yang disarankan oleh semua orang hingga yang disarankan oleh artis-artis di instagram. Saya menangis sendirian dan berdoa sambil menangis agar bisa mencukupi kebutuhan ASI bayi saya.
Saya tersenyum pahit saat orang lain melihat bayi saya kala itu dan menganggapnya terlalu kecil, tidak besar-besar, bahkan disebut malah menjadi semakin kecil karena kurang gizi.
Hingga akhirnya saya memilih untuk menjadikan sufor sebagai opsi bantuan untuk saya dan Fayyadh. Tapi jangan pertanyakan cinta saya padanya. Sebab saya mencintai putra saya sebagaimana cinta ibu-ibu lain yang sanggup menyusui anaknya.
Dan saya tentu tetap mengangkat topi untuk para pejuang ASI yang bisa lulus hingga S3 ASI dan saya yakin itu tidak mudah. Mereka pasti bersyukur dengan kesyukuran yang besar sebab bisa menjalankan perintah Allah untuk menyusui anaknya hingga 2 tahun, sebab tidak semua ibu bisa merasakan kenikmatan itu.
Saya memilih untuk lebih sering menggunakan pembalut kain sejak gadis hingga kini, dan memakaikan pula popok kain untuk bayi saya. Saya memasukkan jadwal mencuci popok dalam kegiatan harian dan sama sekali tidak menganggap itu sebagai beban. Sesekali saya mengenakan pembalut sekali pakai atau memakaikan pospak pada anak saya saat saya menakar diri harus mengalokasikan waktu mencuci untuk hal lain, atau karena alasan lainnya. Saya menganggap ini adalah pilihan yang tepat dengan alasan kesehatan dan penghematan. Tapi pilihan ini tidak membuat saya menganggap buruk orang lain yang tidak memilih hal yang sama, sebab saya yakin mereka pun punya alasan, dan paham dengan konsekuensi pilihannya.
Dan demikianlah seterusnya. Kita sangat tahu tentang apa yang kita jalani dan hadapi dan kita membuat pilihan atas hidup kita. Pun orang lain juga punya medan perjuangan mereka sendiri dan kita tidak pernah punya hak untuk menghakimi. Sebab hidup ini, akan menjadi indah sebagaimana adanya jika kita bisa saling menerima, jika kita bisa saling berbaik sangka.
Makassar, penghujung Desember 2016 yang mendung.
Sabtu, 17 Desember 2016
#IStandWithAleppo
Dalam konflik yang menimpa saudara-saudara seiman kita di belahan bumi lainnya, kita dapat melihat betapa anak-anak selalu menjadi korban yang utama. Lalu hari ini teropong kita berfokus pada apa yang menimpa anak-anak Suriah. Mereka hidup dalam ketidakmengertian, ketakutan, kedinginan dan kelaparan. Mereka terus bertanya-tanya, atas dosa apa rumah mereka diratakan, mengapa harus terusir dari tanah kelahiran, mengapa ayah dan ibunya dibunuh, mengapa abangnya diculik, dan kakak perempuannya diperkosa: di depan mata! Mereka menjadi korban utama, yang kita hitung nominalnya dalam sebutan jumlah nyawa-nyawa yg melayang, ataupun yang hidup dalam luka trauma yang menganga. Dan atas dasar keimanan, mereka adalah saudara kita, adik kita, anak-anak kita. Dengan logika apapun, kita tidak akan mampu mengerti, bagaimana mungkin wajah-wajah polos itu bisa menjadi sasaran?
Lalu saat kita menengok pada negeri kita, jangan sampai kita lengah dan tertipu dengan 'kedamaian semu'. Jangan sampai kita berbangga dengan hidup yang tenang, lalu membandingkannya dengan kondisi negeri Islam di Timur Tengah yang tak lekang dengan gejolaknya. Sebab bisa saja apa yang terjadi di negeri mereka itu adalah sebab mereka 'maju' dan menunjukkan kebenarannya, sementara kita -negara dengan kuantitas muslim terbesar di planet ini, masih saja adem ayem dengan segala pembenarannya.
Kita tidak berdoa untuk turut merasakan konflik yang sama, naudzubillah. Namun dari Suriah kita belajar, bahwa jangankan sikap yang salah dan gagal paham, bahkan aksi diam dan tidak peduli pun, bisa jadi adalah awal penyebab kehancuran.
Semoga Allah melindungi kita.
#IStandWithAleppo
Makassar, 18 Desember 2016
pict from: here
Sabtu, 10 Desember 2016
Kamis, 08 Desember 2016
Ngobrol Tentang Jualan Clodi, Motherhood dan Kebahagiaan Kecil
Dulu, paling tidak minat saat membahas seputar masalah bisnis, jualan, dkk.. langsung berasa kalau saya terlahir tanpa bakat itu sedikitpun. Tapi, setelah menikah, semuanya berubah *halah*. Entah karena efek nikah sama seseorang dengan background ekonomikah, atau karena memang sebenarnya saya ada bakat dikitkah, perlahan tapi pasti, saya mulai menikmati proses jualan.
Selain jualan buku (yang banyakan malah dibeli sendiri..hihi), sekarang paling seringnya dapat orderan clodi, alias cloth diapers, alias popok kain kekinian. Setelah jadi pengguna clodi, kemudian mencoba mengupgrade status jadi distributornya, mana tahu nanti bisa jadi juragannya *wkwkwk*
Seninya jualan clodi itu, karena saya, supplier, dan.custumer, kebanyakan adalah para bunda yang punya anak bayi. Sebagian kecil cust memang ada juga yang masih berstatus mom-to-be alias lagi hamil anak pertama. Nah, serunya di sana.. sebab jadinya ada semacam pengertian-pengertian yang menjelma pemakluman pada setiap komunikasi ke atas saya pada supp, dan ke bawah pada cust. Kalo chatnya lagi kencang, maka indikasinya lagi me time nih.. mungkin anaknya lagi anteng, atau malah lagi tidur. Sebaliknya, kalau pada slowrespon, maka tanpa dijelaskan pun, langsung bisa menebak bahwa mungkin si bayi lagi rewel, habis imunisasi, atau mau tumbuh gigi.
Pada setiap transaksi para cust yang dengan antusias bertanya pada saya seputar clodi, saya dapat merasakan cinta seorang ibu pada anaknya. Saat seorang ibu melakukan itu semua karena menginginkan yang terbaik untuk si buah hati. Dan belanja clodi hanya sebagian kecil dari bukti cinta itu, pun tanpa saya menafikan cinta para bunda yang lebih memilih memakaikan pospak pada anaknya, karena pasti tiap ibu punya alasan dan pilihan berbeda, meski semuanya -saya yakin, bermuara pada satu hal yang sama; keinginan merawat anak dengan sebaik-baiknya cara.
Di balik senyuman seorang bayi, ada peluh ibu saat mengurusnya, memandikan, dan menyusuinya. Ada mata yang lelah karena begadang untuk menenangkan rewelnya saat malam. Ada waktu yang terkuras untuk menemani sang bayi agar terus nyaman bersama bunda. Ada badan yang lelah saat harus menimangnya ke mana-mana. Tapi saat melihat senyuman manis itu, senyum gula disiram madu itu, atau saat di akhir hari melihatnya tidur dengan nyaman, sleeping like an angel, sehat, dan tenang, semua itu seolah terbayar lunas tak bersisa, kecuali menyisakan berbagai harapan, semoga hidupnya selalu penuh dengan kebahagiaan.
Dan satu hal yang terkadang masih belum saya mengerti sampai sekarang adalah, entah mengapa ada kebahagiaan sendiri saat mencuci clodi-clodi Fayyadh. Padahal kan itu bekas pup dan pee ya.. hehe.. tapi rasanya bahagia saja begitu...
''Cukup biarkan saya bisa mencuci clodi dengan tenang, dengan cara Aba jaga Fayyadh sejenak, itu sudah bisa bikin saya bahagia...'' ujar saya pada suami suatu hari. Dan mencuci clodi pun jadi semacam me time yang menyenangkan. Kebahagiaan kecil yang sulit dijelaskan.
Sebab hidup ini kadang menawarkan kejadian yang kita anggap menyedihkan dan terasa amat sulit untuk kita lewati. Hal-hal diluar kendali kita yang mau tidak mau harus kita terima untuk terjadi. Maka untuk mengimbanginya, kita perlu menurunkan standar bahagia dan menjadi lebih peka untuk itu. Dengan menemukan kebahagiaan kecil kita sendiri, untuk kemudian melipatgandakannya dengan sesuatu yang dianjurkan oleh sang Nabi. Ya, dengan mensyukurinya. Alhamdulillah...
Makassar, November 2016
Rifa'ah Ummu Fayyadh
Rabu, 07 Desember 2016
Kita Hanyalah Dua Orang Asing
Malam masih sangat pekat ketika saya membuka mata dengan tergesa. Keringat bercucuran dan napas memburu. Seketika saya mendapati wajah suami yang menatap saya dengan khawatir setelah berusaha membangunkan saya yang mengigau di malam buta itu.
''Mimpi buruk ya?'' tanyanya kemudian
Saya menghembuskan napas berat.
Kejadian sebelum tidur itu rupanya cukup membekas pada diri saya, bahkan hingga masuk ke dalam alam bawah sadar. Sebelumnya, saya mendapatkan sebuah informasi yang cukup membuat saya mengernyitkan kening, berpikir lebih dalam, sekaligus merasakan ketakutan dan kekhawatiran.
Ini tentang cerita perihal sebuah rumah tangga. Tanpa perlu tahu tentang siapa tokoh-tokoh di dalamnya untuk menghindari ghibah, saya memang terkadang mendengarkan cerita tentang masalah-masalah yang dapat timbul dalam rumah tangga lewat kisah-kisah nyata yang terjadi di sekeliling saya. Namun kisah kali ini cukup membuat saya kepikiran.
Sebab dari info yang saya dapatkan, pasangan itu punya trade record yang baik secara personal, paham agama, bahkan seringkali menjadi pusat informasi perihal rumah tangga sakinah. Namun ternyata, itu tidak menjadi sebab bahwa mereka pun lolos dari prahara. Saya kemudian sangat tidak menyangka, bahwa prahara itu kemudian membuat keduanya dapat berlaku sedemikian buruk kepada pasangan mereka. Begitu buruknya hingga bahkan harus masuk dalam mimpi buruk saya. Sesuatu yang sempat membuat saya berpikir dalam heran: mengapa mereka bisa saling menyakiti sebegitu rupa?
Dalam pada itu, saya kemudian mencoba merenungi, betapa setiap pasangan pada dasarnya adalah orang asing bagi satu sama lain.
Syariat mengatur kita untuk hanya boleh menikah dengan nonmahram kita. Seseorang yang dekat ataupun jauhnya, bagaimanapun tetaplah orang asing pada hakikatnya. Seseorang yang pada awalnya sama sekali tidak terkait dengan kita, dan pada dasarnya kita tidak memiliki tanggungan atasnya. Seseorang yang sebelum akad itu terucap, nyatanya bukanlah siapa-siapa bagi diri kita. Fakta ini membuat saya mencoba menjawab pertanyaan saya sendiri: ya, mungkin itulah sebabnya mereka bisa begitu mudah untuk saling menyakiti.
Sebab dia hanyalah orang asing, seorang lelaki mungkin bisa tega untuk mengkhianati kepercayaan dan kesetiaan pasangannya. Tidak peduli pada tanggung jawabnya. Atau memilih untuk bungkam dan bercuek ria saat bahtera yang ia nakhodai tengah dirundung badai masalah.
Sebab dia hanyalah orang asing, seorang perempuan mungkin menjadi ringan untuk menaikkan suaranya di hadapan suaminya. Menjadi santai untuk melontarkan kata-kata kasar bahkan kata-kata kotor sekalipun. Menjadi mudah untuk berkeluh kesah atas kekurangan dunia yang ia dapatkan. Lalu kemudian tidak lagi peduli untuk menjadi 'rumah untuk pulang' bagi suaminya.
Namun, apakah permasalahannya menjadi sesederhana itu?
Nyatanya tidak.
Nyatanya, saat akad nikah digelar, ada setumpuk hak dan kewajiban yang secara otomatis tersemat kepada pasangan suami istri itu. Perjanjian agung itu telah mengubah banyak hal. Mengubah dua orang asing yang dipertemukan oleh takdir menjadi memiliki kepentingan untuk mengekalkan kebersamaan mereka hingga ke surga.
Lelaki itu harus menafkahi keluarga yang baru saja ia miliki. Perempuan itu harus taat kepada pemimpin rumah tangganya tanpa tapi -selama bukan maksiat kepada Allah. Dan ini memang bukan perkara mudah. Ada rupa-rupa ujian yang melekat padanya. Ia tidak seindah hiasan bunga-bunga saat walimah digelar. Mungkin bahkan ia bisa menjadi lebih perih dari tertusuk duri,rasa perih yang bisa mengintai kapan saja, sebab syaitan sangat bangga saat bisa menghancurkan sebuah rumah tangga. Godaannya untuk melunturkan sakinah itu mungkin akan selalu muncul di antara waktu shalat dengan waktu shalat yang lain. Muncul di antara prasangka. Muncul di antara ketidakpuasan. Muncul di antara candaan yang disikapi serius oleh pasangan. Muncul di antara sikap bermudah-mudah dalam menjaga kesucian diri dan hubungan. Muncul di antara hal-hal yang tidak pernah kita duga, sebelum kita memutuskan untuk menikahinya. Hingga mungkin terbersit dalam pikiran kita; ah, seandainya aku tak menikah dengannya...
Dan mungkin, rasa penyesalan itu menjadi celah yang begitu empuk untuk syaitan dan kelemahan kita, untuk menyakiti pasangan dan kembali lupa pada ikrar kita yang Allah menjadi saksinya. Tiba-tiba, kita kembali menjadi orang asing yang tak sengaja bertemu di persimpangan jalan.
Maka tak ada daya dan upaya selain atas pertolongan Allah. Dan sakinah itu berasal dariNya. Kita mohon kepadanya dalam segala ketidakberdayaan kita. Betapa rumah tangga yang rusak bisa membuat seseorang menjadi ingin hidup lebih singkat dan menjadi begitu suram dalam menjalani hari-harinya.
Dan cukuplah kesadaran akan betapa agungnya pernikahan itu, yang menjadi pegangan bagi kita untuk bertahan dalam badai yang menerpa. Yang menjadi sandaran saat kita merasa lelah.
Ada orang asing di sisi kita yang telah menyiapkan jemarinya untuk kita dekap bersama. Orang asing yang Allah perjumpakan dengan kita, bukan tanpa sebuah hikmah besar yang ada di baliknya. Dialah mungkin yang akan menjadi ladang untuk kita menuai syukur dan sabar bersama, menyusun satu demi satu batu bata untuk membangun peradaban, saat kemudian bibir kita dapat mengucap tentangnya: sungguh, aku ridha atas dirinya.
Makassar, 10 Agustus 2016
Rifa'ah Ummu Fayyadh
~hamba Allah yang masih terus belajar untuk survive dalam perjalanan 'menapak pada rembulan'.