Selasa, 13 April 2010

Teruntuk; Seorang Kakak, Sebuah Pelita


Sulit untuk saya memulai tulisan ini. Sebagaimana selalu sulit untuk mengucap salam perpisahan ataupun membuat puisi tentangnya. Hingga saat ini, hanya ada satu puisi perpisahan yang saya tulis untuk diberikan kepada beberapa orang terdekat saya yang memutuskan untuk tidak lagi berada di tempat yang sama.

Tapi, perpisahan selalu mengingatkan saya pada perjumpaan. Termasuk perjumpaan pertama denganmu, Kak.

Tidak saya ingat dengan jelas, memang episode apa yang terjadi saat itu. Yang jelas, saya hanya selalu mengingat sosok seorang kakak, yang seolah tidak pernah jenuh untuk menarik perhatian saya dan teman-teman saya saat itu.

Ingat waktu kakak berjalan menuju pelataran kelas tempat kami nongkrong sambil cekikikan itu. Dan kau tetap bertahan berdiri di sana meski sebagian besar dari kami dengan teganya bersikap cuek dan acuh.

Ingatkah kau saat kami selonjoran di mushalla, dank au dengan ramah dating duduk di samping kami yang sedang berbaring malas. Dan kau berbincang tentang apa saja. Ya, apa saja asalkan kami merasa diperhatikan.

Ijinkan saya untuk sekedar mengenang perjumpaan-perjumpaan awal itu. Sebab segalanya ternyata memang segera akan menjadi kenangan saja, tanpa kau berada dekat di sini lagi.
Kak, sebuah kabar yang sekiranya menjadi berita gembira itu telah sampai kepada saya dengan tiba-tiba. Ada degupan jantung yang saling berburu dan seolah saling berbisik pada organ tubuh saya lainnya, “Sepertinya ada yang salah dengan ini semua!”. Dan tanpa mengetahui segalanya dengan jelas, entah mengapa pikiran saya terus bertanya-tanya, hingga akhirnya menemukan jawaban lewat sebuah tulisan dari saudari kita yang lain.

Hmm…
Mungkin manusia memang kadang terlalu tidak sabar untuk menunggu ‘sesuatu’ yang ingin disampaikanNya lewat sandiwara langit yang terlakon dihadapan kita. Dan masa depan yang akan selalu kita risaukan dengan tiap Tanya tentang apa yang akan terjadi pada diri kita, pada orang-orang di sekeliling kita, dan pada segala sesuatu yang mengitari kita. Betapa sebuah tanda Tanya besar selalu terpahat dengan waktu yang belum tiba masanya.

Kak, saya tidak ingin mengucap nama-nama yang sekarang tidak lagi saya temukan sosoknya di jalan yang sama. Tapi saya hanya ingin mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang dulu menjadi batu loncatan yang kokoh menahan langkah saya yang terseok hingga dapat sampai di titik ini, saat ini. Dan keberadaanmu di masa lalu juga menempati posisi yang sama dengan mereka. Sebagai pelita yang menerangi jalan yang saya susuri.
Sebuah ketakutan yang besar saat saya menyaksikan pelita-pelita itu meredup, bahkan padam cahayanya satu persatu. Dan ketakutan saya saat ini adalah;

Saat kau pergi, kak. Saya berharap kau akan tetap bersinar, dimanapun langkahmu mengayun. Bolehlah kami mengikhlaskan kepergianmu dari salah satu titik di bumi Allah ini. Tinggalkanlah tempat ini, tapi jangan tinggalkan dakwah! Jangan!

Mungkin akan ada orang yang lebih tepat untuk mengatakan hal itu padamu. Tapi saya hanya berharap, agar perkataan itu juga kau ulang dari bibirmu untuk adikmu ini.
Seperti saat kulihat pancaran matamu pertama kali.

Saat kau kirim pesan nasehat padaku

Saat kau sekedar menanyakan kabar

Atau bertutur tentang dandelion yang kugores di sebuah bukumu

Agar suatu saat, jika Allah mengijinkan kita kembali bertemu, tak peduli seberapa jauh jarak yang pernah membentang. Tapi kita, masih berada di jalan yang sama. Kita masih di sini.

sangat spesial untuk kakakku tersayang,

Kak Aisyah... Uhibbukifillah, kak! gambar:http://www.treehugger.com/wwe_th_blue_flower_staffan_widstrand.jpg