Senin, 30 Desember 2013

What I Talk About When I Talk About You

Rasa cinta ini bahkan melebihi cinta saya pada saudara kandung saya sendiri...”, ujarmu di suatu senja, bertahun yang lalu. Sebuah perkataan yang masih kuingat hingga kini. Bahkan mungkin tidak akan pernah kulupakan. Seumur hidup. 

Kepadamu, seseorang yang indah pribadinya,

Aku tidak ingat betul, kapan dan bagaimana saat pertama kali berjumpa denganmu. Yang jelas seingatku, setiap kali melihat kau, aku selalu menganggapmu berada pada tingkatan yang lebih dibandingkan kami-kami ini. Apakah itu adalah efek dari kacamata yang kau kenakan? Atau karena memang wajahmu yang selalu menyiratkan ketenangan? Entahlah. 

Nyatanya, tentu hanya atas takdir Allah-lah garis hidup kita bersinggungan. Dan kau adalah satu dari beberapa orang yang Allah takdirkan hanya kutemukan sisi baiknya saja. Tanpa cela? Ya, sepertinya itu kata yang tepat untuk menggambarkannya. Dan kau harus tahu betapa aku bersyukur atas hal itu.
Tutur katamu yang halus, bahkan meski saat kau tengah bercanda. Kau mungkin bukan orang yang sangat supel, namun siapapun yang berada di dekatmu akan merasa nyaman. Intinya, kau adalah orang yang begitu mudah untuk dicintai, bahkan mungkin pada pandangan yang pertama kali. Allah mencintaimu, setidaknya itulah hipotesisku atas hal ini. 

Kau adalah seseorang yang sangat manis senyumnya. Namun suatu hari kudapati dirimu menangis tersedu-sedu. Bukan karena masalah yang sedang menimpamu. Bukan pula perihal remeh temeh nan sepele yang kadang banyak dikeluhkan orang-orang kini. Hari itu, kau menangis berlinang-linang justru sebab sedih melihat salah seorang kawan yang tidak lagi berada pada jalan kebaikan. Punggungmu bahkan hingga bergetar sambil berulang-ulang mengucapkan namanya. Kau kecewa pada dirimu sendiri, mengapa tidak dapat lebih lama membuatnya bertahan di jalan cahaya. 

Di kali yang lain, sebuah senja kita isi dengan mengujungi rumah seorang kawan. Kita menghabiskan waktu hingga maghrib mendekat dengan tertawa-tawa dan berbincang tentang banyak hal yang ringan bertiga. Sungguh tidak ada yang salah waktu itu. Hal yang kita bicarakan pun adalah sesuatu yang wajar-wajar saja. Namun betapa kutemukan kembali keindahanmu saat aku tiba di rumah dan pesan singkatmu telah mendarat di ponselku. Kau tidak pernah kudapati berprasangka buruk pada siapapun, namun kau begitu berhati-hati jika itu perihal dirimu sendiri. Lewat pesan singkat itu, kau meminta maaf. Ya, kau meminta maaf sebab khawatir jika perbincangan kita tadi bernilai sia-sia. Kau meminta maaf jika saja ada perkataanmu yang salah, padahal tak ada. 

Hingga akhirnya, waktu pun terus berjalan. Semakin hari, kehidupan ini semakin menunjukkan rupa yang sebenarnya. Hidup pada akhirnya bukan hanya sekadar rutinitas harian yang terus berulang. Namun semakin banyak diwarnai dengan hal-hal yang tidak kita duga. Termasuk dengan kepergianmu. Sebuah perpisahan yang menjauhkan raga kita, namun untungnya tidak dengan hati kita. 

Wahai kau yang indah pribadinya,

Beberapa waktu yang lalu kita bertemu kembali. Dan seperti yang sudah kuduga, tidak banyak yang harus kukhawatirkan tentang dirimu. Kau baik-baik saja. Kau tetap bertahan untuk menjadi tetap indah. Seindah saat kita bertemu, dan saat kita berpisah dahulu.

Kau kemudian bercerita tentang banyak hal. Hingga rasanya, waktu perjumpaan kita itu tidak akan pernah cukup untuk membahasnya tuntas. Ya, kita telah melewati begitu banyak hari tanpa masing-masing berada di sisi. Tentu begitu banyak pula yang telah terjadi.

Kau mengatakan tentang keputusan yang harus kau jalani, meski sama sekali tidak kau sukai. Tapi kau tetap melalui itu dengan cara terbaik yang kau bisa. Lalu Allah kemudian menunjukkan hikmah-Nya. Pada perjalanan yang kau tak kau senangi itu, justru di sanalah kau menemui apa yang selama ini kau cari. Maka sekali lagi, pada dirimu ayat-ayatNya dapat kubaca...

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2]:216)

Lalu perpisahan yang kedua harus kembali kita jalani. Kali ini tanpa ada rencana kapan akan bertemu kembali. Pada perjumpaan terakhir itu, kau berucap lirih, jangan-jangan kita tidak akan lagi berjumpa lagi. Namun biarkan kuberitahukan kepadamu, betapapun jarak akan membentang jauh, pada akhirnya justru hal itulah lagi yang menginsyafi kita, bahwa terkadang angka-angka dalam satuan kilometer itu tidak selalu menyimpan banyak makna. Bukankah ada begitu banyak orang yang dekat secara jarak namun hatinya saling berjauh-jauhan? Maka, kita selalu punya doa-doa yang mampu untuk melipat rentangan itu. Pada akhirnya, perjumpaan-perjumpaan jasad bisa saja kita hibur ketiadaannya dengan kedekatan jiwa. Aku akan selalu mendoakan kebaikan untukmu, bahkan mungkin melebihi untuk diriku sendiri. Aku berjanji.

Uhibbukifillah, yaa Ukhti...


Makassar, 30 Desember 2013

Kau tahu bagaimana rasanya kembali menulis setelah rasanya sekian lama tidak melakukannya?
 Ya, seperti berjumpa dengan sahabat lama! 

Rabu, 04 Desember 2013

Mati Muda

Sejak kecil, saya selalu merasa akan mati muda. 

Ya, entah mengapa. Kira-kira di usia SD, tentu pada waktu itu saya belum tahu menahu perihal hal-hal seberat itu, perihal kematian. Saya belum belajar agama dengan benar sehingga tidak pula mengerti konsep dzikrul-maut yang erat kaitannya dengan nasihat agar menjalani hidup dengan lebih lurus. Untuk sebuah alasan yang hingga hari ini pun saya tidak tahu, entah mengapa saat itu saya selalu menganggap diri saya tidak akan sampai pada fase dewasa, saya akan mati sebelum itu. Atau setidaknya, dunia ini akan kiamat sebelum itu. Aneh ya?

Ya, saya memang anak yang aneh (mungkin juga sampai sekarang, hehehe...). Saya punya imajinasi yang terlalu melebar kemana-mana –jika tidak disebut liar. Entah karena pada waktu itu saya mencekoki diri dengan bacaan seputar hal-hal fantasi, pahlawan berkekuatan super, dan sebagainya, sehingga saya bisa dengan mudah untuk berimajinasi tentang banyak hal yang aneh-aneh. Termasuk tentang kematian. Di suatu hari saat masih SD, saya bahkan pernah berdiri beberapa saat sambil mengamati baju seragam sekolah saya yang tergantung di pegangan pintu lemari. Baju itu masih kusut dan seharusnya saya letakkan segera di tempat setrikaan agar disetrika dan bisa saya gunakan esok lusa.

Cukup lama saya berdiri menatap baju itu, hingga kemudian memilih untuk tetap meninggalkannya di sana. Kau tau kenapa? Sebab entah atas alasan apa, saya merasa akan meninggal besoknya, sehingga saya tentu tidak membutuhkan baju itu lagi esok lusa. Dan sebagai seorang anak kecil, saya menganggap bahwa kematian adalah perkara sederhana. Padahal, tidak.

Hingga saat ini pun, perasaan seperti itu pun seringkali tiba-tiba muncul lagi. Namun kali ini dalam pemahaman yang berbeda, tentunya. Kematian bukan lagi perkara sederhana yang bisa dengan sok saya hadapi dengan tenang. Kematian adalah sebuah pintu masuk menuju ke alam selanjutnya, menuju pada pertanggungjawaban yang saya imani akan dihadapi oleh seluruh manusia. Perasaan-tidak-lama-lagi-akan-mati itu akhirnya membuat saya menjadi merasa perlu menyiapkan banyak hal. Amalan baik, tentu saja. Dan beberapa hal lain yang juga perlu dipersiapkan sebelum meninggalkan dunia.

Saya butuh ahli waris.

Bukan, bukan untuk perkara harta. Sebab nyatanya, saya memang tidak punya apa-apa. Semua rupiah yang ada di tabungan atas nama saya sejatinya hanyalah belas kasihan kedua orang tua saya yang masih membiayai hingga hari ini. Jika pun ada sepeser yang merupakan hasil dari usaha sendiri, itu tidak berarti banyak. Bahkan mungkin telah tandas saya belanjakan kesana kemari.

Tapi, saya butuh ahli waris untuk meneruskan beberapa hal yang saya harap akan terus berlanjut walaupun saya sudah tidak ada. Buku saya, misalnya. Buku itu, meski bukan sebuah karya yang sangat berarti, saya harap masih akan terus beredar meski saya sudah mati. Demikian pula dengan blog ini, dan blog saya yang lain. Saya ingin memastikan bahwa ia akan terus beroprasi dan tetap bisa diakses. Maka, ahli waris saya hanya akan saya warisi dengan link pada penerbit buku serta password e-mail, dan password blog serta password akun FB dan twitter untuk mengabarkan pada kawan-kawan saya di sana, bahwa saya telah tiada dan saya harap mereka tetap mendoakan kebaikan pada saya. Hmm.., hingga saat ini satu-satunya kandidat ahli waris yang terpikirkan oleh saya adalah adik kandung saya, Indy Trini. Saya tidak tahu apakah ia akan membaca tulisan ini, tapi jika kemudian saya mati dan ada pembaca yang telah membaca tulisan ini dan mengenal Indy, tolong beritahukan perihal ini padanya. Kalau-kalau saja saya ternyata lupa, atau tidak sempat memberitahukan ini pada Indy. Mungkin, saya akan mulai menuliskan password-password itu di secarik kertas yang saya letakkan di dompet. Sama seperti jika saya memiliki utang, maka menuliskannya di kertas dan meletakkannya di dompet adalah cara yang aman. Seseorang akan menemukan dompet itu, dan bisa membantu membayarkan utang itu jika kita ternyata mati duluan. Utang itu khan mengerikan! Syuhada saja bisa tertunda masuk surga jika utangnya belum dilunaskan! Apalagi saya!

Nah, lihatlah bagaimana saya seringkali dihinggapi perasaan tidak akan hidup lebih lama lagi. Saya sering merasa akan pergi lebih dahulu daripada bapak, mamak, kakak, dan adik saya. Entah mengapa. Dan hal seperti ini, hanya bisa dijawab oleh rangkaian hari yang datang satu per satu. Takdirlah yang akan menunjukkan apakah dugaan saya itu benar, atau hanya angan kosong belaka.  

Oh iya, hal ini juga seringkali membuat saya berpikir tentang beberapa hal yang belum saya sampaikan kepada beberapa orang. Ada sesuatu yang masih saya simpan sendiri, dan jika saya mati, maka mungkin itu semua akan ikut terkubur bersama jasad saya. Tapi tak mengapa, mungkin memang akan lebih keren jika ada rahasia yang kita bawa sampai mati. Hehehe...

Satu hal yang akan menyadarkan saya dari pemikiran aneh ini hanyalah jika saya mengingat kembali pada dosa-dosa. Bejibun dosa yang belum tuntas saya tebus dengan taubat. Juga dengan kata maaf kepada orang-orang yang pernah saya lampaui haknya. Juga memaafkan orang-orang yang masih belum bisa saya lupakan kesalahannya. Hal-hal semacam itulah yang membuat saya kemudian akan berpikir, saya sama sekali belum siap untuk mati. Bahkan meski dunia ini sudah tidak terlihat menarik lagi.

Hmm... tulisan ini nampaknya semakin tidak jelas juntrungannya, ya? Maafkan, saya hanya ingin menumpahkan pikiran saja. Maafkan juga, jika kamu sudah membaca sampai sejauh ini tapi nyatanya tidak menemukan manfaat apa-apa. Maafkan ya, sebab saya tidak ingin menambah daftar dosa yang tentu akan semakin memberatkan kehidupan setelah kematian saya.

Maka pada akhirnya saya akan mencoba untuk lebih logis dan lebih lurus lagi dalam memikirkan hal ini. Saya perlu mengingat kembali nasihat dari sebuah buku yang dulu dipinjam seseorang tapi tak pernah ia kembalikan hingga kami tidak bertemu lagi. Buku itu berpesan; Tidak penting kapan kita mati, yang terpenting adalah apa yang telah kita siapkan untuk menghadapi kematian, dan kehidupan setelah mati.  

Dan buku itu, benar. 

Makassar, 4 Desember 2013

Senin, 02 Desember 2013

Tidakkah Kamu Memperhatikan?

Apa kabar, Pak?

Semoga selalu dilimpahkan rezeki atasmu dalam keberkahan, dan diberikankesehatan padamu dalam kebaikan. Tentu kau memerlukan kekuatan yang begitubesar untuk dapat mengemban amanah berat di pundakmu di dunia ini, pun untukmempertanggungjawabkannya di akhirat nanti.

Pak, tulisan ini mungkin hanya sebuah coretan sederhana yang jauh dariilmiah. Ia juga hanyalah suara hati dari seseorang yang bukan siapa-siapa dantidak pun membawa berita yang baru. Namun, semoga kesederhanaan ini tidak mengurangikebenaran atas apa yang akan tulisan ini sampaikan padamu.

Hari itu sebenarnya biasa saja. Hari pertama dalam penanggalan bulanDesember yang seharusnya sama dengan hari-hari lainnya. Namun, ia menjadi tidakbiasa saat isu itu berhembus dengan kencang. Berita pun menyebar kemana-manaseolah tiada yang dapat membendungnya. Ini tentang sebuah program yangdilakukan pemerintah terkait dengan hari AIDS sedunia. Namanya, Pekan KondomNasional. Sungguh, mendengar judulnya saja sudah membuat bulu kuduk bergidik.Ada apa dengan benda itu? Mengapa ia harus dibuatkan kegiatan dalam tujuh haripenuh?

Hingga sakit kepala saya memikirkannya, Pak. Logika saya yang dangkal initetap tidak dapat menangkap kesesuaian antara mencegah HIV/AIDS dengan kegiatanbagi-bagi ‘pengaman’ itu. Bahkan dari beberapa artikel yang saya baca, nyatanyapenularan penyakit mengerikan itu masih saja bisa terjadi meski menggunakanpengaman. Sementara fakta bahwa meningkatnya penularan lewat hubungan seksualpun ternyata melonjak dibanding jalur-jalur penularan lainnya. Bukankah itumengerikan? Tapi tetap saja, membagi-bagikannya kepada khalayak ramai tetaptidak dapat masuk dalam logika saya. Apalagi saat tempat dibaginya ternyata di antaranyaadalah kampus-kampus tempat orang-orang intelek berada, yang meski tidak diberitahu pun nampaknya sudah cukup tau tentang hal itu. Sementara, tidak semua darimereka adalah orang-orang yang terjerumus pada seks bebas. Bukankah, denganmembagikan hal itu justru bisa menjadi celah mereka menemukan inspirasi untuk justru melakuka tindakandosa itu?

Maka belum lagi reda pening itu, jantung ini rasanya ikut terpacu begitucepat saat beberapa testimoni dan saksi di lokasi kejadian menyatakan langsungbeberapa hal yang bersebrangan dari apa yang diprogramkan.

“Tiba-tiba ada yang datangmembagikan-bagikan sesuatu. Tanpa adainformasi apa-apa, ternyata sepaket kondom itu sudah ada di tangan saya!”

“Mereka masuk ke kampussaya, membagi-bagikan kondom sambil berujar –entah serius atau hanya bercanda, ‘Dicobasama pacarnya yah...’”

Duhai Bapak yang terhormat, apa yang sedang coba kita undang? Apa yangsedang kita nantikan? Adzab-Nya-kah? Naudzubillah...

Pak, saya pernah berkesempatan untuk berpraktik kerja pada sebuah apotek.Di sana dapat saya amati bahwa memang ‘benda itu’ adalah sesuatu yang wajarsaja untuk digunakan, tentu oleh orang-orang yang memang berhak untukmenggunakannya. Dan para pembelinya rata-rata, bahkan meski mereka memangberhak, namun tetap saja ada rasa malu pada wajahnya. Entah ditutup denganhelm, atau bergegas ingin segera membayar dan pergi. Apalagi tentu orang-orangyang memang ingin menggunakannya untuk maksiat, tentu akan lebih canggung lagi!Maka masih ada rasa malu, Pak! Setidaknya masih ada rasa malu yang menjagaseseorang untuk mengurungkan niat bermaksiatnya saat benda itu tidak denganmudah diakses oleh siapa saja. Maka saat ia kemudian diobral bahkandibagi-bagikan dengan gelontoran dana negara yang tidak sedikit jumlahnya,tentu tidak heran jika begitu banyak yang mempertanyakan ini semua! Telah nyataadzab pada kaum yang durhaka sebelum kita, tidakkah kita memperhatikan?

Miris sekali rasanya, Pak. Saat kemaksiatan dibukakan pintunya begitu luas,sementara kebaikan seolah dihalangi rapat-rapat. Baru saja kami turutbergembira atas dibolehkannya saudari-saudari muslimah kami para polwan untukmengenakan jilbab, tiba-tiba kabar pembatalannya datang, dengan alasan tidakadanya anggaran. Saudari-saudari kami itu, Pak, mereka juga para muslimah yangberkewajiban menaati perintah Rabbnya. Telah diperintahkan dalam ajaran agamakita untuk menutup aurat, maka nampaknya tidak masuk diakal saat ternyatajustru negara (yang begitu kami banggakan karena menjadi berpenduduk mayoritasmuslim di dunia) ini yang melarangnya! Saudari-saudari kami itu, Pak, merekahanya ingin beribadah dengan bebas sebagaimana bebasnya mereka shalat, puasa,dan berzakat. Mereka hanya ingin menjalankan tugasnya kepada negara tanpa harusmendurhakai tugas yang telah diberikan pula oleh Allah. Lalu mengapa merekadilarang dan dihalang-halangi? Dimana hak asasi manusia itu? Dimana mereka yangmemprotes pelarangan rok mini itu? Dimana toleransi itu? Ataukah bahkan negaraini telah tega bersikap diskrimintif bahkan pada umat mayoritasnya sendiri?

Pak, masih ada waktu untuk memperbaiki semuanya. Masih ada masa untukbersujud taubat dengan menyungkur pada-Nya. Tidakkah kita takut pada azab yangbukan hanya menimpa pelaku maksiat namun akan merata pada seluruh penduduknegeri? Jika mungkin hati kita telah beku dan tidak lagi bersemangat atas kabargembira bagi orang-orang yang takwa, maka mungkin memang saatnya kita menetapihati dan menghadirkan lagi ketakutan kita pada-Nya. Begitu mudah kitadilenyapkan-Nya dengan kekuasaan-Nya. Bahwa begitu mudah bagi-Nya menggantikita dengan generasi yang lebih tahu berterima kasih.

Duhai Bapak Presiden yang budiman, semoga hidayah Allah senantiasadicurahkan kepada kita semua. Aamiin.

Tidakkahkamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumidengan hak[? Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakankamu dan mengganti(mu) dengan makhluk yang baru.” (QS. Ibrahim [14]:19)

Makassar, 3 Desember 2013

Selasa, 26 November 2013

Perempuan Itu Menangis Lagi

Perempuan itu menangis lagi. Ini untuk kesekian kalinya sejak sekitar delapan bulan yang lalu saat ia selesai menerima selembar ijazah dan sekali lagi menjadi peserta di gelaran wisuda. Perempuan itu menangis lagi di hadapannya. Sungguh, ia lebih rela ada ratusan orang lain yang menangis dan curhat kepadanya, lalu ia akan menasihatkan kata-kata bijak dan beberapa ayat atau hadits dan membuat orang-orang itu kembali tersenyum. Itu lebih baik daripada menghadapi perempuan yang kini berlinang air mata itu. Mulutnya terkunci. Matanya ia kerjap-kerjapkan untuk menghindari lapisan bening itu jatuh menjadi bulir-bulir. Perempuan itu berkata tentang masa depannya, harusnya ia bekerja sesuai profesinya, atau melanjutkan kuliah yang masih bisa perempuan itu biayai, bukan mengeram di rumah seperti sekarang. Papar perempuan itu, sesunggukan. 

Aku telah jadi penghalangmu, Nak...”, ujar perempuan itu. Ia harusnya tahu, anaknya sungguh merasa nyaman berada di rumah. Telah lama ia ingin menebus bertahun-tahun masa kuliah yang membuatnya hanya menjadi anak kost di rumahnya sendiri. Hanya pulang untuk singgah beristirahat dan mandi, lalu pergi lagi. Hanya bisa menatap sekilas pada wajah-wajah anggota keluarga kemudian kembali terbang pada rutinitas yang tiada habisnya. Telah lama ia ingin sebenar-benarnya pulang. Dan masa selepas studi panjang non stop hingga menambah dua gelar di belakang namanya itu, ingin ia bayar tunai, lalu Allah menunjukkannya cara seperti sekarang. 

Jangan sedih begitu. Aku baik-baik saja, Bu...” ucapnya sambil menyisir rambut perempuan yang baru saja selesai ia mandikan itu. Perempuan itu masih sibuk menghapus air matanya sambil berbicara tentang opname di rumah sakit atau tentang panti jompo. Ia juga sering berpikir untuk pulang ke kampungnya saja, berkumpul dengan sanak saudaranya yang lain. 

"Jangan bicara begitu, Bu..." lagi-lagi hanya itu yang bisa ia ucapkan sebagai tanggapan.

Perempuan itu seharusnya tahu, bahwa anaknya tidak lagi peduli atas komentar siapapun. Ia belajar untuk menyadari bahwa tidak semua perkataan harus didengarkan, bahkan tidak semua pertanyaan harus di jawab. Mengetahui fakta tentang sesuatu tidak membuat orang lain akan memahami. Dan tidak seorang pun berhak untuk menilai kehidupan orang lain. Ia sudah cukup piawai untuk hanya menjawab dengan senyuman atas setiap pertanyaan tentang peluang yang tidak ia ambil atau tentang kesempatan yang tidak ia hiraukan. Ia belajar bahwa salah satu cara menjalani hidup dengan tenang adalah dengan menerima segalanya. 

Di masa-masa sibuk dulu, kau selalu berdoa semoga Allah memberikanmu kemudahan. Doa itu dijawabNya sekarang. Allah bahkan memberikanmu pekerjaan bergaji surga. Surga yang paling tengah...” ujarnya kepada bayangan di cermin saat ia terkadang merasa sesak menatap tembok dan tembok dan tembok. 

Tapi jika keadaannya memungkinkan, mungkin kau butuh sekali-kali pergi melihat sesuatu yang luas. Laut, misalnya. Pergilah ke tempat itu kalau sempat, agar kau lebih segar. Wajahmu yang berseri mungkin akan membuat perempuan itu tidak menangis lagi”, jawab bayangan di cermin itu kepadanya. 

Perempuan itu seharusnya tahu, bahwa anaknya seperti apa yang selalu menjadi jawaban setiap ia menangis dan bertanya. Anaknya, baik-baik saja. 

Makassar, 27 November 2013

Senin, 25 November 2013

Nyinyir

"Sepertinya jadi orang nyinyir itu gampang, ya?", tanya saya suatu waktu pada adik saya. 
"Kamu baru tahu?", jawab adik saya dengan pertanyaan yang tidak perlu saya jawab. 

Nyinyir. Sebuah kata yang secara pribadi saya definisikan sebagai sebuah sikap dimana seseorang menanggapi sesuatu dengan nada negatif dan dengan cara yang negatif, tanpa ada solusi. Biasanya, dengan aroma-aroma membenarkan diri, pun dengan meletakkan dirinya secara langsung ataupun tidak sebagai orang yang paling benar, yang lainnya salah. 

Setiap manusia harus bisa bersosialisasi dengan baik di tengah masyarakat. Anjuran ini bukan tanpa tujuan, namun memang memiliki banyak manfaat. Diantara manfaat itu adalah sebab dengan bergaul, kita bisa belajar banyak hal dari tingkah laku manusia. Manusia sebagai makhluk sempurna, nyatanya memang perlu menyempurnakan dirinya dengan mengusahakan banyak hal, tanpa itu, maka manusia tidak lebih dari makhluk hidup yang dicipta seplanet dengan tumbuhan dan hewan, tanpa ada keistimewaan sama sekali. Dalam proses sosialisasi itu, kita akan mendapati bahwa begitu banyak karakter pada diri setiap individu. Karakter nyinyir ini salah satunya. 

Orang-orang nyinyir ini biasanya senang mengomentari sesuatu, diminta atau tidak diminta. Saat berkomentar itulah, ia akan mengeluarkan kenyinyirannya, sesuai dengan kadarnya masing-masing. Mengapa menjadi nyinyir saya sebut sebagai sesuatu yang mudah? Ya, sebab melakukannya memang cukup dengan: mengatakan semua hal yang ingin kamu katakan. Ya, semudah itu saja!

Kata-kata dalam bentuk ucapan adalah gambaran diri seseorang. Orang yang berpenampilan menarik, rapi, necis, wangi, cantik atau ganteng, bisa saja menjadi terjun bebas citranya jika ia tidak bisa menjaga bacot-nya dengan baik. Sembarangan berkata-kata tanpa mempertimbangkan lawan bicaranya, dan tanpa mempertimbangkan kapasitas dirinya, akan membuat seseorang menjadi kelihatan ke-nyinyir-annya. Kita harusnya paham, tidak mungkin perkataan menjadi sesuatu yang penting untuk kita jaga, jika ia bukan sesuatu yang kelak akan kita pertanggungjawabkan; di dunia dan akhirat. 

Orang-orang nyinyir ini akan nampak seperti orang yang mengira mati-ya-mati-aja, artinya ia tidak memperhitungkan pertanggungjawaban akhirat atas apa yang ia katakan. Ia tidak peduli perasaan orang lain ataupun dampak dari perkataannya yang buruk. Bahkan, perkataan yang baik pun berkemungkinan berdampak buruk jika dituturkan dengan cara nyinyir, apalagi yang memang sudah buruk dari sananya. Orang-orang seperti ini hadir dalam berbagai varian, bukan hanya yang dari sono-nya memang terlihat (maaf) brengsek, tapi bisa saja justru adalah kaum terdidik dengan titel berderet di belakang nama, bahkan ada juga yang penampakannya seperti orang yang religius dan sarat dengan ilmu agama. Semua itu bukanlah sebuah jaminan seseorang tidak jatuh dalam jurang kenyinyiran. 

Salah satu ciri lain dari orang nyinyir adalah, hanya mampu berkomentar, tanpa bisa bekerja, bahkan mengerjakan sesuatu yang bisa ia komentari tersebut. Artinya, ia berbicara tanpa menakar kapasitas dirinya, ia merasa tidak perlu ekspert di bidang yang ia komentari untuk menjadi pantas  berkomentar. Jangankan bisa memberikan solusi dan mengerjakan yang lebih baik dari orang yang ia komentari, memahami komentarnya sendiri saja belum tentu ia mampu. Maka wajar saja jika senjata orang nyinyir adalah perkataannya saja, sebab memang hanya itu yang ia bisa. Saya sarankan bagi yang merasa nyinyir, silakan segera asuransikan mulut Anda!

Sepertinya pepatah itu masih berkalu hingga kini, mungkin hingga seterusnya; tong kosong nyaring bunyinya. Sebaliknya, air yang tenang biasanya menghanyutkan. Kadang, jusru dari orang-orang yang tidak banyak bicaralah karya-karya bisa tercipta. Mereka, lebih senang berbuat sesuatu dalam keheningan. 

Makassar, 26 November 2013

Minggu, 03 November 2013

Tiga November

“Kenapa yah, aku bisa sayang padamu? Padahal, di saat aku bermain-main di pinggir jurang dan meminta pendapatmu tentang itu, kau bukannya menyelamatkanku, tapi malah mendorongku hingga aku terjatuh dan merasakan sakit. Hingga tersadarkan, betapa aku telah bersalah. Tapi nyatanya, kau selalu tetap berada di sana. Berdiri di bibir jurang, menungguku yang terseok-seok untuk bangkit kembali. Kau menungguku di sana, sambil melangitkan doa-doa. Mungkin karena itu, saat sesak ini bertambah-tambah, justru namamu yang kucari paling pertama.”

Kita harus setuju, bahwa hidup ini sederhana. Kita saja membuatnya terlalu kompleks. Hingga pada akhirnya kita tersadar, hanya mampu menilai segala sesuatu dari sisi luarnya saja. Apa yang tersimpan dalam hati orang lain, tidak akan pernah sanggup untuk kita benar-benar pahami. Dan bahwa ada terlalu banyak hal yang bisa dengan mudah untuk disembunyi.

Setiap senyuman tidak selalu berarti bahagia. Ia bisa saja menjadi benteng terakhir untuk menghalangi semua semburat duka. Tetapi tidak semua manusia bisa menyadarinya. Perlu pengetahuan yang menyeluruh tentang rangkaian perjalanan dan semua liku-liku yang telah dihadapi. Perlu kesabaran hati dan pikiran untuk menenangkan diri, dan tidak terlampau cepat menarik kesimpulan. Sayangnya, tidak semua orang punya waktu untuk itu. Sehingga setiap senyum akhirnya dimaknai sebagai bahagia dari hati, atau persetujuan atas keadaan yang ada. Lalu, itu digunakan sebagai bahan untuk menilai banyak hal.

Tapi apa peduli kita?

Seberapa penting kita memikirkan pendapat manusia selama itu hanya menunjuk pada pribadi kita saja?

Padahal pada akhirnya, hanya penilaian Allah saja yang akan paling berpengaruh untuk kita, di akhirat kelak, pun di dunia kini. Kedudukan kita, nyatanya hanya bergantung pada keimanan pada Allah. Tidak menjadi kurang karena dicela manusia, dan pujian pun tidak bisa menjadi sebab meningkatnya kemuliaan. Keimanan berimplikasi pada kedudukan di hadapan Allah, maka hanya Dia pula yang dapat valid dalam menilainya.

Begitu banyak hal yang terjadi, rangkaian peristiwa yang kita lalui, yang sungguh picik jika kita anggap begitu saja sebagai sebuah kebetulan. Sungguh tidak ada yang terjadi karena kebetulan. Setiap perjumpaan menyimpan perhitungan yang konkret, kombinasi antara ketepatan waktu, keterarahan perasaan, kesesuaian kondisi, dan berbagai variabel penyusun lain yang menyebabkan sesuatu bisa terjadi. Ia, terancang bukan oleh semesta yang luas ini, bukan pula oleh konspirasi siapa-siapa atau apa-apa. Namun, semata-mata karena memang telah ditakdirkan oleh Allah Azza wa Jalla.

Kita bisa saja memiliki keinginan. Kita, bahkan telah dicekoki dengan anjuran untuk memiliki impian yang setinggi-tingginya. Kita, tentu harus mengikhtiarkannya. Sebab mimpi tanpa usaha tidak lebih dari bunga-bunga tidur yang tidak ada artinya. Kita harus meluruskan cara-cara yang kita pilih sebagai jalan terbaik untuk meraih apa yang kita inginkan. Namun, apakah setiap impian yang baik, yang juga pun telah diusahakan dengan baik, akan pasti memeroleh hasil yang baik? Tidak. Semuanya kembali lagi kepada kehendak Allah. Lalu, apakah dengan demikian segala usaha kita akan berarti sia-sia? Tidak juga. Sebab apa yang kita raih, memang tidak selalu dari apa yang kita usahakan. Layaknya Siti Hajar yang berlari-lari dari Shafa ke Marwa untuk mendapatkan air, ikhtiarnya berlari itu tidak mendatangkan hasil, air yang ia cari tak jua muncul pada lintasan tempat ia berlari. Namun, Allah memberikan karunianya justru dari hentakan kaki-kaki kecil bayi Ismail yang dari tanahnya muncul mata air. Maka kita berusaha, lalu tunggulah keajaiban atas kehendakNya. Kita tidak akan mati, sebelum menikmati semua jatah rezeki.

Maka atas apa yang Allah beri, sudah seharusnya kita ridha. Apa yang Allah beri adalah yang terbaik menurut ilmuNya, meski mungkin tidak menurut pendapat kita. Lalu apakah ridha atas takdirnya adalah akhir dari segalanya? Bukan. Ridha atas takdir justru adalah awal untuk sebuah ikhtiar yang baru. Saat kita kembali lagi memulai menjalani apa yang telah digariskanNya, dengan sebaik-baik cara.

Tidak ada yang salah dengan segala masalah dalam hidup. Seperti sedang mengikuti sebuah ujian, soal yang diberikan tidak pernah salah. Yang membuat runyam adalah jika jawaban kita yang tidak benar. Maka dalam hidup, yang salah bukanlah persoalan yang diujikan Allah kepada kita. Namun, yang harus kita perbaiki adalah cara kita dalam menyikapi persoalan tersebut. Ada dua kemungkinan di sana, kita dapat menghadapinya dengan cara yang benar. Atau justru dengan cara yang salah. Dan, keduanya adalah kemungkinan, yang kita menentukan pilihan atasnya.

“Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia. Dan jka Dia mendatangkan kebaikan padamu, maka Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan Dialah yang berkuasa atas hambaNya. Dan Dia Mahabijaksana, Maha Mengetahui.” (QS. Al An’am:17-18)

Jika kita memang hidup hanya mencari ridha Allah, maka setiap celaan hanyalah sebuah evaluasi, betapa masih lebih banyak aib kita yang Allah tutupi. Lalu setiap pujian justru harus membuat kita semakin sadar diri, betapa besar prasangka baik orang lain kepada kita, dan betapa keliru kita jika menyalahgunakannya.  Jika memang hidup kita hanya untuk mencari ridhaNya, kita tidak akan peduli pada harta, jabatan, kedudukan, pandangan manusia, yang semuanya tiada guna untuk kehidupan akhirat kelak. Kembalilah kepada Allah. Allah itu dekat, hanya saja kita yang sering menjauh.  Kembalilah kepada Allah, dan serahkan setiap urusan hanya kepadaNya saja.

Yaa hayyu yaa qayyum, bi rahmatika astaghitsu, ashlihlii sya’ni kullahu wa la takilnii ila nafsi thar fata ‘ain ~  Wahai yang Maha Hidup, Yang Maha Terjaga, hanya kepada rahmatmu aku memohon keselamatan, perbaikilah seluruh urusanku, janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri, walau hanya sekejap mata.

“Sakinah itu bukan pada suami. Bukan pada istri. Bukan pada keluarga. Sakinah itu ada dalam hati, yang selalu dekat kepada Allah. Seperti saat Abu Bakar membersamai Rasulullah di dalam gua, lalu mereka yakin, Allah selalu bersamanya. Sakinah itu sesederhana hilangnya haus, setelah meneguk air nan sejuk."

Makassar, 3 November 2013 / 29 Dzulhijjah 1434 H  
.: A note to my self:..

Kamis, 31 Oktober 2013

Romi dan Yuli: Aku di Sini, Kau di Seberang

*tulisan ini telah diikutsertakan dalam lomba review film antidiskriminasi Denny JA dan Hanung Bramantyo*


Ketika cinta memanggilmu, maka dekatilah ia walau jalannya terjal berliku. Ketika cinta memelukmu, maka dekapilah ia walau pedang di sela-sela sayapnya melukaimu. “Romi dan Yuli” pertama kali dipertemukan lewat puisi Kahlil Gibran tersebut. Dalam sebuah kesempatan pergelaran seni di halaman kampus mereka, Juleha, gadis cantik berjilbab asli Betawi itu membacakan puisi Kahlil Girbran. Bagian akhir puisi yang ia lupa liriknya ternyata disempurnakan oleh Rokhmat. Sejak saat itu, keduanya selalu bersama, berjumpa dimana saja, dan saling berbincang tentang apa saja. Awalnya, segalanya berjalan dengan begitu lancar. Hingga akhirnya kedua keluarga mereka saling bertemu untuk menentukan tanggal pernikahan. Namun, apakah cerita ini sesederhana itu? Nyatanya tidak.

Juleha adalah seorang anak dari kyai pimpinan sebuah pondok pesantren dengan jama’ah yang begitu loyal. Sedangkan Rokhmat sebenarnya hanyalah seorang mahasiswa biasa yang menjalani hari-harinya secara biasa pula. Sesekali ia berdiskusi tentang banyak hal dengan kawan-kawannya. Dari diskusi itu, terlihat betapa Rokhmat adalah sosok yang begitu menjunjung tinggi toleransi, termasuk antarumat beragama. Keduanya memadu kasih tanpa ada halangan yang berarti. Hingga kemudian hari itu tiba, 6 Februari 2011. Hari dimana televisi menyiarkan kabar tentang sebuah peristiwa di Cikeusik, kampung halaman Rakhmat. Tayangan itu tentang Jama’ah Ahmadiyah yang diserang oleh sekelompok massa yang menolak keberadaan mereka. Fakta itu membuat Rokhmat secara tidak sengaja menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya. Jati diri yang disembunyikannya, atau dianggapnya tidak begitu penting untuk disampaikan kepada kekasihnya. Rokhmat, ternyata adalah seorang ahmadi.

Kenyataan itu membuat keduanya pecah kongsi. Juleha tidak bisa menerima Rokhmat begitu saja. Tentu ini berkaitan erat dengan kedudukan ayahnya yang dikalangan jama’ah terkenal begitu menentang paham Ahmadiyah. Dalam pemahaman sang ayah, Ahmadiyah adalah golongan sesat yang keluar dari Islam. Akidahnya menyimpang.  Sebuah harga mati yang tidak bisa lagi ditawar. Maka membiarkan putrinya menikah dengan seorang ahmadi, tentu tidak masuk di akal.

Rokhmat menentang keras penolakan tersebut. Baginya, tidak ada yang salah dengan apa yang selama ini ia jalankan sebagai seorang Ahmadi, ia juga shalat, puasa, zakat, mengaji Al Qur’an, dan mengakui Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai nabi terakhir. Baginya, tiada beda antara ia dan Juleha. Nah, jika memang Rokhmat benar, maka logika pendeknya; Rokhmat sebenarnya bukanlah Ahmadi. Atau kemungkinan lainnya, Rokhmat tidak termasuk Ahmadi tulen. Ia ‘masuk’ dalam golongan itu hanya karena tumbuh dan besar dalam lingkungan Ahmadiyah saja.

Film ini menayangkan berita tentang aksi vandalis yang terjadi dimana-mana berkaitan dengan kontroversi Ahmadiyah. Pembantaian. Pengrusakan. Bahkan pembakaran masjid milik jama’ah Ahmadiyah menjadi seolah dibenarkan oleh oknum yang sedang berupaya menjaga kesucian agamanya. Sayangnya, bahkan meski mereka tengah meneriakkan takbir kebenaran, namun tidak semua pihak melihatnya sebagai sebuah keindahan. Berbagai respon pun bermunculan. Bukan hanya dari pengikut Ahmadiyah, termasuk ayah Rokhmat yang kini mempertanyakan keislaman dari orang-orang yang membantai mereka. Tapi juga dari Juleha, seorang gadis yang sedang dimabuk cinta dengan pemuda yang ternyata berseberangan dengan dia. Dengan keluarganya.

Juleha kemudian berusaha mengunjungi berbagai perpustakaan, membaca sebanyak mungkin buku, menemui para ustadz, demi menemukan kebenaran –atau mungkin pula hanya untuk sekadar mencari pembenaran? Dari penelusurannya itu, nyatanya Juleha semakin menemukan bahwa ia tidak bisa menutup mata pada sejarah dan fakta tentang Ahmadiyah. Namun di lain pihak, ia juga meyakini bahwa segalanya tidak bisa dipaksakan. Termasuk masalah keyakinan.

Film garapan Hanung Bramantyo ini menampilkan dengan nyata bagaimana kegundahan seorang Juleha yang diperankan dengan apik oleh Zaskia Adya Mecca dalam menghadapi kenyataan hidupnya. Sebuah kegalauan yang sebenarnya tidak perlu dialami oleh seorang putri kyai yang seharusnya memahami betul prinsip-prinsip mendasar tentang agamanya, kecuali tentu jika masalah cinta dan perasaan turut berperan dalam hal ini. Tiap malam, Juleha bermunajat agar diberikan jalan keluar. Sementara Ben Kasyafani yang memerankan tokoh Rokhmat pun tidak usai bersujud untuk menemukan solusi atas cintanya. Pembacaan narasi sepanjang film oleh Agus Kuncoro begitu mendukung suasana gundah nan galau yang dirasakan oleh pasangan ini.

Hingga akhirnya pada sebuah kesempatan, Juleha terus berdoa sejak sepertiga malam terakhir hingga subuh tiba. Paginya, ibunya mendapati Juleha tertidur di atas sajadah. Bukan tidur biasa. Ini berkaitan dengan penyakit yang ia derita. Penyakit yang tidak bisa diterima oleh lelaki lain, selain pujaan hatinya, Rokhmat. Setelah itu, Juleha tidak pernah benar-benar sadar. Lewat bibirnya yang pucat ia hanya terus-terusan mengigau agar ayahnya bersedia merestui mereka. Maka gundalah kedua orang tua gadis ini.  Apakah sang kyai akan berubah pikiran demi menuruti keinginan anaknya? Mampukah ia meneladani kisah Nabi Ibrahim yang yang lebih memilih perintah Tuhan, ketimbang menolak menyembelih sang putra tercinta Ismail dalam ritus kurban? Ataukah kisah ini akan menjadi sepedih Romi dan Yuli yang sebenarnya?

Film yang terinspirasi dari esai puisi karya Denny J.A ini mengangkat sebuah tema kontroversial seputar keberadaan Ahmadiyah di Indonesia. Issu ini cukup menyita perhatian publik dan mendapatkan banyak tanggapan dari berbagai pihak. Baik pihak yang benar-benar memahami pokok permasalahannya, maupun yang sebenarnya tidak benar-benar paham dan hanya memandang perkara ini dari satu sisi saja.

Ahmadiyah sendiri adalah sebuah gerakan yang dipimpin oleh Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1900 M. Di depan pengikutinya, lelaki yang lahir di India pada 1839 ini mengaku sebagai nabi, sebelum awalnya menganggap dirinya sebagai mujaddid (pembaharu). Pemahaman ini bermula dari gerakan orientalis bawah tanah oleh Sayyid Ahmad Khan yang membuka jalan munculnya Ahmadiyah. Beberapa poin keyakinan yang menyimpang bahkan hingga menyerempet akidah, membuat jama’ah ini oleh Rabithah Alam Islami di Mekkah pada April 1974 dihukumi telah kufur, keluar dari Islam. Kelompok ini didukung oleh pemerintah Inggris pada masa itu, sebab mereka meyakini wajibnya ketaatan pada Ingrris yang kala itu melakukan penjajahan. Paham ini menyebar ke berbagai negara di dunia hingga saat ini, termasuk di Indonesia.

Kelompok ini telah eksis di Indonesia sejak 1928. Pada tahun 2005, berdasarkan Musyawarah Nasional VII, MUI mengeluarkan fatwa sesat pada Jama’ah Ahmadiyah. Penganutnya tidak diakui sebagai bagian dari kaum muslimin. Mereka yang mengaku muslim, harus mengulang syahadat sekali lagi. Masalahnya, meski tetap pada keyakinan mereka, para pengikut Ahmadiyah juga ogah disebut bukan bagian dari Islam. Hal inilah yang menjadi pokok masalah sebenarnya, Ahmadiyah dianggap melecehkan ajaran Islam yang murni. Sikap keukeuh dari Ahmadiyah ini, ditambah lambannya respon pemerintah untuk melakukan penertiban dengan cara-cara yang elegan, akhirnya memicu keresahan di tengah masyarakat. Mereka, bukannya tidak menerima adanya kepercayaan lain. Namun, mereka terusik pada ajaran agama Islam yang disimpangkan oleh sekelompok orang yang tetap ingin disebut muslim. Ini masalah akidah. Dan dalam hal tersebut, segalanya menjadi hitam putih.

Sayangnya, film ini tidak menjawab tuntas mengapa tidak ada titik temu antara pengakuan dari Rokhmat tentang sosok Ahmadiyah yang ia yakini atau (mungkin) yang sebatas ia jalani, dengan apa yang dipaparkan oleh para ustadz dan ayah Juleha. Penjelasan ini menjadi penting karena hal inilah yang akan membuat penonton menjadi dapat memilih sikap apa yang terbaik dalam menanggapi permasalahan tersebut. Diperlukan objektivitas dalam menampilkan fakta-fakta yang menunjang latar belakang film ini. Namun film ini justru  melulu menghadirkan gambaran kekerasan dan pembantaian yang tidak menampilkan penjelasan lebih mendalam perihal apa duduk permasalahan yang sebenarnya, yakni masalah penistaan agama. Dan, seharusnya tidak hanya terus menerus meletakkan pihak Ahmadiyah seolah-olah sebagai ‘korban’ belaka, sehingga jangan sampai justru yang sedang didiskriminasi sebenarnya adalah pihak yang berseberangan dengan Ahmadiyah –yang notabene tengah dinistakan agamanya. Terlebih lagi dengan penyebutan fatwa MUI sebagai ‘sumber kekerasan’, yang nampaknya justru kurang menunjukkan toleransi yang seharusnya diusung. Meski tentu tanpa melupakan fakta, bahwa atas alasan apapun, segala bentuk kekerasan tidak dibenarkan di negeri nan damai ini. Sebab sebenarnya, selalu ada cara-cara yang hikmah jika kita tidak bersikap terburu-buru untuk membereskan sebuah persoalan. Kesalahan dalam bersikap hanya membuat sebuah kebenaran lebih mudah untuk dijungkirbalikkan.

Ada yang menarik dari film yang ditayangkan dengan alur flashback ini. Pada menit ke 10:42, Agus Kuncoro menyampaikan sebuah narasi yang menarik saat ditampilkan acara lamaran Rokhmat dan Juleha. Diiringi backsound yang selalu mendukung suasana yang dibangun dalam tiap menit pada film ini, narator berucap; “Semua sepakat, tanpa bicara agama.”. Pemilihan kata ‘agama’ dan bukan ‘pemahaman’, ‘kelompok’, atau ‘keyakinan’, dalam narasi ini justru menunujukkan bahwa perbedaan antara Rokhmat dan Juleha memang bukan ‘hanya’ perihal ketiga hal di tersebut, tapi justru perbedaan dalam hal (pokok) keagamaan. Tentu ini bukanlah perbedaan yang disifatkan sebagai rahmat. Bahkan statement bahwa ‘Perbedaan adalah rahmat’ pun nyatanya harus ditinjau ulang jika ingin dijadikan dasar dalam keyakinan, sebab posisinya adalah sebagai sebuah hadits yang tidak jelas sanad (jalur periwayatan) dan matan (isi hadits)-nya. Bahkan, ia bertentangan dengan salah satu ayat Al Qur’an: “Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang yang dirahmati Rabbmu.” (QS. Hud: 118-119).

Film berdurasi 41 menit ini akhirnya menggambarkan kepada kita betapa pentingnya pemahaman akan sebuah persoalan. Terlebih dalam hal memeluk sebuah keyakinan, termasuk dalam menyikapi perbedaan yang akan selalu kita temui dalam masyarakat yang majemuk. Sebab, saat segala sesuatu tidak didasari atas ilmu, maka kita tidak akan melihat apa-apa, kecuali kegelapan. Kita berkemungkinan tidak bisa menciptakan apa-apa, selain perpecahan.