Selasa, 31 Oktober 2017

Usia Kehilangan

Penghujung Oktober setahun yang lalu.

Pagi masih cukup muda saat kami merasa tengah berkejaran dengan waktu. Membelah jalanan setelah sebelumnya menitipkan Fayyadh di rumah mertua, lalu segera bergegas menuju rumah sakit.

Pagi itu, saya harus segera tiba di.rumah sakit dan membuat keputusan tentang kelanjutan penanganan Bapak yang sedang terbaring di ICU. Setibanya di sana, ternyata kami tidak bisa langsung menemui dokter. Maka saya dan suami beserta seorang tante yang sejak semalam bermalam di pelataran ICU, kembali terduduk di tempat tersebut. Menunggu.

Tak lama, seorang perempuan muda mendekati karpet tempat kami duduk dan menanyakan perihal kondisi kesehatan Bapak. Ia memperkenalkan diri sebagai kerabat yang mengenal Bapak dengan sangat baik. Sembari berbincang, saya mendapati matanya menatap berkeliling di area rumah sakit. Ada selapis bening yang mulai nampak di sana. Ia segera menyekanya dengan ujung jemarinya kemudian berkata dengan suara yang sedikit bergetar.
''Bapak saya dulu di rawat di sini juga. Dan Bapak saya meninggal di rumah sakit ini lima tahun lalu. Makanya tiap ke sini, saya selalu teringat kembali...'' ujarnya.

Lima tahun lalu. Ya, dia bilang kejadian itu sudah berlalu lima tahun yang lalu.

Lima tahun bukan masa yang singkat. Tapi ternyata masih cukup pendek untuk membuat seseorang tetap mengingat rasa kehilangan yang pernah ia rasakan. Mungkin, dengan getar pedih yang masih sama, hingga ia harus berusaha menyembunyikan air matanya.

Yang tidak saya tahu pada saat itu, adalah bahwa saya akan punya kenangan tentang kehilangan di tempat yang sama. Sebab pada pergantian hari memasuki November tahun yang lalu, saya pun kehilangan Bapak. Untuk selama-lamanya.

Waktu pun berlalu. Beberapa tempo setelah Bapak saya meninggal, saya kembali mendengar kabar perihal seseorang yang juga berpulang. Ia adalah sahabat karib Bapak, sudah seperti saudara. Saya pun mengenal putri sulung beliau dan menganggapnya sebagai seorang senior yg saya hormati.

Ibu meminta saya dan suami bertakziyah ke rumah beliau pagi itu. Kami pun segera menuju ke sana. Tiba di rumah duka dan mendapati semburat kesedihan yang menyelimuti tempat itu. Saya maju mendekati tempat si mayit dibaringkan dengan wajah tertutup. Istrinya duduk di sampingnya dengan kedukaan yang amat kentara. Saya mendekati beliau dan menyebutkan nama saya sebab ia tidak mengenali wajah saya yang tertutup cadar.

Dalam pada itu, ia langsung menghaburkan diri memeluk saya sambil menangis. Kesedihan mengalir pada setiap tetes air mata dan kata-katanya.

''Sekarang Om sudah sama dengan Bapak kamu, Nak...'' ucapnya di antara isak.

Sesungguhnya rasa sedih itu sudah saya rasakan sejak tadi. Getarannya pun masih sama. Persis terbayang rasanya ketika saya kehilangan Bapak saya sendiri. Persis rasanya ketika satu persatu pelayat datang untuk mengucapkan belasungkawa. Persis seperti saat saya menyaksikan jenazah Bapak di hadapan saya yang telah tertutup dengan kain panjang. Ingatan yang terbawa pada setiap detik-detik terakhir kebersamaan dengan Bapak di rumah sakit itu. Juga ingatan tentang banyak hal yang terjadi sebelum-sebelumnya.

Dan nyatanya, setiap mengingat itu semua, rasa pedih atas kehilangan itu masih saja sama. Hanya mungkin, ketahanan untuk tidak mengekspresikannya dengan nyata yang kini berbeda.

Saya tidak pernah tahu, berapa lama waktu yang saya butuhkan untuk meringankan sedikit perihnya. Dan ini bukan masalah ikhlas atau tidak ikhlas atas kepergian orang yang kita cintai. Hanya saja, memang setiap perpisahan selalu menyisakan lukanya sendiri. Kerinduan atas kebersamaan yang pernah ada, membuat tiap kenangan yang telah berlalu itu menjadi sedemikian suram. 

Faktanya adalah, saya harus tetap melanjutkan hidup, meski tanpa Bapak. Setelah sebelumnya, Bapak telah membersamai banyak momentum-momentum penting dalam kehidupan saya. Maka saya kerap kali bertanya-tanya; ketika melihat tumbuh kembang anak saya, bagaimana kira-kira ekspresi Bapak saat melihat cucunya sudah bisa berjalan? Saat melihat Fayyadh berceloteh dengan cerewet? Apakah Bapak akan senang menggendong cucunya sebagaimana ia dulu suka menggendong anak-anaknya? Mungkin Fayyadh akan gemar memainkan janggut Bapak yang kelabu saat ia digendong oleh kakeknya.. Apa yang akan Bapak katakan saat tahu saya hamil anak kedua? Bagaimana raut wajahnya ketika mendengar bahwa cucu keduanya telah lahir, bujang lagi! Dan berbagai macam pikiran yang berkelindan dalam otak saya, berandai-andai, jika saja Bapak masih di sini...

Dan sekali lagi, tentang usia kehilangan itu, saya tidak pernah tahu. Yang jelas, kebersamaan di dunia ini memang tak ada yang abadi. Akan tiba masa di mana kita akan merasai perpisahan dan mengecap kehilangan.

Dan akhirat itulah yang abadi. Kebersamaan selama-lamanya yang tidak ada lagi episode lain setelahnya. Maka hanya di sana jua seharusnya kita berharap dapat kembali berjumpa. Kepada mereka yang telah tiada, masih ada waktu untuk kita langitkan doa, semoga dengannya Allah memberikan rahmat dan memasukkannya ke surga. Dan kita yang masih hidup di dunia, setiap hela nafas adalah kesempatan untuk berbuat baik lagi, untuk bertaubat kembali, hingga kita pun pergi meninggalkan dunia. Dan berharap, di tempat yang terbaik kelak kita dikumpulkan. Di sana, di surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya.

Makassar, 1 November 2017
Setahun setelah kepergian Bapak.