Senin, 29 Juni 2020

Kabar atas Cinta

Jika ada satu hal yang saya pelajari dari safar-safar Bapak -rahimahullah, maka itu adalah tentang betapa telatennya Bapak mengabari Mamak dengan detail tentang hal-hal yang ia lalui dalam setiap perjalanannya. 

Saat perjalanan itu hanya antar daerah, maka setiap memasuki daerah baru, kami pasti akan mendapati kabar dari Bapak lewat pesan singkat, atau bahkan sambungan telepon. Apalagi saat safarnya menghajatkan perjalanan udara, maka siap-siaplah mendengar 'laporan'; sudah tiba di bandara, sudah di ruang tunggu, bersiap-siap boarding, alhamdulilah sampai bandara tujuan, dan seterusnya... 

Jika saya sedang dalam posisi menemani perjalanannya (tentu saja untuk membantu membawakan ransel, atau memijat betis, membantu packing, mengingatkan minum obat, dan memastikan bahwa oleh-oleh untuk semua orang rumah sudah aman), maka tidak jarang Bapak akan memberikan instruksi-instruksi semisal; "Kabari Mamakmu, kita sudah sampai di penginapan!". Dan jika saya dalam posisi bersama Mamak di rumah, maka saya pun bersiap mendengarkan berita-berita yang diterima Mamak dari Bapak yang tengah menjadi musafir. 

Perempuan, terutama ketika ia telah menjadi seorang istri maupun ibu, adalah sosok yang tak akan pernah lepas dari doa-doa untuk suami dan anak-anaknya, baik di kala dekat, maupun di kala jauh. Dan saya yakin, Bapak memahami konsep itu dengan sangat baik. Maka konsistensi beliau berkabar kepada sang istri saat mereka sedang tak bersama, saya pahami bukanlah atas keinginannya untuk didoakan keselamatannya dalam perjalanan -sebab Mamak pasti akan selalu melakukan itu. Maka satu-satunya alasan atas sikap itu saya tangkap semata-mata untuk memberikan rasa aman di hati Mamak, bahwa ia senantiasa baik-baik saja. Untuk melayangkan kabar yang sekilas nampak sepele saja, namun adalah cinta yang tersimpan di dalamnya. 

Dalam ketidakhadiran jasad saat kondisi mengharuskannya melaksanakan tugas di tempat-tempat yang jauh, nyatanya kami semua masih selalu bisa merasakan keberadaan Bapak yang akan mampu kami ketahui aktivitasnya di tempat lain, melalui kabar-kabar cinta itu. Kabar yang datang tanpa harus kami bertanya, sebab terkadang ada rasa khawatir jika pertanyaan itu akan mengganggu aktivitasnya. Maka tak heran, saat Bapak telah pergi untuk selamanya  -menyelesaikan tugasnya sebagai musafir di dunia, suatu waktu Mamak pernah berkata; ah, rasanya seolah-olah Bapakmu hanya sedang pergi keluar daerah saja, hanya sedang lupa memberi kabar seperti biasanya... 

Betapa penting untuk meletakkan ketenangan di hati orang-orang tersayang, bahkan dengan sesederhananya cara. Sebab kita tak pernah tahu, saat perpisahan datang, pelajaran apa yang masih selalu bisa kita kenang. 

30 Juni 2020
Sebab menulis tetangmu, adalah caraku menenangkan rindu

Senin, 22 Juni 2020

Lintasan Malam

"Apa sih susahnya taat pada suami jika sudah tahu bahwa itu akan berbuah surga?" 

"Apa sih beratnya menahan diri untuk membentak anak jika memang paham bahwa itu hanya akan merusak sel-sel otak mereka?"

"Kenapa sih harus minder jadi ibu rumah tangga padahal itu pekerjaan yang sangat mulia?"

"Kenapa harus insecure dengan pencapaian orang lain kalau memang yakin bahwa yang dijalani saat ini adalah yang terbaik?"

Sederet pertanyaan itu muncul dalam diri saya, bertahun-tahun yang lalu, saat masih berstatus singel, dan sudah hobi membaca dan mengoleksi buku tentang rumah tangga dan parenting. Hal-hal ideal berkelindan di kepala plus dengan rasa jumawa bahwa semua itu nanti akan terlewati dengan mulus-mulus saja; toh, saya sudah punya ilmunya! 

Tapi begitulah, jika ilmu di kepala belum dihadapkan dengan ujiannya. Dan ternyata, semua hal yang dahulu saya pertanyakan itu benar-benar hadir dalam bentuk nyata; ujian praktek yang menuntut jawaban segera, tidak boleh nyontek, dan bukan dijawab dengan kata-kata belaka. Saya, yang merasa punya kepribadian yang tenang dalam menghadapi sesuatu, nyatanya mendapati diri lebih sering menjadi 'naga' daripada menjelma 'ibu peri' dalam perjalanan berumah tangga. Huuft....

Maka benarlah, bahwa sejatinya ilmu adalah saat kehadirannya membuat kita semakin takut kepada Allah. Rasa khauf yang membawa kita pada keinsyafan untuk senantiasa membawa setiap perjalanan hidup pada arah yang diridhainya. Dan menjalani rumah tangga sebagai bentuk peribadatan terpanjang dan terlama, nyatanya memang menghajatkan napas kesabaran yang panjang. 

Seorang kakak bernasihat di awal pernikahan saya, bahwa menikah berarti berusaha untuk mengalahkan bisikan setan yang hadir di antara satu waktu shalat dengan waktu shalat lainnya; sepanjang waktu! Dan benarlah, percaya tidak percaya, terkadang saya benar-benar merasa mampu mendengar secara lugas saat bisikan-bisikan itu terasa begitu nyata di telinga. 

Bisikan untuk mengucapkan kata-kata yang mungkin tidak akan sampai membuat suami marah, tapi sudah pasti akan saya sesali mengapa harus saya utarakan pada ia yang kini ridhanya adalah surga. 

Bisikan untuk melakukan hal-hal yang bakal membuat kenangan yang buruk dalam ingatan anak-anak saya meski barangkali setelah itu mereka akan kembali memeluk dan mengajak saya bermain bersama, namun saat setelahnya memandang wajah mereka terlelap, yang tersisa hanyalah penyesalan atas setiap ketidaksabaran menghadapi mereka. 
.
.
Dan yang lebih menyedihkan dari itu adalah, saat kemudian mendapati diri, bahwa sejatinya itu semua bukan lagi bersumber dari bisikan si musuh utama, namun ternyata hadir sebab hasutan dari nafsu diri sendiri, yang masih perlu terus berlatih agar terkendali. 
.
.
Pernikahan adalah jalan yang panjang, bersama orang-orang terkasih yang akan menjadi saksi diri kita yang seutuhnya. Keluargalah itu yang bisa memberikan validasi paling konkret atas diri kita. Yang bukan hanya melihat kita pada satu sudut peristiwa saja, hanya satu rangkaian acara saja, hanya sekelumit muamalah saja, hanya sepetik kejadian saja. Mereka telah dan akan mendapati kita pada sisi-sisi terbaik, sekaligus juga mungkin pada sisi kita yang paling rapuh. Kebersamaan dengan mereka tidak akan selamanya, akan ada masa di mana perpisahan akan ditakdirkan dengan cara yang Allah gariskan. Di titik di mana jalan hidup kita tidak lagi bersinggungan itu, mudah-mudahan bukanlah menjadi masa di mana kita baru menyesali, segala tingkah laku yang ternyata masih bisa diperbaiki. 

#notetomyself
23062020

Senin, 11 Mei 2020

POST POWER SYNDROME (?)

*tulisan lawas, empat tahun lalu yang saya angkut dari status FB untuk di-'abadikan' di sini. Masa-masa awal jadi ibu. Fayyadh masih bayi. Kami, ibu baru dan bayi mungil yang kala itu sedang berjuang untuk beradaptasi dengan dunia baru masing-masing. FYI, hingga sekarang, empat tahun sejak tulisan itu saya buat, saya masih berada di kondisi yang sama. Masih ibu rumah tangga yang benar-benar hanya tinggal di rumah, tanpa punya jadwal rutin apapun di luar rumah. Bedanya, anggota kami sudah bertambah satu orang (welcome, Fawwaz 😁), dan perasaan seperti ini terkadang masih seringkali datang menghampiri. Iya, rasa jenuh itu masih datang sesekali, bahkan kadang masih sampai mampu membuat saya menangis diam-diam. Tapi.... Yang penting kan bisa bangkit lagi ya. Temukan support system yang tepat untuk membantu meraih tangan kita agar tak terpuruk terlalu dalam dan terlalu lama. Pertama, akui dulu rasa yang ada. Dengan diri sendiri, tak usah tutupi apa-apa. Jika jenuh, akui jenuh itu. Jika lelah, akui lelah itu. Tapi sadar, bahwa jika takdir itu ditetapkanNya, maka insyaallah kita bisa melaluinya. Alhamdulillah... Dear Diena, terima kasih sudah melewati itu semua yaa... 
.
.
.
POST POWER SYNDROME (?)

'Jenuh sekali rasanya. Setiap hari hanya berputar pada rutinitas itu-itu saja.' 

Sebaris pesan itu saya kirimkan pada suami yang sedang di luar rumah sore itu. Tanpa tedeng aling-aling, saya mengirimkan mesej galau itu yang segera dia balas dengan tawaran refreshing. Namun saya tidak membalasnya balik. Hanya mendengus berat lalu segera menuju kamar mandi dengan tampang semrawut. Hari itu rasanya lelah sekali. Seharian bayi saya rewel dan terus menerus minta digendong. Sembari saya mendampingi ibu di kamarnya dan membantunya untuk hal-hal yang tidak bisa dikerjakannya sendiri. Hari itu rasanya lelah sekali, namun saya tahu, bukan hanya raga ini yang lelah. Tapi jiwa saya yang sedang berada di limit tenaganya. 

Sejak beberapa waktu sebelumnya saya sudah merasakannya, namun kali itu saya tidak lagi bisa menahan diri untuk tidak mengungkapkannya. 

''Rasanya malas sekali... besok bangun di pagi hari dan tanpa tujuan hidup apa-apa... '' ujar saya sambil berbaring. Suami yang sebelumnya tengah menekuni sesuatu di layar ponsel, segera meletakkan benda itu dan memanggil saya untuk mendekat padanya. Sepertinya ia menangkap alarm yang tengah berbunyi lewat kata-kata dan ekspresi saya yang mengucapkannya dengan mata menerawang. 

Dalam pada itu, saya tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak menangis. Saya hanya menangis sesunggukan tanpa mengatakan apapun. Suami pun memilih untuk menunggu dan tidak menanyakan apapun. Rasanya dada saya sesak sekali. Rasanya hidup ini sempit dan sendu sekali. Saat tangis saya mereda, baru suami saya memberikan nasihat agar saya tidak membandingkan hidup saya dengan orang lain. Bahwa apa yang saya jalani kini adalah yang terbaik, bahkan mengumpulkan ladang -ladang pahala besar melebihi siapapun di rumah kami; sebagai anak, sebagai istri, dan sebagai ibu. 

Di akhir malam itu, saya terbangun dan kembali menangis seorang diri dalam kegelapan malam. Kali ini menangisi kelemahan saya sendiri. Saya menatap wajah polos bayi saya yang tengah tertidur pulas. Membelai kepalanya dan sadar bahwa setiap anak berhak dibesarkan oleh seorang ibu yang waras. Maka kegalauan ini harus segera saya selesaikan. 

Sebelumnya, saya sering menatap keluar jendela, memandangi siang hari sambil mengingat kembali bahwa di tahun-tahun  sebelumnya saya sedang berada di kampus untuk menyelesaikan banyak hal. Bahwa dulu, di siang seperti itu saya tengah berada di majelis musyawarah dan membincangkan program kerja dengan serius. Di siang seperti itu, saya kadang sedang dalam perjalanan setelah seabrek kegiatan yang melelahkan. Namun kini saya mendapati diri sebagai seorang perempuan pengangguran dengan dua gelar di belakang nama namun hanya tinggal di rumah sambil jualan popok kain.

 Saya kemudian mengasihani diri sendiri. Membandingkan kegembiraan orang lain dengan kesedihan saya. Sebuah perbandingan yang sungguh tidak nyambung. 

Saya tidak ikhlas. Ya, akarnya mungkin berada di sana. Saya belum benar-benar ikhlas untuk menjalani apa yang Allah takdirkan pada diri saya sekarang. Dampaknya, saya menutup mata dari berbagai keutamaan yang sebenarnya tengah terbuka lebar di hadapan saya. Keutamaan untuk meraih pintu surga yang paling tengah itu, untuk meraih ridha suami hingga menjadi sebab turunnya rahmat Allah hingga memasukkan ke jannah, untuk mendidik generasi yang kelak membangun peradaban dan menjadi anak shalih yang terus mendoakan. Saya menutup mata dari semua itu dan sibuk pada hal-hal duniawi yang kini tak bisa saya raih. Saya mengharapkan eksistensi dan aktualisasi diri, ingin berada di bawah sorotan lampu dan tatapan mata yang mengagumi. Saya menjadi picik, dan nyatanya itu yang paling menyedihkan dari semuanya. 

Saya bersyukur dapat melewati masa itu dan berharap tidak perlu mengulanginya lagi. Saya ingin menghijaukan rumput di halaman rumah saya sendiri tanpa harus sibuk memandangi rumput orang lain dengan tatapan iri. Kehidupan ini akan kembali indah sebagaimana adanya selama saya masih mau berusaha bersyukur dan bersabar di dalamnya. Dan kini saya mendapati, betapa beruntungnya saya jika bisa terus sadar dan bertaubat dari kekeliruan pikir saya yang dulu itu. Kehidupan ini akan indah sebagaimana adanya, selama saya menjalani dengan ikhlas. Karena Allah saja. 

A morning note for myself. Keep fight till the end, Dien! 
26 Agustus 2016

Rabu, 22 April 2020

Pengeluaran Kita, Pendapatan Mereka

Beberapa orang mungkin merasa heran, mengapa kami memilih untuk tetap memakai jasa catering rantangan di masa pandemi ini. Apa tidak takut ada corona yang nyempil di makanannya? Kenapa sih tidak masak sendiri saja biar lebih tenang dan higienis? Kalau pas pengantaran rantang trus ternyata ada virus yang ikut masuk gimana? Dan sederet pertanyaan lainnya...

Pertama, kami insyaallah percaya dengan kebersihan makanan yang dibuat sama pihak catering yang sudah kami pakai jauh sebelum masa pandemi ini. Kedua, saat menerima dan membuka rantang, insyaallah kami punya prosedur untuk memastikan makanan itu tetap layak dikonsumsi dan insyaallah bebas corona. Jika masih khawatir, makanannya bisa dihangatkan dulu, sebab Mr.Coro konon bisa tewas cukup dengan pemanasan 60 dercel saja. Dan yang paling penting, kami meniatkan agar pengeluaran yang kami gunakan untuk jasa rantangan itu, bisa menjadi pemasukan yang berkah buat pihak catering, di masa yang sulit ini. 

Untuk alasan yang terakhir itu, sungguh terkadang saya jadi mellow sendiri. Buat kita yang tetap dapat menikmati gaji bulanan meski harus bekerja di rumah saja, pandemi ini mungkin tidak akan terlalu terasa. Tapi, ada orang-orang yang bagi mereka, tinggal di rumah saja adalah sesuatu yang mewah, yang nyaris tidak mungkin mereka lakukan. Sebab ada anak istri yang harus tetap disuapi mulutnya dengan rejeki yang harus mereka jemput setiap harinya di luar rumah. Yang saldo uang di dompetnya harus disambung dari satu hari ke hari lain dengan bulir keringat dan banting tulang. Itupun kadang masih kurang. 

Di masa yang sulit ini, ada isak tangis tertahan dari para pekerja yang terdampak dengan PHK. Ada suara perut yang keroncongan karena harus menahan lapar sebelum berangkat kerja, dan segera kembali ke rumah begitu dapat uang yang cukup buat beli sebungkus nasi yang dilahap satu keluarga. Duh ya Rabb... Betapa kufurnya kami atas segala nikmat kenyamanan dan perut yang kenyang setiap hari...

Ada satu keluarga, yang sejak masa Corona ini, memilih hanya memasak nasi saja di rumah. Selebihnya, pendapatan mereka yang lebih dari cukup itu mereka gunakan untuk memesan makanan jadi lewat jasa ojol. Begitu setiap hari. Demi apa? Demi tetap menghidupkan usaha jasa penyedia makanan, juga para ojol yang harus tetap beroperasi. 

Barangkali, sekarang ini mulai makin marak orang-orang yang mencoba peruntungan dalam usaha jual beli, apalagi yang mengandalkan jasa online. Mengenai aktivitas dagang berdagang, sesungguhnya saya selalu salut dengan para pedagang yang so pasti punya mental tahan banting. Yang menurut saya profesinya punya dosis tawakkal tingkat tinggi. Saya yang lahir dan besar di tengah keluarga dengan bakat dagang nol besar, selalu kagum dengan mereka yang bisa tetap istiqamah dengan ikhtiar yang satu itu. Ada yang sekadar menyalurkan hobi, dan ada pula yang memang menjadikannya jalan menjemput rejeki. Maka menghidupkan kebiasaan membeli dagangan saudara sendiri, tentu adalah satu jalan untuk membantu mereka mengumpulkan profit, di saat ekonomi sedang melemah saat ini. 

Dan geliat usaha berbasis online, tentu tidak lepas dari jasa para kurir dan abang ojek. Tentang para pejuang di lini ojek online itu, sesungguhnya saya sudah selalu kagum bahkan sejak dahulu. Bagaimana tiap hari mereka berjibaku di jalanan kota. Merasai terik atau kehujanan demi mengumpul rupiah. Mereka mengantri berbagai jenis makanan yang mungkin tidak akan pernah mereka cicipi sendiri. Jasa mereka sungguh luar biasa untuk orang-orang yang mungkin cukup sibuk untuk melakukan hal-hal yang bisa dibantu oleh para ojol. Di masa sekarang ini, pendapatan mereka tentu bakal menurun. Membagi sedikit harta yang kita punya, setiap kita meminta tolong atas jasa mereka, tentu akan sangat berarti untuk bang ojol dan keluarga mereka di rumah. Bagi kita sepuluh atau dua puluh ribu itu mungkin hanya tentang sekali jajan cemilan kesukaan. Tapi buat mereka, mungkin itu akan sangat berarti dan semoga penuh dengan keberkahan. 

Di tengah kepastian atas ketidakpastian yang kita alami sekarang, kita memang perlu lebih menajamkan empati. Berada dalam 'mode bertahan' memang penting, sebab kita tak tahu sampai kapan pandemi ini akan berlangsung. Menahan diri dari hal-hal tidak manfaat, memang dianjurkan agar kita tak besar pasak daripada tiang. 

Tapi tetap ingat, pengeluaran kita, adalah pemasukan bagi pihak lain yang juga membutuhkan. Beberapa orang memilih untuk menahan lapar daripada meminta. Beberapa orang memilih untuk tetap berusaha semampunya meski sambil gemetar sebab belum makan. Orang-orang ini menahan lisan dari meminta-minta sebab ingin menjaga kehormatan dirinya. Maka harusnya kita yang lebih bisa menangkap sinyal untuk meringankan beban mereka. Agar kita bukan hanya menghadapi pandemi yang sama, tapi benar-benar menghadapinya bersama-sama. 

Tetap sehat-sehat semua!

#dirumahaja, 22 April 2020

Kamis, 09 April 2020

Sirene dan Ingatan tentang Kehilangan

Rumah saya yang terletak tak jauh dari jalanan besar membuat kami kerap kali dapat mendengar suara-suara dari jalanan, jika suara-suara itu cukup keras. Jenis suara yang kadang sampai kepada penghuni rumah kami adalah suara sirene kendaraan, baik dari mobil polisi, atau dari mobil ambulans.  Suara jenis kedua belakangan ini terdengar lebih sering.

Konon, sebuah lokasi pemakaman yang jika ingin dituju, harus melewati jalanan besar di depan rumah kami itu, adalah pemakaman yang digunakan sebagai salah satu tujuan menguburkan jenazah pasien Covid-19 yang meninggal, baik yang sudah divonis positif, maupun pasien yang masih dalam pengawasan.  Mungkin, hal itulah yang membuat suara sirene ambulans terdengar lebih sering di berbagai waktu. Tak mengenal pagi, siang, malam, bahkan tengah malam sekalipun.

Ingatan saya seketika terbang ke masa saat kami kehilangan Bapak. Saya masih ingat suara sirene ambulans yang memecah keheningan tengah malam dalam perjalanan dari rumah sakit menuju rumah duka. Juga suara sirene ambulans yang kembali saya tumpangi sambil menatap jasad Bapak yang sudah terbungkus kafan menuju lokasi pemakaman. Kala itu, iringan kendaraan lain, sejumlah mobil dan motor di depan, belakang, kiri, dan kanan, turut mengantar ambulans yang kami tumpangi. Kerumunan orang yang turut memenuhi area perkuburan, maupun sanak keluarga, kerabat, sahabat, dan teman-teman yang juga menunggu di rumah dengan pelukan yang menenangkan, atau sekadar usapan hangat di punggung, dan ucapan belasungkawa secara langsung, memberikan kehangatan di dalam hati, bahwa kami tak sendiri menghadapi kehilangan ini.

Hal itu membuat saya membayangkan, betapa berbesar hati para keluarga yang ditinggalkan oleh orang terkasihnya tersebab infeksi virus corona. Betapa mereka harus menanggung sedih yang berlipat ketika harus merelakan prosesi penyelenggaraan jenazah yang bukan hanya tak biasa itu, tapi juga begitu sepi, bahkan hanya dapat mereka saksikan dari jauh saja. Belum lagi selepas itu, mereka mungkin harus kembali menjalani isolasi mandiri guna meyakinkan bahwa mereka pun tidak ikut terinfeksi. Tak ada kedatangan sanak saudara untuk memeluk atau membasuh air mata. Semuanya seketika menjadi kembali hening, dengan rasa kehilangan atas ia yang pergi dan tak akan kembali lagi. Lebih-lebih lagi sesaknya, jika setelah itu hasil tes yang keluar menunjukkan hasil yang ternyata negatif belaka.

Maka untuk mereka ini, semoga kita pun dapat turut berempati. Semoga sejak awal mereka dapat diberi kejelasan, perihal lokasi pemakaman yang sesuai dengan standar yang diatur untuk jenazah dengan kasus demikian. Sehingga perihnya kehilangan dalam sepi itu, tak usah lagi ditambah dengan sakitnya hati akibat penolakan saat keluarga tercinta mereka itu akan dikebumikan.

Hal ini pula yang membuat saya merenungi, jika hari ini kehadiran pandemi corona bagi kita ‘hanya’ berimbas dengan tertahannya langkah keluar rumah, membuat kita begitu bosan menatap dinding dan suasana yang itu saja, membuat kita harus menahan kangen untuk berjumpa wajah dengan mereka yang kita rindukan, mungkin kita patut membayangkan, bahwa ditempat lain ada orang yang merasakan dampak yang jauh lebih menyesakkan. Ada yang harus menanggung kehilangan. Ada yang tetap harus berjibaku di jalanan demi sesuap nafkah halal yang kini semakin sulit untuk didapatkan. Ada yang harus pasang badan dengan perlengkapan seadanya demi merawat orang sakit yang bukan siapa-siapanya, sambil mengorbankan waktu berharga bahkan sekadar pertemuan dengan keluarga tercinta.  Juga dengan bayang-bayang infeksi yang bisa hadir kapan saja, dan dengan kecurigaan pada pasien yang tidak semuanya mau berterus terang dengan kondisinya.

Ah, rasa empati macam ini barangkali sudah sering kita dengar berulang-ulang. Hingga mungkin atas hal ini pun kita sudah mulai merasa bosan. Tapi semoga, kesabaran kita masih cukup panjang untuk tidak kalah dengan kebosanan. Rasa tanggung jawab kita, minimal atas diri sendiri dan keluarga, masih cukup besar untuk menang di atas keinginan untuk kembali eksis di dunia luar, saat kita punya privilege untuk tetap tinggal di rumah di masa sulit ini. Kemudahan untuk tetap di rumah saja adalah sebuah nikmat, yang semoga tidak kita kufuri hanya karena rindu ingin bersepeda ramai-ramai atau nongkrong di cafe favorit kita.

Tak apa. Tak apa untuk mengakui pada diri sendiri bahwa kita telah jenuh dengan kondisi ini. Tiap orang punya karakter yang berbeda. Dan bagi mereka yang menganggap berdiam di rumah adalah sesuatu yang tak mudah, maka semoga pahala bersabar atas itu semua juga menjadi berkali lipat besarnya. 

Beberapa dari kita berupaya menjaga imunitas diri dan tidak menjadikan corona sebagai beban pikiran dengan mengurangi informasi tentangnya. Ya, memang tentang corona, mungkin informasi yang kita punya sudah cukup, bahkan barangkali malah berlebih dengan ekstra hoax di sana-sini. Kita mungkin tak perlu lagi tahu tentang corona lebih dari ini, yang perlu kita tahu sekarang adalah tentang diri kita sendiri, alias; tahu diri. 
Kita berprasangka baik kepadaNya bahwa yang kita hadapi hari ini akan segera berlalu. Tapi bukankah keadaan kita tidak akan diubah olehNya jika kita tidak punya usaha untuk mengubahnya? Pertanyaannya sekarang, sudah cukupkah usaha kita? 

#dirumahaja, 9 April 2020
*mungkin bagi kamu, mulai membosankan membaca topik tentang Covid19 lagi dan lagi. Tapi tulisan-tulisan ini di tahun-tahun mendatang akan menjadi pengingat tentang bagaimana kita melalui masa-masa berat yang semoga tidak perlu lagi terulang. Aamiin. 


Senin, 23 Maret 2020

Di Atas Sajadah

Di masa single dulu, frase 'mencari imam' sebagai gambaran keinginan untuk menikah sering dijadikan bahan cekikikan oleh sesama jomlowati. Meski pada kenyataannya, setelah menikah, menjadikan suami sebagai imam shalat, bukanlah sesuatu yang bisa selalu dilakukan. Ya, sebab idealnya, suami shalat di masjid, dan istri shalat di rumah. 
Tapi, di masa sekarang ini, ada yang berbeda. Saya yakin, di antara kita, banyak yang kemudian mendapatkan kesempatan untuk bisa shalat fardhu lima kali sehari dengan diimami oleh sang suami. Ya, sebab di masa swakarantina seperti sekarang ini, para lelaki pecinta masjid, 'terpaksa' untuk shalat di rumah, dalam rangka menaati anjuran para ulama dan umara. 
Gimana rasanya buibu? 
Saya pribadi, terus terang merasa campur aduk. Masa ini tiba, masa di mana kita tidak lagi sebebas merpati untuk bisa keluar dari rumah kita sendiri. Sebagai seseorang yang tidak punya aktivitas rutin di luar rumah, pun tidak menjadikan jalan-jalan dan nongkrong cantik sebagai kebutuhan, bagaimanapun, kondisi ini tetap bukanlah yang saya inginkan. Bangun tidur dengan menatap jendela, bertanya-tanya apakah hari ini akan ada lagi korban yang akan bertambah di luar sana. Bertemu orang lain dengan menjaga jarak, khawatir jangan sampai ada virus yang ia bawa. Memikirkan betapa jerih payah para petugas kesehatan, dan adakah mereka akan tetap kuat hingga akhir perjuangan. 
Sebab nyatanya, corona tidak mengenal menteri atau para pekerja harian. Corona tidak mengenal artis, atau fansnya. Corona tidak mengenal dokter atau pasiennya. Corona, hanyalah makhluk dengan ukuran yang berkali lipat lebih kecil dari manusia, tapi ternyata Allah mampukan untuk mengguncang dunia. 
Berbagai macam himbauan telah disampaikan untuk penanggulangan keadaan ini. Setiap hari, kasus terus bertambah, tapi sayangnya, tidak dengan kesadaran kita. 
Hati saya bergidik saat mendengar kabar bahwa di berbagai tempat masih banyak orang yang dengan santai keluar rumah tanpa kepentingan. Ada yang menyepelekan keadaan dengan fakta bahwa daerahnya belum-zona-merah. Ada yang menganggap corona hanya ditakuti oleh mereka yang lemah iman dan hampa tawakkal. 
Hingga kini saya sampai pada titik di mana, rasanya hanya ingin menyelamatkan diri dan keluarga sendiri. Kami punya pilihan untuk tetap tinggal di rumah dan itu yang kami lakukan. Hingga lelah kita mengkritiki kebijakan pemerintah, atau menyumpah serapahi mereka yang masih bebal untuk tak mendengarkan arahan, nyatanya tidak membawa apa-apa. Pada akhirnya, upaya kita adalah tetap tinggal di rumah sembari terus berdoa di atas sajadah, semoga pendemi ini segera berlalu saja. 
Hingga kini saya sampai pada titik di mana, rasanya hanya ingin menyelamatkan diri dan keluarga sendiri. Khawatir jangan sampai keadaan akan sampai pada fase seleksi alam. Jangan sampai akhirnya tenaga medis harus memilih pasien mana yang harus mereka selamatkan. Entah kapan kita akan sadar bahwa angka pasien yang tumbang itu adalah tentang satu nyawa yang sangat berharga. Apakah karena mereka bukan orang yang kita kenal? Ataukah karena mereka bukan diri kita sendiri? Haruskah kita sampai di titik itu untuk kemudian tersadar? 
Hingga kini saya sampai pada titik di mana, rasanya hanya ingin menyelamatkan diri dan keluarga sendiri. Ya, bahkan di dalam rumahpun, jika ajal telah ditakdirkan, maka kita akan mati juga. Tapi bukankah tawakkal adalah selepas mengikat tali kekang unta? Ada ikhtiar dahulu yang harus dilakukan. Anjurannya sejatinya sangat ringan. Tinggal di rumah, makan bergizi, istirahat yang cukup, rajin cuci tangan. Apa yang lebih mudah dari itu? Mungkin yang berat hanyalah menghalau rasa bosan. Yang berat hanya merasa cukup dengan apa yang bisa kita nikmati di dalam rumah. Rasa bosan yang bisa membuat masa swakarantina ini justru bakal lebih panjang jika kita masih menyepelekan segala anjuran itu. 
Hingga kini saya sampai pada titik di mana, rasanya hanya ingin menyelamatkan diri dan keluarga sendiri. Harapan saya, sesimpel saya ingin melihat kembali suami saya bisa bebas berjamaah di masjid. Sesimpel saya ingin kakak saya yang dirantau bisa mudik untuk bersama merayakan lebaran. Sesimpel saya ingin menikmati bulan puasa dengan normal, dengan kemeriahan jama'ah tarawih dan suara para penceramah di masjid-masjid yang ramai. Sesimpel saya ingin kembali bisa menghirup udara luar dengan tenang, bertemu orang lain dengan tenang, dan berjalan ke manapun dengan tenang. 
Corona mungkin memang ingin kita menyingkir sejenak dari keramaian. Berteman dengan diri kita sendiri. Terpekur di atas sajadah dan merenungi segala keterbatasan kita sebagai hamba. Corona mungkin ingin kita jeda sejenak dalam hening. Pada hal-hal yang kemarin selalu kita anggap penting. Kita menyaksikannya menumbangkan raksasa China, kecanggihan Italia, bahkan meneror adidaya Amerika. Tapi tak secuil pun hadir di Gaza, membuat kita sadar, sebab dari dulu saudara-saudara kita di sana telah diisolasi oleh dunia, saat kini kita diisolasi oleh virus yang begitu mungilnya. 

Hingga kini saya sampai pada titik di mana, rasanya hanya ingin menyelamatkan diri dan keluarga sendiri. Dan saya berharap kamu minimal juga punya pikiran yang sama. Dan akhirnya kita semua memikirkan hal yang serupa. Kemudian masa-masa berat ini akan berlalu, biidznillah...

*teriring doa, semoga mereka yang tetap harus keluar rumah berjuang untuk keluarga, senantiasa dilindungi dan disehatkan oleh Allah...

Selasa, 17 Maret 2020

Bersama Hadapi Corona

BERSAMA HADAPI CORONA
Oleh: Diena Rifa’ah

Ada rasa tak enak di hati saya saat pertamakali mendengar kabar tentang virus corona. Waktu itu, beritanya baru tentang China, Wuhan, dan berbagai kengerian tentang para pasien yang begitu cepat melonjak angkanya. Kekhawatiran itu semakin jadi saat kemudian saya mendapati bahwa kita, warga +62 malah sibuk membuat lelucon tentang penyakit itu. Cadaan yang bukan hanya terlontar oleh masyarakat di akar rumput, tapi bahkan oleh para pejabatnya. Kadang, memang ada batas yang tipis antara bercanda dengan sesumbar. Seolah kita bakal sekuat itu sekiranya diuji dengan hal yang sama. Selalu, saya akan bersepakat bahwa lucu-lucuan tentang sebuah tragedi itu jahat. 

Hingga kemudian hari itu tiba. Hari di mana secara resmi presiden mengumumkan tentang dua kasus pertama infeksi Corona di Indonesia. Deg. Si virus, akhirnya sampai di tanah air. Bersama dengan itu, gelombang berita tentangnya bagai tak terbendung. Mulai dari berita tentang korban, juga berbagai rupa-rupa cara untuk menyembuhkan diri dari penyakit tersebut. Dan tentu, tidak semua dari itu merupakan fakta. Sayangnya, terkadang kecepatan jemari kita untuk membagikan berita, jauh lebih cepat daripada keinginan kita untuk mengonfirmasi kebenarannya. Bah. 

Kini, Indonesia berada dalam fase di mana kita dianjurkan untuk #dirumahaja. Sebuah himbauan yang sekiranya sangat sejalan dengan apa yang Islam tuntunkan dalam menghadapi wabah. Lagi-lagi sayangnya, anjuran itu tidak mampu benar-benar dipahami oleh segenap kita. Hasilnya, kebijakan untuk libur kemudian diartikan sebagai liburan. Tempat-tempat wisata diramaikan, sesuatu yang sungguh tidak sejalan dengan konsep sosial-distancing yang seharusnya sejalan dengan upaya swakarantina. Belum lagi dengan harga masker yang melonjak, handsanitizer yang jadi langka, bahkan beberapa kebutuhan pokok yang entah diborong oleh siapa. 

Padahal, sebenarnya kita diberi banyak waktu dan contoh dari negara-negara yang lebih dahulu menghadapi hal yang sama. Dari China yang kini bahkan bisa bernapas lega setelah badai Corona menghantam mereka. Tenaga medis yang menangani virus ini di Tirai Bambu bahkan kini kembali berupaya melakukan hal yang sama dengan terbang ke Itali, negara dengan pasien terinfeksi Corona yang cukup tinggi. Ada juga Singapura, Saudi, bahkan Vietnam-negara yang lebih kecil dari Indonesia, yang mampu menghadapi Corona dengan elegan. Contohnya sudah ada, tinggal kita mau ikut jalan yang mana. 

Saya deg-degan saat membayangkan bagaimana pemerintah kita menghadapi ini semua, plus bagaimana kita sebagai rakyat mampu melepas keras kepala dan rasa manja dengan bersama melakukan upaya agar wabah ini segera berlalu. Padahal kita hanya diminta #dirumahaja, hitung-hitung biar tahu bagaimana perasaan Ibu-Ibu Rumah Tangga yang sehari-harinya ya emang Cuma di rumah aja. Kita hanya diminta #workfromhome, sesuatu yang dilakoni para emak-emak olshop bahkan di suatuasi normal sekalipun. Dan makin kita disiplin dengan itu, insyaallah makin cepat pula kondisi ini akan berlalu. 

Guys, bentar lagi Ramadan loh. Kita tentu tak mau Ramadan jadi sepi sunyi karena kita dilarang berkumpul untuk jama'ah di Masjid kan? Banyak-banyak mengedukasi diri tentang wabah ini, biar kita bisa bertindak benar dan proporsional. Santuylah pada tempatnya. Tawakkal lah dengan setepat-tepatnya cara. Lincahlah tapi jangan lincah salah-salah. Kita bukan hanya butuh Pak Jokowi dan Menkes untuk menyudahi ini semua. Kita butuh kompak dan bersatu untuk kebaikan bersama. Mungkin, negeri ini sudah terlalu lama saling adu jotos karena berbagai perbedaan. Mungkin, kali ini Allah mau kita kembali bersatu untuk bersama menghadapi apa yang telah Dia takdirkan. 

Kalo kata Mbak Najwa Shihab, hari ini, soliter berarti solider. Ada para tenaga kesehatan yang pastinya ingiiin sekali bisa kumpul keluarga di situasi sulit kayak begini. Tapi mereka harus berada di garda terdepan untuk merawat para pasien. So, kita-kita yang tidak punya hajat yang penting-penting amat, sok atuh disyukuri saja kesempatan untuk tetap tinggal di rumah. 

Insyaallah badai akan berlalu. Kita tinggal pilih, mau jadi bagian yang ikut meredakan badai, atau tetap egois dengan pemikiran kita sendiri. 

Sehat-sehatki' semua!

Minggu, 19 Januari 2020

[Resensi] Rasulullah Pendidik Sukses

Tidak diragukan lagi bahwa pendidikan memegang pengaruh yang sangat penting dalam kemajuan sebuah bangsa, bahkan kemajuan sebuah peradaban. Islam, sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh juga menempatkan posisi pendidikan dan ilmu pada tempat yang sangat penting dan mulia. Berbagai isyarat ditunjukkan mengenai hal ini, di antaranya bahwa ayat yang pertama kali turun adalah tentang perintah untuk membaca juga bagaimana seorang ulama ditempatkan pada posisi yang begitu terhormat dalam agama ini. 

Pendidikan dalam hal ini tentunya bukan hanya menyangkut pada aspek ilmu pengetahuan secara umum, namun tentunya disertai dengan pemahaman agama yang mumpuni sebagai aspek yang sangat menentukan dalam proses filterisasi ilmu yang diterima oleh seorang muslim. 

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sebagai uswah dan qudwah terbaik tentunya juga menjadi sumber inspirasi utama dalam proses pendidikan itu sendiri. Bagaimana beliau shalalllahu alaihi wasallam sebagai seorang rasul juga tentunya merupakan sebaik-baik pendidik yang telah menghasilkan generasi terbaik yang pernah hidup di muka bumi ini. Generasi para shahabat, tabi’in, dan tabiut tabi’in adalah contoh nyata dari keberhasilan proses pendidikan yang dijalankan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. 

Berangkat dari perhatian yang besar tentang masalah ini, Prof.Dr. Fadhl Ilahi menulis sebuah buku dengan judul Rasulullah Pendidik Sukses (Meneladani Rasulullah dalam mencetak generasi sukses dunia). Buku ini akan mengupas secara tuntas tentang bagaimana teladan yang dicontohkan oleh pendidik terbaik sepanjang masa, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dalam menjalankan proses pendidikan itu sendiri sehingga sukses mengantarkan para shahabat bukan hanya unggul dari sisi ilmu, namun juga menjadi pribadi-pribadi terbaik secara utuh. Akan dibahas empat puluh lima masalah yang diambil sebagai faidah dari sirah Nabi Shallallahu alaihi wasallam sebagai seorang guru dengan menjadikan al Qur’an dan hadits Nabi yang mulia sebagai referensi utama, di mana faidah dari ayat atau hadits yang dibahas diambil dari keterangan para ahli tafsir dan hadits. Kelebihan lain dari buku ini adalah, pembahasannya yang ringkas dan padat, namun di bagian-bagian tertentu juga mengisyaratkan faidah-faidah lain yang berkaitan dengan topik pembahasan yang sedang dipaparkan. Selain itu, juga terdapat keterangan tentang kata-kata asing yang digunakan, untuk menyempurnakan dari penjelasan-penjelasan faidah yang dibahas. Serta dicantumkan pula referensi dan sumber dari daftarnya sehingga mempermudah pembaca yang ingin melakukan penelusuran lebih lanjut.

Pada empat pembahasan pertama dalam buku ini, digambarkan bagaimana Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sangat memberikan perhatian pada masalah teknis yang berhubungan dengan penyampaian ilmu dan proses pendidikan itu sendiri. Hal ini terkadang menjadi sesuatu yang sederhana namun luput dari perhatian, dan seringkali dianggap tidak begitu penting. Diletakkannya pembahasan ini pada bagian awal juga merupakan satu isyarat bahwa terkadang permasalahan teknis yang terkesan sepele justru bisa jadi membawa pengaruh yang besar dalam proses pendidikan. Digambarkan bagaimana Rasululllah Shallallahu alaihi wasallam senantiasa memilih ta’lim-nya pada waktu yang sesuai. Pemilihan waktu ini tentu menjadi bervariasi tergantung dari kondisi yang beliau hadapi kala itu. Misalnya pemilihan waktu selepas shalat Isya, mendekati pertengahan malam, setelah bangun tidur di malam hari, dan setelah berlalu dua per tiga malam. Hal ini bisa menjadi referensi bagi seorang pendidik untuk memperhatikan masalah pemilihan waktu ini sehingga mampu mendapatkan hasil yang efektif dan efisien dalam proses mentrasnfer ilmu. 

Selain pemilihan waktu, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam juga memilih tempat yang tepat dalam melakukan proses pendidikan. Masjid, rumah untuk mengajar kaum wanita, kota Mina, dan ketika safar, merupakan contoh tempat-tempat yang dipilih oleh sang Rasul. Selain tempat dan waktu, objek dakwah juga menjadi satu concern tersendiri yang diperhatikan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Keluarga terdekat, kaum kerabat, para shahabat dekat, pemuda, anak-anak, kaum wanita, suku Arab Badui, dan para muallaf adalah kelompok-kelompok tertentu yang menerima pendidikan langsung dari Rasulullah yang masing-masing memiliki karakteristik khusus, sehingga berbeda pula dalam metode pendidikannya. Syaikh menguraikan kesemuanya itu dengan untaian sirah yang penuh dengan faidah sehingga kita seolah diajak untuk menelusuri betapa jeniusnya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dalam menghadapi objek dakwahnya. 

Berbagai kesempatan-kesempatan khusus juga tidak luput dari perhatian Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam untuk mengambil kesempatan dalam menjalankan proses pendidikan. Bulan purnama, gerhana bulan, momentum saat para shahabat menyaksikan kasih sayang seorang ibu kepada bayinya, bahkan saat seorang shahabat cemburu kepada istrinya, menjadi momen-momen yang tidak dilewatkan oleh beliau dalam memberikan pengajaran kepada anak didiknya. Hikmah dan ilmu menjadi sesuatu yang seolah sangat mudah untuk dipetik pada kondisi-kondisi tertentu sehingga dapat tertancap di dalam hati para shahabat kala itu, bahkan dari hal-hal yang sederhana sekalipun. 

Kemudian pada tujuh bagian selanjutnya, digambarkan bagaimana Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mengikat hati pada anak didiknya, sehingga proses penyampaian ilmu dan pendidikan tersebut dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sebagai seorang guru yang mulia, tidak kemudian menciptakan jarak dengan anak didiknya, namun justru mereduksi jarak tersebut, sehingga terciptalah kelekatan. 

Beliau mencontohkan bagaimana senantiasa menyambut gembira kedatangan seorang penuntut ilmu, mendekat secara fisik kepada orang yang ia ajak bicara, memposisikan duduknya sehingga menghadap ke arah pendengar, dan pendengarnya pun menghadap ke arahnya, menggunakan panggilan yang mengakrabkan dengan lawan bicara, menyentuh anggota badan murid untuk menunjukkan kasih sayang, perhatian, dan memberikan pengaruh yang besar dalam proses pendidikan, serta menepuk murid untuk memberi peringatan dan menunjukkan keramahan. 

Lalu memasuki bagian-bagian selanjutnya, kita akan disuguhkan dengan pengalaman dalam membersamai majelis Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Akan dibahas tentang bagaimana cara beliau dalam menyampaikan ilmu . Tentang bagaimana jelas dan tenangnya beliau dalam berbicara, bagaimana Rasulullah mengulangi ucapannya demi memberikan penekanan akan suatu maksud yang penting, terkadang pula beliau menggunakan isyarat, atau memanfaatkan alat berupa garis dan gambar untuk menjelaskan sesuatu. Tak jarang pula kita menemui Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam menggunakan perumpamaan-perumpamaan. Dan tentunya, beliau sebagai uswah dan qudwah terbaik juga senantiasa mengajarkan sesuatu bukan hanya dengan lisannya, namun langsung dengan mencontohkan dalam perbuatannya. 

Kemudian ada momen-momen tertentu di mana sang Rasul menggunakan metode perbandingan, kadang pula dengan metode pertanyaan, tak jarang juga dengan melontarkan soal-soal. Penyampaiannya pun sistematis, sehingga para shahabat mudah untuk memahami konsep besar dari sebuah ilmu, dengan cara menjelaskan sesuatu terlebih dahulu secara umum, baru kemudian merincinya dalam poin-poin yang khusus. Hal-hal tertentu yang terkadang juga sensitif untuk dibahas, tidak luput dari pengajaran beliau, dan beliau tidak malu untuk menyampaikannya. 

Dalam menanggapi pertanyaan dari muridnya, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah sosok yang sangat toleran. Beliau tidak segan untuk memuji pertanyaan yang bagus, serta terkadang menjawab dengan sesuatu yang lebih dari yang ditanyakan. Namun, kita kembali belajar tentang bagaimana adab dan akhlak beliau yang mulia, yakni bagaimana sekelas nabi shalallahu alaihi wasallam saja, bahkan memilih untuk diam terhadap hal-hal yang belum beliau ketahui dengan pasti. Serta bersikap lapang dada ketika diingatkan, bahkan beliau sendiri yang menganjurkan para shahabat untuk membetulkan bacaan beliau ketika shalat. Sebuah bentuk ketawadhuan yang luar biasa dari seorang guru terbaik sepanjang masa, di saat hari ini kita terkadang mendapati orang-orang berilmu yang ilmunya membuatnya tak lagi mampu menerima masukan dari manusia lainnya, bahkan meski hal tersebut adalah sebuah kebenaran. Naudzubillah...

Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam dalam berinteraksi dengan para muridnya juga menggunakan metode dua arah di mana bukan  beliau melulu yang ‘mendominasi’ sebuah majelis. Dalam beberapa riwayat, digambarkan bagaimana beliau memberi kesempatan kepada muridnya untuk bercerita di hadapannya. Juga memberi kesempatan untuk mengulang pelajaran kepada beliau sehingga ilmu yang diajarkan benar-benar melekat dengan kuat dalam hati anak didiknya. 

Dibalik sikap lemah lembut Rasulullah sebagai seorang pendidik yang tidak diragukan lagi, ternyata sejarah juga mencatat bahwa ada sisi ketegasan yang tidak juga ditinggalkan secara penuh. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam juga pernah marah dalam beberapa kesempatan ketika para shahabat kurang memahami sesuatu yang telah beliau ajarkan. Seperti saat beliau mendapati adanya dahak di dalam masjid, atau tatkala shalat diperpanjang tanpa memperhatikan kondisi orang-orang yang menjadi makmumnya. Hal ini menunjukkan bahwa memadukan kelembutan dengan ketegasan dalam proses pendidikan bukanlah sesuatu yang mustahil. Dan bahwa ada hal-hal tertentu yang memang memerlukan sikap lebih ‘keras’ agar menjadi perhatian bagi anak didik.

Selain itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam juga mencontohkan sikap untuk tidak membedakan murid-muridnya terutama dari sisi strata sosial. Bahkan, beberapa riwayat menunjukkan bagaimana beliau justru lebih mengutamakan murid-muridnya yang tergolong berkekurangan dari sisi harta. Rasul juga merupakan seorang guru yang sangat memperhatikan keadaan anak didiknya sekaligus senantiasa memuliakan shahabat-shahabat yang utama. Sisi evalusia dari seorang guru juga ditunjukkan oleh Rasul tatkala beliau senantiasa memperhatikan pengaruh ucapan dan perbuatannya terhadap para shahabat. Perhatian yang besar juga tercermin manakala beliau menghapal satu per satu murid-muridnya dengan merasa kehilangan manakala ada seorang murid saja yang tidak beliau jumpai dalam satu waktu. Ditengah keilmuan beliau yang tidak tertandingi, Rasul merupakan sosok pengajar yang selalu memberi kemudahan pada murid-muridnya serta menganjurkan untuk mempelajari hal-hal yang mudah dan dimampui oleh anak didiknya masing-masing. 

Pada akhirnya, membersamai sejarah bagaiamana Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sebagai seorang pendidik yang sukses dalam rentang empat ratusan halaman dalam buku ini, akan senantiasa membawa kita kepada kerinduan yang mendalam atas sosok beliau. Telah diutus Rasulullah Muhammad bin Abdullah Shalallahu alaihi wasallam sebagai guru sejati yang hingga kini pengajarannya telah diabadikan di dalam hadits-hadits yang mulia. Maka tentu telah menjadi kewajiban atas kita semua untuk senantiasa mengambil pelajaran dari kehidupan beliau secara umum, maupun dari sosok pendidik yang ditampakkannya secara khusus sehingga kita mampu untuk membangun kembali generasi terbaik, mengembalikan dengannya kejayaan Islam dan kaum muslimin, biidznillah. Allahumma shalli ‘ala muhammad wa ‘ala ali muhammad.... 


Jumat, 17 Januari 2020

Momentum

Begitu banyak hal yang terjadi dalam satu dekade ke belakang ini. Mungkin karena itulah di akhir tahun kemarin, saya terkesan sangat 'niat' untuk melakukan throwback. Mohon maaf jika terkesan turut merayakan pergantian tahun, meski bagi saya, sama sekali bukan tentang itu. 

Hanya saja, sebab penanggalan kita memang masih secara umum menggunakan kalender masehi, sehingga berbagai momentum tersebut terekam dalam almanak matahari, hingga dengan itulah pulalah ia kemudian terkenang. 

Tahun 2010 hingga 2019 memang bukanlah tahun-tahun yang biasa. Ia bukan lagi diisi dengan rutinitas sebagai pelajar sebagaimana dekade sebelumnya dalam hidup saya. Bagi perempuan yang sepantaran dengan saya, rentang masa itu adalah tentang usia dua puluh hingga tiga puluh. Fase quarter life crisis yang berisi berbagai macam kejadian-kejadian besar. 

Pada saya, usia itu adalah saat di mana saya menuai ketekunan di bidang kepenulisan, dengan memulai debut pertama karya yang diikuti dengan 'adik-adiknya' selanjutnya. Pada masa itu pula pendidikan formal saya berada di penghujungnya, menjadi sarjana dengan berbagai mimpi tentang karir (yang kemudian harus saya kubur sebelum ia hidup), melanjutkan studi profesi, menikah, punya anak, punya anak lagi, juga di saat yang sama salah satu orang tua saya tutup usia. 

Mengenang dekade itu adalah merasakan bagaimana saya menyaksikan kelahiran, kematian, menggapai, melepaskan, masuk ke kehidupan baru, dan melepaskan kehidupan lama. Di fase itu saya pernah merasa berada di puncak bahagia, pun juga puncak kesedihan. Pada kurun sepuluh tahun itu sungguh betapa banyak hal yang terjadi. Yang telah saya rencanakan, maupun yang tak pernah saya bayangkan. Semua itu pada akhirnya, membentuk saya menjadi saya yang sekarang. 

Di tahun-tahun itu pula, saya merenung dengan renungan yang dalam. Memutuskan untuk melepaskan lingkaran homogen yang selama ini adalah zona nyaman saya. Memiliki sebentuk pemikiran baru yang kemudian secara otomatis menjadi filter tentang siapa saja yang bersinggungan dengan saya sekarang. 

Saya benar-benar menjadi 'no one'. Tidak terikat dengan apapun dan siapapun kecuali dengan ring pertama dalam lingkaran saya: suami, anak-anak, ibu, dan adik. Saya menjadi tidak punya 'urusan' apapun di luar sana. Sehingga akhirnya, mereka yang tetap terkoneksi dengan saya hanyalah benar-benar mereka yang 'cukup peduli' tanpa memiliki kepentingan apapun. Tidak ada lagi salam sapa basa-basi yang diikuti dengan pembicaraan tentang sebuah urusan. 

Saya kemudian menjadi lebih mampu untuk memahami hal-hal yang bersifat subtansi. Lebih mengerti tentang apa sebenarnya makna perjuangan sejati. Lebih tahu bahwa kehidupan setiap orang akan punya medan juang yang tak sama. Berusaha untuk terus menyamakannya hanya akan membuat kita terkungkung pada tempurung yang kita cipta dari pikiran kita sendiri. Parahnya, ternyata selama ini tanpa sadar saya memiliki standar kemuliaan dan kebajikan yang nampaknya hanya berkiblat pada hal-hal yang artifisial. Sesuatu, yang mungkin tidak akan pernah saya pahami kecuali jika saya berada di titik yang sekarang saya pilih. 

Dulu, sering sekali saya bertanya kepada mereka yang 'pergi'; apakah bagi mereka semua ini menjadi lebih baik? Saat kemudian tanpa sadar saya ikut bersepakat menilai mereka mengalami 'kemunduran', dengan standar yang sejatinya dicipta dari ukuran manusia. Namun saya masih terus menyimpan tanya, bahwa jika jalan kebenaran itu adalah candu, dan seharusnya mereka akan merasa rindu, tapi mengapa nyatanya mereka tak pernah kembali lagi? 

Hingga kemudian saya berada di titik yang sama dan tersadar bahwa semuanya memang tidak seburuk itu. Bahwa ternyata akan selalu ada jalan juang yang berbeda, meski mungkin kita menuju satu titik tujuan yang sama. Dan semua itu sejatinya, boleh-boleh saja. 

Dekade berikutnya kemudian tengah berjalan. Kita tidak tahu seberapa lama jatah umur yang Allah beri. Namun kita selalu punya harapan untuk menjadi lebih baik lagi. Jika ada seseorang yang kepadanya saya ingin berterima kasih, maka ia adalah diri saya sendiri. 

Din, terima kasih telah melalui dekade kemarin dengan caramu. Tidak mudah, tapi kamu telah menjalaninya. Teruslah berjalan, hingga Allah yang memanggil untuk pulang. Teruslah berjuang pada apa yang Allah takdirkan. SurgaNya luas, dan terkadang jalan ke sana sejatinya dekat saja. 

Jumat, 10 Januari 2020

Seorang Isteri yang Menangis di Restoran

“Pasti pengantin baru...” bisik saya kepada Abu Fayyadh yang sedang sibuk dengan ayam goreng pesanannya.

“Tuh cincinnya...”, Abu Fayyadh menengok sekejap pada pasangan yang tengah bergandengan tangan memasuki restoran di mana kami berempat juga sedang menikmati hidangan.

Pasangan suami istri yang nampaknya berusia lebih muda dari kami itu sedang sibuk mencari meja yang kosong. Selanjutnya, keduanya kemudian duduk di posisi tepat pada jarak pandang saya. Membuat saya dengan leluasa dapat memerhatikan mereka sambil menyuapi dua bocah yang sedang sibuk menikmati nasi gorengnya.

“Tapi kok diam-diaman ya, Ba?” saya kembali berbisik pada Abu Fayyadh sambil melirik pada pasangan itu. Insting kepo saya sungguh sedang bekerja dengan baik. Abu Fayyadh mengangkat kedua bahunya. “Eh, ini sambalnya enak...” ujarnya kemudian. Tidak nyambung.

Ya, pasangan muda itu nampak saling diam. Tidak juga sibuk dengan gadgetnya. Keduanya duduk berhadap-hadapan, tapi dengan pandangan mata yang tidak saling memandang. Justru melihat ke arah lain dengan tatapan kosong. Lebih tepatnya, seolah sedang sibuk dengan pikiran masing-masing.

Perhatian saya kembali teralihkan kepada Fawwaz yang menggeleng saat saya suapi, dan Fayyadh yang menjerit ingin minum, saat kemudian ekor mata saya mendapati sang pria mengusap-usap pundak wanitanya, seolah sedang menenangkan istrinya itu.

“Ba.., kayaknya mereka lagi ada masalah deh...” ujar saya lagi kepada Abu Fayyadh

“Auuu....” ujar Abu Fayyadh dengan ekspresi yang (seolah-olah) peduli.

Sejurus kemudian, sang wanita nampak meraih tissue di hadapannya, lalu mengusap air matanya dengan punggung yang bergetar. Perempuan itu, menangis.

“Istrinya nangis, Ba...” ucap saya lagi. Abu Fayyadh menempelkan telunjuk pada bibirnya. Nampaknya mulai tidak tahan dengan kekepoan saya, ia kini sibuk menyuapi Fayyadh dengan cincau dari gelas es telernya.

Pemandangan itu, membuat saya menghembuskan napas. Saya tidak kenal sama mereka. Saya bahkan tidak benar-benar tahu apakah tebakan saya bahwa mereka adalah pasangan pengantin baru itu benar atau tidak. Tapi, sekiranya memang benar, maka sungguh saya merasa sama sekali tidak heran.

Ya, tentu tidak mengherankan saat kita mendapati bahwa ada pasangan muda yang tengah bermasalah dengan rumah tangganya. Iya, sebab nyatanya membangun rumah tangga yang terus menerus stabil tanpa masalah, nyaris merupakan sebuah kemustahilan.

Rumah tangga yang terdiri dari seorang lelaki dan seorang wanita yang konon berasal dari ‘planet’ yang berbeda, bukanlah tempat yang melulu hanya berisi kebahagiaan saja. Akan ada ujian. Ada masalah. Ada benturan, cekcok, dan perselisihan yang bisa jadi akan menghinggapinya. Perbedaan karakter dan fitrah dasar antara lelaki dan perempuan bisa menjadi alasan yang sangat logis dalam hal ini.

Saat masalah datang, maka kita akan dihadapkan dengan suami yang ingin segera mencari solusi, sementara istri yang terkadang hanya perlu untuk menemukan ruang curahan hati terlebih dahulu. Jika keduanya tidak bisa menurunkan ego untuk berada pada titik tengah, maka suami akan mendapati istrinya sebagai makhluk yang lemah nan suka mengeluh, sementara si istri akan menganggap suaminya sebagai manusia tanpa kepekaan dan tidak bisa menjadi pendengar yang baik. Saat itu terjadi, maka: BOOOM! Benturan, tidak lagi terelakkan.

Belum lagi, saat kita mendapati bahwa ada pihak ketiga, yang merupakan musuh sejatinya manusia, yang mana ia bernama setan, yang sungguhlah berbangga jika berhasil memisahkan antara istri dan suaminya dari ikatan suci mahligai rumah tangga.

Dalah periwayatan Imam Muslim, lewat penuturan Jabir Radhiyallahu ‘anhu, kita akan mendapati bahwa Iblis teramat sangat membanggakan anak buahnya, yakni setan yang berkata; “Aku tidak meninggalkannya (untuk digoda) hingga aku berhasil memisahkan antara dia dan istrinya.”

Maka ya, sebab pernikahan adalah ibadah, karena itulah setan akan merasa sangat bangga jika berhasil membuat kita gagal dalam ibadah yang teramat panjang ini. Naudzubillahi min zalik...

Sebab pernikahan adalah ibadah, maka dengannyalah kita bisa meraih surga. Dengan taat pada suaminya, seorang wanita yang menjaga shalat dan puasanya, serta menjaga kehormatannya, dapat masuk surga lewat pintu yang manapun juga. Dengan memberi nafkah kepada anak istrinya, seorang lelaki dapat mengumpulkan pundi-pundi amalan baik yang dapat mendatangkan ridha dan rahmat Allah.

Tapi, apakah semudah itu? Sayangnya, tidak selalu seperti itu, qaqa...

Saya, baru benar-benar mengerti, mengapa suatu hari dalam sebuah daurah sakinah yang saya ikuti semasa gadis dulu, sang ustadzah berkisah, bahwa kalimat pertama yang ia ucapkan kepada sang suami setelah akad adalah; bantulah saya untuk taat kepadamu....

Sebab nyatanya, ada ego yang harus ditekan, ada kepentingan diri yang harus disingkirkan, dan ada keyakinan kuat yang harus ditancapkan, saat kita dituntut untuk senantiasa taat, bahkan atas perkara yang terkadang tidak sesuai dengan keinginan kita.

Saya, baru benar-benar menyadari, mengapa memberi nafkah kepada keluarga itu menjadi hal yang begitu penting, saat ternyata, mendampingi suami dari titik nol itu bukanlah perkara yang ringan. Saat pada posisi sebagai anak dulu, kita tidak pernah benar-benar menyadari betapa ayah kita sesungguhnya mengorbankan banyak hal hingga sampai pada titik yang kemudian kita nikmati bersama. Dan, menyaksikan suami harus menyingkirkan segala gengsi, membanting tulang ke sana kemari, termasuk membangun optimisme saat terbentur dengan kegagalan, bukanlah perkara sederhana yang dapat dengan mudah terlewati.

Maka karena itulah, pernikahan tidak bisa hanya dibangun dengan cinta saja. Karena itulah, dalam setiap shalat kita, kita berharap kekuatan dan pertolongan dari Allah untuk memudahkan kita dalam mengarungi biduk rumah tangga. Saat hari ini, seorang suami harus menundukkan pandangan lebih rapat, sebab para wanita mulai kehilangan rasa malunya. Saat hari ini, seorang istri harus bisa lebih mengqanaahkan diri, saat sesama perempuan terkadang ringan saja untuk saling memamerkan perbendaharaan dunia, sehingga perempuan lainnya harus semakin kuat untuk merajut kesyukuran dan kesabaran atas keadaannya.

Maka pada titik kelemahan kita masing-masing, kita berharap, Allah menolong kita melaluinya.

***

Kami sudah akan meninggalkan lokasi tempat menghabiskan weekend siang itu saat kemudian saya kembali berpapasan dengan pasangan di restoran tadi. Raut wajah mereka masih sama seperti tadi. Tapi, telapak tangan keduanya masih saling bergenggam. Erat.

Saya tersenyum.

Sambil dalam hati tersimpan doa, semoga rumah tangga keduanya baik-baik saja.

Sabtu, 04 Januari 2020

♥️

Seumur hidup, tak pernah ada lelaki yang dekat denganku. Tidak bapak, tidak pula kakak lelakiku. 

Sejak paham tentang makna kesedihan, aku selalu berusaha mendekapnya sendiri. Membiarkan malam dan sepi menjadi saksinya. Dan menangis bersama diriku sendiri. 

Hingga Allah menakdirkanmu datang. Merentangkan pelukan dan menawarkan bahu untuk bersandar. Menyeka air mata dan menjadi saksi atas segala rapuhku yang ada. 

Mungkin kini kau adalah manusia yang paling mengetahui tentang aku, melebihi orang tuaku sendiri. Hanya empat tahun kebersamaan hingga sekarang, tapi mungkin telah kau saksikan segalanya. 

Sebuah pesan cinta yang kau tulis di selembar kertas bekas dengan krayon anak-anak ini, saat hatiku tengah kelam, dan kau bertanya mengapa denganmu begitu mudah aku terluka. Dan mungkin, itu sebab aku kembali jatuh cinta kepadamu lebih dalam lagi. 

Terima kasih, sayang. 

Diri dan hatiku mengaminkan dengan penuh. Semoga bersama kita di dunia, hingga berkumpul kembali di surga.