Jumat, 17 Januari 2020

Momentum

Begitu banyak hal yang terjadi dalam satu dekade ke belakang ini. Mungkin karena itulah di akhir tahun kemarin, saya terkesan sangat 'niat' untuk melakukan throwback. Mohon maaf jika terkesan turut merayakan pergantian tahun, meski bagi saya, sama sekali bukan tentang itu. 

Hanya saja, sebab penanggalan kita memang masih secara umum menggunakan kalender masehi, sehingga berbagai momentum tersebut terekam dalam almanak matahari, hingga dengan itulah pulalah ia kemudian terkenang. 

Tahun 2010 hingga 2019 memang bukanlah tahun-tahun yang biasa. Ia bukan lagi diisi dengan rutinitas sebagai pelajar sebagaimana dekade sebelumnya dalam hidup saya. Bagi perempuan yang sepantaran dengan saya, rentang masa itu adalah tentang usia dua puluh hingga tiga puluh. Fase quarter life crisis yang berisi berbagai macam kejadian-kejadian besar. 

Pada saya, usia itu adalah saat di mana saya menuai ketekunan di bidang kepenulisan, dengan memulai debut pertama karya yang diikuti dengan 'adik-adiknya' selanjutnya. Pada masa itu pula pendidikan formal saya berada di penghujungnya, menjadi sarjana dengan berbagai mimpi tentang karir (yang kemudian harus saya kubur sebelum ia hidup), melanjutkan studi profesi, menikah, punya anak, punya anak lagi, juga di saat yang sama salah satu orang tua saya tutup usia. 

Mengenang dekade itu adalah merasakan bagaimana saya menyaksikan kelahiran, kematian, menggapai, melepaskan, masuk ke kehidupan baru, dan melepaskan kehidupan lama. Di fase itu saya pernah merasa berada di puncak bahagia, pun juga puncak kesedihan. Pada kurun sepuluh tahun itu sungguh betapa banyak hal yang terjadi. Yang telah saya rencanakan, maupun yang tak pernah saya bayangkan. Semua itu pada akhirnya, membentuk saya menjadi saya yang sekarang. 

Di tahun-tahun itu pula, saya merenung dengan renungan yang dalam. Memutuskan untuk melepaskan lingkaran homogen yang selama ini adalah zona nyaman saya. Memiliki sebentuk pemikiran baru yang kemudian secara otomatis menjadi filter tentang siapa saja yang bersinggungan dengan saya sekarang. 

Saya benar-benar menjadi 'no one'. Tidak terikat dengan apapun dan siapapun kecuali dengan ring pertama dalam lingkaran saya: suami, anak-anak, ibu, dan adik. Saya menjadi tidak punya 'urusan' apapun di luar sana. Sehingga akhirnya, mereka yang tetap terkoneksi dengan saya hanyalah benar-benar mereka yang 'cukup peduli' tanpa memiliki kepentingan apapun. Tidak ada lagi salam sapa basa-basi yang diikuti dengan pembicaraan tentang sebuah urusan. 

Saya kemudian menjadi lebih mampu untuk memahami hal-hal yang bersifat subtansi. Lebih mengerti tentang apa sebenarnya makna perjuangan sejati. Lebih tahu bahwa kehidupan setiap orang akan punya medan juang yang tak sama. Berusaha untuk terus menyamakannya hanya akan membuat kita terkungkung pada tempurung yang kita cipta dari pikiran kita sendiri. Parahnya, ternyata selama ini tanpa sadar saya memiliki standar kemuliaan dan kebajikan yang nampaknya hanya berkiblat pada hal-hal yang artifisial. Sesuatu, yang mungkin tidak akan pernah saya pahami kecuali jika saya berada di titik yang sekarang saya pilih. 

Dulu, sering sekali saya bertanya kepada mereka yang 'pergi'; apakah bagi mereka semua ini menjadi lebih baik? Saat kemudian tanpa sadar saya ikut bersepakat menilai mereka mengalami 'kemunduran', dengan standar yang sejatinya dicipta dari ukuran manusia. Namun saya masih terus menyimpan tanya, bahwa jika jalan kebenaran itu adalah candu, dan seharusnya mereka akan merasa rindu, tapi mengapa nyatanya mereka tak pernah kembali lagi? 

Hingga kemudian saya berada di titik yang sama dan tersadar bahwa semuanya memang tidak seburuk itu. Bahwa ternyata akan selalu ada jalan juang yang berbeda, meski mungkin kita menuju satu titik tujuan yang sama. Dan semua itu sejatinya, boleh-boleh saja. 

Dekade berikutnya kemudian tengah berjalan. Kita tidak tahu seberapa lama jatah umur yang Allah beri. Namun kita selalu punya harapan untuk menjadi lebih baik lagi. Jika ada seseorang yang kepadanya saya ingin berterima kasih, maka ia adalah diri saya sendiri. 

Din, terima kasih telah melalui dekade kemarin dengan caramu. Tidak mudah, tapi kamu telah menjalaninya. Teruslah berjalan, hingga Allah yang memanggil untuk pulang. Teruslah berjuang pada apa yang Allah takdirkan. SurgaNya luas, dan terkadang jalan ke sana sejatinya dekat saja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)