Jumat, 10 Januari 2020

Seorang Isteri yang Menangis di Restoran

“Pasti pengantin baru...” bisik saya kepada Abu Fayyadh yang sedang sibuk dengan ayam goreng pesanannya.

“Tuh cincinnya...”, Abu Fayyadh menengok sekejap pada pasangan yang tengah bergandengan tangan memasuki restoran di mana kami berempat juga sedang menikmati hidangan.

Pasangan suami istri yang nampaknya berusia lebih muda dari kami itu sedang sibuk mencari meja yang kosong. Selanjutnya, keduanya kemudian duduk di posisi tepat pada jarak pandang saya. Membuat saya dengan leluasa dapat memerhatikan mereka sambil menyuapi dua bocah yang sedang sibuk menikmati nasi gorengnya.

“Tapi kok diam-diaman ya, Ba?” saya kembali berbisik pada Abu Fayyadh sambil melirik pada pasangan itu. Insting kepo saya sungguh sedang bekerja dengan baik. Abu Fayyadh mengangkat kedua bahunya. “Eh, ini sambalnya enak...” ujarnya kemudian. Tidak nyambung.

Ya, pasangan muda itu nampak saling diam. Tidak juga sibuk dengan gadgetnya. Keduanya duduk berhadap-hadapan, tapi dengan pandangan mata yang tidak saling memandang. Justru melihat ke arah lain dengan tatapan kosong. Lebih tepatnya, seolah sedang sibuk dengan pikiran masing-masing.

Perhatian saya kembali teralihkan kepada Fawwaz yang menggeleng saat saya suapi, dan Fayyadh yang menjerit ingin minum, saat kemudian ekor mata saya mendapati sang pria mengusap-usap pundak wanitanya, seolah sedang menenangkan istrinya itu.

“Ba.., kayaknya mereka lagi ada masalah deh...” ujar saya lagi kepada Abu Fayyadh

“Auuu....” ujar Abu Fayyadh dengan ekspresi yang (seolah-olah) peduli.

Sejurus kemudian, sang wanita nampak meraih tissue di hadapannya, lalu mengusap air matanya dengan punggung yang bergetar. Perempuan itu, menangis.

“Istrinya nangis, Ba...” ucap saya lagi. Abu Fayyadh menempelkan telunjuk pada bibirnya. Nampaknya mulai tidak tahan dengan kekepoan saya, ia kini sibuk menyuapi Fayyadh dengan cincau dari gelas es telernya.

Pemandangan itu, membuat saya menghembuskan napas. Saya tidak kenal sama mereka. Saya bahkan tidak benar-benar tahu apakah tebakan saya bahwa mereka adalah pasangan pengantin baru itu benar atau tidak. Tapi, sekiranya memang benar, maka sungguh saya merasa sama sekali tidak heran.

Ya, tentu tidak mengherankan saat kita mendapati bahwa ada pasangan muda yang tengah bermasalah dengan rumah tangganya. Iya, sebab nyatanya membangun rumah tangga yang terus menerus stabil tanpa masalah, nyaris merupakan sebuah kemustahilan.

Rumah tangga yang terdiri dari seorang lelaki dan seorang wanita yang konon berasal dari ‘planet’ yang berbeda, bukanlah tempat yang melulu hanya berisi kebahagiaan saja. Akan ada ujian. Ada masalah. Ada benturan, cekcok, dan perselisihan yang bisa jadi akan menghinggapinya. Perbedaan karakter dan fitrah dasar antara lelaki dan perempuan bisa menjadi alasan yang sangat logis dalam hal ini.

Saat masalah datang, maka kita akan dihadapkan dengan suami yang ingin segera mencari solusi, sementara istri yang terkadang hanya perlu untuk menemukan ruang curahan hati terlebih dahulu. Jika keduanya tidak bisa menurunkan ego untuk berada pada titik tengah, maka suami akan mendapati istrinya sebagai makhluk yang lemah nan suka mengeluh, sementara si istri akan menganggap suaminya sebagai manusia tanpa kepekaan dan tidak bisa menjadi pendengar yang baik. Saat itu terjadi, maka: BOOOM! Benturan, tidak lagi terelakkan.

Belum lagi, saat kita mendapati bahwa ada pihak ketiga, yang merupakan musuh sejatinya manusia, yang mana ia bernama setan, yang sungguhlah berbangga jika berhasil memisahkan antara istri dan suaminya dari ikatan suci mahligai rumah tangga.

Dalah periwayatan Imam Muslim, lewat penuturan Jabir Radhiyallahu ‘anhu, kita akan mendapati bahwa Iblis teramat sangat membanggakan anak buahnya, yakni setan yang berkata; “Aku tidak meninggalkannya (untuk digoda) hingga aku berhasil memisahkan antara dia dan istrinya.”

Maka ya, sebab pernikahan adalah ibadah, karena itulah setan akan merasa sangat bangga jika berhasil membuat kita gagal dalam ibadah yang teramat panjang ini. Naudzubillahi min zalik...

Sebab pernikahan adalah ibadah, maka dengannyalah kita bisa meraih surga. Dengan taat pada suaminya, seorang wanita yang menjaga shalat dan puasanya, serta menjaga kehormatannya, dapat masuk surga lewat pintu yang manapun juga. Dengan memberi nafkah kepada anak istrinya, seorang lelaki dapat mengumpulkan pundi-pundi amalan baik yang dapat mendatangkan ridha dan rahmat Allah.

Tapi, apakah semudah itu? Sayangnya, tidak selalu seperti itu, qaqa...

Saya, baru benar-benar mengerti, mengapa suatu hari dalam sebuah daurah sakinah yang saya ikuti semasa gadis dulu, sang ustadzah berkisah, bahwa kalimat pertama yang ia ucapkan kepada sang suami setelah akad adalah; bantulah saya untuk taat kepadamu....

Sebab nyatanya, ada ego yang harus ditekan, ada kepentingan diri yang harus disingkirkan, dan ada keyakinan kuat yang harus ditancapkan, saat kita dituntut untuk senantiasa taat, bahkan atas perkara yang terkadang tidak sesuai dengan keinginan kita.

Saya, baru benar-benar menyadari, mengapa memberi nafkah kepada keluarga itu menjadi hal yang begitu penting, saat ternyata, mendampingi suami dari titik nol itu bukanlah perkara yang ringan. Saat pada posisi sebagai anak dulu, kita tidak pernah benar-benar menyadari betapa ayah kita sesungguhnya mengorbankan banyak hal hingga sampai pada titik yang kemudian kita nikmati bersama. Dan, menyaksikan suami harus menyingkirkan segala gengsi, membanting tulang ke sana kemari, termasuk membangun optimisme saat terbentur dengan kegagalan, bukanlah perkara sederhana yang dapat dengan mudah terlewati.

Maka karena itulah, pernikahan tidak bisa hanya dibangun dengan cinta saja. Karena itulah, dalam setiap shalat kita, kita berharap kekuatan dan pertolongan dari Allah untuk memudahkan kita dalam mengarungi biduk rumah tangga. Saat hari ini, seorang suami harus menundukkan pandangan lebih rapat, sebab para wanita mulai kehilangan rasa malunya. Saat hari ini, seorang istri harus bisa lebih mengqanaahkan diri, saat sesama perempuan terkadang ringan saja untuk saling memamerkan perbendaharaan dunia, sehingga perempuan lainnya harus semakin kuat untuk merajut kesyukuran dan kesabaran atas keadaannya.

Maka pada titik kelemahan kita masing-masing, kita berharap, Allah menolong kita melaluinya.

***

Kami sudah akan meninggalkan lokasi tempat menghabiskan weekend siang itu saat kemudian saya kembali berpapasan dengan pasangan di restoran tadi. Raut wajah mereka masih sama seperti tadi. Tapi, telapak tangan keduanya masih saling bergenggam. Erat.

Saya tersenyum.

Sambil dalam hati tersimpan doa, semoga rumah tangga keduanya baik-baik saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)