Senin, 26 November 2018

Kapan Terakhir Kali Menangis Mendengarkan Taujih?

Pertanyaan di atas -yang merupakan status salah seorang kawan di FB bertahun yang lalu, selalu mengingatkan saya pada satu kejadian di masa SMA dulu. Saat kami, para belia berseragam putih abu-abu, duduk dalam sebuah majelis kecil di beranda mushala, sambil menyimak sebuah kisah.

Kisah itu tentang keteladanan para shahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Yang membacakannya adalah salah satu dari kami, siswi SMA juga. Disimak juga oleh kami-kami, yang juga siswi SMA. Dibaca dengan irama yang datar, tanpa diiringi suara latar, tidak juga dengan visualisasi macam-macam. Sederhana saja. Tapi entah mengapa, kisah itu membuat kami meneteskan air mata. Ah, betapa saya merindukan momentum masa-masa SMA itu. Masa awal mengecap hidayah. Yang karenanya, membuat semua itu menjadi kenangan atas cinta.

Kemudian waktu berlalu. Banyak sekali hal yang sudah terjadi. Pertemuan, perjumpaan, perpisahan, dan kehilangan, juga berbagai perubahan, datang silih berganti. Hingga pada satu titik, saya merenungkan jalan panjang yang telah saya lalui. Lalu mencoba mencari subtansi atas semua itu. Tentang apa yang sebenarnya saya kejar. Apa yang saya cari. Apa yang saya perjuangkan.

Saat saya mencoba mengambil langkah mundur dari tempat saya berdiri, saya mendapati bahwa segalanya bisa terlihat lebih jelas. Bahwa berada di dalam gelembung kita sendiri terkadang membuat kita hanya sibuk dengan nilai dan standar kita sendiri. Saat kita melihat segalanya sebagai hitam putih, kita jadi merasa berhak untuk memukul rata semua yang ada di sekeliling kita sebagai sesuatu yang 'salah', saat warnanya dengan kita tidak sama. Saat jalan yang ia lalui berbeda. Saat pilihan yang ia tempuh tidak serupa dengan kita. Padahal, kita sama sekali tidak tahu apa yang sedang ia hadapi.

Saya teringat perkataan seorang ustadz, dalam sebuah majelis yang begitu besar, setiap sudut masjid yang megah itu diisi oleh berpasang mata yang hadir untuk menyimak kajiannya. Hari itu, ia akan membahas tentang akhlak. Lalu sebelum memulai penjelasannya, ia membuka majelisnya dengan sebuah nasihat yang sangat indah...

"Saat kita membahas tentang akhlak, maka yang harus kita ingat adalah bahwa materi ini ditujukan untuk memperbaiki diri kita. Jangan sampai saat dibahas tentang keburukan akhlak yang buruk, yang pertama terlintas di pikiran kita adalah tentang akhlak orang lain kepada kita, lalu kita pun 'mengaminkan' bahwa ia berdosa... jadinya kita lupa, bahwa harusnya yang pertama kita perbaiki itu diri kita sendiri .."

Ya, saat ilmu dikejar hanya untuk diajarkan pada orang lain. Saat ilmu diburu agar bisa menemukan dalil untuk menunjukkan kesalahan orang lain. Saat ilmu dicatat hanya untuk menjadi checklist untuk menunjukkan betapa salahnya orang lain. Dan pada saat yang sama, kita merasa aman atas diri kita sendiri. Maka saat itu, bagaimana bisa kita menangis saat mendengar taujih? Astaghfirullah...

Mungkin kita perlu kembali kepada kepekaan yang ada di titik di awal kita mulai berhijrah. Pada saat tetes hidayah itu pertama kali menyapa, dan kita paham betul, bahwa kita bukan siapa-siapa. Kita belum menjadi apa-apa.

261118