Senin, 26 Agustus 2013

You Can Go Wherever You Want

Ting nong!
Ting nong!

Bel berbunyi. Fajar merekah. Membuka pintu kamar dengan mata yang masih segaris. Menyusuri tangga. Sedikit mempercepat langkah. Membuka pintu kamar yang lainnya. Menyalakan lampu. Membuka resleting kelambu. Menuntun ke kamar mandi. Bersiap untuk membantu mandi dan menyiapkan tempat shalat. Menuntun lagi, lalu memastikan mukenah dan sarung terpakaikan dengan rapi. Menutup semua aurat yang harus tertutup. Selesai. Kembali ke kamar sendiri, berwudhu, lalu shalat pula.

Matahari, pelan-pelan mulai memancarkan sinarnya. Hangat, menembus kisi-kisi jendela. Membersamai setiap langkah yang menderap ke tempat tujuan mereka masing-masing, pagi itu. Ia sudah di sana. Diantara rak-rak berisi pil-pil dan tablet dalam kemasan. Belum nampak siapapun. Sepertinya masih terlalu pagi untuk melayani. Tidak ada salahnya memulai hari dengan menyapu lantai dan membersihkan debu-debu di rak-rak. Mengepel? Bukan pilihan yang buruk. Dalam hidup ini, banyak hal yang harus segera diselesaikan, tentu untuk kembali melanjutkan perjalanan.

Perjalanan itu cukup panjang. Transit di ibukota, untungnya tidak kembali berhenti di kota yang lain. Tiba di bandar udara. Dari tempat para pesawat datang dan pergi, menuju tempat kapal-kapal melempar sauh dan berangkat. Manusia dimana-mana. Inikah tempat yang di sebut sebagai Serambi Makkah itu? Wajah-wajah khas dengan hidung mancung dan alis tebal, kepala-kepala yang tertutup jilbab. Gadis itu berjingkat-jingkat untuk naik ke kapal boat itu. Menuju pulau tempat titik nol negara itu berada. Menyamankan tempat duduknya, memperbaiki lipatan jilbabnya.



Makassar?”, tanya lelaki berkumis tebal itu sambil tersenyum. Matanya melebar pula. Gadis yang baru pertamakali ditemuinya itu mengangguk sambil tersenyum. Suara ombak yang diterobos badan kapal mulai terdengar berisik. “Makassar! Saudara jauh! Saudara jauh!”, ujar lelaki berkumis tebal, kini ia tertawa. Seolah bertemu dengan kerabat yang lama tidak berjumpa.

Kapal menyandar. Menghamparkan pemandangan pelabuhan sebelah. Wajah-wajah lelah, adapula yang sumringah. Pulau ini. Akhirnya ia tiba.

Salak Sabang? Salak Sabangnya, Dik?”, seorang bapak menenteng kerangjang penuh salak. Membetulkan letak kacamatanya, gadis itu kembali tersenyum. Ia sudah sampai.



Pulau ini tak tampak terlalu ramai. Tidak juga mewah. Rumah-rumah dan pekarangannya nampak sederhana saja. Di beberapa titik memang terlihat beberapa penginapan-penginapan tempat para wisatawan melepas lelah untuk kembali berjalan-jalan. Biasanya terletak di tempat yang lebih tinggi. Menyajikan pemandangan laut biru, bersanding dengan langitnya. Bapak walikota yang masih nampak sangat muda dan energik, tidak henti-henti memaparkan tentang kebanggaan pemadangan pantai dan bawah laut pulau itu. Pasir putih, laut biru dengan gradasi yang sempurna. Langit dengan warna serupa, dengan awan yang nampak seperti kapas halus, tertata dengan mengagumkan.

Hingga saat berpisah akan selalu datang. Ia kembali menumpang pada sebuah kapal boat. Bapak penjual salak itu kini berimprovisasi. Sebelum kapal benar-benar bertolak dari pulau itu, ia mencoba peruntungan dengan naik ke kapal dan menjajakan dagangannya. Seolah seseorang memberi komando, tidak satupun penumpang yang membeli salaknya, tidak ada sebutirpun yang berhasil terjual. Kapal sebentar lagi berangkat. Ia berjalan menuju pintu keluar. Tersenyum pada petugas kapal yang membalas senyumnya dengan bonus lesung pipi. Ingat, tidak ada dagangannya yang terbeli, tapi lamat-lamat suaranya masih bisa terdengar oleh gadis berkacamata itu. “Alhamdulillah...”, lirih penjual salak itu sambil melompat meninggalkan kapal.



Tanah yang diberkahi. Mereka menyekatnya bukan dengan apa-apa, tapi dengan syariat yang ditegakkan. Plus, sejarah panjang yang membentang tentang kemuliaan, kemenangan, juga duka dan trauma yang dikenang pada dinding-dinding monumen. Cerita itu akan selalu mengikut, tidak ada seorang pun yang akan melupakannya. Cara menceritakannya saja yang kini mulai berubah. Tidak ada lagi tangis. Ketegaran, mungkin itulah yang muncul kemudian.




Salah satu sultan paling dihormati di tanah ini, menikah dengan seorang gadis yang seasal denganmu. Sultan itu, sesuai kata dan tindakan. Bahkan menghukum sendiri anaknya yang bersalah dengan syariat Islam.”, ujar lelaki berpeci itu. Ia perantau. Lelaki di sampingnya, yang tetap berkonsentrasi pada kemudi juga seorang perantau, mengangguk-angguk membenarkan kawannya.

Di sini tidak ada uang panaik seperti di tempat kita. Mereka lebih mementingkan mahar, biasanya berupa emas. Biaya pernikahan ditanggung kedua belah pihak.”, lanjut lelaki berpeci. Hari itu, ia mengenakan jubah merah tua. Lelaki yang menyetir di sampingnya tersenyum. Ikut bercerita tentang pengalamannya menikah dengan gadis asli dari tanah itu.

“Semoga selamat sampai tujuan...”, lelaki berpeci itu menuntaskan bantuannya hingga memastikan semua tetek-bengek penerbangan telah tuntas. Gadis yang hari itu berjilbab biru tua, membetulkan letak kacamatanya, mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada sambil tersenyum. Senyum perpisahan.


Hawa dingin menyeruak seketika. Turun dari burung besi, lalu dibawa oleh roda empat menuju sebuah dataran yang lebih tinggi. Sebuah apel raksasa nampak dikeliling oleh kanak-kanak yang bermain di taman itu. Apel hijau besar. Dikelilingi hewan-hewan raksasa yang tersenyum –mereka terbut dari semacam semen, masih di lokasi yang sama. Mobil itu tidak singgah di sana. Ia segera melaju ke penginapan. Sebuah penginapan dengan pekarangan yang luas. Pemandangan yang indah. Dan udara sejuk yang berhembus sesekali. Kata orang di sana, sekarang ini sudah lebih kurang dingin dibanding dulu. Efek polusi? Global warming?

Ia membunuh waktu dengan berkeliling di taman. Duduk-duduk di kursi kayu. Berkeliaran kemana-mana. Hingga seorang ibu berjilbab dengan nametag yang terkalung di lehernya, menyapanya.



Sampeyan ini siapa?”, tanya ibu itu. Sedikit mendelik, ada kecurigaan pada nada bicaranya. Gadis itu mengusahakan senyuman; sebuah awal yang baik untuk memulai penjelasan apapun, menurutnya.

Kita seharusnya memulai perkembangan ilmu itu dari sini!,” lelaki bertubuh tambun namun kharismatik itu menyelesaikan penjelasannya. Telah tuntas ia memaparkan tentang ulul albab, sesuatu yang mendasari gerak dan tindakannya. Tidak ada yang mengantuk. Tidak ada yang bosan. Semua orang terkesima jika tidak disebut terhipnotis. Seolah sesegera mungkin menyusun rencana-rencana pembaharuan di tempatnya masing-masing. Hawa semangat berhamburan di udara.



Tidak banyak yang ia eksplorasi di kota dengan penduduk berbahasa halus itu. Dengan medhok yang khas dan seolah tidak bisa ketinggalan dari tiap ucapan mereka. Tapi, sepertinya ada keterkaitan yang saling berhubungan, antara suhu udara, cara bercakap, dan iklim belajar di sana. Ia menatap kantong kertas berisi oleh-oleh yang dijinjingnya. Memastikan bahwa keripik dari beraneka buah tidak alpa dari sana, juga oleh-oleh buku yang dibagi-bagikan oleh bapak kharismatik tadi. Ia akan menyusuri langit lagi; terbang.
Setiap pendaratan akan membawa kesan yang melegakan. Bahkan meski tersisa gendang telinga yang seolah menebal akibat perbedaan tekanan udara. Gadis itu menyusuri bandar udara yang nampak cantik itu. Kesana kemari, naik turun eskalator. Hingga tiba di gerbang kedatangan. Lalu langsung mendapati seorang ibu berbadan tinggi dengan kulit putih dan senyum manis. Kacamata bergagang tipis menumpang di atas hidungnya yang mancung. Menjabat tangannya, menyapanya dengan aksen melayu yang khas. Bajunya juga seirama, melayu sekali.

Ibu tak ikut?”, tanya ibu berkacamata saat mobil yang mereka kendarai mulai melaju. Perbincangan pun bergulir. “Saya dulu berobat di sana. Alhamdulillah Allah memberi kesembuhan”, ujarnya kemudian, lalu ia bertukar nomor ponsel dengan gadis di sampingnya, gadis itu berusaha menghilangkan raut lelah dari wajahnya. Menanggapi setiap informasi seantusias mungkin.

Lancang kuning menghias dimana-mana. Terutama pada bangunan-bangunan publik yang berdiri kokoh, sepanjang jalan raya yang nampak teratur dan tidak begitu sesak. Hotel yang berdiri megah itu pun tidak ketinggalan. Meski semuanya nampak modern, namun petugas yang berlalu lalang tidak ketinggalan dengan busana melayunya. Lengkap dengan ramah tamah yang tidak akan tertinggal. Ia ditempatkan di tingkat yang cukup tinggi untuk menangkap sepotong pemandangan kota itu dari atas. 



Tidak banyak pula tempat yang sempat gadis itu kunjungi di sana. Hanya saja, pada tempat-tempat umum, terutama wilayah-wilayah sarat aroma pendidikan, para ibu-ibu selalu nampak anggun dengan baju kurung dan bawahan dan jilbab yang senada. Meski mungkin menggunakan stelan dengan celana panjang akan terlihat lebih lincah dan tetap formal, tidak ada diantara mereka yang memilih menggunakannya. Mungkin, mereka sedang mencontohkan, kepada para anak didik yang juga mengenakan pakaian yang sama.

Dan setiap kedatangan akan diikuti dengan kepergian. Perpisahan adalah kawan karib dari setiap perjumpaan yang akan datang bergiliran, tanpa perlu saling mempermasalahkan, apalagi saling bertengkar. Ibu berbadan semampai dan berkacamata itu telah berjanji akan mengirimkannya informasi tentang tempat pengobatan itu. Janji yang kelak akan ia tunaikan begitu gadis itu tiba kembali ke tanah kelahirannya.
“Terima kasih ya, Dik, Kapan-kapan datanglah lagi ke sini...”, ucapnya sebagai salam perpisahan.
Saya yang harus berterima kasih, Bu.”, gadis itu menjabat tangan ibu berkacamata. Entah kapan mereka akan bertemu lagi.


Memandang langit dari ketinggian yang lebih. Tetap terlihat biru. Awan pun tetap saja putih. Rumah-rumah berderet dan semakin lama terlihat semakin serupa kotak-kotak kecil. Lama kelamaan tidak lagi dapat diindrai dengan mata. Hanya tersisa pemandangan biru saja, semakin lama semakin menua. Malam melahap hari, menggantikan tahta biru dengan kelam di langit. Gadis itu menghembuskan napas. Memastikan seat-belt terpasang dengan sempurna. Mencoba memejamkan mata sesaat.

Matahari sudah mulai meninggi, meski belum begitu menyengat sinarnya. Jalanan mulai hiruk pikuk. Kios penjual aneka makanan di depan sana nampak sudah siap pula menerima pelanggan. Seseorang memasuki pintu. Disambut dengan senyuman. Lalu tanpa merasa perlu membalasnya dengan hal yang sama, ia mengeluarkan secarik kertas dengan coretan-coretan di atasnya.

Ada?”, ia bertanya.

Lelaki yang menerima kertas itu mencermati tulisan yang ada di sana. Sejurus kemudian mengangguk dan mengiyakan pertanyaan tadi. Mengetik sesuatu di komputer di hadapannya, lalu melayangkan kertas tadi ke meja belakang. Gadis itu menerimanya segera.

Tolong disiapkan ya..”, ujar lelaki itu sambil mempersilakan pembelinya menunggu.

Tanpa harus mengatakan apa-apa, gadis itu mengambil sachet plastik di salah satu laci, lalu mulai mengedarkan matanya pada tiap rak obat.



Nak...”, suara lain memanggilnya. Ia tidak sedang berada diantara rak-rak, tidak pula sedang memegang selembar resep. Ia masih di sana. Tidak kemana-mana. Baru saja menyelesaikan shalat subuh dan singgah sebentar di depan layar TV yang memutar tayangan tentang sejarah. Ia sedang menatap derap kaki kuda di padang pasir.

“Tolong buatkan susu kedelai...”, lanjut suara itu.

Iya, bu..” Ia segera ke dapur, mengambil mug dan sendok. Mulai membuat susu. 

Rabu, 21 Agustus 2013

Per-Empu-An

“Adik-adikmu, Nak.. Mereka pasti kedinginan..”, ucap lelaki itu. Menirukan kata-kata ibunya. Wanita yang sejak Ramadhan bertahun yang lalu tidak bisa lagi ia lihat wajahnya. Wanita yang namanya berarti yang dirindukan. Wanita bersaudara kembar yang kerap membuatnya bingung saat sepulang dari sungai, kerap tertukar. 

Angin senja berhembus sepoi-sepoi. Memainkan anak rambutnya yang makin menipis dan memutih. Janggutnya yang ikut kelabu juga turut bergerak tiap ia bicara. Bergetar sedikit sebab bibirnya bergetar pula mengenang dan mengucap kalimat itu. Pandangannya mengarah ke sebuah kaligrafi kayu yang tertempel di dinding. Tapi pikirannya menjelajah masa lampau, tentang ibunda, dan tiga adik terbungsu keluarga mereka yang tidak sempat ia lihat bertumbuh dewasa. 

Di hadapannya, telah duduk anak perempuannya. Betapa gadis kecil bertubuh gempal dan berpipi tembam itu kini telah menjadi seorang wanita dewasa. Wajah anaknya yang satu itu, menjiplak wajahnya dengan sangat baik, dalam versi wanita. Anak perempuan sulung yang sangat mengerti kapan ia marah. Bukan saat nada bicara dan volumenya meninggi, itu normal saja. Tapi justru saat ia memilih diam, berbicara lewat lisan istrinya, ibu dari anak-anaknya. 

Suatu kali, ia melakukannya saat gadisnya itu masih di bangku SMP. Ia menjemputnya sepulang les, dan mendapati anaknya itu berjalan beriringan sambil berbincang dengan seorang kawan lelakinya. Hal biasa, sebenarnya. Anak-anak lain juga melakukan sesuatu yang sama. Tapi itu cukup membuatnya mendiami sang anak. Di kali yang lain, seorang kawan lelaki gadis itu begitu intens menelepon ke rumah mereka. Ia pun tahu, anak lelaki itu memang lebih banyak bergaul dengan anak-anak perempuan di sekolahnya. Namun, ia tetap merasa tak aman. Terlebih saat anaknya meminta izin lewat ibunya untuk ke bioskop. Beramai-ramai dengan kawan-kawannya yang mayoritas wanita. Tapi, anak lelaki yang selalu menelepon itupun ada di sana.

“Pergilah, tapi ikutkan pula pamanmu..”, demikian mandatnya lewat lisan sang istri. Sekali lagi, ia mendiamkan anaknya. Ke bioskop bersama paman? Lebih baik tak usah! Anak perempuannya itu cemberut. Anaknya itu, secara fisik kadang dianggap lemah, namun ia tahu anaknya itu mewarisi perangainya; keras

Kalau begitu, tidak usah ke bioskop. Nonton televisi di rumah saja!” titah sang ayah telah jelas. Si anak hanya dapat berusaha memahami bahwa kedua orang tuanya harusnya tahu, bahwa film bioskop baru akan diputar di TV saat kadaluarsa. 

Maka demikianlah caranya. Kadang diamnya justru memberi pengertian yang lebih jelas. Itu ia sebut sebagai sikap. Dan anak-anaknya kini sudah punya sikapnya masing-masing pula. Mereka, untungnya tetap punya satu kesamaan; tidak senang membuat pusing kedua orangtuanya. Maka kali itu, si anak perempuan sulung itu duduk tenang di hadapannya, menyimaknya bercerita.

Saat hujan turun di malam hari, nenekmu pasti akan mengucapkan itu...”, ujarnya. Matanya semakin berkaca. “Ia mengingat anak-anaknya yang sudah dikubur. Ia khawatir mereka kedinginan saat hujan turun..”, lanjutnya. 

Ya, ini cerita tentang kehilangan. Kehilangan yang dirasakan seorang wanita tiga kali berturut-turut. Wanita masa lalu yang tanpa keluh melahirkan berkali-kali. Telah tujuh kali ia menempuh proses itu sebelumnya. Ketujuh anaknya tumbuh sehat, meski hidup dengan sangat sederhana. Suaminya hanyalah seorang guru bergaji rendah. Meski di masa depan, anaknya memperkenalkan lelaki itu kepada para cucu yang tidak pernah ia temui sebagai ilmuwan. Namun, di kali yang kedelapan hingga kesepuluh, ujian itu datang. Tiga anaknya yang terakhir tidak ada yang sempat melewati masa remaja. Saat kehilangan yang pertama, ia masih bisa tegar. Kehilangan yang kedua mulai membuatnya berguncang. Hingga kehilangan yang ketiga, ia membutuhkan waktu cukup lama untuk menerima nasibnya. Kuburan-kuburan mungil itu disusun berderet di areal perkuburan keluarga. Ia cukup tahu bahwa jasad-jasad kecil itu tidak lagi bernyawa. Namun naluri keibuannya membuatnya merasa harus tetap melindungi ketiganya. Pada kehilangan yang ketiga, mungkin itulah yang disebut dengan trauma. Setiap hujan turun, terlebih di malam hari yang dingin, udara yang menusuk tulang di kampung itu, ia akan selalu terduduk di depan jendela rumah panggungnya. Menetes-netes air matanya tak tertahankan. Tiap ada dari anaknya yang menyapa atau sekadar mengusap punggungnya, maka ia akan mengatakan hal yang sama;

“Adik-adikmu, Nak... Mereka pasti kedinginan,”, ucapnya dengan air mata berderai-derai dan bibir bergetar. Tatapannya jauh menembus jarak menuju pusara anak-anaknya.

Tanyakanlah makna cinta pada seorang ibu. Nampaknya itu benar. Bayangkan saja apa yang telah dilakukan oleh para perempuan mulia itu. Mereka, meninggalkan sisi manusianya untuk menghadapi sebuah momentum yang mulia; melahirkan sebuah jiwa.

Bahkan sejak rahimnya dititipkan makhluk oleh Allah, maka perjuangan itu dimulai pula. Ingin turut merasakannya? Konon, cobalah mengikatkan dua butir kelapa di bagian perut. Bawa ia kemana-mana. Berjalan, duduk, tidur, makan, shalat, mandi, kemanapun! Rasakanlah bahwa sungguh tiada posisi yang nyaman karenanya. Itulah yang dirasakan seorang wanita dalam menanggung beban kehamilan.

Melahirkanlah! Maka kalian akan mengerti mengapa seorang anak harus berbakti pada ibunya!”, demikian kira-kira pesan dari seorang kakak saat saya menjenguknya sehabis ia melahirkan. Ah, kejadian itu sungguh luar biasa. Manusia, secara fitrah membenci ketidaknyamanan dan rasa sakit. Namun saat seorang ibu melahirkan anaknya, ditanggalkannya semua itu jauh-jauh. Mungkin, ada rasa takut. Namun, demi menatap wajah mungil yang ia kandung berbulan-bulan; yang menyatu dengan tubuhnya, dengan darahnya, yang ia rasakan detak jantungnya –maka rasa takut itu bisa ia tampik. Tak peduli meski segala urat akan terputus atau misalkan perutnya harus dibelah dan ia terus menderita di waktu-waktu setelahnya. Tidak peduli bahkan meski rasanya ia sudah berada di penghujung nyawa, senyumnya akan tetap terkembang manakala manusia baru yang ia lahirkan itu memulai tangisannya yang pertama. Betapa dahsyat cinta bekerja di sana.

Beberapa waktu yang lalu, saya mendengar berita tentang berpulangnya seorang senior sefakultas. Saya tidak mengenalnya. Rasanya, tidak pernah langsung menatap wajahnya. Namun, bahwa ramai saya dengar cerita tentang kenangan baik perihalnya, saya yakin, ia seorang yang membuat banyak orang merasa kehilangan. Perempuan baik itu, meninggal dunia saat proses melahirkan anaknya.

Seperti halnya bahwa meski kita menjejaki tanah konflik dengan besarnya peluang syahid, maka tetap saja kenyataannya tidak semudah itu. Tetap saja Allah akan memilih, siapa diantara hambaNya yang berhak untuk mendapatkan sebaik-baik kesudahan. Bahkan meski kita telah berdiri di depan moncong senjata kaum kuffar, jika tidak ada kepantasan bagi kita untuk berpulang di jalan Allah, maka itu pun tidak akan terjadi.
Sama halnya dengan ini. Senior itu, berkesempatan mendapatkan akhir yang baik, in syaa Allah. Ia pergi saat berada di medan jihadnya. Medan besar yang bahkan tidak akan sanggup dihadapi oleh lelaki paling kuat sekalipun. Semoga Allah karuniakan kepada beliau sebaik-baik tempat kembali. Aamiin...

Mati syahid ada 7 selain yang terbunuh di jalan Allah: Orang yang mati karena thaun, syahid. Orang yang mati tenggelam, syahid. Orang yang mati karena ada luka parah di dalam perutnya, syahid. Orang yang mati sakit perut, syahid. Orang yang mati terbakar, syahid. Orang yang mati karena tertimpa benda keras, syahid. Dan wanita yang mati, sementara ada janin dalam kandungannya.” (HR. Abu Daud 3111 dan dishahihkan al-Albani).
 
Maka tulisan ini adalah tentang kekaguman saya pada sosok perempuan-perempuan tangguh. Mereka yang jihadnya setiap waktu.  Sungguh beruntung kita, berada di bawah naungan Islam yang membawa manusia menjadi berperadaban. Memuliakan wanita dengan pemuliaan yang begitu rupa. Kaum wanita yang tadinya dipertanyakan kemanusiaannya, yang dikubur hidup-hidup saat masih bayi, yang diungsikan saat menstruasi, yang ikut dibakar saat suaminya dikremasi, atau yang diwariskan kepada anak lelaki. Betapa Islam telah menyelamatkan kita, dengan penyelamatan yang terbaik.

Memberikan kita sebaik-baik contoh, Rasulullah Shallalahu ‘alahi wasallam yang begitu memuliakan anak-anak perempuannya, bahkan dihadapan para tamu-tamunya. Lelaki yang begitu lemah lembut kepada istri-istrinya. Hidup hanya beristrikan Khadijah Radhiyallahu ‘anha bertahun-tahun lamanya, saat masa itu, di masyarakatnya poligami bukanlah sesuatu yang aneh. Kemudian membersamai istri-istrinya dengan seadil-adilnya cara, sambil terus mengenang Khadijah sebagai wanita yang paling terbaik; membenarkanku saat yang lain tak percaya, memberikan hartanya saat yang lain menahannya, dan melaluinya lahir anak-anak, saat dari istrinya yang lain tidak. 

Maka ada begitu banyak kriteria menjadi lelaki yang baik. Jika tidak bisa memenuhi semuanya, pastikan, setidaknya yang satu itu turut terpenuhi pula; mampu memuliakan wanita. Hmm.., setuju? Wallahu a’lam

Makassar, 20 Agustus 2013

Jumat, 16 Agustus 2013

Jebakan Angka

Apa yang ada dalam pikiran kita saat mengetahui bahwa penderita penyakit Lupus di Indonesia sebesar 1,5 juta jiwa, penyakit Thallasemia diderita oleh 5.365 penduduk Indonesia, dan yang terjangkit Multiple Sclerosis sebanyak 2,5 juta orang di dunia? Jumlah ini mungkin tidak begitu 'ngaruh' jika dibandingkan jumlah penduduk total Indonesia maupun dunia. Namun, pernahkah kita berpikir, bahwa jangankan jumlah ribuan orang, satu orang saja yang menderita sebuah penyakit, maka hal itu akan sangat berpengaruh pada kehidupan orang-orang di sekitarnya. Satu orang di dunia ini adalah anak dari seseorang, atau ayah seseorang, atau ibu seseorang, atau seseorang yang memiliki begitu banyak orang lain yang dikasihinya. Dan penderitaannya, sedikit banyak akan turut dirasakan oleh orang-orang tersebut. 

Maka bagaimana pula, jika angka-angka lain menunjukkan jumlah orang-orang yang meninggal dunia? Oleh kecelakaan, bencana alam, atau pembantaian? Maka tentu hal ini akan lebih besar lagi dampaknya. Sebab, kehilangan satu orang di dunia ini berarti kehilangan yang akan dirasakan oleh begitu banyak manusia lain yang bersinggungan dengannya. Saat kita masih saja menganggap sebuah nominal angka sebagai sesuatu yang kecil jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhannya, maka mungkin memang kita masih menganggap bahwa; kehilangan itu hanya tentang kita. Saat sesuatu yang hilang itu tidak ada hubungannya dengan kita, maka kita tidak lagi memiliki kepekaan untuk turut merasakan kepedihannya. Kita terperangkap dengan jebakan angka.

Hari ini, pemberitaan di berbagai media didominasi oleh berbagai kabar duka. Yang paling anyar datang dari negeri Mesir yang baru-baru ini membawa berita mengenaskan tentang konflik berdarah di negara tersebut. Kita belum lagi menyebut tentang Palestina yang sudah mengalaminya sekian lama, juga Suriah yang kini masih terus bergejolak, atau tentang kelompok Rohingya di Myanmar, dan negara-negara kaum muslimin lainnya yang saat ini tidak sedang berada dalam kondisi aman. Dari tempat-tempat tersebut, tercuat pula angka-angka. Beberapa diantaranya menjadi simpang siur dan terjadi perbedaan berdasarkan apa dan siapa yang merilisnya. Namun sadarkah kita, bahwa sekali lagi, kita tidak perlu menunggu munculnya angka ratusan atau ribuan, sebab satu jiwa saja yang hilang, maka itu bercerita tentang hilangnya nyawa anak dari seseorang, atau ayah dari seseorang, atau ibu dari seseorang, atau kerabat dari seseorang. Seseorang yang disayangi oleh orang-orang yang bersinggungan dengannya.

Oleh Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa sallam, setiap kita disifatkan layaknya satu tubuh bagi satu sama lainnya. Saat satu bagian sakit, maka seharusnya bagian yang lain turut merasakannya. Jadi tidak salah jika kemudian duka yang menyelimuti saudara-saudara kita di sana, juga adalah duka kita. Jadi tidak salah, jika satu nyawa yang hilang dari kaum muslimin itu, maka dia adalah anak kita, ayah kita, ibu kita, saudari kita, kerabat kita, seseorang yang sudah seharusnya turut kita cintai dalam iman. 

Besok, negeri kita yang indah permai nan aman sentausa ini akan mengadakan hajatan mengenang kemerdekaan. Maka semoga kita tidak menjadi bangsa yang egois dalam memaknai kata merdeka. Semoga kita telah menjadi anak-anak Indonesia yang memerdekakan dirinya untuk turut peduli pada saudara-saudara kita, bendera apapun yang mereka kibarkan di negerinya, tanpa tersekat oleh batas-batas teritorial. Bukankah kepedulian juga perlu dimerdekakan?

Sebab, ditengah hiruk pikuk pemberitaan dunia internasional ini, saat ada yang menggaungkan himbauan untuk peduli, maka terkadang muncul pula pemikiran-pemikiran yang menganggap; 'Negeri kita sendiri saja masih harus diurusi, kenapa sibuk mengurus negara lain?'.

Maka dengarkanlah, sungguh, tidak ada yang melarang kita untuk terus berikhtiar membesarkan bangsa ini. Tidak ada yang menyuruh kita untuk berhenti berbuat sesuatu untuk memajukan Indonesia. Pun, tidak ada yang meminta kita untuk jangan berdoa bagi negeri ini. Tapi sungguh, jangan sampai kesibukan kita untuk tanah ini justru membuat kita tidak lagi peduli, bahkan tidak punya doa untuk mereka.

Kurang malu apalagi kita saat mendengar berita tentang orang-orang Gaza yang patungan untuk sumbangan saat bangsa kita dilanca bencana. Di saat yang sama, mereka masih dijajah oleh Israel. Kini, saat Mesir bergejolak, tidak henti pula mereka memberikan kepeduliannya meski mereka pun masih sangat layak untuk mendapatkan perhatian yang besar. Lalu kita? 

Saya bergidik membayangkan apa yang nanti akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah, perihal kondisi saudara-saudara kita dimanapun mereka berada. Mari kita mencermati kicauan dari Ustadz Salim A.Fillah; Mereka di Mesir, Suriah, Rohingya, Nigeria, Palestina; sama sekali tak perlukan kita. Mereka punya Allah. Tapi Allah kan bertanya pada kita.

Ya, tentang mereka, kita akan ditanya.

Lalu jika kita hanya diam, tidak peduli, bahkan; ah, berkata macam-macam tentang korban tanpa punya pengetahuan dan ilmu yang dalam tentang keadaan yang sebenarnya, apa yang akan kita jawab di hadapan Allah nanti?

Mereka yang diam, tidak ada bedanya dengan mereka yang membantai - Tayyip Erdogan.

Maka jangan diam. Berdoalah. Itu senjata kita. 

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau  kami  tersalah.  Ya  Tuhan  kami,  janganlah  Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau  bebankan  kepada  orang-orang  sebelum  kami.  Ya Tuhan  kami,  janganlah  Engkau  pikulkan  kepada  kami  apa yang  tak  sanggup  kami  memikulnya.  Beri  maaflah  kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS. Al Baqarah: 286)

Makassar, 16 Agustus 2013

Rabu, 14 Agustus 2013

Dia Menunggu Ibu

Puisi dengan judul yang sama saya buat sekitar tujuh tahun yang lalu. Sajak 'Dia Menunggu Ibu' itu bercerita tentang seekor kucing kecil yang diletakkan oleh induknya di dalam sebuah kardus bekas yang terletak di salah satu pojokan di dalam pekarangan halaman kami. Beberapa hari si induk 'menitipkan' anaknya di kardus itu, sesekali ia kembali untuk menyusui kucing kecil yang belum bisa apa-apa itu. Kami hanya dapat menyaksikan kejadian itu tanpa berani mengusik ketentraman keduanya.

Hingga akhirnya hari itu datang. Hari dimana seperti biasa, induk kucing itu pergi untuk mungkin mencari makan, bahkan meski sesekali kami memberinya makanan. Tapi kali ini, kepergian si induk kucing berbeda. Ia tidak pernah kembali lagi. 

Beberapa hari lamanya si anak kucing itu menanti ibunya. Ia belum bisa beranjak kemana-mana. Kelopak matanya yang kecil itu bahkan belum bisa terbuka sempurna. Desember yang lembab menjadi saksi, saat hujan turun, bahkan meski kardus itu sudah kami masukkan ke dalam rumah, kucing kecil itu terus saja mengeong dengan suara yang lirih. Seolah memanggil ibunya untuk kembali. Saya menulis puisi tentangnya sambil mendengar suara kucing kecil itu diantara riuh rintik hujan.

Kami sampai harus memutar otak untuk mengusahakan agar kucing kecil itu bisa bertahan. Ia belum bisa menyantap tulang ikan atau sisa nasi, pun dengan minum susu sendiri dari gelas. Ingin menggunakan dot bayi pun sulit. Maka kami berusaha sebisanya saja agar susu formula itu bisa dikonsumsi oleh si kucing kecil. Namun nyatanya, usaha kami tidak menunjukkan hasil yang maksimal. Beberapa hari setelah kepergian si induk kucing, anak kucing itu meninggal. Adik saya yang maniak kucing menjadi nelangsa setengah mati.
Kucing kecil lagi, kisah berikutnya


Tujuh tahun setelah kejadian itu, saya tidak menyangka akan kembali membuat postingan tentang kucing. Actually, saya tidak begitu menggemari hewan yang satu itu, biasa-biasa saja. Setidaknya jika dibandingkan dengan adik saya yang masuk dalam kategori penggila kucing. Tapi cerita yang dibawa adik saya baru-baru ini cukup menggerakkan untuk menuliskan kisah kucing berikutnya. 

Alkisah, seekor induk kucing menyisip masuk ke pekarangan rumah kami. Ia kemudian mengambil tempat di salah satu pot bunga ibu. Di sana, ia melahirkan empat ekor anaknya yang lucu-lucu. Kelahiran empat anak kucing itu terendus oleh para tetangga kecil saya. Cerita tentang mereka bisa diflashback di sini. Bocah-bocah yang sedang dalam masa pertumbuhan itu nampak girang luar biasa melihat munculnya kucing-kucing kecil itu. Trade record mereka dalam hal perlakukan pada binatang memang cukup kelam. Bukan hanya sekali kami mendapati ada bangkai kucing membusuk di parit depan rumah karena kelaparan akibat dijerumuskan ke got oleh bocah-bocah kelebihan energi itu. 

Perlakuan yang sama nyatanya kembali dilancarkan oleh para bocah kepada kucing-kucing kecil yang baru lahir tersebut. Satu per satu, saat si induk lengah karena meninggalkan anak-anaknya, tetangga-tetangga kecil saya mempereteli kucing kecil itu, membawanya ke tempat yang entah dimana, sampai lenyap seketika, entah dimana. Hingga akhirnya, anak kucing yang tersisa itu tinggal dua ekor saja.

Sejak kejadian kehilangan anak, si induk kucing menjadi over-protective. Sepanjang hari ia berjaga-jaga di pot bunga, mengayomi anak-anaknya. Tiap ada yang mendekati pot itu, ia akan mengeluarkan suara yang mengerikan, seolah sedang dalam posisi 'bertahan', seolah sedang menggertak 'Berhenti mengganggu kami!". Bahkan, ia menjadi sangat agresif kepada siapapun yang mendekat. 

Si Baim nampak mengintip ke dalam pot. Induk kucing siaga satu

Pagi ini, jam belum lagi menunjukkan pukul tujuh saat saya mencoba mengecek pot bunga itu. Rupanya, si induk kucing tak nampak di sana. Sepertinya ia pergi mencari makan, seolah mencoba mencari celah sebelum matahari benar-benar terik dan bocah-bocah itu berkesempatan mengusik anak-anaknya lagi. Dan benar, saat saya mengecek kembali sekitar pukul sembilan, si induk kucing sudah kembali ke tempatnya semula. Mendekap anak-anaknya di dalam pot bunga.
Pagi masih muda, dua kucing kecil ini saling mendekap sambil menunggu ibunya kembali

Peristiwa sederhana nan nampak sepele itu, memberikan saya penyegaran pemahaman. Ditengah berbagai macam berita kekejaman yang sadis yang dilakukan oleh manusia -makhluk yang mengaku memiliki akal dan nurani, jangan-jangan kita justru perlu belajar dari bangsa kucing, tentang makna kasih sayang yang sebenarnya. Wallahu a'lam.  

Induk kucing ini, tak perlu akal untuk menyayangi



Makassar, 15 Agustus 2013


[Cooking Time!] Puding Nenas-Keju

Selain momen silaturahim, masa-masa libur lebaran adalah saatnya reuni. Wajah-wajah yang jarang berjumpa bisa berkesempatan untuk kembali bersua. Nah, penganan spesial bukan hanya bisa disuguhkan kepada tamu, tapi juga oke buat hantaran ke rumah-rumah kerabat yang dikunjungi, atau menambah kemeriahan hidangan saat sedang kumpul-kumpul reuni. 

So, dalam kesempatan Cooking-Time kali ini, yuk kita sama-sama praktek salah satu resep andalan rumah saya ^^. Resep ini hasil modifikasi ibu sehingga sedemikian rupa menjadi lebih praktis. Resep aslinya dibuat dengan cara dikukus dengan menggunakan santan. Di resep ini, kukusan bisa kita ganti dengan penambahan agar-agar, dan santan diganti dengan susu. Inilah jenis kue yang paling mudah dibuat didunia ini! Hehehe..

Pemuatan resep ini request by adinda Khairunnisa yang mengakui sedapnya puding ini, dan di saat bersamaan tidak percaya kalau saya yang membuatnya sendiri -saya tidak tau harus senang atau sedih. Hehehe... Ok sip, mari kita mulai!

Siapkan bahannya dulu yaa!




-Agar-agar bening 2 bks
-Biskuit crispy 1 bks
-Susu kental manis 1/2 kaleng
-Sirup nenas 1/2 botol
-Telur 5 butir
-Gula 1 gelas
-Keju parut secukupnya
-Air 4 gelas

Sudah siap bahannya? Sip, sekarang kita mulai cara pembuatannya. Bismillah...

1. Hancur-hancurkan biskuit crispy, campur dengan susu kental manis, telur, dan sirup nenas. Sisihkan 
2. Campurkan gula, agar-agar, dan air, didihkan.
3. Setelah campuran agar-agar mendidih, kecilkan api, lalu masukkan adonan campuran crispy. Didihkan kembali
4. Setelah mendidih, tuangkan ke dalam loyang. Pilih mana suka, loyang segiempat boleh, yang bundar juga boleh, segitiga boleh.. bentuk love juga boleh... trus.. (oke stop.)
5. Selagi masih hangat, taburkan keju secukupnya.
6. Setelah agak dingin, masukkan ke dalam lemari es. Dinikmati saat dingin lebih maknyus.

Nah, mudah bukan membuatnya *Ibu-Sisca-Suitomo-Mode-ON*? Tiap ada orang yang baru cicip kue ini, 9 dari 10 orang akan meminta resepnya #halah. Jadi, selamat mencoba yah.. Semoga bermanfaat. Mariki' di'.. 

Makassar, 15 Agustus 2013




Selasa, 13 Agustus 2013

Pulang, Lalu Berangkat

Katanya, hidup adalah serangkaian perjalanan. Dalam masa-masa emas, saat segalanya ada di puncak; tenaga, pemikiran, semangat, kita bisa menjadi begitu sibuk untuk pergi kemana saja. Mendaki berbagai puncak. Mengejar berbagai mimpi. Pergi ke sana kemari. 


Tanyakanlah makna 'pulang' pada mereka yang sedang di rantau. Maka mungkin mereka akan menjawabnya dengan bola mata yang tersaput rindu. Begitu terenyuh oleh penjelasannya sendiri. Maka memang, terkadang rutinitas dapat melunturkan pengertian kita. Saat secara fisik, kita nampak selalu pulang ke rumah. Padahal, sebenarnya hanya sekadar singgah. Saat secara fisik, kita selalu kembali, namun nyatanya; tanpa hati. Sebab pikiran kita tetap berkelana kesana kemari. Rumah, akhirnya hanya sebagai tempat melepaskan lelah. Mengatupkan mata sejenak, untuk kembali keluar darinya. Keluar, untuk benar-benar mengejar apa yang kita sebut kehidupan. 

Maka mungkin tak mengapa kita benar-benar pulang. Benar-benar menemui ibu dan ayah yang juga ikut menua. Menengok kembali tiap sudut rumah yang menjadi saksi bisu betapa kita terus tumbuh dan berkembang. Dari hari ke hari. Hingga semakin menjauh dari bangunan itu. Mungkin, hingga suatu hari memutuskan untuk meninggalkannya. Pulang, adalah saat raga dan hati kita benar-benar kembali. Menemui apa yang telah kita tinggalkan. Memberi spasi kepada diri untuk kembali menemukan kekuatan. Sebab, atas alasan itulah sebuah rumah didirikan. 

Pada saat pulang, mungkin disanalah justru kita bisa menemukan makna perjalanan. Mempertanyakan kembali apa yang sebenarnya kita cari, apa yang kita tuju. Untuk apa setiap langkah diayunkan. Apa tujuan dari setiap jarak yang telah kita lewati. Adakah semua akan berarti, saat tiba hari dimana tiada penolong lagi?

Lalu saat jawaban itu menemukan terangnya, kita tentu lebih mudah memutuskan; apakah akan meneruskan langkah, menghentikannya, atau mencari jalan yang lainnya. Saat jawaban telah ditemukan, kita bisa kembali menyusun hari depan, apa yang kita sebut sebagai rencana. 

Masa pulang, mungkin juga merupakan masa menunggu. Penantian atas segala sesuatu. Tapi, jika yang ditunggu untuk turut menentukan rencana masa depan justru tak kunjung muncul, maka mungkin itu adalah sebuah pertanda, bahwa harus kembali segera dilanjutkan langkah. Mari, kita berangkat saja. 

Makassar, 13 Agustus 2013

[CookingTime!] Pudding Zebra

Lebaran telah datang. Salah satu momentum yang ditunggu oleh kaum muslimin. Hari raya ini biasanya dimanfaatkan sebagai sarana silaturahim dengan sanak saudara ataupun teman-teman. Tradisi mudik membuat banyak wajah yang biasanya terpisah oleh jarak, bisa kembali bersua saat hari raya dan beberapa hari setelahnya. Tamu-tamu pun berdatangan!

“Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya memuliakan tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya memuliakan tamunya.” (Muttafaqun ‘Alaihi, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Masya Allah, begitu pentingnya memuliakan tamu di dalam Islam, bahkan hingga anjuran ini disandingkan sebagai salah satu parameter keimanan kepada Allah. Bahkan, sejarah mencatat, para kafir Quraisy sebelum datangnya Islam, yang kala itu dikenal sebagai bangsa dengan peradaban yang rendah dibanding bangsa lainnya, nyatanya merupakan kaum yang sangat memerhatikan masalah memuliakan tamu ini. 

Nah, salah satu cara memuliakan tamu adalah dengan menghidangkan penganan saat mereka berkunjung. Tak perlu mahal. Yang penting halalan thayyiban, dan disajikan dengan ikhlas, in syaa Allah semoga dihitung oleh Allah sebagai amal kebaikan. 

Makanya, dalam postingan cooking time ini, saya mau berbagi salah satu resep yang sudah diujicobakan di dapur keluarga kami sejak saya masih cuilik banget. Nama resepnya; PUDING ZEBRA. Membuatnya tidak begitu ribet, dan rasanya lumayan maknyus. Mau coba? Coki-cokidot!

Sebelum membuat, pastikan semua bahan-bahannya siap dulu yak!
NB: Bahan-bahan ini bisa jadi 1 loyang pyrex ukuran besar
---Adonan A
-Terigu 3/4 gelas
-Telur ayam 5 buah
-Gula 1 1/2 gelas
-Susu kental manis 5 sendok

--Adonan B
-Agar-agar bening 2 bks
-Air 5 gelas
-Gula 1 gelas
-Margarin 3 sendok

--Bahan tambahan
-Cokelat bubuk secukupnya
-Vanili bubuk secukupnya

Bahannya sudah siap? Ok sip.Berikutnya, kita akan mulai membuatnya!
1. Siapkan bahan adonan A
2.Campurkan telur ayam dan gula dengan mixer hingga adonan mengembang
3. Setelah mengembang, masukkan susu dan terigu, campurkan kembali hingga merata
4. Sisihkan adonan A
5. Siapkan bahan untuk adonan B
6. Campurkan agar-agar dan gula, air,serta margarin, didihkan
7. Setelah adonan B mendidih, kecilkan apinya, masukkan adonan A ke dalamnya dengan penuh perasaan (baca:pelan-pelan). Tambahkan vanili powder. Aduk hingga merata, didihkan kembali
8. Setelah mendidih, angkat dari kompor (ya iyalah... ^^). (Tips: kata ibu saya, tanda adonan sudah matang itu, selain didihnya, juga dapat dilihat dari tekstur adonan yang nampak mengilap :)
9. Bagi adonan menjadi dua bagian. Salah satu bagian campurkan dengan cokelat bubuk. (Tips: agar cokelat tercampur merata dan tidak berbiji-biji, campurkan terlebih dahulu coklat dengan gula pasir, setelah itu, lakukan 'pancingan' dengan menlarutkan campuran coklat-gula dengan sedikit bagian adonan,baru setelah itu dengan keseluruhan adonan. Menurut pengalaman sih, hasilnya jadi lebih oke)
10. Setelah adonan putih dan coklat siap, dengan gesit dan cekatan, tuangkan adonan tadi bergantian dengan sendok sup, dengan volume yang sama, sehingga terbentuklah gradasi warna menyerupai zebra.
(Tips: Jika ingin membuat dua resep sekaligus, sebaiknya jangan langsung men-duplo bahannya (mengalikan 2 jumlah bahan yang digunakan),tapi buatlah satu persatu. Tahap ke 10 ini alasannya.Jika bahannya terlalu banyak, dan tidak gesit dalam menuangkannya, maka sebelum seluruh adonan tertuang habis ke loyang, maka bisa saja adonan telah mengeras (ingat,kita tadi menggunakan agar-agar ya...), jadi sebaiknya dibuat satu-satu aja, biar aman.)

11. Setelah seluruh adonan habis, dinginkan sesaat di suhu ruangan. Lalu masukkan ke kulkas untuk performa yang lebih optimal :)
12. Puding zebra kita telah selesai. Selamat menikmati dan selamat berkumpul bersama keluarga, ya. Salam hangat untuk orang di samping Anda #salim :')

Setelah dipotong begini, struktur zebranya semakin terlihat nyata :)

Makassar, 13 Agustus 2013
Kalau posting resep macam ni, jadi ingat sama dr.Margono, seorang dokter senior yang hobi posting resep-resep plus foto di blognya. Rekan blogger waktu masih punya akun di Multiply sebelum MP tutup usia. Bagaimana yah, kabar beliau? Semoga selalu dalam lindungan Allah :')




Minggu, 11 Agustus 2013

Apakah Ada Banyak Rak Buku di Surga?

Tempat itu begitu menyenangkan. Tak pernah ada suara-suara ribut di sana. Suasananya juga nyaman dan tidak gerah.  Saya, setidaknya mulai diperkenalkan dengannya saat kelas 1 SD, saat mulai pandai membaca. Ya, toko buku.

Toko buku yang saya tahu saat itu adalah Gramedia. Sekitar tahun 1995 kalau tidak salah, Gramedia  berada di salah satu areal perbelanjaan yang dikenal sebagai Makasa. Sejak kecil, saya memang sudah terbiasa dengan tumpukan buku-buku bapak di rak-rak kayu rumah kami. Bahkan, kamar saya dulu adalah ruangan kecil bekas ruang baca bapak yang berisi dua rak buku kayu dan cukup ditambah dengan tempat tidur kecil dan meja belajar. Berdesakan dengan mesin jahit ibu.

Maka toko buku menjadi salah satu tempat favorit saya sejak kecil. Tiap dibawa ke toko buku, saya bersaudara punya kesempatan untuk memilih satu buku untuk dibawa pulang. Biasanya jika sudah memasukinya, kami bertiga akan berpencar, dan bapak tidak perlu khawatir kami hilang. Favorit kakak laki-laki saya kala itu adalah komik Dragonball, sedangkan saya akan mengarah ke rak yang dijejali komik Sailormoon ataupun buku dongeng bergambar, sedangkan adik kami yang bungsu (kayaknya waktu itu dia belum lancar membaca sih..), akan memilih buku bergambar secara random, yang kebanyakan berakhir sebagai potongan-potongan kecil karena digunting-gunting olehnya.

Oh iya, waktu itu kami bersepakat untuk punya koleksi serial masing-masing. Jadi misalnya kakak saya mengoleksi komik Doraemon, maka saya tidak boleh membelo komik Doraemon seri apapun, karena kakak saya akan melengkapi koleksinya tiap bulan. Nah, saat saya mengoleksi Card Captor Sakura, hanya saya saja yang boleh melengkapi seri Card Captor Sakura saya, kakak dan adik saya tidak boleh.   

Salah satu buku yang awal-awal saya beli di usia 6 tahun. Saya bahkan belum benar mengeja nama sendiri


Di rumah, kami dibelikan laci-laci plastik tiga susun. Tiap susunnya untuk masing-masing anak. Bagian samping laci itu,oleh bapak dibolongi agar bisa memasang rantai dan gembok. Masing-masing dari kami memegang kunci gembok laci masing-masing, jika ada yang mau saling meminjam harus izin dahulu pada yang punya. Kakak saya yang saat itu tentunya paling pintar (baca: paling tua :p) punya koleksi yang paling banyak. Disusul oleh saya yang waktu itu masih kurang disiplin menjaga buku, dan paling bontot tentu adik kami yang lebih tidak disiplin lagi. Hehehe...

Hingga suatu ketika, entah mengapa dalam sebulan kami begitu sering ke toko buku. Maka ibu protes. Uang belanja tentu membengkak. Maka, dalam perjalanan pulang ke rumah malam itu, dibuatlah sebuah aturan tidak tertulis bahwa jadwal ke toko buku adalah sebulan sekali, setelah bapak dan ibu terima gaji. Dirangkaikan dengan belanja bulanan di supermarket lantai satu (Gramed ada di lantai 2), dan makan bakso di gerai samping Gramedia jika bapak lagi mood ^_^. Maka sejak saat itu, kami secara teratur akan punya koleksi satu buku baru tiap bulan.  Kebiasaan ini berlanjut bertahun-tahun hingga kakak saya hijrah ke Bandung untuk kuliah.

Satu kejadian yang tidak terlupakan saat saya masih SD dan berkunjung ke toko buku adalah sebuah momen bersama seorang mbak-mbak penjaga toko buku. Waktu itu, buku-buku yang dijual belum terbungkus plastik seperti sekarang. Hal ini memungkinkan pembeli untuk membuka-buka buku setiap halaman bahkan meski tidak berniat membelinya. Waktu itu, saya sedang berdiri sendirian di depan rak yang menghampar buku-buku dongeng bergambar. Cukup lama saya mondar-mandir di sana, menekuni judul dan sampul buku satu per satu. Saat saya akhirnya mengambil satu buku dan mulai membuka halamannya dengan mata berbinar, seorang mbak penjaga toko buku datang menghampiri. Sejenak, ia hanya mengamati saya dari jarak yang tidak begitu jauh. Sejurus kemudian, ia mendekati saya dengan tampang yang tidak begitu menyenangkan, lalu mengucapkan kata-kata yang mungkin tidak akan pernah saya lupa hingga saya mati.
Kalau tidak mau beli,tidak usah dibaca-baca...”, ujarnya dengan nada ketus.
Sepersekian detik,saya yang saat itu masih bocah SD, hanya bisa terdiam menatapnya. Mencoba mengolah kata-kata dan memaknai apa yang ia maksud.  Mbak itu juga tetap menatap saya lalu bergantian menatap buku dongeng bergambar yang masih saya pegang. Cling! Saya tersadar. Lalu tanpa berkata apapun, saya meletakkan buku itu kembali ke rak, lalu meninggalkan mbak itu sesegara mungkin.  Berlari menuju bapak saya yang heran mendapati tampang saya yang masih melongo. Seperti biasa, bapak sedang sibuk berseliweran di rak buku-buku agama. Tidak ada limit membeli buku buat bapak. Wong beliau yang punya duit!

Kenapa? Sudah dapat bukunya?”, tanya bapak. Saya menatap bapak. Menggeleng lesu. Lalu berlalu menuju rak komik tempat kakak saya berada. Sejak saat itu, beberapa bulan setelahnya saya tidak pernah lagi mau ke rak buku dongeng bergambar. Trauma. Dan sejak saat itu pula, saya menjadi tidak suka dengan penjaga toko. Hehehe... Untung sekarang ketidaksukaan itu sudah terkoreksi seiring dengan pengertian yang lebih baik. Sekarang penjaga-penjaga toko juga sudah lebih ramah, kok :’) 

Namun sebab kejadian itu, saya jadi berpikir, bahwa seharusnya seorang penjaga toko buku adalah orang yang paling ramah di dunia ini.  Begitu pula seorang pustakawan. Apa yang menghalangi mereka tidak menjadi orang yang baik sedangkan tiap hari mereka dikelilingi oleh ilmu yang menjelma buku? Pikir saya. Lagi pula, mereka punya peranan dalam membangun minat baca masyarakat. Bukankah tingginya minat baca menunjukkan peradaban sebuah bangsa?

Saya juga ingat, suatu hari pernah mendapati seorang ibu yang sedang berbelanja buku dengan memboyong anaknya. Sekitar empat tahun umur bocah itu. Dengan suaranya yang cempreng, sambil mendekap sebuah buku ia merengek pada ibunya, minta dibelikan. Si ibu, dengan enteng lalu berujar.

Kamu itu tidak tahu membaca,tidak usah beli buku!”, ujarnya dengan volume yang cukup tinggi hingga saya bisa ikut mendengarnya. Si anak seketika cemberut dan hanya bisa mengembalikan buku berwarna-warni itu ke tempatnya semula. Saya menyayangkan sikap ibu itu yang bisa jadi mematahkan minat baca anaknya yang sudah mulai tumbuh. Bahkan meski si anak belum bisa baca, setidaknya ada penjelasan yang lebih baik yang bisa ibu itu berikan, dengan cara yang lebih lembut pula. Menurut saya, sih...  

Saking senangnya dengan tumpukan buku, saya bahkan bermimpi, suatu hari bisa punya perpustakaan yang nyaman dan fancy, dan menjadi pengelola yang ramah untuk para pengunjungnya. Ataukah sebuah toko buku yang menyenangkan untuk disinggahi. Tapi, sebab sekarang saya sudah jadi apoteker, bolehlah saya mimpi nanti punya apotek yang di ruang tunggunya diisi dengan sofa yang empuk dan buku-buku bagus untuk dibaca. Hitung-hitung mengobati jasad sekaligus mengobati pikiran dan hati. Keren, ya? Hehehe...

Toko buku adalah tempat yang luar biasa. Makanya saya sangat sedih saat kemudian Makasa ditimpa kebakaran yang turut menghanguskan Gramedia-nya. Saat mendengar kabar itu, saya nelangsa luar biasa. Terbayang-bayang pada beberapa buku yang belum berkesempatan saya beli karena jatah beli buku yang terbatas. Toko buku adalah tempat dimana kita melihat hamparan ilmu yang dibungkus oleh kertas-kertas kualitas bagus dengan sampul yang menarik. Saya terkadang merasa menjadi begitu liliput saat berdiri diantara rak-rak buku-buku tebal karya para ulama mumpuni.  Seolah mereka hidup kembali dan siap menggelar majelisnya lewat halaman-halaman kitab. Setiap penulis akan berada setiap saat di toko buku, dalam wujud buku yang ia tulis. Kepada orang yang bahkan mungkin tidak akan pernah ia temui seumur hidup, ia akan berbincang akrab dan hangat lewat kata-kata yang berada di tiap baris buku karangannya. Luar biasa!

Saat saya sakit, entah mengapa terkadang tempat yang sangat ingin saya datangi bukannya praktek dokter atau rumah sakit, tapi toko buku. Sebuah tempat yang memberikan efek relaksasi. Hingga saya berpikir dengan pertanyaan yang liar; apakah di surga juga ada banyak rak buku seperti itu?

Hari ini, setelah sekian lama, kami bersaudara berkesempatan ke toko buku lagi, bersama-sama. 

Selain beli buku, juga beli lampu belajar ini. Lumayan buat mengimbangi lampu kamar yang remang-remang

Sebuah peristiwa yang jarang, mengingat kakak kami tidak lagi tinggal di kota yang sama. Dan karena kesibukan masing-masing, saya dan adik kebanyakan ke toko buku sendiri-sendiri. Terkadang saya rindu masa-masa dimana kami berempat; bapak, kakak, saya, dan adik pergi ke toko buku bersama-sama. Sibuk memilih buku masing-masing. Mengumpulkan bukunya pada bapak yang akan membayar di kasir. Berebutan siapa yang akan menenteng kantung berisi buku baru. Lalu membuat senyap suasana rumah hingga beberapa hari kedepan karena masing-masing sibuk dengan bukunya. 

Padahal alasan mendasar beli ini cuma karena warnanya. Hehehe.. :)


Dalam satu kesempatan di tahun 2004, bapak membeli buku lebih banyak dari biasanya. Tiga buku sekaligus, kalau tidak salah. Masing-masing kami pun memilih satu buku. Waktu itu, koleksi saya sudah beralih dari komik (yang sekarang saya sadari memiliki jalan cerita yang aneh-aneh..hehehe) ke novel atau kumpulan cerpen islami terbitan Dar! Mizan. Perihal jumlah buku yang ia beli, Bapak tidak menjelaskan apapun hingga sampai di rumah, lalu memberikan salah satu bukunya kepada saya, setelah sebelumnya menulis sendiri nama saya di sampulnya.  Buku itu bersampul seorang gadis remaja cantik yang berjilbab. Tersenyum kepada semua orang yang memandang kepadanya. Judulnya; ABG Islami karya Muhammad Syarif Ash Shawwaf, sebuah buku terjemahan dari buku berbahasa arab. Bapak tidak berkata banyak saat memberinya, selain menyuruh saya membacanya hingga tuntas. Ya, meski sebenarnya, bapak telah mengatakan begitu banyak hal dengan menghadiahkan buku itu kepada saya, putrinya. Dan itu, menyenangkan. 

Bapak selalu menuliskan nama dan tahun membeli buku :')


Setiap kali ke toko buku dan mendapati pemandangan bocah kecil yang dengan penuh semangat menekuni buku yang disukainya, saya selalu bahagia. Sambil bertanya-tanya; adakah dulu saya pun nampak sepertinya? 

Makassar, 11 Agustus 2013