Kamis, 27 Juni 2019

Perjalanan Panjang

Saya baru saja ingin memulai cuci piring saat suara tangisan Fawwaz terdengar dari kamar. Seperti biasa, bocah itu akan segera turun sendiri dari tempat tidur ketika terbangun dan tidak mendapati saya. Sambil tetap menangis dan memanggil saya, ia berjalan keluar kamar menuju kamar Mamak, mengira saya di sana. Saya memanggilnya dari ambang pintu, dan ia segera berpindah ke gendongan saya, hendak melanjutkan lagi tidurnya.

Saya berdiri di depan pintu ruang tamu sambil menggendong Fawwaz yang tertidur. Memandang ke rumah seberang, tempat seorang anak tetangga terbaring sakit, setelah harus dirawat beberapa kali di rumah sakit dalam tempo yang berdekatan. Gadis itu seorang mahasiswi tingkat awal, yang kini kembali harus dirawat oleh ibunya.

Dalam pada itu, saya menginsyafi, betapa panjangnya perjalanan pengasuhan ini. Betapa menjadi seorang ibu, berarti harus siap menghadapi berbagai macam kondisi sang anak, bukan hanya ketika ia masih kecil, namun juga saat telah remaja, bahkan mungkin hingga ia dewasa.

Beberapa waktu yang lalu, selepas tunai hajat pernikahan kakak lelaki saya, Mamak nampak begitu lega. Tuntas sudah tugasnya mengantarkan sang sulung menuju gerbang pernikahan. Meski sampai kapan pun jua, meski si anak pun sudah menjadi orang tua, rasa seorang ibu tidak akan berubah.

Saya meletakkan Fawwaz di tempat tidur, lalu bocah lelaki berambut tegak itu kembali meringis dan menangis, minta digendong lagi.

Nak, perjalanan kita masih panjang, jika Allah menghendaki. Semoga selalu siap bekal kita mengarunginya, dan dengan ridhaNya kita melaluinya.

Betapa... ah, betapa kita menghajatkan pertolongan Allah...

Saya kembali menggendong Fawwaz, yang lagi-lagi melanjutkan tidurnya.