Jumat, 29 Juni 2012

Berlalu dan Berubah

Saya baik-baik saja. 

Yah, lebih dari setengah bulan tidak mengupdate blog ini, rasanya memang saya harus menuliskan sesuatu sebagai wujud komitmen untuk blogging. Sembari membersihkan sarang laba-laba yang mulai nampak di beberapa sudut rumah maya ini saking lamanya tidak terjamah. Heu... ~_~

Baiklah, sepanjang waktu ini, rasanya memang telah banyak hal yang terjadi. Tentang bertubi-tubinya ujian akhir semester yang merenggut kedamaian malam *hehehe...*, deadline-deadline yang nampaknya telah 'dead' duluan sebab tidak tercapai tepat pada waktunya, juga pertemuan dengan beberapa orang kawan lama (secara langsung maupun tidak), yang mau tidak mau selalu membuat saya pada akhirnya akan selalu membenarkan bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan. 

Tiap kita, pada tiap pergantian waktu, detik demi detik yang mungkin seolah sederhana saja, mau tidak mau akan terus berjalan kepada perubahan. Umur yang terus berkurang, status yang berubah, perpisahan, perjumpaan, pergantian posisi, perubahan peran, dan berbagai macam hal lain yang bahkan mungkin dulunya tidak pernah terpikirkan. 

Setahun yang lalu, saya sedang berada di sebuah tempat nun jauh di Soppeng sana, menjalani kegiatan KKN sambil bergalau ria berharap masa penarikan segera datang. Sekitar setengah tahun berikutnya, saya berada diantara para wisudawan yang tersenyum penuh syukur karena berhasil meraih gelar sarjana. Tak menunggu beberapa lama, saya sudah dapat menatap nama saya, lengkap dengan gelar barunya, bertengger manis di jas krem pendidikan apoteker di kampus yang sama. Lalu sekarang, berteman gemericik air dari aquarium Indy dan sinar rembulan yang separuh, saya menuliskan blog ini sambil menerka-nerka apa yang akan terjadi dalam perjalanan menelusuri Jawa dalam rangka PKP Industri nantinya serta penasaran dengan nilai-nilai semester pertama. Entah apa lagi yang akan berjadi berikutnya. Semakin waktu berlalu, rasanya segala hal semakin sulit terprediksi. 

Mungkin mudah untuk hidup dengan mengikuti arus saja, mengalir layaknya air. Tapi ah, bukankah air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah? Mungkin tidak begitu mengapa jika kita membicarakannya dalam konteks keduniaan. Namun jika dibawa kepada hal yang berkenaan dengan akhirat, maka kita terikat pada konsep 'berlomba-lomba pada kebaikan', dan konsep 'menjadi orang yang beruntung dengan lebih baik dari hari yang sebelumnya'. 

Apapun yang terjadi nanti, saya berharap bisa menjadi orang yang dapat lebih baik. Lebih dapat melembutkan hati yang keras ini. Tidak lagi baru sadar setelah melakukan kesalahan saja, namun berusaha sebisa mungkin untuk mencegahnya terjadi. Saya tidak berharap pada kehidupan yang happily ever after seperti ending Cinderella.  Tapi pada kehidupan dengan nikmat yang tersyukuri, dan dengan ujian yang disabari. Semoga. 

----------------------------------------------------
(+)Tahukah, Nak? Ibu tidak pernah mendoakanmu menjadi cantik, pintar, apalagi kaya. Ibu hanya mengharap kepada Allah, agar anak-anak ibu dituntunnya menjadi hamba yang shaleh. Itu saja.


(-)Maka tahukah, Bu? Doa itu  telah lebih dari cukup. Terima kasih. Untuk doamu yang selalu.  


Pada pergantian Jum'at ke Sabtu, 
Dalam bayang-bayang tugas-tugas yang belum selesai
Makassar, 30 Juni 2012

Selasa, 12 Juni 2012

Cinta, Cinta, Cinta Menyapa!

Positif sudah. Senyumannya tanpa sebab. Kesenangannya memandang berlama-lama ke arah tidak terbatas. Sesekali ia menuliskan sesuatu lalu mencoretkannya, membuangnya, dan menuliskannya lagi. Ah ya, dia memang tidak pernah benar-benar pandai untuk yang satu itu. Terkadang dia tertawa terbahak tanpa sesuatu yang benar-benar lucu. Atau tidak membalas apapun meski telah ditimpuk dan dijahili seperti biasa. Dia malah balas mengelus pundak saudaranya dengan lembut. "Aku memaafkanmu..." ujarnya dengan nada aneh.

Positif sudah, anak ini sedang jatuh cinta.

Dia tidak lagi mengindahkan saran untuk berhenti mendengarkan senandung asmara yang membuatnya akan menghembuskan napas panjang setelahnya. Hingga pertahanannya rapuh. Tanpa diminta, tanpa diduga, tanpa mengira bahwa tingkah polanya telah tertebak sebelumnya, akhirnya ia mengaku juga. Ya, tipe yang tidak bisa memendam segala hal sendirian ini, memang selalu membutuhkan orang lain untuk berbagi beban. Dalam hal ini, rupanya cinta juga menjadi sesuatu yang membuat punggungnya terlampau berat untuk memikul. O la la.. bukan punggung ternyata, tapi hati!

Seperti biasa, dia akan curhat. Sesekali matanya nampak berair dan ia berusaha menahan genangan itu jatuh dan membasahi pipi. Tapi demikian saja, ia tidak pernah meminta solusi. Ia hanya butuh telinga untuk mendengarkan, juga beberapa lembar tissue untuk menyeka air mata yang masih berada di sudut matanya. Ia hanya ingin bercerita. Tentang perasaan hasil konspirasi dopamin, feromon, dan adrenalin itu. Yang awalnya terasa menyenangkan saat denyutannya semakin cepat. Namun lama kelamaan menjadi siksaan tanpa ujung pangkal yang jelas. Lagi, ia hanya ingin bercerita saja. Ia tidak butuh solusi, apalagi langkah konkrit untuk mengubah hari-harinya menjadi seperti biasa.


Berikutnya, ia mulai semakin rajin membaca. Shakespeare hingga Kang Abik dilahapnya. Ia mulai berani bicara cinta meski dengan serampangan dan kata-kata yang acak adul; kombinasi antara pujangga dadakan dan alay yang menyerang akut. Ia bahkan tidak sadar, bahwa suatu hari ia hanya akan bergidik jijik atau bahkan ngeri dengan kata-katanya sendiri.

Dia masih saja sering mengungkapkan isi hatinya, tapi bukan kepada sosok yang diakui kerap datang tanpa izin ke mimpi-mimpinya. Berhadapan dengan sosok itu saja sudah bisa membuat jantungnya berdenyut dengan labil, napasnya terhenti, lalu memburu, laly terhenti lagi. Lidahnya kelu. Mungkin disertai dengan wajah pucat. Bahkan kini meski hanya bayangannya saja yang muncul saat ia menutup mata. Akhirnya, dia jadi ikut takut menutup mata. Tidur? Dia tetap butuh tidur setelah lelah seharian, tapi tetap; dengan mimpi tentang sosoknya yang kerap kali datang, bahkan pada scene yang sangat tidak nyambung sekalipun.

Bahkan di dunia nyata, ia mengaku sambil gemas dan tidak habis pikir;
"Haruskah dia bertahan di jarak pandang dan sudut yang begitu mudah kulihat?"
"Haruskah dia tiba-tiba muncul dan melintas di sebelah kendaraanku yang kebetulan tertahan macet di salah satu sisi jalan"
"Haruskah aku membaca inisial namanya yang pula secara kebetulan muncul di papan reklame?"
"Haruskah secara tidak sengaja kulihat dia membuang sampah -yang bukan sampahnya,  yang tergeletak di dekat tempat sampah?"
"Haruskah dia sedang tersenyum saat kudapati sosoknya?"
"Haruskah...?"

Mungkin, dia masih terlalu muda untuk mengerti, bahwa jika takdirnya adalah umur panjang, maka perjalanan pun masih sangat panjang. Masih sangat banyak manusia yang akan ditemuinya. Bahwa dunia bukan hanya seluas tempat yang ia huni sekarang. Masih banyak kemungkinan, tentang berbagai macam hal baru dalam hidupnya.

Tentang yang terakhir itu, semoga segera ia mengerti.


Jumat, 08 Juni 2012

Catatan Sebelum Tidur (Lagi)

Ada yang mengagumi merdu rintik hujan, juga rembulan yang tidak lagi purnama. Mungkin, baginya itu adalah penawar lelah atas setiap sibuk yang datang kapan saja dan dari mana saja. Saat satu pekerjaan selesai, lalu perkerjaan yang lain turut menuntut untuk pula diselesaikan. Lelah pun seolah seperti kawan lama yang telah terpisah jarak dan waktu lalu kembali berjumpa; memeluk dengan erat. 


Ada ingatan yang terus saja muncul tanpa permisi. Kadang kemudian menjelma menjadi bentuk nyata pada tiap lembaran hari-hari. Pertemuan-pertemuan yang tidak terduga. Juga mimpi-mimpi yang terasa aneh di awalnya, namun juga selalu menyisakan ingatan saat terjaga. Jangan tergesa menyebutnya sebagai pertanda. Mungkin, itu hanya sekadar bunga-bunga tidur saja.

Hari ini, rasanya tiap detik yang beranjak adalah langkah menuju jalan keluar dari lingkaran. Apakah semakin dekat waktunya untuk memulai kehidupan yang 'sebenarnya'?


Tapi janganlah risau. Jika benar-benar keimana kepada takdir itu masih berada di jiwa, maka bukankah setiap yang terjadi adalah yang terbaik bagiNya? Lalu apa lagi yang harus dikhawatirkan? 


*Di hadapan jendela yang menganga, 8 Juni 2012
*pasca serangan ujian bertubi-tubi -__-"

Ibu, anakmu bertemu dengan banyak orang-orang dengan kecerdasan yang 'tidak kira-kira'. Karena itukah bertahun yang lalu kau memaksa anakmu untuk berada di sana?
Ibu, anakmu sering duduk di bangku paling depan saat ujian berlangsung. Bukan sebab anakmu selalu belajar lebih banyak dan paling mengetahui materi ujian daripada kawan-kawan yang lain. Tapi, sebab duduk di belakang sana nampaknya berkonsekuensi pada ujian yang lebih berat. Jauh lebih berat dari soal-soal yang susah sekali pun.
Ibu, tapi anakmu hingga kini masih bertanya-tanya; apakah ujian-ujian ini memang hanya sekadar formalitas tanpa makna?