Rabu, 22 Februari 2012

Menangguhkan Mimpi


Dimasa-masa belakangan ini, masyarakat kita banyak disuguhi dengan semangat untuk mengejar mimpi. Dalam pengamatan saya pribadi, sepertinya hal ini dimulai dari booming tetralogi Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata yang memang bisa menjadi motivasi dosis tinggi bagi siapa saja untuk dapat bermimpi, dan berusaha mewujudkannya. 'Demam' ini kemudian semakin membahana seiring dengan rilisnya novel based on true story lainnya, sebuah karya A. Fuadi; Negeri Lima Menara. Setelah itu, begitu banyak orang yang mulai 'terstimulasi' kemudian ikut menggaungkan pentingnya untuk bercita-cita setinggi langit, termasuk Agnes Monica, mungkin. #eh..

Tapi, izinkan saya memandang Laskar Pelangi dari sudut pandang yang berbeda. Selain tokoh Ikal, seorang anak kampung dari keluarga miskin yang berhasil menginjakkan kaki di Sorbonne itu, kita tentu mengingat sosok Lintang. Ya, terlepas dari kebenaran sosok Lintang di dunia nyata, nampaknya kita perlu menggali lebih jauh tentang tokoh ini. Baiklah, Ikal telah cukup nyata mengajarkan kepada kita tentang semangat pantang menyerah, bahwa ia mungkin tidak selalu menjadi yang terbaik dalam hidupnya, tapi ia punya cita-cita. Ia punya mimpi yang berusaha ia perjuangkan hingga titik darah penghabisan. Menjadi kuli, mengumpulkan uang sendiri di masa muda, merantau ke Jakarta dan kerja serabutan, hingga akhirnya bisa menjadi mahasiswa sambil terus bekerja dan mengumpulkan info beasiswa ke luar negeri. Hingga akhirnya berhasil menuju tanah yang diimpikannya, kemudian kembali berjuang di sana. Belum lagi dengan perjuangannya berjumpa dengan sosok cinta pertamanya, Aling. Semua perjalanan hidup Ikal itu berbicara tentang bagaimana meraih mimpi.

Namun lihatlah sosok Lintang. Ia digambarkan sebagai seseorang dengan 'kecerdasan bawaan'. Menguasai berbagai pelajaran-pelajaran eksakta dengan teramat cerdas dalam segala keterbatasannya. Menjadi yang terbaik di kelasnya, lalu menemui 'puncak prestasi'nya saat berhasil mengalahkan Sekolah PN dalam cerdas cermat. Namun, pada akhirnya, Lintang harus kembali kepada keluarganya. Ia menangguhkan mimpinya, bahkan hingga meninggalkannya sama sekali. Sebab ada adik-adik kecil yang harus ia nafkahi. Ada saudara-saudaranya yang kala itu tanpa ayah dan ibu, yang harus ia pertanggungjawabkan. Takdir hidup membawanya untuk berdamai dengan dirinya sendiri, dengan mimpinya yang tidak kunjung ia jadikan nyata.

Namun, apakah Laskar Pelangi membuat kita menjadi meremehkan tokoh yang satu itu? Tentu jawabannya tidak. Andrea Hirata secara tersirat memberitahukan kepada kita, betapa Ikal akan selalu menganggap Lintang sebagai sahabatnya yang paling hebat. Dalam salah satu dari tetraloginya itu, Lintang bahkan dihadirkan kembali sebagai tokoh yang berhasil merumuskan sebuah proyek yang rumit. Kharisma Lintang tetap saja ada, meski ia pada akhirnya tidak lebih dari seorang kuli tambang seperti masyarakat Belitong kebanyakan. Namun di mata dan hati Ikal, dan juga kita, Lintang tetaplah juara.

Nah. Jika pun tokoh Lintang memang tidak pernah eksis, saya rasa Lintang-Lintang lain dalam alam nyata ini memang benar-benar ada. Anak-anak dengan cita-cita besar yang kemudian harus mengambil langkah mundur sebab keadaan yang memaksanya demikian. Mungkin tanpa kita tahu, salah satu dari mereka pernah kita temui di lampu merah, atau di berbagai tempat manapun yang ada.

Lalu, jika kemudian kita adalah representasi dari Ikal yang mengejar mimpi dan meraihnya, apakah mereka yang tidak berhasil meraih mimpi, bahkan kemudian memutuskan untuk melupakan mimpinya sendiri, adalah orang yang patut kita anggap remeh, kita tertawakan? Tentu, tidak. Sebab mereka, justru adalah bagian alam semesta yang membuat segalanya menjadi seimbang. Sikap mereka, mungkin adalah sebuah wujud keimanan kepada takdir, untuk menerima bahwa memang ada beberapa hal yang sangat kita inginkan, namun tidak mungkin terjadi. Apakah mereka tidak berusaha? Eits, jangan terlalu cepat menghakimi! Cukuplah yakin bahwa mereka pun pasti telah menjalankan ikhtiarnya, namun bukankah usaha tidak selalu berbanding lurus dengan hasil?

Maka atas mimpi-mimpi mereka yang tidak terwujud, semoga bukanlah pertanda bahwa mereka telah mengkhianati mimpinya sendiri. Namun justru mengingatkan lagi kepada kita, bahwa bisa saja apa yang bagi kita baik, adalah hal buruk menurut Allah. Dan apa yang bagi kita buruk, justru adalah yang terbaik dariNya. Tidak semua hal bisa kita dapatkan. Tidak semua mimpi bisa kita wujudkan. Hanya saja, kita selalu punya kesempatan untuk memperjuangkannya. Semoga ini bisa menjadi penyeimbang atas segala semangat yang telah meletup, yang jika overdosis, bisa jadi membuat kita merasa pongah dengan pencapaian yang telah kita nikmati. Tanpa kita sadari, bisa jadi, itu semua justru kita dapatkan karena ada doa dari orang yang tidak pernah kita duga, bukan sepenuhnya dari usaha kita saja. Terlebih lagi jika kemudian berbagai usaha tersebut kita tempuh dengan jalan yang tidak benar, namun justru menghasilkan output yang kita dambakan. Maka berhati-hatilah! Sebab mungkin itulah bentuk pembiaran kepada kita. DibiarkanNya kita bersenang-senang dalam maksiat yang dibumbui berbagai hasil yang menyenangkan, lalu pada saatnya, dihempaskanlah kita pada pembalasan yang sebenarnya di akhirat kelak; istidraj. Naudzubillah.


Seindah apapun mimpi yang menjadi nyata, ia adalah percuma tanpa kesyukuran yang mengikutinya. Dan seburuk apapun kenyataan yang membuat kita menangguhkan mimpi itu, mungkin adalah saat dimana sudah saatnya kita memperlihatkan, seberapa jauh kita paham akan makna kesabaran. Dan atas takdir orang lain yang kita saksikan, nampaknya kita hanya perlu satu hal; baik sangka.

*noteformyself :')
wahai diri, jadilah manusia yang lebih baik!

kamar Indy, 22/2/12
original pic by nonneta http://nonnetta.deviantart.com/art/Victim-of-a-dream-120673521

Jumat, 17 Februari 2012

Pulang Kampung!


Kepada kalian, para perantau. Berbagilah kepadaku, apakah yang paling kalian rindukan dari kampung halaman? Apakah senyuman bunda saat kau terbangun dari tidur semalam. Ataukah fragmen saat kau menyaksikannya bangun di subuh hari dan berjalan agak kesusahan dengan tubuhnya yang kian renta, menuju tempat bersucinya. Lalu kemudian dilanjutkan dengan sambutmu pada ayah yang baru saja pulang dari masjid.



Mungkin, kau juga sedang merindukan makan pagi yang hangat dengan anggota keluarga lengkap. Secangkir teh dan penganan ringan, ataupun makanan lengkap sebab bunda sangat peduli dengan angka sadar sarapan. Lalu semuanya akan saling bertukar ide, ke mana lagi kalian akan pergi bersama di hari libur ini.



Apakah kau juga rindu pada tetanggamu? Mereka yang menyambut senyumanmu saat dulu kau masih berusia sekolah. Senyuman yang menemani langkah pagimu dari mereka, keluarga yang paling dekat. Ah, bahkan Rasulullah Shallalahu Alahi wasallam menyangka bahwa tetangga pun akan mendapatkan warisan. Saking dekatnya mereka dengan kita.



Kupikir, seperti itu pula yang dahulu dirasakan oleh para muhajirin itu. Selepas terusir dari tanah mereka sendiri, menuju Yasrtrib, kota yang belum pernah mereka diami. Lalu kemudian, setelah penundaan rencana untuk berumrah ke Makkah setelah penyetujuan perjanjian Hudaibiyah, akhirnya tibalah masanya mereka pulang ke kampungnya. Di sana ada Baitullah! Di sana mereka dahulu menghabiskan hari-harinya, sampai kemudian dipaksa untuk pergi dari kampung halamannya. Maka terkisahlah umrah pertama sepanjang sejarah, dikenal pula ia dengan istilah umrah qadha, umrah yang tertunda. Saat kaum muslimin kembali menatap kota mereka dengan haru dan hati yang disesaki rindu yang kini berlabuh. Mereka bertawaf dengan langkah tegas dan cepat untuk mensyiarkan kekuatan pada kaum muslimin. Mereka berlari kecil dari shafa ke marwah, menyembelih hewan qurban, dan bertahalul



Bahkan saat dilarang memasuki Ka'bah, Rasulullah Shallalahu Alahi wa Sallam tidak berhenti. Diperintahkannya Bilal bin Rabah untuk naik ke atas Ka'bah dan menyerukan adzan dari sana. Panggilan shalat, panggilan kemenangan itu membahana di seluruh kota. Menyusupi tiap lereng bukit dan padang pasir tandus. Mengetuk-ngetuk tiap pintu rumah dan pintu hati para penduduk. Hari itu, mereka pulang kampung. Hari itu, kalimat Allah kembali ditegakkan disana. Sebuah peristiwa menjelang kemenangan gilang-gemilang tanpa tertumpah setetespun darah.



Kepada kalian, para perantau. Berbagilah kepadaku, apakah yang paling kalian rindukan dari kampung halaman? Apakah rindu yang merasuk, yang terhirup, yang menyelusup dalam relung hatimu, pun serupa dengan rindu muhajirin kepada Makkah? Ya, semoga ia pun tuntas suatu waktu.

Rabu, 15 Februari 2012

Keluar dari Gelembung


“Kak, saya merasa minim pengalaman hidup...”

Kalimat itu sempat saya lontarkan pada seorang senior dalam sebuah kesempatan berbincang via chatroom. Ya, saya tidak sedang berbasa-basi atau menggunakan makna konotatif di dalamnya. Pada saat itu, bahkan mungkin hingga kini, saya memang sering merasa hanya memiliki sedikit sekali pengalaman hidup. Saya rasa, ini tidak lepas dari kenyataan bahwa saya tetap stay di sebuah kota yang sama, sejak lahir hingga saat ini. Belum lagi bahwa di kota ini, saya terus hidup bersama kedua orang tua dan karib kerabat yang tersebar di beberapa sudutnya. Plus, dengan kenyataan bahwa saya sangat jarang melakukan traveling, Jika pun iya, maka pasti bersama dengan orangtua –tapi yah, memang syariat mengatur bahwa wanita hanya boleh bersafar (melakukan perjalanan jauh) dengan didampingi mahram.

Saya senang sekali menyaksikan acara jalan-jalan di tivi. Kemudian saya akan merasa sangat iri dengan pembawa acaranya yang berkesempatan untuk datang ke tempat-tempat asing yang pastinya jauh dari tanah kelahirannya. Melihat kultur yang berbeda. Melihat pemandangan-pemandangan yang tidak biasa. Juga bertemu dengan bermacam-macam manusia dengan berbagai bahasa dan budaya. Sepertinya, itu menyenangkan.

Saya juga ingin, merasakan euforia saat berjumpa dengan saudara ‘sekampung’ di perantauan. Lalu kemudian bercakap dengan bahasa lokal sendiri, kemudian disergap rindu pada suasana rumah. Termasuk, bertemu dengan saudara seiman di tempat dimana Islam menjadi minoritas. Mendengarkan suara adzan dari gedung-gedung Islamic Centre di berbagai negara. Lalu melaksanakan ibadah berjama’ah dengan muslim dari negara-negara lainnya, yang meski tidak sebangsa dan sebahasa, namun disatukan oleh kalimat yang sama; Laa ilaha illallah.

Pasti beruntung sekali dapat melihat salju, bertahan pada cuaca yang ekstrim, menikmati peralihan winter ke musim semi saat yang beku menjadi cair. Lalu bunga-bunga memekarkan diri dan berwarna-warni. Mungkin di tempat dimana daun-daun mapel memerah, atau saat kelopak sakura bisa kita sentuh saat ia terjatuh, atau menghirup udara diantara tulip-tulip yang bermekaran. Mungkin juga, melihat bagaimana senja yang berbeda pada tepi pantai berpasir puitih, atau bagaimana hujan turun rintik-rintik menyentuh tanah-tanah yang bagi kita begitu asing. Ada pula masa dimana matahari bersinar terik, udara panas dan gerah, bahkan saat angin pun membawa suhu yang lebih tinggi dari biasanya. Lalu kita akan menyaksikan, bahwa di bumi manapun kita berpijak, semesta akan senantiasa bertasbih kepadaNya, dengan cara mereka masing-masing.

Sekali-kali, rasanya saya ingin keluar dari gelembung saya sendiri. Setidaknya, sebelum meninggalkan dunia ini, saya berharap bisa menjejakkan kaki di dua negara pada tiga kota. Tidak usah macam-macam mengunjungi tempat wisatanya atau mengicip berbagai macam kulinernya. Saya hanya ingin menatap langsung bangunan Makkah yang akan mengingatkan saya pada sosok nabiyullah khalilullah Ibrahim dan putranya yang memiliki kesabaran tingkat langit, Ismail alahissalam. Juga melihat Masjid Nabawi di Madinah. Ah, pasti ingatan saya akan terbawa pada sosok Rasulullah Shallalahu ‘alahi wasallam, senandung adzan pertama Bilal, dan bagaimana perikehidupan khairah ummah (ummat terbaik) dimulai dari sana. Terakhir, izinkan saya berharap dapat melangkah menuju Masjidil Aqsha, nostalgia pada kiblat pertama itu, dan merenungi perisriwa Isra’ Mi’raj yang menyejarah. Menatap bola mata bocah-bocah Palestina penghapal Al Qur’an, dan mendengarkan langsung mereka membacakan Al Anfal dengan penuh penghayatan.

Sepertinya akan banyak yang bisa kita pelajari dari budaya bangsa lain. Tentunya, cukup memandangnya dari sisi indahnya saja, sisi kemanfaatannya. Kemudian akan kita temukan bahwa ada hikmah yang besar dari diciptakannya kita dalam berbagai suku bangsa dan berbagai macam bahasa. Setidaknya, kita bisa saling memahami lewat bahasa senyuman, bukan?

Kamar Mama, Februari 12 ‘12

Selasa, 14 Februari 2012

Aku sedang Tertatih, Nak! (Sebuah Surat [Penuh] Cinta)


Setelah ngubek-ngubek file di laptop, akhirnya ketemu juga tulisan ini. Diikutsertakan dalam sebuah lomba di tahun lalu, dan dengan sukses menuai ketidakmenangan. Hehehe… Dibaca-baca ulang…, agak aneh juga sih! :p Tapi tak mengapalah dia nongol di sini, kayaknya sih blog ini agak kurang pengunjungnya, jadi cuma berani dipasang di sini doang, lumayan aman begitu *jiaah... Nanti hilang lagi…



Aku sedang Tertatih, Nak!

Assalamu alaikum, Nak. Meski hadirmu belum juga datang masanya, bahkan belum tentu terjadinya, tapi izinkan aku menuliskan surat ini untukmu. Sebut saja kau, calon anakku. Hmm…, bagaimana kau akan memanggilku nanti? Bolehkah aku memintamu menyebutku ‘ummi’? Bukan! Bukan hanya untuk membiasakan bahasa Al Qur’an dan bahasa syurga itu… Tapi setahuku, bahkan di setiap sapaan pun sudah sepatutnya mengandung makna. Dan panggilan ‘ummi’ itu kuharapkan mengandung makna perjuangan, selayaknya panggilan ‘ukhti’ kepada saudari seperjuangan lainnya. Maka semoga ia selalu mengingatkanku untuk terus berjalan, dan terus bertahan pada jalan yang sepi ini. Aku, kau, kita yakin, ada cahaya di penghujungnya, bukan?


Maka, Nak. Seperti apapun kau nanti, sekiranya dirimu adalah seorang lelaki, semoga hidupmu pun kau jalani selayaknya lelaki. Akan kuceritakan sebagai pengantar tidurmu tentang begitu banyak sosok lelaki yang dirindukan syurga. Mereka yang begitu terkenal dilangit. Mereka yang tetap kita sebut namanya hingga saat ini, meski jarak dan waktu telah terbentang begitu jauh. Mereka, para generasi terbaik di masa terbaik. Kelak, sudah sepatutnya kau mengenal Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, tentang murah hatinya, tentang lembut senyumnya, tentang sifat pemalunya, tentang kerasnya ia pada keburukan, dan tentang kasih sayangnya pada kaum muslimin. Termasuk pada kita, ummatnya. Ada pula deret shahabat-shahabatnya yang diridhai Allah. Belajarlah tentang mereka. Maka kau akan temukan bagaimana lelaki sejatinya. Mungkin belajarlah pula pada ayahmu (hmm.., bagaimana kira-kira nanti ia ingin dipanggil olehmu, yah?). Kupikir, ia pun sedang tertatih untuk berusaha mengikuti jalan para lelaki sejati itu. Bukan hanya atas apa yang ia ucapkan, atau kata-kata indah yang ia tuliskan. Tapi atas setiap bukti tanggungjawab teguh yang ia tunjukkan pada kita. Ya, semoga.

Jika misalnya ternyata kau adalah wanita. Maka kau pasti akan selalu kagum pada kecantikanmu sendiri. Pada lembut kulitmu dan manis senyummu. Tapi kau tahu, Nak. Meski mungkin awalnya peluhmu selalu mengucur dari balik jilbab mungil itu. Atau kau merasa gerah pada gamis kecil berbunga-bunga yang kau kenakan saat diluar rumah. Namun, aku minta maaf, Nak. Sebab aku hanya ingin kau terbiasa sejak kecilmu. Agar kelak, kau akan merasakan risih jika ada pandangan asing yang memandangmu tanpa hijabmu yang anggun. Lalu tanpa perlu banyak bicara, kau sedang meletakkan aturan-aturan bagi dirimu sendiri, dan bagi orang lain yang ingin memperlakukanmu. Mereka akan hormat padamu, Nak. Layaknya mutiara yang tersusun rapi. Akan kau temukan pula makna keberhargaan itu dari bagaimana agama kita menjaga wanita. Menjagamu. Menjaga kita.

Hey, Nak. Mungkin, kau akan selalu belajar tentang bagaimana akhlak kepada kedua orang tuamu. Tapi, Nak. Kami berdua tetap saja manusia biasa yang tidak luput dari khilaf dan salah. Maka kala itu kau saksikan, kembalilah lagi mengingat, bahwa memang teladan yang sebenarnya hanya ada pada para generasi pilihan. Mereka yang akhir hidupnya telah jelas dalam ketaatan. Aku sedang tertatih, Nak. Menyusuri jalan kebenaran yang ternyata tidak mudah. Kadang aku jatuh, terseok-seok untuk bangkit, lalu kembali berjalan sambil mengumpulkan kekuatan. Suatu kali mungkin aku jatuh lagi, bahkan sering sekali. Namun, aku akan terus berusaha agar semuanya terus berjalan pada jalurNya. Seberat dan sepahit apapun itu. Sebab ternyata, memperbaiki diri saat ini bukan hanya untuk pendamping yang lebih baik, tapi lebih jauh dari itu, untuk generasi penerus yang juga lebih lurus. Untukmu, Nak.


Semoga keselamatan, rahmat, dan berkah senantiasa menerangi hidupmu, kelak. Aamiin.

original pic by pikolo55 from devianart.com

Rabu, 08 Februari 2012

Masa dimana Aku Tidak Harus Melupakanmu


Kau tahu, tiap rintik hujan di pagi hari, selalu mengingatkanku padamu. Juga tentang masa bertahun yang lalu, saat kita masih dapat menatap lekat pada bola mata masing-masing. Jika saja seseorang bertanya kemana aku ingin pergi saat ini? Maka akan kujawab dengan lantang; ke masa itu, masa dimana kita masih berada dalam satu paragraf cerita dalam rangkai takdirNya.

Aku merindukan berdiri di beranda dan menatap lapangan parkir tempat motor-motor berjejeran dengan rapat. Suatu kali, dari sana aku dapat melihatmu berjalan menjauh menuju rumahmu. Dengan sisa-sisa lelah pada raut wajahmu yang selalu nampak tersenyum. Lalu suatu hari aku dikagetkan oleh sapa dari beranda sebelah. Sebuah sapaan yang juga membuatku rindu pada masa itu. Saat aku kemudian segera meninggalkan beranda lalu melepas tawa yang kutahan di sudut bibir.

Aku ingin kembali ke masa itu. Saat tidak terlalu banyak pikiran ruwet di dalam kepalaku. Saat aku dapat dengan nyaman melepaskan rasa ingin tahu dalam sebuah lingkaran cahaya pada senja di hari Jum’at. Saat semuanya terasa sederhana saja. Dalam perjumpaan-perjumpaan kecil seusai sekolah. Saat kita kembali membacakan kisah-kisah orang terdahulu, lalu terharu karenanya. Kemudian kita saling menyeka air mata masing-masing. Bukan hanya dengan jemari, tapi juga dengan hati. Semua itu, kau tahu, terasa hangat sekali.

Lalu waktu pun menunjukkan keberadaannya. Memisahkan kita dengan skenario yang tidak pernah kita duga. Aku masih saja selalu merajut ingatan tentangmu diantara tiap rinai hujan, saat senja menjingga, atau saat malam telah sepi. Lalu segala jenis pergantian waktu itu memang selalu menyadarkan aku bahwa memang akan banyak hal yang berubah. Pelan tapi pasti, mencipta jarak antara kita. Lalu kita pun harus bersabar. Mungkin, seperti sabarnya dedaunan menunggu hujan datang kala kemarau panjang.

Ingin kemana?

Aku sangat ingin kembali menyusuri anak tangga itu. Berderap-derap dengan semangat untuk menuju tempat kita berkumpul bersama. Suatu waktu angin berhembus lebih kencang dengan tiba-tiba dan menerbangkan ujung jilbabku yang segitiga. Kau menyaksikannya dan mengulum senyuman. “Pasangkan saja selotip di ujung jilbabmu, agar ia tidak kembali terbang!” ujarmu di selingi tawa.
Aku pun hanya bisa ikut tersenyum. Lalu tahukah kau? Entah mengapa tiap deret kalimat itu tidak pernah dapat hilang dari ingatanku. Ia selalu menjawab setiap tanya yang sama, siapapun yang melontarkannya.

Ingin kemana?
Ya, aku ingin ke sana. Ke masa dimana aku tidak harus melupakanmu.


postingan ini diikutsertakan dalam GiveAway; Ingin Kemana?


Photobucket

slash!


kita tentu telah tahu/ bahwa seberapa besar pun kita mau/ maka semesta tak dapat berbuat apa-apa/ tanpa kehendakNya/ maka cukup kau rapatkan jaket yang menghangatkan tubuhmu/ lalu akan kupandangi langit yang juga menaungimu itu/ kau mungkin tidak tahu/ betapa aku telah belajar banyak dari masa lalu/ sehingga tidak lagi tergesa-gesa dalam langkah/ dalam memperlihatkan luka/ adakah juga kau memilikinya/ saat kuhirup udara pagi yang begitu segar hari itu/ lalu kau mungkin akan bingung mengapa tak ingin kujeda tiap kalimat ini dengan titik di penghujungnya/ mungkin sebab aku tidak ingin/ mengakhiri ini/ hingga saatnya tiba/ tepat/ saat semuanya memang harus mencapai titiknya sendiri/ kupikir/ kita memang telah sama-sama menyimpan luka/ luka yang tidak pernah jadi ia lihat/ lukamu aku tak tahu/ kapan pula ia akan sembuh/ tapi ada benang-benang merah yang masih dapat kulihat persambungannya/ padamu/ pada lukamu yang masih kau pelihara itu/ kataku/ yang kemarin itu hanyalah pelajaran/ agar aku semakin mengerti/ bahwa sebesar apapun aku ingin/ semesta tidak dapat berbuat apapun/ tanpa kehendakNya.

Kamis, 02 Februari 2012

kecuali

pic by Rifa'ah; pemandangan keluar jalan dari Villa Toeti, Kota Batu

Sebenarnya mudah saja bumi ini dijungkirbalikkan. Ditimpakan azab berupa air bah, atau dijatuhi hujan batu dari langit hingga habislah generasinya. Mudah sekali bagiNya mengganti kita dengan ummat baru yang patuh dan tidak dzalim seperti sekarang. Kecuali bahwa kita tahu betapa Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Maka selamatlah kita dari marabahaya. Masih terlindungi dalam cintaNya.

Sebenarnya sangat menyiksa untuk terus didustakan. Diletakkan isi perut unta saat bersujud, dilempar batu, disebut sebagai penyair gila, hingga senantiasa ingin dihilangkannya nyawanya. Kecuali bahwa ia ingin kebaikan bagi ummat yang dikasihinya. Ummat yang hingga kini terpaut oleh jarak dan waktu yang begitu jauh, namun tetap mengenangnya, mengimaninya; Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam, Muhammad bin Abdullah.

Sebenarnya lebih menyenangkan menyimpankan harta bagi anak dan istri. Menikmati hasil kerja dan bersantai pada hunian yang nyaman. Kecuali bahwa ia tahu, ada pahala yang besar dibalik sedekahnya yang besar. Ada janji syurga di belakang capeknya jihad. Dan ada keberuntungan yang banyak setelah memenangkan perlombaan dalam kebaikan. Maka tak mengapa, seluruh harta untuk Allah saja. Abu Bakar Ash Shiddiq.

Sebenarnya sedih menatap sang kekasih harus direlakan pergi, belum lagi pilu menatap keempat buah hati yang menyusul ayahnya syahid. Kecuali bahwa ia meyakini, di tempat yang indah kelak mereka akan dikumpulkan. Bahwa ketegaran hari ini akan diganti langsung oleh Allah untuk alam akhirat yang abadi; Al Khanza

Sebenarnya tentu nikmat beristirahat dikala malam tiba. Namun ternyata, ada bayi kecil yang harus diberi minum susu dan diganti popoknya. Waktu berlalu, dan bayi tadi kini telah dewasa. Namun tetap ia tertatih mengambil jeda untuk dari selimut hangat di malam yang pekat. Untuk berwudhu dan bertemu Allah, melanjutkan doa untuk anak-anaknya, meski kantuk tidak usah ditanya. Kecuali bahwa ia tahu, pintanya akan diijabah, dan sang anak akan hidup dalam cahaya. Ibu.



Sebenarnya tidak perlu berpeluh-peluh dan banting tulang untuk mengumpulkan harta. Bukankah bekerja menimbulkan teramat banyak lelah? Sementara usia terus bertambah dan uban telah nampak diantara helai rambut dan janggutnya. Kecuali bahwa ia sadar betapa berat pertanggungjawaban untuk keluarga yang dipimpinnya. Bahwa nafkah yang mungkin tidak begitu banyak itu, semoga menjadi amal shaleh untuknya kelak, yang membantunya meniti shirat. Ayah.

Sebenarnya bisa saja ia berlari menerobos hujan. Bukannya berjalan lambat hingga basah dan kedinginan. Kecuali bahwa ia merasakan ada cengkraman ibu di tangannya, langkah wanita itu tidak lagi setegap dulu, hingga ia harus menjadi penopangnya, hingga harus melambatkan langkah. Hujan dan dingin tadi, tidak lagi begitu terasa.

Saya rasa, diluar permasalahan akidah, selalu ada pengecualian dalam hidup kita. Pengecualian yang justru membuat kita sadar, betapa dalam makna dari hal-hal yang kita lakukan. Wallahu a'lam.


Rifa'ah'sWritingZone, 2 Februari 2012

Rabu, 01 Februari 2012

[Jejak Pena] Jeda Sejenak


Maka menulislah; agar jutaan pembaca menjadi guru yang meluruskan kebengkokan, mengingatkan keterluputan, membetulkan kekeliruan (Salim. A. Fillah)

Akhirnya penantian itu berakhir juga. Setelah tiga pekan lamanya menanti datangnya sang buku perdana, hari ini dia muncul dengan ‘kemunculan-hening’. Ya, saat saya dengan santainya berjalan menuju pintu keluar, hendak ke kampus, adik saya muncul dan berkata dengan gerak mulut tanpa suara; “Bukumu sudah datang…”. Ya, berbeda betul dengan grasa-grusu yang begitu anarkis yang sempat terjadi beberapa kali saat saya sayup-sayup mendengar suara motor berhenti di depan rumah yang saya pikir adalah pak pos yang datang membawa pesanan Jeda Sejenak dari penerbitnya, Leutikaprio di Jogja.

Baiklah.

Berbicara tentang jejak pena, maka Jeda Sejenak sebenarnya telah dimulai penggarapannya sejak bertahun lalu. Tulisan paling ‘tua’ saya kira adalah puisi ‘Bukan Langit yang Biru’, yang kalau tidak salah saya buat di masa SMA, dalam perjalanan pulang sekolah di atas becak. Sedangkan tulisan paling bungsu adalah esai ‘Nanti akan Ada Waktunya’ yang saya buat di bulan September tahun lalu. Kesemua tulisan itu awalnya bukan dimaksudkan untuk menjadi sebuah buku. Mereka (tulisan-tulisan itu) adalah penghuni blog yang saya buat sejak kelas dua SMA lampau. Namun, atas saran beberapa orang kawan, saya akhirnya memutuskan untuk menggarap ulang mereka, dan menjadikannya sebagai sebuah kesatuan buku berjudul Jeda Sejenak.

Buku Jeda Sejenak ini saya susun bersamaan dengan masa penyelesaian skripsi. Sebenarnya, proyek ini menjadi semacam refreshing saya ditengah carut marut skripsi dan birokrasi dalam menuntaskan masa kuliah S1. Awalnya, saya berencana ingin mengerjakannya secara fokus. Saya pikir, memilah dan memilih dari sekian banyak tulisan untuk dipilih yang (saya anggap) terbaik dan layak untuk dibukukan, kemudian mengeditnya (dan menemukan betapa banyak kesalahan menulis yang saya lakukan dimasa lalu), lalu mengelompokkannya menjadi tiga bagian besar, kemudian menyusunnya menjadi satu rangkaian yang enak dibaca, mengirim ke penerbit, merancang deskripsi cover,mencari orang-orang yang sudi untuk memberikan endorsement, dan menuntaskan administrasi, adalah sebuah pekerjaan besar yang tidak bisa saya lakukan sambil nyambi-nyambi dengan pekerjaan lain. Apalagi sambil mengerjakan penelitian dan skripsi!

Saya yang (sejujurnya) agak ogah-ogahan mengerjakan skripsi pun akhirnya membuat sebuah keputusan untuk meletakkan diri saya pada posisi terjepit. Ya, saya harus segera menerbitkan buku ini. Tapi, saya juga harus mengerjar target selesai kuliah. Makanya, saya kemudian menargetkan; baru boleh menyentuh proyek buku jika skripsi telah rampung dan sidang istbat, eh..maksudnya ujian sidang saya kelar. Hal ini (ceritanya) untuk memotivasi saya agar bisa cepat selesai kuliah dan juga cepat menyelesaikan proyek buku ini.

Namun ternyata, saya tidak bisa menunggu.

Ya, saya terus-menerus melirik proyek buku ini ditengah pantulan skripsi. Hingga kemudian saya memutuskan untuk mengeksekusi keduanya dalam waktu bersamaan. Maka jadilah, penyusunan buku ini saya jadikan refreshing ditengah tugas akademik tersebut.

Akhirnya, naskah buku saya siap sebelum naskah skripsi saya rampung untuk disidangkan. Pada hari keduapuluhsatu di bulan November, saya mengirimkan naskah Jeda Sejenak ke Leutikaprio untuk diproses.



Buku ini menjadi terbagi pada tiga bagian besar.

Di Jeda Pertama, saya menamainya dengan Derap Langkah Kesyukuran, pada bagian ini, saya membahas tentang bagaimana mensyukuri hidup. Saya percaya, dalam setiap syukur, ada kesabaran, maka semoga untai tulisan yang dibuka dengan puisi ‘Perjalanan’ dan ditutup dengan ‘Menunggu; Menjaga’ itu bisa menginspirasi kita untuk selalu memberi ruang pada diri agar bisa menggandeng syukur atas segala macam nikmat yang mungkin kadang kita anggap sepele. Betapa pengejawantahan rasa syukur itu sendiri sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat kompleks dan sama sekali tidak sepele. Di bagian ini, secara personal saya menuliskan pula kisah tentang nostalgia di masa SD, untuk guru-guru saya, kawan-kawan saya, dan semua orang yang ada di masa menyenangkan itu. J

Di Jeda Kedua, saya memberinya judul bab Ada Cinta untuk Dakwah. Bagian ini menguraikan jejak-jejak perjalanan di jalan cahaya. Tentang kisah para Nabi, tentang kepedulian kita pada pelestina, tentang eksistensi kita sebagai khalifah. Awalnya, ada kekhawatiran sendiri untuk mengguna kata ‘dakwah’ dalam judul bab. Namun akhirnya saya sadar, bahwa masing-masing kita agaknya tidak boleh lagi mengkhususkan dakwah kepada anak pesantren atau para kiai saja. Sebab dakwah adalah tugas kita semua. Dan menyampaikan kebenaran sekecil dan sesederhana apapun itu, sesungguhnya adalah cara untuk masuk ke dalam jalan sepi tersebut. Jalan dakwah. Dan jalan dakwah tidak akan pernah berpisah dari indahnya ukhuwah. Maka pada bagian ini, saya menuliskan kenangan pada masa SMA dengan keasyikan rohis, juga masa-masa menjadi pengurus dalam sebuah forum yang kembali bersinggungan dengan dakwah sekolah. Juga tentang para akhwat yang membersamai saya di sana. J

Di Jeda Ketiga, saya menyebutnya Dalam Perjalanan Pulang. Bagian terakhir ini, mengeksplorasi issue tentang kematian, semoga bukan dengan cara yang mengerikan. Bagi saya, kematian adalah sebuah nasihat yang sangat nyata. Saya pernah melewati masa-masa dimana saya merasa sangat dekat dengan kematian, suatu waktu saya dihadapkan dengan vonis kematian saya sendiri, di kesempatan yang lain saya menyaksikan orang-orang terdekat yang pergi untuk selamanya. Itu semua, saya rasa sangat sia-sia tanpa saya bagikan dalam buku ini. Sebab mengingat mati sebenarnya akan mengingatkan kita tentang bagaimana hidup dengan lebih berarti. Suatu puisi saya buat di masa awal perkuliahan di Farmasi Unhas yang saya rasa sangat berat. Puisi berjudul ‘Suatu Saat’ itu saya persembahkan untuk teman-teman seperjuangan, Mixtura’07. Betapa sebenarnya saya saat itu sangat khawatir, takut bahwa nyawa saya akan dicabut dalam keadaan menulis laporan saking seringnya melakukan pekerjaan tersebut. Namun, akhirnya semua terlewati dengan caranya masing-masing. J

Karena tulisan-tulisan ini awalnya adalah untuk keperluan blogging, maka awalnya saya sempat tidak pede untuk membukukannya. Saya menganggap catatan ini sebagai sesuatu yang terlalu personal dan tidak layak untuk dikonsumsi publik. Namun, oleh Haniyah, saya kembali diingatkan bahwa banyak hal yang terjadi dalam hidup kita yang kadang juga dialami oleh banyak orang. Dan membagikan pengalaman pribadi tidak selalu berarti terlalu mengekspos diri. Hanya saja, di setiap cerita memang harusnya selalu ada manfaat yang bisa diambil oleh pembacanya. Maka, saya kembali bangkit.

Kekhawatiran berikutnya timbul saat saya kemudian sadar bahwa tulisan blog ini sebenarnya bisa saja dibaca oleh orang-orang dengan gratis, maka mengapa harus membuat buku berbayar untuk mengumpulkannya? Kegalauan itu kemudian saya sampaikan pada Kak Ai (Sari Yulianti) yang saya akrabi lewat blog di Multiply. Beliau juga telah lebih dulu menulis buku ‘Surga di Bawah Telapak Kaki Ayah’ yang juga diangkat dari blognya. Oleh Kak Ai saya mendapat nasihat, bahwa tidak semua orang dapat mengakses internet, maka dengan membukukannya, kita sedang mempermudah orang lain untuk memperoleh ‘nilai’ dari buku itu. Dan nilai tersebut memang agak sulit untuk dinominalkan dalam rupiah. Dan hal ini kemudian saya sadari saat saya mendapati tatap mata penuh antusias dari ibu penjaja nasi kuning di mushalla. Ia menatap buku saya dan membacanya dengan semangat. Ah.. Kak Ai memang benar.

Sejak bergabung dalam keredaksian sebuah majalah, saya seringkali dihinggapi rasa takut. Saya takut kepada orang-orang yang telah merelakan hartanya demi membeli majalah kami; saya takut ia tidak mendapatkan sesuatu yang lebih baik daripada uang yang sudah ia ‘korbankan’ itu. Rasa takut ini terang saja lebih hebat saat saya menjual buku saya sendiri. Dengan harga yang berkali lipat dari majalah tadi, saya sesungguhnya selalu khawatir bahwa nilai itu terlalu ‘mahal’ untuk tulisan-tulisan sederhana yang saya buat itu.

Namun, saya tahu. Saya hanya sedang berusaha. Saya sedang mencoba untuk meninggalkan jejak di muka bumi ini, agar kelak yang tersisa dari saya bukan hanya sekadar beberapa kata di batu nisan. Tapi begitu banyak kata yang saya sumbang lewat karya berupa buku. Saya sedang berusaha mewariskan nilai, meski mungkin sangat sedikit, meski mungkin terlihat kecil dan sepele saja, namun setidaknya saya berusaha. Dengan segala kerendahan hati, saya mempersembahkan karya ini. Bukan agar orang lain memandang saya lebih dari siapapun. Demi Allah, bukan! Aih, terlalu banyak aib saya yang Allah tutupi sehingga saya masih bisa berjalan di muka bumi dengan kepala tegap!

Karya ini adalah sebuah tugas hidup. Saya kini sedang menyerahkannya kepada kalian; para guru yang telah sudi memesan buku ini dan mengeluarkan uang untuk mendapatkannya. Kepada kalian, saya begitu berterima kasih dan berharap ada koreksi, ada teguran, kritik, dan masukan, atas tugas yang sedang saya kumpulkan. Nilailah! Dan saya bahkan sudah pernah mendapati tulisan saya dirobek di depan mata saya sendiri, maka untuk kritik yang paling pedas sekalipun; insya Allah saya siap.

Saya sering ‘disoroti’ karena dianggap terlalu sering ngalor ngidul di dunia maya. Mungkin kesannya saya terlalu eksis; dengan nama asli pula! Maka; Iya, saya sadari bahwa memang terkadang aktifitas di dunia maya begitu melenakan. Tapi, sejujurnya saya mendapatkan banyak manfaat darinya. Buku ini pun, menemukan jalannya di dunia maya. Saya pun, mendapatkan banyak kawan sehobi, bahkan bisa berakrab ria dengan penulis yang di masa lampau hanya bisa saya baca karyanya. Maka berselancar di dunia maya dengan identitas blak-blakan ini pun saya lakukan agar saya bisa istiqamah. Agar saya bisa tersorot dengan jelas, sehingga banyak yang bisa mengingatkan saat saya tidak berada pada jalur yang sebenarnya. Saat seseorang bisa menghantam kesadaran saya saya ia berujar; jangan lemah, ini bukan kamu yang saya kenal dengan tulisan-tulisan itu!

Maka sungguh, tidak ada satu pun yang saya harapkan kecuali bahwa Jeda Sejenak ini bisa membawa manfaat bagi saya dan kamu, yang sudi membacanya. Semoga menjadi amal kebaikan bagi masing-masing kita. Semoga kita peroleh hidayah dan menuju kampung akhirat dengan kesudahan yang indah. Aamiin…