Kamis, 11 Januari 2018

Kepada Fayyadh

Nak, saat ummi menuliskan ini, umur kamu baru 20 bulan. Belum lagi genap dua tahun kebersamaan kita. Kamu sedang lincah-lincahnya dan bahkan kerap kali cukup menguji kesabaran banyak orang. Tidak apa-apa ya Nak ... semoga dengan kelincahan kamu itu, Fayyadh bisa belajar banyak hal.

Beberapa hari ini Fayyadh kelihatan agak rewel. Apalagi kalau Ummi sedang menyusui adek Fawwaz. Ujug-ujug kamu malah datang dan ngamuk minta digendong. Di situ kadang Ummi merasa bingung. Fayyadh cemburu ya Nak?

Fayyadhku sayang, Ummi cuma mau bilang kalau Ummi sangat cinta sama Fayyadh. Kecintaan yang Allah anugerahkan secara otomatis dalam hati Ummi bahkan sebelum kamu lahir. Kecintaan yang rela Ummi tukar bahkan dengan nyawa sekalipun. Iya, sedalam itu, Nak.

Fayyadh anak shalih, adalah partner terbaik Ummi belajar banyaaaak sekali hal baru. Kelahiran Fayyadhlah yang menjadikan Ummi seorang ibu. Kemudian kita berjuang bersama, menghadapi banyak hal. Kadang Ummi tertawa bahagiaaa sekali, kadang pun Ummi menangis. Kadang Ummi merasa capek dan lelah. Namun, seringkali juga Ummi merasa lega.

Menjadi ibu, kata seorang saudari yang sangat baik hatinya, adalah belajar untuk memaafkan diri untuk setiap hal yang tidak sesuai harapan. Betapa banyak yang Ummi targetkan namun tidak tercapai.  Betapa banyak hal ideal yang dulu hanya Ummi baca namun ternyata tidak semudah mewujudkannya. Tapi kita terus berjalan, Nak... Dan percayalah, untukmu Ummi selalu mengikhtiarkan yang terbaik.

Fayyadh, kelak saat kamu sudah dewasa dan membaca tulisan ini, jika terlintas dalam pikiranmu bahwa orangtuamu tidak mencintai kamu karena mungkin ada selisih di antara kita, percayalah bahwa pikiranmu itu salah ya Nak. Sebab mungkin, masa kecil saat kami melimpahkan kasih sayang ini padamu, barangkali tidak akan terlalu lama bertahan dalam ingatanmu.

Fayyadh sebagai anak tertua mungkin akan banyak mengalah, dan dituntut untuk menjadi contoh adik-adik yang lain. Bersabarlah ya Nak. Bersabar untuk menjadi baik dari hari ke hari. Selama masih berhembus nafas ini, Ummi akan terus membantu kamu merajut sayapmu satu per satu. Hingga kelak, tiba saatnya kamu terbang tinggi menjemput takdir kehidupanmu sendiri.

Tapi, kapanpun kamu ingin kembali, akan selalu ada hati Ummi yang merindukan kamu di sini.

12/1/18

Minggu, 07 Januari 2018

MENAKAR JALAN HIJRAH

Perempuan itu membuat semua orang kaget. Ia yang dulunya selalu berpakaian minim dan terbuka, tiba-tiba tampil mengenakan hijab. Hijrah, istilahnya. Banyak yang mendoakannya agar istiqamah. Tapi tak sedikit pula yang berkomentar macam-macam.

Kita tentu pernah menemui kejadian di atas. Yang paling gampang diamati tentu yg terjadi pada publik figur. Artis yang dulunya selalu tampil seksi, tiba-tiba muncul dengan mengenakan jilbab dan pakaian tertutup. Cek per cek, doi memang belakangan rajin ikut kajian, atau gaul sama sesama artis yang hijabers, atau alasan lainnya. Ya, hidayah itu memang bisa datang dari mana saja.

Yang menarik ditilik adalah komentar orang yang di sekitarnya. Kadang, mereka yang merasa lebih dulu hijrah seringkali memberikan penilaian rupa-rupa. Tak jarang juga ada nada nyinyir di sana.

'Ah, hijabnya masih kurang panjang!'

'Katanya sudah hijrah, tapi kok dandanan masih tebal!'

'Gaulnya masih kayak dulu tuh, IGnya masih penuh foto selfie!'

Daaan...beragam nyinyiran lain. Padahal, pernahkah kita berpikir tentang apa sih yang mereka hadapi untuk proses hijrah itu? Di lingkungan di mana rok mini itu sah sah saja, tampil dengan penutup kepala tentu beda sensasinya dengan hadir di lingkungan yang memang umumnya ceweknya berhijab. Bahkan bisa jadi, shalat lima waktu saja bagi mereka adalah sesuatu yang sangat WOW. Maka tidak bijak kiranya proses mereka itu kita nilai lewat standar kita yang memang tidak berada di lingkungan yang sama.

Begitu pula saat kita melihat akhwat yang dibesarkan di lingkungan keluarga ustadz, misalnya. Kadang kita dengan mudah menganggap bahwa jalan hijrah dia PASTI lempeng-lempeng saja. Padahal, kita pun tidak pernah tahu tantangan apa yang ia hadapi. Dan setiap orang pasti punya ujiannya masing-masing kan?

Sama halnya saat ada saudari seperjuangan yang tiba-tiba 'hilang'. Padahal mungkin kita tak pernah tanya kabarnya, boro-boro kunjungi rumahnya, tapi kok ya lisan rasanya ringan saja untuk nge-judge;

'Ah, sudah futur tuh dia...'

'Kenapa sih semudah itu dia melepas hidayah...'

'Padahal masalah saya kemarin lebih berat loh, dia mah lemah mujahadahnya, masa gitu aja gak istiqamah...'

Endebrei... endebrei...

Lagi-lagi, memang kadang paling mudah untuk komentar, justru saat kita tidak tahu jalan cerita yang sebenarnya. Dan tahukah kita, ukuran kita tak pernah sama. Tiap orang punya medannya masing-masing. Dan kadang, di jalan hijrah kita ini, kita hanya butuh satu hal: mengedepankan baik sangka.

Wallahu a'lam.

Rabu, 03 Januari 2018

Kangen

KANGEN GAK?

Kemarin tiba-tiba di chat sama sahabat lama. Saya kenal sejak jaman awal-awal dapat hidayah di bangku SMA. Sosoknya masyaallah... Tidak heran kalau dia dapat jabatan penting di rohis.

Tapi seiring dengan perjalanan waktu, takdir Allah pun bergulir. Qadarullah dia nikah sama lelaki yang punya kerjaan yang sering dimutasi sana sini. Akhirnya saudari saya itu juga ikutan nomaden.
Kemarin beliau hubungi saya. Bertanya apakah saya masih membina halaqah tarbiyah. Mengatakan bahwa ia ingin bergabung di halaqah binaan saya sebagai binaan baru. Masyaallah... Kalau ingat gimana dia jauuuuh lebih baik  dari saya, ya jelaslah saya ini tidak pantas jadi murabbiyah dia. Lagian sejak balik dari tanah rantau memang saya belum berkesempatan untuk membina lagi.

Tapi yang saya lihat adalah kesungguhan beliau. Kesungguhan untuk mengulang segalanya dari awal. Kesungguhan untuk menuntut ilmu dan duduk kembali dalam majelis. Sesuatu yang terakhir kali ia lakukan lima tahun yang lalu.

Saya, yang sejak lahiran belum juga hadir kembali di halaqah, tiba-tiba kangen nuansa tarbiyah lagi.

Tarbiyah memang ngangenin sih ya. Kalau kamu, kangen gak untuk tarbiyah lagi?

4/1/18