Minggu, 29 Mei 2011

Ketika Penulis Jatuh Cinta (Part2)

Menyusul kesuksesan *halah* bagian pertama dari tulisan ini yang berdasarkan statistika blog saya cukup banyak diklik, dibaca, dan dikomentari oleh kawan-kawan, saya mencoba melanjutkan sekuelnya, sekaligus menjawab tanya dan kesan ‘misterius’ yang hadir pada tulisan pertama –terutama di bagian akhir, katanya. *halah lagi*

“Kak, saya cuma tanya, apakah kakak pernah jatuh cinta?” ujarnya, jengkel dengan jawaban saya berbelit.

Saya tersenyum. Memandang ke dalam bola matanya; memastikan bahwa ia memang benar-benar ingin mengetahui jawaban saya, atau hanya sekadar ingin menggoda. Alisnya bertaut, tak sabar menunggu.

“ Ya, pernah” jawab saya. Matanya berbinar. “Tapi sudah lama sekali, dulu, bertahun yang lalu.” Saya terdiam sebentar. Tersenyum. Lalu melanjutkan, “Tapi hingga sekarang, getarannya kadang masih terasa. Terutama saat hujan, dan di waktu malam saat ia sepi.”

Sebenarnya, jika mencermati tulisan ini hingga titik terakhirnya, maka tanda tanya di balik kalimat “Ya, (saya) pernah (jatuh cinta)” ini sudah cukup dapat terjawab. Sebab, pada bagian paling akhir saya mendedikasikan tulisan ini kepada seorang ukhti dan kepada dunia kata yang saya CINTA. Nah, itu dia! Saya telah jatuh cinta pada dunia kata-kata!

Mungkin, sejak mampu mengenali huruf untuk dibaca, atau sejak dapat menyusunnya menjadi kalimat yang sempurna, saya tahu bahwa membaca dan menulis adalah aktivitas yang teramat menyenangkan. Bahwa begitu banyak hal yang dapat tersampaikan –yang kadang seringkali tertahan di bibir dan di hati, namun dapat keluar begitu saja dengan bahasa tulisan. Tanpa suara. Dan keheningan itu, seringnya memang lebih dapat menghadirkan pemaknaan.

Maka saya berhutang kepada sebuah organisasi kecil di masa SMA dulu. Jenius’03 namanya. Saat media sederhana itu memuat untuk pertama kalinya ‘Negeriku Tertidur’ sebuah puisi yang saya buat di masa SMP. Lalu hal itu agaknya menjadi tonggak terbangunnya kepercayaan diri saya untuk ‘membebaskan’ tiap kata yang dahulunya hanya bersarang pada lembaran-lembaran pribadi di binder saya. Yang dulu saya tulis sendiri, dan saya baca sendiri.

Terlepas dari berbagai macam kelebihan dan –tentu saja, kekurangan dan celah dalam Jenius’03, saya paham betul bahwa beberapa nilai penting telah saya pelajari di sana. Meski kemudian para alumninya mungkin sangat sedikit yang di masa depan benar-benar berkecimpung di dunia jurnalistik, namun saya merasa bahwa beberapa pelajaran yang kami dapatkan di sana memang merupakan nilai-nilai dasar yang diperlukan oleh profesi manapun.

Maka kepadanya, dan kepada dunia kata itulah, saya jatuh (cinta).

“Tapi hingga sekarang, getarannya kadang masih terasa. Terutama saat hujan, dan di waktu malam saat ia sepi.”

Ada apa dengan hujan? Dan ada apa dengan malam yang sepi? Ya, getaran yang datang, yang kemudian membangkitkan tubuh dari rebahnya, lalu memulai duduk dan memainkan jemari untuk merangkai kata, memang kerap kali saya dapati lebih mudah dalam kedua kondisi tersebut.

Hujan. Peristiwa alam ini seringkali menjadi favorit di dunia puisi. Dan entah mengapa, ada power tersendiri yang dimiliki oleh hujan yang dapat merambatkan getaran hingga ke ujung jari –untuk menulis. Maka dalam sebuah puisi saya berani berkata, hujan turun bersama sajak-sajak yang berhamburan. Ya, bukankah hujan turun bersama berkah? Dan bagi saya, kata-kata, puisi, dan inspirasi menulis adalah berkah! Hehehehe...

Malam yang sepi. Hmm..., mungkin sekali lagi kita berbicara tentang keheningan. Saya termasuk salah satu orang yang memfavoritkan kondisi ini. Tidak ada yang salah dengan suasana hangat yang bercampur ramainya canda tawa. Atau pun riuhnya manusia dalam cakap saat saling bertukar kabar dan mengakrabkan diri. Namun tetap saja, bagi saya kondisi tenang-hening-sendiri, selalu membuat saya merasa lebih nyaman, terutama saat memang memerlukan waktu untuk lebih mengenali diri. Kalian tahu, terkadang orang yang paling tidak kita kenali adalah diri kita sendiri. Maka sediakanlah hening yang berkarib dengan kejernihan, untuk dapat lebih mengakrabinya; dirimu. Dan bagi saya, kondisi itu sangat tepat untuk menulis. Lebih-lebih lagi untuk membaca!

Maka lewat tulisan ini saya hanya ingin berbagi. Betapa budaya literasi konon merupakan tonggak kemajuan sebuah bangsa. Bahwa buku, tulisan, catatan, dalam bentuk atau media apapun itu merupakan saksi sejarah yang menyimpan begitu banyak pelajaran. Termuliakanlah mereka yang mendapatkan berkah untuk menjadi seorang berilmu, lalu mampu membagikan ilmunya secara lisan kepada siapapun yang ia temui, apalagi jika secara tulisan, yang mungkin dapat menyentuh orang-orang yang bahkan tidak pernah bertatap wajah dengannya.

Pesona ilmu. Ya, itulah yang sering saya rasakan akhir-akhir ini. Menyaksikan orang-orang yang dapat dengan fasih membagikan pengetahuannya dengan orang lain tanpa harus membuat kening mengernyit. Atau orang-orang yang bahkan mungkin telah tiada bertahun yang lalu, namun dapat tetap menghadirkan decak kagum karena menginspirasi lewat apa yang ia tulis. Semoga bagi mereka, mengalirlah pahala untuk ilmu yang bermanfaat, hingga akhir usia dari dunia. Aamiin.

*Hujan dan malam yang sepi juga selalu menghadirkan getaran pada ‘jatuh cinta’ saya yang lain. Dulu saya mengenalnya dengan kata ‘sahabat’, namun kini saya takjub dengan tingkatannya yang lebih dari itu; ukhuwah Islamiyah; saudari-saudari di jalan Allah. Dalam Ketika Penulis Jatuh Cinta Part 3, insya Allah.

gambar:http://kikolani.com/wp-content/uploads/2009/03/writing.jpg

Minggu, 22 Mei 2011

Kita, Pada Akhirnya


Setiap jiwa akan merasakan mati.

Sebuah ayat yang sudah sangat gamblang mengingatkan kita tentang bagaimana hidup ini memang akan terhenti. Lalu kematian itu, memang merupakan sebuah nasihat yang sangat tepat, ia nyata berada di hadapan kita, ia hanya menuntut waktu kita sejenak untuk menjadi saksinya. Menjadi saksi atas berbagai macam kematian yang silih berganti terjadi dengan atau tanpa kita ketahui.

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapatkan sebuah kabar tentang seorang ummahat yang ternyata telah berpulang mendahului. Beliau masih cukup muda, hanya terpaut lima tahun dengan saya. Dengan seorang anak yang baru berusia empat tahun. Saya mengenalnya dalam sebuah momen kebersamaan empat hari tiga malam. Selanjutnya, perjumpaan kami terjadi saat saya sedang mengalami masa-masa ‘nomaden’, berpindah dari satu halaqah ke halaqah yang lain karena kepadatan jadwal di masa awal-awal kuliah.

Saya terlampau keget mendengar kabar kepergian beliau. Pasalnya, menurut kabar yang dibawa seorang kakak, beliau tidak sakit sama sekali. Tidak ada keluhan apapun yang berarti. Namun, keadaan berubah dengan sangat cepat di akhir-akhir hidupnya. Dan bukankah kita tidak dapat lagi bertanya; mengapa? Saat ternyata takdir itu telah terjadi. Dan memang; Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.

Namun terlepas bahwa maut adalah sebuah misteri. Entah mengapa beliau terlihat telah mempersiapkan banyak hal; rencana memberi makan anak yatim yang ia utarakan kepada suaminya, wasiatnya untuk menyumbangkan semua jilbabnya kepada akhwat saat ia telah tiada, dan permintaannya agar penyelenggaraan jenazahnya kelak dapat dipercepat.

Beberapa hari yang lalu pula, saya kembali mendapatkan kabar kepergian seorang akhwat. Umur beliau juga hanya terput lima tahun dari saya. Saya tidak terlalu mengetahui cerita tentangnya. Namun, yang saya tahu, kesamaan diantara dua orang yang pergi ini adalah; insya Allah mereka meninggal dunia dalam keadaan masih dalam keistiqamahan.

Subhanallah.

Saya teringat sebuat pesan singkat yang hadir di layar ponsel saya. Seorang saudari membagikan nasihatnya; Saat rasa malas datang, saat keinginan mundur dari jalan kebaikan menerpa, saat godaan maksiat terus terdengar, cukuplah ingat; bagaimana jadinya jika ternyata saat itulah kita akan dipanggil olehNya. Su’ul khatimah. Naudzubillah...

Maka kembali terngingang bagaimana nasihat seorang kakak di sebuah lingkaran majelis di akhir senja; Selagi masih ada waktu, berbuat baiklah, sekecil apapun ia. Sebab kita tidak tahu, kapan kesempatan ia akan pergi. Kapan waktu kita akan berakhir. Wallahu a’lam.

(Makassar, 23 Mei 2011)

*Jeda waktu antara tulisan ini selesai dan waktu mempostingnya, terlewat lagi dua kabar tetangga yang meninggal, seorang bapak dan seorang anak kecil. Takdir itu, seolah menegaskan bahwa kita memang harus banyak mengingat pemutus segala angan-angan; kematian.