Jumat, 01 Juli 2016

Lelaki Mungil dari Perut Ummi


Akhir September 2015

Ok, jadi sekitar five weeks, ya...” ujar perempuan berwajah turunan Timur Tengah itu sambil mengamati hitung-hitungannya sendiri. Selanjutnya ia memastikan kepada saya perihal hasil testpack, lalu meminta saya naik ke atas tempat tidur untuk kemudian menjalani pemeriksaan USG. Ia lalu menunjukkan bulatan hitam kecil pada layar yang memindai bagian perut bagian bawah saya. Ia menyebutnya; kantung janin.

Senja hari, 8 Mei 2016
Saya mengecup telapak tangan Bapak dan Mama. Pamitan. Malam ini, kami akan menginap di rumah mertua. Ibu mertua saya malam nanti akan pulang dari perjalanan dinas di luar kota. Dan rencananya, besok malamnya saya dan suami akan ke rumah bersalin tempat saya selama ini mengontrol kehamilan. Rumah bersalinnya lebih dekat ke rumah mertua dibanding rumah orang tua saya. Rencananya, jika dekat masa persalinan nanti, kami akan bersiap-siap dengan menginap di sana untuk lebih memudahkan aksesnya.

Besok malam insya Allah mau sekalian kontrol ke dokter...” ujar saya saat pamit pada Bapak, sekaligus menjelaskan bahwa kami akan mabit dua malam di sana. 

Ooh.. jadi kapan melahirkan?” tanya Bapak dengan spontan, masih dalam posisi berbaringnya. Saya nyengir mendengar pertanyaan Bapak. Lalu memberitahu prediksi dokter berdasarkan pemeriksaan terakhir yang menduga saya akan melahirkan di awal bulan depan.

Kami pun menyusuri jalan di atas laju roda dua. Tujuan pertama bukan langsung ke tujuan utama kami. Ya, sore ini memang kami mengagendakan untuk menyantap ikan lele goreng favorit di bilangan jalan Perintis. Jadilah rute kami sore hingga ba’da Maghrib itu adalah Gowa-Perintis-Antang. Dalam perjalanan menuju rumah mertua saya sempat mengutarakan kepada suami perihal kekhawatiran saya menghadapi persalinan nanti.

Rasanya mulai deg-degan...” ujar saya di antara suara klakson mobil yang ikut melaju di jalan malam itu. Seperti biasa, suami menasihatkan saya untuk banyak berdoa dan menenangkan saya bahwa semuanya akan baik-baik saja, insya Allah.

Setibanya di rumah, saya baru merasakan lelahnya. Perjalanan kami tadi memang terasa cukup panjang, apalagi saya sambil membopong perut yang terus membuncit dari hari ke hari. Rasanya makin mudah ngos-ngosan. Selepas Isya, saya memutuskan berbaring sambil membaca sebuah buku yang baru saja saya miliki. Setelah itu, sepertinya hal yang paling tepat untuk dilakukan adalah langsung tidur saja. Rencananya besok saja saya menyapa Ibu yang akan tiba jelang tengah malam nanti.


Dini hari, 9 Mei 2016

Deg!

Rasa itu datang lagi. Perasaan tegang di perut yang disertai dengan rasa sakit bercampur mulas. Beberapa hari yang lalu, rasa yang sama kerap kali datang sesekali untuk kemudian mereda setelahnya. Saya mencoba mengatur napas. Menguasai diri. Berpikir bahwa, seperti kemarin, sakit ini pun akan mereda segera, insya Allah.

Saat mulai kembali memejamkan mata, serangan sakit itu datang kembali beberapa saat kemudian. Kali ini saya merasa ingin buang air kecil pula. Saya kembali mengatur napas dan berharap bahwa sakitnya segera mereda agar saya bisa lebih nyaman bangun untuk buang air kecil. Sekembalinya dari WC, saya mencoba kembali tidur. Tapi tak beberapa lama, rasa sakit itu datang lagi. Saya mencoba membangunkan suami dan memberitahunya perihal apa yang saya rasakan. Seperti kemarin-kemarin, suami akan ikut bangun dan membacakan ayat-ayat ruqyah sambil mengusap perut saya. Biasanya sakit dan tegangnya akan mereda dan saya akan kembali tertidur, dan kali itu pun demikian.

Tapi..

Bedanya, kali ini rasa sakit itu terus saja datang hingga subuh menjelang. Rasa-rasanya makin lama derajat sakitnya makin bertambah. Saya merasa nyaris tidak bisa tidur dibuatnya. Suami pun terus menerus saya bangunkan tiap rasa sakit itu kembali datang.

“Bagaimana kalau kita bangunkan Ibu?” tanya suami di pagi buta itu. Saya masih menggenggam tangannya sambil meringis kesakitan. Sejurus kemudian, saya menggeleng.

“Besok saja tanya sama ibu... Ibu baru pulang, pasti butuh istirahat dulu... “. Ujar saya sambil menarik napas panjang. Sakitnya berangsur mereda, tapi untuk kembali datang lagi setelahnya..


Awal pagi, 9 Mei 2016

Ba’da subuh Ibu segera masuk ke kamar tempat saya tidur setelah diberitahu suami perihal kami yang nyaris tak bisa memejamkan mata separuh malam akibat menegangnya perut saya.

“Mungkin masuk angin, bu.. Rasanya agak-agak mules begitu...” ujar saya, masih dalam posisi berbaring sejak usai shalat subuh tadi. Mencoba menganalisis bahwa mungkin ini adalah efek perjalanan kami malam kemarin.

Ibu mengecek kondisi saya, lalu kemudian mengansurkan minyak kayu putih untuk dibalurkan ke perut.

“Mudah-mudahan cuma masuk angin, Nak. Kalau sudah agak enakan bangun dulu minum teh dan makan kue ya..” ujar Ibu kemudian. Saya mengangguk sambil tersenyum mengiyakan.

Rasa sakit itu masih saja terus datang. Tiap perut saya terasa menegang, telapak tangan dan kaki saya rasanya sampai ikut basah dan dingin menahan sakitnya. Sesekali saya meremas bantal sambil menahan rasa sakit. Jeda antara serangan sakit yang satu dan yang lainnya saat perut saya terasa lega jadinya terasa sangat nyaman sekali. Saya mencoba menguatkan diri untuk bangkit ke WC lalu singgah di ruang tengah untuk menyeruput teh dan ngemil kue ole-ole yang dibawa Ibu. Orang rumah yang lain sedang ramai membongkar ole-ole lainnya di ruang tamu. Suami ikut duduk di samping saya sambil turut memakan kue di hadapan kami.

“Sudah ndak sakit?” tanyanya

“Sakitnya masih suka datang sih... tapi ini lagi berhenti..” jawab saya sambil terus mengunyah. Saya masih berpikir bahwa mungkin ini akibat masuk angin. Semoga dengan teh hangat dan kue ini, angin itu bisa terdorong keluar agar perut saya lebih lega.

Saya kemudian masuk kembali ke kamar sebab rasa sakitnya kembali datang. Rasanya ingin berbaring saja...


Sekitar pukul 10.00, 9 Mei 2016

Kenapa rasa sakit ini tidak berhenti datang ya? Bukannya kemarin-kemarin biasanya hanya datang satu dua kali, setelah itu hilang kembali? Baru kali ini saya merasakan yang seperti ini. Ini mungkin kontraksi, tapi tentu saja kontraksi palsu. Wong saya baru akan melahirkan bulan depan! Begitu terus pikiran yang menari-nari di kepala saya; saya tidak akan melahirkan sekarang, saya baru akan melahirkan bulan depan, dan sakit ini akan segera berhenti.

Tapi, nyatanya tidak. Rasa sakit itu muncul dengan rentang waktu yang semakin pendek dan dengan rasa sakit yang semakin hebat. Tiap ia datang, peluh saya bercucuran demi menahan rasa sakitnya. Di tengah-tengah deraan apa yang saya anggap kontraksi palsu itu, saya masih sempat meraih ponsel, googling, lalu mengetikkan keyword Braxton Hicks pada mesin pencari itu. Baca-baca sepintas lalu mengamalkan tips-tips pada artikel di dunia maya itu. Tapi hasilnya nihil. Rasa sakit itu terus saja datang.

“Ibu ke kantor dulu ya, Nak. Insya Allah cuma sebentar untuk membagikan undangan (pernikahan ipar saya pekan depan).” ujar Ibu saat masuk ke kamar.

Sejurus kemudian, ibu menatap wajah saya. Kali ini lebih lekat, tidak seperti biasanya. “Kalau sampai siang nanti masih sakit, bawa ke rumah sakit saja...” ujar Ibu kepada suami saya. Suami saya mengiyakan. Saya dalam hati hanya berdoa semoga sakit ini segera reda agar kami tak perlu ke rumah sakit siang itu.

Setelah itu, suami masuk ke dalam kamar membawa piring berisi sarapan. Saya yang biasanya sarapan berat di pagi hari rasanya jadi lupa untuk lapar gara-gara rasa sakit ini. Saya mencoba duduk dan bersandar pada tembok, masih di atas tempat tidur. Mencoba menyuapkan nasi ke mulut, namun baru beberapa suap, rasa sakit itu kembali datang, hingga rasanya saya begitu lemas hanya untuk menopang piring sarapan. Suami jadinya mengambil alih menyuapi saya.

“Kita ke rumah sakit saja ya...” ujarnya. Saya menggeleng. Ah, saya merasa sangat berantakan hari itu. Saya belum mandi, wajah kucel dan terlipat-lipat menahan sakit. Rasanya malas sekali untuk keluar rumah dan ke rumah sakit. Dalam pada itu, saya masih percaya bahwa kami baru akan ke rumah sakit malam nanti, sesuai rencana untuk mengkonsultasikan kehamilan saya.


Jelang Zhuhur, 9 Mei 2016

Rasa sakitnya tidak juga berhenti. Suami nampak mulai makin khawatir, mungkin juga sebab genggaman tangan saya semakin basah oleh keringat dan semakin keras menggenggam tangannya tiap kali rasa sakit yang makin sering itu datang kembali.

“Tambah lama tambah sakit...” ujar saya sambil meringis.

“Setelah Zhuhur kita ke rumah sakit saja.” ujar suami saya. Kali ini dengan nada tegas, nampaknya tanpa mengharapkan pertimbangan pendapat saya.  Saya hanya bisa mengangguk lemah dengan mata sayu.

Sempat terbersit pikiran; jangan-jangan saya akan melahirkan hari ini? Tapi saya menggeleng kepada diri sendiri. Tidak. Bukan sekarang saatnya. Bukan saat saya sama sekali tidak bersiap untuk itu. Saya belum banyak membaca tentang persalinan, belum juga bertanya lebih mendalam kepada yang lebih berpengalaman. Tidak. Saya tidak akan melahirkan hari ini. Siang ini mungkin memang kami akan ke rumah sakit, tapi saya hanya akan diberi obat untuk menghilangkan rasa sakit kontraksi, dan semuanya akan kembali normal, begitu pikir saya kala itu.

Tapi rasa sakit itu semakin menjadi dan saya merasa semakin kewalahan menahannya. Suami sudah memberi tahu Bapak mertua bahwa kami akan ke rumah sakit, memesan taksi, dan meminta Inna, adik ipar paling bungsu untuk membantu saya bersiap. Dengan sisa tenaga yang saya punya saya mencoba bangkit untuk mengganti baju daster dengan gamis dan jilbab. Rasanya malas sekali, rasanya berantakan sekali. Saya berjalan menuju taksi sambil dibopong oleh suami dan Inna di sebelah kiri dan kanan. Dan, rasa sakit itu masih terus datang. 

Mungkin karena melihat keadaan dan mengira saya akan melahirkan, supir taksi itu memacu kendaraannya dengan kecepatan agak tinggi. Jadinya mobil berguncang dengan cukup hebat. Saya yang masih terus menahan sakit semakin meringis dibuatnya.

“Pelan-pelan...” ujar saya. Mungkin supir taksi itu heran, baru kali itu ada orang yang mau dibawa ke rumah bersalin tapi malah menyuruhnya pelan-pelan. Hehehe...


Sekitar pukul 14.00, 9 Mei 2016; Rumah Sakit Bersalin Wihdatul Ummah

Kami akhirnya tiba. Saya langsung dibopong menuju ruangan bersalin untuk diperiksa. Saya berbaring di ranjang sambil terengah-engah. Bidan yang saat itu menangani saya langsung menanyakan kondisi saya dan mengecek medical record.

“Tidak ada lendir darah? Tidak rasa pecah ketuban?” tanyanya. Saya menggeleng. Kedua tanda melahirkan itu tidak ada sejak tengah malam tadi. Ya memang, sebab saya memang belum akan melahirkan hari ini, masih begitu pikiran saya hingga saat itu.

“Kalau begitu silakan ke wc untuk buang air kecil dan membuka pakaian dalamnya ya. Setelahnya, saya akan lakukan pemeriksaan dalam...” ujar bidan itu setenang mungkin.

Saya menyeret langkah ke wc, mencoba buang air kecil, tapi tak bisa. Mengecek kedua tanda melahirkan itu, tapi tak ada. Pemeriksaan dalam kemudian dilakukan dan saya terus meringis kesakitan sambil kewalahan mengatur napas. Setelah memeriksa saya, bidan tadi tak berkata apa-apa, dan saya terlalu kesakitan untuk menangkap perubahan ekspresinya. Ia hanya meminta saya untuk terus mengatur napas, menarik napas panjang tiap rasa sakit itu datang, dan berbaring dengan menghadap ke kanan. Saya tidak ada pilihan lain selain mengikuti semua instruksinya. Saat itu, Ibu mertua juga sudah tiba di rumah sakit dan segera berada di sisi tempat tidur untuk mendampingi saya.

Di antara peluh dan rasa sakit, saya menggenggam tangan ibu yang mengusap kepala saya dengan lembut. “Bu... sakitnya datang lagi...” ujar saya dengan terengah. Kali ini rasanya makin makin makin sakit. Lalu pada satu titik, saya merasa ada yang meletus di dalam perut saya, lalu mengalirkan air yang membasahi sarung pakaian bagian bawah saya.

Inikah yang disebut pecah ketuban?

Ya.

Baiklah.

Saya akan melahirkan saat ini.

Baru pada detik itu saya percaya bahwa saya benar-benar akan menghadapi proses persalinan saat itu juga. Bidan itu kemudian mengarahkan posisi saya dan meminta saya ‘latihan mengedan’. Yang bidan itu tidak sampaikan kepada saya pasca memeriksa saya tadi adalah; ternyata tadi itu saya sudah pembukaan lengkap, sodara-sodara! 

Dan karena prosedur rumah sakit tidak memperbolehkan suami saya masuk ke ruang bersalin, jadilah saya kali itu ditemani ibu mertua di sebelah kiri, dan Inna di sebelah kanan, akan menjalani proses yang tidak akan pernah saya lupakan itu.

Ya.. bagus! Bagus sekali dek! Begitu dek! Nanti mengedan seperti itu lagi kalau kontraksinya datang!” ujar bidan itu setelah saya mempraktekkan instruksinya. Mendapat apresiasi seperti itu, rasanya saya menjadi bersemangat untuk mengedan! Ayo semangat!

Nak, sejak awal saya sudah berjanji padamu untuk berjuang yang terbaik saat masa ini datang. Maka mari kita berjuang bersama, biidznillah!

“Sakitnya datang lagi kak...” ujar saya kepada bidan itu. Nampak satu bidan lagi ikut bersiap menangani saya. Sepintas lalu, saya familiar dengan wajahnya.

Saya kembali mengedan. Allahu Akbar! Laa hawla wa laa quwwata illa billah! Sungguh lemah sekali kita sebagai manusia, sungguh saat ini saya sangat membutuhkan pertolongan dan kekuatan dariNya!

“Ya.. bagus dek..! Bagus!” ujar bidan yang pertama itu kembali. Saya mengambil napas di antara jeda kontraksi itu. Ibu mengansurkan sedotan dari botol air minum yang segera saya seruput. Bidan yang baru saja datang itu lalu menatap wajah saya dengan lekat.

“Namanya siapa, dek?” tanyanya.

“Diena Rifa’ah..” ujar saya sambil terengah.

Ekspresi bidan kedua itu lalu berubah. Senyumnya merekah. “Oooh.. Diena yang penulis itu kan? Iya betul... yang penulis itu!” ujarnya dengan semangat. Saya tidak tau harus berekspresi bagaimana untuk menanggapinya.

“Iya, ini yang penulis itu...” ujarnya kepada perawat di sebelahnya. “Lihat saja, pasti nanti melahirkanya ini pun akan ditulisnya!” ujar bidan itu masih dengan senyum terkembang. Kejadian itu, sungguh sepersekian detik telah sukses mengalihkan kesakitan saya. Hehe.. ada-ada saja..

Perjuangan masih terus berlanjut. Tiap rasa sakit itu datang, saya kembali mengedan dengan kuat. Dengan mengerahkan semua tenaga yang saya punya. Rasanya urat-urat ini dibetot dengan hebat. Tapi proses ini harus segera saya tuntaskan. Saya harus berjuang. Rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh  dikalahkan oleh keinginan saya untuk segera menyelesaikan proses ini.  

“Ayo dek, kali ini ambil napas lebih panjang...!”

Saya kembali berusaha mengedan. Mendorong janin itu keluar dari rahim saya. Tidak terpikirkan lagi seberapa robekan yang sudah tercipta di bawah sana dan seberapa banyak darah yang tumpah. Saya berusaha merasai bahwa si kecil pun tengah berjuang untuk menemukan jalan lahirnya. Rasanya dunia di sekeliling saya berhenti dan semuanya hanya tentang bagaimana kami semua yang ada di ruangan itu berjuang untuk menghadapi persalinan ini, atas izin dan pertolongan Allah. Tidak terpikirkan lagi untuk berteriak atau menangisi ini semua sebab saya harus mengkonsentrasikan sekecil apapun kekuatan yang saya punya untuk mendorong si kecil dengan otot-otot saya. Betapa Maha Besar-nya Allah, betapa lemahnya saya.

“Jangan lepaskan berkuatnya, Dek.. ayo sambung napasnya di sini...” bidan kedua tadi memberikan instruksi sementara bidan pertama bergeser ke sebelah kiri tempat tidur dan menindih bagian atas perut saya.

“Saya cuma membantu di sini dek, tetap harus kamu yang terus mendorong. Ayo lebih kuat, Sayang! Sedikit lagi... ya.. bagus...!” ujar bidan pertama itu.

Saya terengah. Sungguh tidak ada pilihan lain. Tidak ada pilihan untuk menyerah pada kelelahan dan rasa sakit ini. Sedikit lagi, katanya! Sedikit lagi!

Saya terus berusaha dan berusaha mendorong di antara semua yang tumpah di siang itu. Ah, betapa perjuangan ini terasa panjang, Anakku.

Mengawali kehamilan dengan ngidam berat di trimester pertama hingga medio trimester kedua. Saat dinyatakan hamil dan sementara jauh dari sanak keluarga di tanah rantau, sempat terpikirkan bahwa ngidam berat ini sungguh tidak sanggup lagi saya hadapi. Hanya berdua dengan suami dan menyaksikannya harus mengerjakan seluruh pekerjaan rumah dan mengurus saya yang hanya bisa terkulai lemah di tempat tidur. Hingga kemudian memutuskan untuk kembali ke tanah air lebih dulu dan menjalani hubungan jarak jauh yang juga jauh sangat menyiksa.

Mengontrol kehamilan tanpa didampingi suami, melalui malam-malam yang terasa sunyi dan seringnya ditingkahi dengan perasaan pusing dan mual yang terasa sepanjang hari. Hingga sempat divonis ‘plasenta menutup jalan lahir’ pada sebuah pemeriksaan saat suami masih di seberang. Sebuah keadaan yang kami putuskan untuk tidak kami beritahu kepada keempat orang tua agar mereka tak khawatir pada keadaan saya. Dalam pada itu, rasanya ingin sekali ditenangkan dengan pelukan yang nyatanya hanya dapat kami lakukan secara virtual melalui chatting. Tak kurang juga bagaimana saya yakin bahwa suami tak kalah khawatirnya nun jauh sana. Di tambah dengan minimnya pengalaman kami menghadapi keadaan seperti ini. Dan keputusan untuk tidak memberi tahu keadaan itu pada orang terdekat membuat saya kerap kali dianggap melemah-lemahkan diri atau terlalu cuek dengan sekitar, akibat lebih banyak ‘sibuk dengan keadaan saya sendiri’. Padahal, satu-satunya hal yang saya lakukan adalah berusaha untuk menjaga diri saya agar tetap baik-baik saja. Goal saya hanya setidaknya tidak ada flek atau pendarahan yang terjadi. Doa dan hanya doa yang terus berusaha menguatkan kami. Jika segala kesulitan itu harus tertakdir, semoga setelahnya Allah memberikan kemudahan kepada diri yang lemah ini.

Dan alhamdulillah, kondisi itu terlewati juga. Apalagi saat suami akhirnya turut kembali menyusul ke Makassar dan kami memutuskan untuk pindah konsultasi ke rumah bersalin yang kami tempati sekarang.

“Semuanya sudah normal, bahkan kepala janin terlalu ke bawah. Jangan terlalu banyak aktivitas dulu ya...” ujar dokter kandungan yang kami mintai second opinion tentang kondisi plasenta saya. Rahim saya sudah turut berkembang dan menempatkan semuanya pada posisi yang seharusnya.

Tapi pemeriksaan bulan berikutnya, saya malah dinyatakan sungsang dan diajarkan latihan gaya menungging untuk memperbaiki posisi janin. Ketakutan bahwa kondisi itu akan bertahan hingga melahirkan sehingga mengindikasikan operasi, kembali datang. Tapi harus kembali dihalau dengan pikir positif bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Dan bulan berikutnya, dokter itu tersenyum saat memberikan konsultasi kepada saya. “Latihannya rajin ya? Sekarang posisi kepalanya sudah berbalik dan bahkan kembali agak ke bawah. Jangan banyak jalan dulu, belum sekarang waktunya jalan-jalan pagi itu.. nantilah di akhir bulan..” ujar dokter pada bulan April itu. Saya rasanya ingin nyengir jika mengingat bahwa saya banyak men-skip kebiasaan ‘latihan nungging’ itu dari anjuran dokter karena kemalasan saya. Tapi alhamdulillah, Allah lagi-lagi membantu saya dan semuanya menjadi baik-baik saja.

Dan dokter, dengan membandingkan HPL berdasarkan HPHT yang menyatakan bahwa pertengahan Mei menjadi prediksi melahirkan saya, menyatakan bahwa kemungkinan jadwal itu masih terus mundur.

“Mungkin baru awal Juni..” ujar dokter yang kemudian meminta saya kembali berkonsultasi di awal Mei. Prediksinya kemudian menjadi pegangan saya, menjadikan saya begitu santai, bahkan untuk sekadar mempersiapkan tas perlengkapan masuk ke rumah sakit yang sudah sering diwanti-wanti oleh Mama.

Belakangan, di hari yang bersejarah itu, baru kemudian para bidan itu mengedukasi saya bahwa saya seharunya bersiap-siap untuk melahirkan berdasarkan prediksi yang paling pertama. Bahwa kehamilan saya sejatinya memang sudah cukup bulan jika dihitung dari hari pertama haid terakhir.

“Ya... dorong terus Dek! Ayo... masya Allah.. sedikit lagi...” ujar para bidan itu dengan penuh semangat. Basahlah sudah saya. Basah oleh keringat, air mata, dan darah yang tumpah. Di sisa tenaga yang saya punya, dorongan itu terus saya lakukan di antara menyebut namaNya. Mengakui kebesaranNya. Sungguh tak sanggup saya melakukan apa-apa tanpa ditolong olehNya. Rasa sakitnya terbias oleh keinsyafan saya, oleh kesadaran saya, bahwa ini adalah satu tugas yang harus saya tuntaskan; melahirkan seorang jiwa.


Pukul 14.20, 9 Mei 2016; Rumah Sakit Bersalin Wihdatul Ummah

Lalu di antara itu semua, sejenak hening. Ada perasaan lega pada setiap inchi diri saya saat rasanya sesuatu keluar dari tubuh saya. Sejenak hening yang kemudian pecah oleh suara tangis. Dia sudah datang. Dia sudah lahir. Yang berbulan-bulan terus hidup dan bertumbuh dalam perut saya. Yang sepanjang waktu ini hanya dapat saya belai dari luar, yang menjadi paling dekat dengan saya, yang membersamai saya dalam tangis dan tawa dalam waktu yang seketika terasa singkat saja. Hei Nak, inikah saatnya kita benar-benar berjumpa?

Tangisnya pecah.

Dia sudah datang.

Tangannya menggapai-gapai dengan gemetar di udara saat tubuhnya di angkat oleh bidan. Dibersihkan sesaat, lalu diletakkan di dada saya. Kulitnya menyentuh kulit saya. Tubuhnya masih merah dan tangisnya mereda. Dengan takut-takut saya mencoba menyentuh dan membelainya yang kini menempel pada saya dengan mata terkatup.

Dia sudah lahir.

Seseorang yang tak pernah alpa menjadi bagian dalam doa-doa saya, bahkan sebelum saya mengenal ayahnya. Anak keturunan yang akan menjadi penerus sejarah kami. Teman seperjalanan yang akan menambah ramai kafilah kami dalam menyusuri perjalanan panjang kehidupan ini. Amanah yang besar, ah... Wahai Rabbi, sungguh amanah yang teramat besar yang Engkau titipkan kepada kami. Seorang anak yang tidak bisa memilih dari rahim mana ia dilahirkan, yang tidak bisa memesan di tengah keluarga apa ia dibesarkan. Yaa Rabbi, sungguh amanah yang teramat besar yang Engkau titipkan kepada kami!

Dia, yang menjadi doa agar menjelma penyejuk mata, pemimpin bagi kaum yang bertakwa. Dia, yang pada namanya tersemat nama mujahid dari Mesir, penakluk bangsa Mongol yang bengis itu. Dia, yang kami harapkan tidak akan menyekutukan Allah, menyembah Allah meski setelah sepeninggal kami, melantunkan doa terbaiknya sebagai anak yang shalih, insya Allah. Dia, lelaki mungil dari perut ummi...

Dunia, sambut ia dengan salam keselamatan! Assalamu ‘alaikum, Fayyadh Muzhaffar!

Makassar, 1 Juli 2016
Teriring sebanyak-banyaknya ucapan terima kasih kepada semua pihak di RB Wihdatul Ummah yang senantiasa terasa setiap kebaikan-kebaikannya. Jazakumullahu khairan... Barakallahu fiikum! Alhamdulillah, Fayyadh lahir di tempat yang tepat.