Jumat, 16 Mei 2014

Tiga Fase Pranikah (Sebuah Teori-Teorian)


Menuliskan tentang ‘pernikahan’ tentu bukan kapasitas saya. Lah wong saya belum menikah! Menuliskan ini tentu lebih seperti seorang bocah taman kanak-kanak yang sok-sok menggambar kombinasi beberapa persegi panjang dan sebuah segi tiga dan menyebutnya sebagai ‘gambar rumah’, mahasiswa arsitektur tentu akan geleng-geleng kepala dong! Atau –meminjam analogi seorang dosen saya, seperti seorang astronom yang mempelajari bintang-bintang lewat teropong jarak jauh atau studi literatur, pengalamannya tentu beda dengan astronot yang konon sudah melancong ke luar angkasa secara langsung. Jadi, jika anda merasakan aura-aura sok tau di dalamnya, jangan bersedih dan jangan kecewa. Sebab mungkin memang tulisan ini dibangun dari semangat sok tau itu. Hehehe.. Jika tidak ada nilai yang bisa anda ambil dari tulisan ini, saya mohon maaf telah membuang sekian menit dari waktu anda untuk membacanya. Anggap saja saya sedang semacam belajar untuk menulis-nulis dan menceracau saja, atau semacam cara untuk merenggangkan otot-otot jari. Ok?

Setidaknya ada tiga fase yang dialami seorang akhwat sebelum ia menikah...,” demikianlah yang melayang-layang di otak saya dengan begitu sok tau..Hehehe.. Teori ini hanya bikin-bikinan saya sendiri. Jadi, jika kamu tidak setuju, jangan terlalu heboh. Dan jika kamu setuju, maka jangan pula terlalu serius. Ya, teori ini akhirnya terbentuk setelah serangkaian pengamatan, obrol-obrolan yang ringan hingga yang intens *halah*, dan juga terhimpun dari curhatan-curhatan yang mendarat ke telinga saya. Ya, saya memang lebih senang untuk mendengar dan mengamati, saya khan orangnya pendiam dan pemalu...Hehehe *ditabok*. 

Istilah ‘akhwat’ dalam tulisan ini merujuk kepada sejumlah muslimah yang belum menikah (kalo sudah nikah saya sebut ummahat.. hehehe..), istiqamah dengan nilai keislaman sehingga menolak segala komitmen apapun dengan lawan jenis selain pernikahan, rajin menuntut ilmu agama, dan/atau aktivis dakwah di organisasi manapun. Sebab saya mengamatinya hanya di kalangan akhwat-akhwat di sekitar saya, jadi mungkin saja ada perbedaan, yah. Makanya sekali lagi, jangan terlampau serius J
Baiklah, mari kita mencoba menguraikan ketiga fase tersebut. Fase pertama saya beri nama Fase Dramatis. Pada tahap ini, keingingan menikah mulai muncul, tumbuh, berkembang, bahkan hingga meluap-luap. Biasanya akhwat pada tahap ini sedang senang-senangnya membaca buku-buku persiapan menuju pernikahan, melahap kisah-kisah cinta yang romantis dari pasangan-pasangan yang menurutnya ideal, atau baru saja menelan bulat-bulat cerita-cerita indah pengantin baru yang belum lama saling berjumpa sebagai jodoh. Pokoknya, bagi mereka yang berada pada tahap ini, pernikahan itu terlihat sebagai sebuah mimpi yang indah. Layaknya cerita-cerita dongeng yang biasanya diakhiri dengan happily-ever-after. Seperti kita-kita yang di masa kecil tidak pernah bertanya lagi apa yang terjadi pada Cinderella setelah ia menikah dengan si Prince Charming. Pokoknya bahagiaaa ajah! 

Pernikahan dianggap sebagai tujuan. Meski mungkin jika ia melihat pada dirinya, niat menikah itu saja yang besarnya luar biasa, sementara bisa jadi persiapan-persiapan untuk ke arah sana, baik dari segi jasadiyah, fikriyah, dan ruhiyah, belum juga memulai persiapannya. Ya, yang berkembang hanya pada tataran keinginan saja. Sementara, seorang akhwat tentu menolak segala jenis hubungan kecuali yang sudah berstempel halal. Namun apa mau di kata, hasrat sudah bercokol di dalam jiwa, sementara keadaan belum memungkinkan ke arah sana. Hatinya berdegup kencang ketika melihat undangan pernikahan yang selalu nampak menawan dari kakak-kakak yang sudah menuntaskan masa lajang. Senangnya membicarakan tentang mimpi-mimpi masa depan dengan senyuman yang selalu terkembang, disertai dengan canda-candaan dengan pipi yang bersemu merah. Namun terkadang, akhirnya semua hal itu berujung pada kegalauan, baik yang disadari ataupun tidak, baik yang diakui ataupun disangkal. 

Jika boleh menganalogikan dengan warna, maka fase dramatis ini berwarna merah muda. Mungkin, dengan simbol love-love dimana-mana dan bunga-bunga bermekaran di beberapa sudutnya. Fase ini masih cukup ‘aman’ jika akhwat yang sedang berada di dalamnya mampu sedikit menahan diri. Lebih baik menghindari curhatan-curhatan ‘mengundang’ di media sosial, apalagi jika akunnya masih terkonek dengan akun lawan jenis. Sangat rentan terjadi ketergelinciran pada hal-hal berbau hubungan tanpa status, atau yang paling parah; menjadi korban PHP (pemberi harapan palsu, red)

Melewati fase dramatis, selanjutnya beralihlah ke fase kedua. Izinkan saya memberinya nama; Fase Realistis. Pengembangan fase dramatis ke realistis ini ditandai dengan semakin munculnya kedewasaan berpikir. Akhwat yang tadinya melihat bunga-bunga di mana-mana setiap mendengar kata menikah itu, akhirnya mulai mencoba untuk menyelami lebih jauh tentang makna pernikahan. Pada saat itulah, ia akan mendapati, bahwa menikah tidak selamanya indah. Walimatul ‘ursy bisa saja menjadikannya ratu sehari yang full riasan dan full senyuman. Hari pernikahan dengan segala keribetan persiapannya mungkin terselenggara dengan penuh perjuangan, namun yang paling penting sebenarnya adalah hari-hari setelah pernikahan itu. Dan, hari-hari yang panjang itu nyatanya; tidak selamanya indah. 

Bukankah kesempitan dan kelapangan itu dipergilirkan? Maka bagaimana bisa kita membayangkan kehidupan yang hanya diisi dengan kegembiraan melulu? Pada fase realistis, si akhwat mulai menyadari hal ini. Maka, pelan-pelan, euforia fase dramatis mulai menyurut, letupannya sedikit demi sedikit meredam. Ilmunya telah semakin banyak , pikirannya telah semakin terbuka. Hal ini menyebabkan si akhwat bukan lagi hanya sibuk membuat list tipe-tipe calon pangeran idealnya, tapi justru lebih melihat kepada dirinya sendiri; apa yang sudah ia persiapkan? 

Ia mulai melihat undangan walimah itu bukan sebagai tujuan, tapi justru sebagai sebuah pintu masuk untuk menuju sebuah tempat, atau mungkin sebuah lorong panjang yang diisi oleh berbagai macam hal yang entah apa; tidak pernah bisa tertebak sebelum benar-benar dihadapi, tidak pernah bisa benar-benar ditakar sebelum telah dilalui. 

Pada fase realistis, alih-alih sibuk bermimpi dan berandai-andai tentang warna cat apa yang bagus untuk rumah masa depannya, si akhwat justru semakin melihat kehidupan, termasuk kehidupan setelah menikah, sebagai satu hal yang kompleks. Bagaimanapun, menikah adalah ibadah. Dan tidaklah ia disebut ibadah melainkan diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah. Dan, segala hal yang berkaitan dengan Allah, tentu tidak ada yang sifatnya sepele, tidak ada yang boleh dianggap bahan mainan apalagi bercanda. Bukankah bercanda dengan nama Allah bahkan bisa menjadi penyebab batalnya syahadat? Nah. 

Fase realistis adalah saat dimana si akhwat mulai berpikir bahwa menikah tidak sesimpel ‘aku cinta kamu’ dan ‘kamu cinta aku’. Tidak semudah menyebut ‘aku mengagumimu’ dan ‘kamu mengangumiku’. Bukan hanya sekadar tentang kita sama-sama suka warna biru dan senang menatap langit di kala senja. Tidak. Tidak sesederhana itu. Sebab faktanya, menikah adalah ibadah terpanjang, bahkan mungkin sepanjang sisa usia. 

Pada fase ini pula, berbagai macam pergolakan hidup selain tentang pernikahan juga mulai bermunculan. Maka, si akhwat mulai melihat kehidupan ini dengan sudut pandang yang lebih luas. Bahwa hidup seorang jomblo, eh singel maksud saya *ehem*, tidak melulu tentang memikirkan bagaimana ia mengakhiri masa lajang. Banyak hal lain yang harus ia lakukan, banyak persoalan lainnya yang harus ia selesaikan. Maka sembari menuntaskan segala hal yang harus ia tuntaskan, ia pun tak lupa mengumpulkan ilmu tentang itu, mempersiapkan diri untuk menghadapinya, berdoa dengan tulus dan lembut kepada Allah. Tak ada lagi doa-doa yang maksa; pokoknya saya pengennya berjodoh  dengan si anu atau si itu! 

Ia sadar, bahwa jodoh adalah bagian dari takdirNya, yang bisa jadi berada di luar kendali dirinya. Bukan lagi tentang ‘siapa’, tapi perihal ‘bagaimana’. Maka ia berikhtiar, dengan menunggu dan menjaga diri. Dengan memastikan pikirannya tetap pada  track-nya; realistis. 

Fase berikutnya saya sebut sebagai Fase Menenangkan Diri. Nah..nah..nah.. Yang ini cukup seru juga. Fase di mana si akhwat sudah melewati masa realistis yang begitu tenang, bahkan cenderung flat. Si akhwat memasuki masa dimana ia merasa sudah cukup siap untuk menikah. Sudah merasa timing sudah sangat tepat, dan preparasi ke arah sana pun sudah fix. Malah, undangan dari kawan-kawan lainnya sudah mulai berdatangan. Satu per satu  teman menuntaskan masa lajang mereka. Dari teman-temannya itu, mungkin ada yang ia nilai sebenarnya belum cukup siap seperti dirinya. Tapi nyatanya, ia yang siap ternyata belum dijemput juga. Namun, kedewasaan tetap ada pada fase ini. Maka dari itu, menenangkan diri dilakukan secara otomatis. Ibarat reaksi autoimun di dalam tubuh yang langsung menyasar pada organ target secara spontan tanpa harus diperintah. 

Ia sadar sesadar-sadarnya bahwa takdir setiap orang sudah ditentukan lima puluh ribu tahun setelah bumi diciptakan. Ia yakin bahwa tidak akan mati seorang anak adam sebelum menikmati semua rezeki yang sudah ditakdirkan untuknya, termasuk bertemu dengan semua orang yang harus ia temui. Ia yakin, segala fase-fase pranikah ini akan ia lewati dengan baik-baik saja, tanpa kegalauan, tanpa keresahan, apalagi air mata. Curhat-curhatnya cukup mendarat saat ia bermunajat kepada Allah saja. Segala keresahan tak beralasan, bisik-bisik tidak bertanggungjawab yang tidak nyaman, ataupun sindiran-sindiran yang tidak rasional, yang kemudian seolah mencapai titik kulminasinya, ia anggap bisa jadi merupakan pertanda semakin dekatnya ia dari solusi dan pertolongan Allah. 

Seperti Nabi Musa ‘alahissalam yang justru baru memeroleh mukjizat membelah lautan saat laut merah sudah menghampar di hadapannya dan Fir’aun sudah ready di belakangnya. Sudah mepet banget! Atau seperti Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang sudah siap menyembelih sang buah hati yang juga sudah pasrah, namun kemudian dipertukarkan dengan domba. Atau mungkin pula seperti Muhammad Shallallau ‘alaihi wasallam yang sudah berhadap-hadapan di medan Badar dengan tentara kafir yang berkali-kali lipat jumlahnya, lalu Allah menurunkan bala bantuan para malaikat. Maka, ini masalah keyakinan. 

Keyakinan yang melenyapkan keraguan. Baik sangka kepada Allah yang menghilangkan semua kekhawatiran, gundah gulana, perasaan sunyi, sepi, dan kesendirian. Di dalam hatinya telah menggema kata-kata penuh optimisme menatap hari depan; “Biarlah truk-truk pada gandengan, sebab aku tidak sendirian; ada Allah.”

Nah, demikianlah tiga fase dalam teori ini. Ketiga fase ini tidak harus terkait dengan usia, yah. Sebab kata orang bule di sono, “age is just about number”. Bisa saja ada yang usianya masih belia namun sudah sampai pada tahap realistis, begitu pula sebaliknya. Rentang waktu tiap fase juga belum tentu sama. Mungkin ada yang masa dramatisnya panjang sekali, ada pula yang hanya sekejap, demikian pula dengan dua fase lainnya. Susunannya juga bisa saja berbeda. Mungkin realistis dulu, tau-tau malah jadi dramatis, eh realistis lagi, habis itu baru menenangkan diri. Jadi, syarat dan ketentuan berlaku, dan efeknya bisa sangat bervariasi pada setiap orang *halah*. 

Pada akhirnya, bicara tentang begini-beginian memang haruslah merujuk kepada sumber-sumber yang bisa dipercaya dan berpengalaman (cop, saya ndak masuk hitungan!). Hati ini juga harus bisa kuat, jangan maunya diikuti saja terus... Sebab terkadang kita sulit membedakan antara suara dari nurani dan yang datang dari hawa nafsu. Maka konon, ilmu akan sangat berperan. Maka perbanyaklah menuntut ilmu, mengisi hari-hari dengan yang bermanfaat, perkuat hubungan kepada Allah dengan ibadah, dan bergaullah hanya dengan orang yang positif-positif saja. 

Tentu ada perbedaan yang sangat mencolok antara Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan Fir’aun, dengan Abu Thalhah Radhiyallahu ‘anhu. Yang pertama adalah lelaki paling sempurna, yang kedua adalah manusia yang jadi contoh buruk sepanjang masa, yang ketiga adalah shahabat yang baru masuk Islam setelah ia menikahi seorang muslimah. Sosok ketiganya sangat berbeda, namun mari kita meninjau para pendamping mereka. Adalah Khadijah binti Khuwailid, Asiyah isteri Fir’aun, dan Ummu Sulaim. Dan, saya menemukan persamaan pada ketiga wanita tersebut. Meski ketiganya mendapingi tiga orang lelaki yang sangat berbeda, tapi mereka sama-sama memiliki satu hal; kesiapan

Kesiapan ibunda Khadijah untuk membersamai pasangan menghadapi beratnya perjuangan kebenaran, kesiapan Ratu Asiyah untuk tetap teguh pada keyakinan meski yang menentang adalah lelaki yang paling dekat, dan kesiapan Ummu Sulaim untuk melihat potensi kebaikan yang mengintip dari seseorang yang baru saja menerima kuncup-kuncup hidayah yang baru akan mekar. 

Saya teringat perkataan seorang saudari saya di masa ia sedang menjalani proses menuju pernikahannya, “Dien, kata orang,” ucapnya sambil menatap mata saya,  “Kita tidak akan pernah benar-benar merasa siap...,” lanjutnya. Saya mengingat kata-kata itu, menyimpannya dalam saku dan dalam hati untuk selalu saya bawa-bawa. Saya tahu saudari saya itu bukan sedang menyuruh saya terjun bebas tanpa persiapan apa-apa sebab kita katanya tidak akan pernah siap. Justru, ia sedang mengajarkan bahwa; yang penting sudah usaha, yang penting sudah maksimal, semoga Allah membantu menggenapkan. 

Baiklah, nampaknya saya harus segera mengakhiri tulisan ini sebelum aura sok tau saya semakin menguar kemana-mana. Hehe...

Terakhir, Kata Tere Liye, setidaknya ada 3 tingkatan tentang ‘nilai’ sebuah tulisan; pertama menghibur, berikutnya bermanfaat, dan yang tertinggi; menginspirasi. Dan untuk tulisan ini, saya tidak muluk-muluk dan sudah cukup bersyukur jika kamu  –Ya!  Kamu yang masih setia hingga bagian akhir tulisan ini, terhibur setelah selesai membacanya. Mariki’ di’... J



Makassar, 16 Mei 2014

Kamis, 08 Mei 2014

Tugas Waktu


Setiap manusia,” demikian kekata Hasan al Bashri, “Adalah kumpulan hari-hari...”, lanjutnya. Ya, nyatanya setiap kita adalah waktu. Waktu menyusun kita hingga menjadi seperti sekarang. Masa lalu adalah kita yang dulu. Masa depan adalah kita yang nanti. Kita berada dalam pusaran masa yang  tidak pernah menunggu apa-apa, tidak pernah menunggu siapa-siapa. Ia adalah kawan yang tak ingkar janji, dan selalu tepat saat datang dan pergi. Detik yang lalu adalah sejauh-jauhnya sesuatu yang tidak akan pernah kembali lagi. 

Dan di dalam hidup, kita melewati banyak hal. Banyak peristiwa. Hal-hal yang baik menjadi kesyukuran yang kita maknai dengan senyuman. Hal yang buruk juga kadang datang bergantian, meminta kita untuk menyabarinya, dan menghadapinya dengan sebaik-baiknya cara. Permasalahan datang dan pergi, meminta untuk kita selesaikan. Sesekali, waktu membantu kita. Saat kita hanya dapat menunggu, mungkin berpasrah, atau sekadar taktik untuk membiarkan hal tersebut usai dengan sendirinya. 

Waktu menguji kita. Mengajarkan kepada kita tentang ketahanan. Saat cobaan datang menerpa, dalam kurun waktu tertentu mungkin kita masih dapat bertahan. Namun waktu terus berjalan. Dan kita akan teruji, selama apa kita bisa bertahan. 

Waktu akan menunjukkan karakter kita yang sebenarnya. Di satu titik mungkin kita adalah langit biru yang tenang. Namun waktu tidak akan menunggu. Dan saat masa berganti, semburat azura di langit tadi bukan tak mungkin berganti mendung. Pekat. Mungkin, waktu yang selanjutnya akan membuatnya kembali kepada wujud kita yang sebelumnya. Bisa demikian, tapi bisa juga tidak. 

Waktu akan membuka tabir niat kita. Pada masa sekarang, mungkin kita masih bisa melakukan suatu hal tertentu dengan ringan dan tanpa beban. Namun, saat hari-hari telah berlalu, masa yang panjang akan menguak satu per satu, perihal niat yang di dalam hati itu. Adakah dia akan kokoh meski dihadang waktu? Ataukan justru berbalik arah dan menunjukkan tujuan yang sebenarnya. Tujuan yang bisa jadi, sama sekali berbeda. 

Waktu akan menyadarkan kita pada sebuah keputusan. Terkadang, ada ketergesa-gesaan yang membuat kita memilih. Kita pergi ke satu titik, ke satu tempat, ke satu keadaan. Di awal mungkin kita akan tetap memilih berada di sana. Tapi waktu akan terus berdetak, tanpa sedetik pun diam. Lalu pada jalinan menit-menit yang terlewat itu, kita akan menginsyafi tentang apa yang telah kita putuskan sebelumnya. Waktu membuat kita menjadi tahu; apakah harus bertahan, atau justru berbalik meninggalkan. 
Waktu akan menentukan perihal kesabaran. Bersabar di masa yang singkat, akan berbeda bila ia dibawa kepada masa yang panjang. Hanya keteguhan yang dapat membuatnya menjadi sama, keteguhan yang hanya akan bisa terbaca saat waktu yang menentukannya. Kesabaran akan menjadi nafas, menjadi langkah, menjadi pintu yang siap membuka. Tapi, waktu akan terus berada di sekelilingnya. Memerhatikannya dari kiri dan kanan; seberapa lama hal yang disabari itu bisa bertahan. 

Waktu akan membantu kita mengenali diri kita sendiri. Manusia, bisa menjadi teramat sangat mudah untuk terpengaruh dengan sekelilingnya. Tapi, pengaruh itu bisa saja tidak berlangsung selamanya. Pada akhirnya, kita akan sadar, yang mana diri kita yang sebenarnya. Pada satu titik, waktu akan mengantarkan diri kita sendiri untuk terpampang memperkenalkan jiwanya, dirinya, nuraninya yang sebenarnya. Yang mungkin saat ini, belum pernah benar-benar kita kenali, sebab kita terlalu sibuk dengan hiruk-pikuk khalayak, hingga akhirnya waktu yang membantu kita. Seolah membawa satu sosok sambil berkata, “Kenalkan, ini dirimu yang sebenarnya. Dirimu, dengan segala ketahananmu, karaktermu, niatmu, keputusanmu, dan kesabaranmu.”

Tenanglah. Waktu akan mengerjakan tugasnya dengan sangat baik.

Makassar, 7 Mei 2014  

Kamis, 01 Mei 2014

Mensyukuri Kepulangan

pada sekelebat senyum yg tertangkap di sudut mata
pada letak-letak titik yg makin mendekat
pada arah perjalanan yg membuatmu bertanya
'ke mana kau akan pulang?'
(Sajak Kemana Kau akan Pulang, SSYB pg. 58)

Sejak kejadian ‘bentor rampok’ beberapa waktu yang lalu, tidak dapat dipungkiri saya mengalami beberapa perubahan. Hari-hari setelah kejadian itu bahkan saya memutuskan untuk tidak keluar rumah dulu kecuali diantar dan dijemput. Tapi, sebab hal itu tentu akan sangat menyulitkan diri saya pribadi dan orang lain, tidak beberapa lama kemudian, saya mencoba memberanikan diri untuk kembali menjadi bagian dari pengguna transportasi umum. Saat itu, saya terkadang berjumpa dengan beberapa orang yang telah membaca tulisan tersebut, kemudian bertanya dengan moda transportasi apa saya berangkat dan kembali ke rumah,  yang selanjutnya bertanya dengan nada khawatir.

“Kamu tidak trauma?”
               
Ditanya begitu, saya paling hanya nyengir saja. Meyakinkan orang tersebut bahwa saya baik-baik saja dan saya tetap menggunakan pete-pete dan bentor seperti biasa. Meski di dalam hati, tidak bisa saya nafikan bahwa bahkan hingga hari ini, perasaan insecure –tidak aman, itu masih saja ada.

Saya menjadi ‘cukup’ khawatir jika harus terpaksa menumpang bentor asing yang bukan langganan di pangkalan-pangkalan bentor tempat saya biasa berangkat atau turun dari angkot. Tidak seperti dulu, saat saya akan merasa lebih ringan jika daeng-bentornya gampang deal ongkos, sekarang saya justru khawatir jika ketemu daeng bentor jenis begitu. Bawaannya curigaaa saja..

Begitupun saat berada di angkutan umum lainnya. Jika di angkutan yang sama, apalagi jika sedang sepi, saya bersama seseorang dengan penampilan yang ‘tidak meyakinkan’, kecurigaan itu selalu saja muncul. Bahkan mengarah kepada ketakutan dan pikiran-pikiran paranoid lainnya.

Saya terkadang menghibur diri dan menganggap hal tersebut hanya sebatas kewasapadaan saja. Tapi ah, terkadang batas antara suudzhan dengan waspada memang bisa terasa sangat tipis. Dan baru jika ternyata kecurigaan itu tidak terbukti, ujung-ujungnya saya akan merasa bersalah karena sudah berpikir macam-macam tentang orang lain.

Jika diingat-ingat, ‘gangguan dalam perjalanan’ yang saya alami ini bukan yang pertama kali. Waktu SD dulu (mungkin sekitar kelas lima atau enam), saya pernah sedang berjalan kaki dari rumah seorang tetangga dan dalam perjalanan pulang, saya melewati segerombolan anak muda yang sedang nongkrong. Tanpa saya sadari, rupanya beberapa orang dari mereka melontarkan semacam kalimat-kalimat dengan maksud mengganggu saya. Saya sejak dulu punya kebiasaan sering menunduk ketika berjalan, saya pun sebisa mungkin selalu berjalanan di sisi jalan yang tidak ramai dengan orang-orang, apalagi kerumunan seperti itu. Sebab berjalan sambil menunduk itulah, saya tidak menyadari bahwa mereka itu sedang bermaksud untuk mengganggu. Alhasil, saya tetap melanjutkan berjalan hingga tiba di rumah. Belakangan, baru saya ketahui bahwa kejadian itu ternyata disaksikan pula oleh seorang tetangga depan rumah saya, masih terhitung kerabat pula. Tidak senang melihat saya diperlakukan begitu (bahkan meski saya tidak menyadarinya dan tidak terjadi apa-apa pada saya), ternyata di belakang saya, si tetangga itu justru malah jadi ribut dengan gerombolan itu. Mereka sampai saling berkejaran dan adu jotos hingga lebam dan bengkak di bagian telapak tangannya karena menghadiahi salah satu dari gerombolan itu bogem mentah. Baru setelah itu, si tetangga tadi datang ke rumah, memperlihatkan babak belurnya dan menceritakan kejadian tersebut. Saya tentu saja kaget. Ibu saya pun mengingatkan untuk lebih berhati-hati lagi, sekaligus lebih aware lagi dengan sekeliling.  Saya cuma mengatakan bahwa di majalah Bapak saya membaca ada perintah untuk menundukkan pandangan. Ibu saya menjelaskan bahwa menundukkan pandangan bukan berarti berjalanan menunduk hingga tidak tahu apa yang terjadi di sekitar. Diberi tahu begitu, saya manut saja sambil menyaksikan ibu memasangkan perban pada telapak tangan tetangga saya itu.

Di masa SMP pun pernah ada kejadian yang lain. Saat itu, jarak antara rumah saya dengan jalan raya tempat angkot lewat bisa ditempuh dengan jalan kaki sekitar sepuluh hingga lima belas menit. Saban hari saya pulang pergi sekolah dengan aktivitas tersebut. Pada suatu kesempatan, di hari Jumat atau Sabtu (saya ingat karena saat itu mengenakan seragam Pramuka), dalam perjalanan pulang menuju rumah, saya bertemu dengan seorang siswa berseragam Pramuka pula, namun postur tubuhnya lebih besar, mungkin dia siswa SMA.  

Awalnya, dia berjalan di depan saya. Namun kemudian dia melambat hingga langkah kami menjadi sejajar. Dia mulai menegur saya dengan pertanyaan standar, mengira saya murid madrasah Tsanawiyah, karena saya mengenakan jilbab. Saya hanya menggeleng sambil terus melangkah, bahkan mempercepatnya. Dia bertanya macam-macam dan saya menanggapi sekadarnya, mulai merasa tidak nyaman.  

Saat tiba di persimpangan jalan, ia sambil tersenyum lalu berujar.

Besok saya tunggu di sini, ya...”, ucapnya. Saya hanya menatapnya sekilas lalu segera kabur dan tidak ingin menoleh lagi. Setelah kejadian itu, saya memilih untuk menempuh jalan memutar yang lebih jauh agar tidak perlu melewati persimpangan itu.

Mengingat berbagai kejadian tersebut, saya menjadi menginsyafi, bahwa memang selalu saja ada kemungkinan kita mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan di luar sana. Di sisi lain, ada perasaan kesyukuran yang selalu muncul ketika saya berhasil tiba dengan selamat di tempat tujuan, pun saat sampai di rumah dalam keadaan baik-baik saja. Kesyukuran yang kemarin-kemarin mungkin tidak begitu saya maknai.

Belakangan saya memperhatikan bahwa memang hari ini kita kerap kali menyaksikan hal tersebut; kejahatan ada dimana-mana sehingga kita bisa terancam kapan saja. Bahkan teknologi yang canggih serta hitung-hitungan keselamatan yang apik pun belum bisa menjadi sebuah jaminan bahwa semuanya akan selalu aman. Saya mendengar berita tentang orang-orang tidak bersalah yang tiba-tiba diculik, disekap, atau disakiti saat ia dalam perjalanan. Atau tentang pesawat luar negeri yang hingga kini belum ditemukan, bahkan setelah berbagai negara turun tangan untuk mencarinya.

Nyatanya, tiap hari ada saja orang-orang yang berangkat dari rumahnya namun tidak pernah tiba di tujuan, dan ada pula mereka yang sudah mengabarkan kepulangan namun tidak juga sampai di rumahnya.

Sementara kita, setiap harinya meninggalkan rumah, tiba di tempat yang kita tuju, lalu kemudian kembali lagi ke rumah dalam keadaan sehat wal ‘afiyat. Rutinitas itu kita lakukan setiap harinya, demikian berkali-kali sejak dahulu hingga nanti, tapi pertanyaannya adalah; sudah berapa kali kita mensyukuri itu semua?

Kini, saya merasakan bahagia setiap berjalan ke ujung lorong dan menemukan sudah ada bentor langganan yang standby di sana. Kebahagiaan yang sederhana. Sekarang, saya menikmati ketenangan saat bisa menapakkan kaki di rumah dan pulang dengan aman sentosa. Saya sesungguhnya, hanya sedang mencoba menurunkan ambang kebahagiaan itu, sehingga menjadi lebih mudah untuk merenungi kesyukuran yang seharusnya ada di dalamnya.

Seperti rasa nyeri yang memiliki ambang, dimana baru saat ambang itu dicapai kita bisa merasakan nyerinya. Maka saya percaya, kebahagiaan pun demikian. Hanya saja terkadang, kita agak bias dalam menentukan sikap puas dan bahagia. Kita khawatir kebahagiaan akan mengungkung mimpi kita dan membuat kita menjadi stuck di satu titik karena telah menjadi bahagia dan tidak ingin meraih titik yang lebih tinggi berikutnya. Padahal sebenarnya tidak. Sangat berbeda antara orang yang tidak bersyukur dengan orang yang tidak mudah puas dengan pencapaiannya, agar ia bisa mendapatkan sesuatu yang lebih baik lagi. Jangan sampai hanya karena kita memiliki mimpi yang membumbung hingga ke langit, kita menjadi lupa untuk bersyukur pada hal-hal kecil yang diberikan Allah dalam hidup kita.  Bahwa mungkin, hal kecil tersebut bisa jadi merupakan sesuatu yang besar bagi orang lain yang kurang beruntung di luar sana.

Hari ini, setiap kita telah sampai di tempat tujuan, atau telah tiba di rumah setelah melewati perjalanan pulang; bersyukurlah. Percayalah bahwa semua hal-hal rutin itu terjadi bukan tanpa sebab. Ejalah kembali doa yang kita lantunkan saat akan keluar dari rumah;

Bismillahi, tawakkaltu ‘alallahi laa hawla wa laa quwwata illa billah...”
Dengan nama Allah (aku keluar). Aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan upaya kecuali karena pertolongan Allah. (HR. Abu Dawud)

Saat kita telah tiba dengan selamat, maka sesungguhnya sepanjang perjalanan yang kita lalui, Allah telah menolong kita, melindungi kita. Dan, tiada daya dan upaya tanpa pertolonganNya. Ah, betapa lemahnya kita sebenarnya... Wallahu a’lam.