Kamis, 01 Mei 2014

Mensyukuri Kepulangan

pada sekelebat senyum yg tertangkap di sudut mata
pada letak-letak titik yg makin mendekat
pada arah perjalanan yg membuatmu bertanya
'ke mana kau akan pulang?'
(Sajak Kemana Kau akan Pulang, SSYB pg. 58)

Sejak kejadian ‘bentor rampok’ beberapa waktu yang lalu, tidak dapat dipungkiri saya mengalami beberapa perubahan. Hari-hari setelah kejadian itu bahkan saya memutuskan untuk tidak keluar rumah dulu kecuali diantar dan dijemput. Tapi, sebab hal itu tentu akan sangat menyulitkan diri saya pribadi dan orang lain, tidak beberapa lama kemudian, saya mencoba memberanikan diri untuk kembali menjadi bagian dari pengguna transportasi umum. Saat itu, saya terkadang berjumpa dengan beberapa orang yang telah membaca tulisan tersebut, kemudian bertanya dengan moda transportasi apa saya berangkat dan kembali ke rumah,  yang selanjutnya bertanya dengan nada khawatir.

“Kamu tidak trauma?”
               
Ditanya begitu, saya paling hanya nyengir saja. Meyakinkan orang tersebut bahwa saya baik-baik saja dan saya tetap menggunakan pete-pete dan bentor seperti biasa. Meski di dalam hati, tidak bisa saya nafikan bahwa bahkan hingga hari ini, perasaan insecure –tidak aman, itu masih saja ada.

Saya menjadi ‘cukup’ khawatir jika harus terpaksa menumpang bentor asing yang bukan langganan di pangkalan-pangkalan bentor tempat saya biasa berangkat atau turun dari angkot. Tidak seperti dulu, saat saya akan merasa lebih ringan jika daeng-bentornya gampang deal ongkos, sekarang saya justru khawatir jika ketemu daeng bentor jenis begitu. Bawaannya curigaaa saja..

Begitupun saat berada di angkutan umum lainnya. Jika di angkutan yang sama, apalagi jika sedang sepi, saya bersama seseorang dengan penampilan yang ‘tidak meyakinkan’, kecurigaan itu selalu saja muncul. Bahkan mengarah kepada ketakutan dan pikiran-pikiran paranoid lainnya.

Saya terkadang menghibur diri dan menganggap hal tersebut hanya sebatas kewasapadaan saja. Tapi ah, terkadang batas antara suudzhan dengan waspada memang bisa terasa sangat tipis. Dan baru jika ternyata kecurigaan itu tidak terbukti, ujung-ujungnya saya akan merasa bersalah karena sudah berpikir macam-macam tentang orang lain.

Jika diingat-ingat, ‘gangguan dalam perjalanan’ yang saya alami ini bukan yang pertama kali. Waktu SD dulu (mungkin sekitar kelas lima atau enam), saya pernah sedang berjalan kaki dari rumah seorang tetangga dan dalam perjalanan pulang, saya melewati segerombolan anak muda yang sedang nongkrong. Tanpa saya sadari, rupanya beberapa orang dari mereka melontarkan semacam kalimat-kalimat dengan maksud mengganggu saya. Saya sejak dulu punya kebiasaan sering menunduk ketika berjalan, saya pun sebisa mungkin selalu berjalanan di sisi jalan yang tidak ramai dengan orang-orang, apalagi kerumunan seperti itu. Sebab berjalan sambil menunduk itulah, saya tidak menyadari bahwa mereka itu sedang bermaksud untuk mengganggu. Alhasil, saya tetap melanjutkan berjalan hingga tiba di rumah. Belakangan, baru saya ketahui bahwa kejadian itu ternyata disaksikan pula oleh seorang tetangga depan rumah saya, masih terhitung kerabat pula. Tidak senang melihat saya diperlakukan begitu (bahkan meski saya tidak menyadarinya dan tidak terjadi apa-apa pada saya), ternyata di belakang saya, si tetangga itu justru malah jadi ribut dengan gerombolan itu. Mereka sampai saling berkejaran dan adu jotos hingga lebam dan bengkak di bagian telapak tangannya karena menghadiahi salah satu dari gerombolan itu bogem mentah. Baru setelah itu, si tetangga tadi datang ke rumah, memperlihatkan babak belurnya dan menceritakan kejadian tersebut. Saya tentu saja kaget. Ibu saya pun mengingatkan untuk lebih berhati-hati lagi, sekaligus lebih aware lagi dengan sekeliling.  Saya cuma mengatakan bahwa di majalah Bapak saya membaca ada perintah untuk menundukkan pandangan. Ibu saya menjelaskan bahwa menundukkan pandangan bukan berarti berjalanan menunduk hingga tidak tahu apa yang terjadi di sekitar. Diberi tahu begitu, saya manut saja sambil menyaksikan ibu memasangkan perban pada telapak tangan tetangga saya itu.

Di masa SMP pun pernah ada kejadian yang lain. Saat itu, jarak antara rumah saya dengan jalan raya tempat angkot lewat bisa ditempuh dengan jalan kaki sekitar sepuluh hingga lima belas menit. Saban hari saya pulang pergi sekolah dengan aktivitas tersebut. Pada suatu kesempatan, di hari Jumat atau Sabtu (saya ingat karena saat itu mengenakan seragam Pramuka), dalam perjalanan pulang menuju rumah, saya bertemu dengan seorang siswa berseragam Pramuka pula, namun postur tubuhnya lebih besar, mungkin dia siswa SMA.  

Awalnya, dia berjalan di depan saya. Namun kemudian dia melambat hingga langkah kami menjadi sejajar. Dia mulai menegur saya dengan pertanyaan standar, mengira saya murid madrasah Tsanawiyah, karena saya mengenakan jilbab. Saya hanya menggeleng sambil terus melangkah, bahkan mempercepatnya. Dia bertanya macam-macam dan saya menanggapi sekadarnya, mulai merasa tidak nyaman.  

Saat tiba di persimpangan jalan, ia sambil tersenyum lalu berujar.

Besok saya tunggu di sini, ya...”, ucapnya. Saya hanya menatapnya sekilas lalu segera kabur dan tidak ingin menoleh lagi. Setelah kejadian itu, saya memilih untuk menempuh jalan memutar yang lebih jauh agar tidak perlu melewati persimpangan itu.

Mengingat berbagai kejadian tersebut, saya menjadi menginsyafi, bahwa memang selalu saja ada kemungkinan kita mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan di luar sana. Di sisi lain, ada perasaan kesyukuran yang selalu muncul ketika saya berhasil tiba dengan selamat di tempat tujuan, pun saat sampai di rumah dalam keadaan baik-baik saja. Kesyukuran yang kemarin-kemarin mungkin tidak begitu saya maknai.

Belakangan saya memperhatikan bahwa memang hari ini kita kerap kali menyaksikan hal tersebut; kejahatan ada dimana-mana sehingga kita bisa terancam kapan saja. Bahkan teknologi yang canggih serta hitung-hitungan keselamatan yang apik pun belum bisa menjadi sebuah jaminan bahwa semuanya akan selalu aman. Saya mendengar berita tentang orang-orang tidak bersalah yang tiba-tiba diculik, disekap, atau disakiti saat ia dalam perjalanan. Atau tentang pesawat luar negeri yang hingga kini belum ditemukan, bahkan setelah berbagai negara turun tangan untuk mencarinya.

Nyatanya, tiap hari ada saja orang-orang yang berangkat dari rumahnya namun tidak pernah tiba di tujuan, dan ada pula mereka yang sudah mengabarkan kepulangan namun tidak juga sampai di rumahnya.

Sementara kita, setiap harinya meninggalkan rumah, tiba di tempat yang kita tuju, lalu kemudian kembali lagi ke rumah dalam keadaan sehat wal ‘afiyat. Rutinitas itu kita lakukan setiap harinya, demikian berkali-kali sejak dahulu hingga nanti, tapi pertanyaannya adalah; sudah berapa kali kita mensyukuri itu semua?

Kini, saya merasakan bahagia setiap berjalan ke ujung lorong dan menemukan sudah ada bentor langganan yang standby di sana. Kebahagiaan yang sederhana. Sekarang, saya menikmati ketenangan saat bisa menapakkan kaki di rumah dan pulang dengan aman sentosa. Saya sesungguhnya, hanya sedang mencoba menurunkan ambang kebahagiaan itu, sehingga menjadi lebih mudah untuk merenungi kesyukuran yang seharusnya ada di dalamnya.

Seperti rasa nyeri yang memiliki ambang, dimana baru saat ambang itu dicapai kita bisa merasakan nyerinya. Maka saya percaya, kebahagiaan pun demikian. Hanya saja terkadang, kita agak bias dalam menentukan sikap puas dan bahagia. Kita khawatir kebahagiaan akan mengungkung mimpi kita dan membuat kita menjadi stuck di satu titik karena telah menjadi bahagia dan tidak ingin meraih titik yang lebih tinggi berikutnya. Padahal sebenarnya tidak. Sangat berbeda antara orang yang tidak bersyukur dengan orang yang tidak mudah puas dengan pencapaiannya, agar ia bisa mendapatkan sesuatu yang lebih baik lagi. Jangan sampai hanya karena kita memiliki mimpi yang membumbung hingga ke langit, kita menjadi lupa untuk bersyukur pada hal-hal kecil yang diberikan Allah dalam hidup kita.  Bahwa mungkin, hal kecil tersebut bisa jadi merupakan sesuatu yang besar bagi orang lain yang kurang beruntung di luar sana.

Hari ini, setiap kita telah sampai di tempat tujuan, atau telah tiba di rumah setelah melewati perjalanan pulang; bersyukurlah. Percayalah bahwa semua hal-hal rutin itu terjadi bukan tanpa sebab. Ejalah kembali doa yang kita lantunkan saat akan keluar dari rumah;

Bismillahi, tawakkaltu ‘alallahi laa hawla wa laa quwwata illa billah...”
Dengan nama Allah (aku keluar). Aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan upaya kecuali karena pertolongan Allah. (HR. Abu Dawud)

Saat kita telah tiba dengan selamat, maka sesungguhnya sepanjang perjalanan yang kita lalui, Allah telah menolong kita, melindungi kita. Dan, tiada daya dan upaya tanpa pertolonganNya. Ah, betapa lemahnya kita sebenarnya... Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)