Sabtu, 27 September 2014

[Catatan Setelah Membaca] Bermain Hujan bersama Hujan Matahari

Sebuah pesan mendarat di hp saya via BBM. Seorang senior jaman SMA dulu merekomendasikan nama seorang penulis yang (menurut penjelasannya) terkenal di seantero dunia maya.

“Dia baru saja menerbitkan buku, Kak. Judulnya Hujan Matahari...” ujar junior itu.

Dia pun menjelaskan tentang penulis lelaki itu kepada saya. Namun, yang membuat saya kemudian menjadi semakin tertarik untuk ikut membaca tulisannya adalah saat adik itu kemudian mengatakan...

“Gaya menulisnya sepertimu, Kak.”

Dan, saya resmi penasaran.

Akhirnya, saya pun berselancar di dunia maya, berbekal satu nama. Dari sana, saya bukan hanya terkoneksi pada akun yang berisi sejumlah tulisannya, tapi juga beberapa akun lain yang secara terang-terangan menceritakan tentang kekagumannya pada penulis yang satu ini. Atau, pada beberapa blog yang memuat ulang tulisannya. Nama penulis itu; Kurniawan Gunadi.

Berdasarkan tulisannya yang saya baca di akun tumblr, saya mencoba membuat pola pada kebiasaan menulis lulusan ITB angkatan 2009 ini. Pendek-pendek saja. Kita bisa membaca beberapa judul dalam satu kali duduk. Namun saya rasa, justru di sana kekuatan dari tulisan itu. Bagi saya, terkadang ada plus minus tersendiri saat membuat tulisan yang pendek. Saya pribadi, cenderung agak kesulitan melakukan hal tersebut. Selalu saja terasa lebih mudah jika punya ruang yang besar untuk menulis. Kekhawatiran bahwa ada hal-hal yang tidak terbahas seringkali mampir. Namun hal itu tidak terjadi pada tulisan Kurniawan Gunadi.

Mungkin, karena sejak awal tema yang ia angkat memang hal-hal yang sederhana, bahkan kadang terasa personal. Ia benar-benar menerapkan teori yang saya dapatkan di salah satu kelas menulis Aan Masyur, saya pribadi menamainya dengan; menjaga harmoni tulisan.

Ia membuat pembuka yang baik, yang membuat pembaca penasaran tentang apa yang selanjutnya akan ia bahas. Kemudian disambung dengan isi tulisan yang juga menarik, dengan bahasa sederhana, namun memiliki makna yang dalam. Dan, bagian terakhir, bagian penutup, menurut saya merupakan kekuatan besar dari setiap tulisannya. Ada saja ‘aha-moment’, atau hembusan napas berat, atau perasaan tertohok yang akhirnya harus saya alami saat tiba di akhir tulisan. Seolah rasanya ingin mengatakan, ‘Ah, orang ini harusnya melanjutkan tulisannya lagi!’. Rasanya, seperti masih ada yang perlu dijelaskan, meski kenyataannya, sebenarnya semuanya telah cukup, dan Kurniawan Gunadi selalu sukses menutup setiap tulisannya dengan ciamik. Apa efeknya? Pembaca akan terus menerus mencari tulisannya yang lain!

Saat pre-order musim kedua dari Hujan Matahari dibuka, saya segera ikut memesan. Ia menerbitkan bukunya secara independent, namun saya rasa ia telah melibatkan tim yang solid. Sebab, distribusinya bahkan hingga ke negeri jiran, Malaysia.

Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya pesanan saya datang. Saya membaca buku ini pertama kali di tengah acara ramah tamah wisuda adik saya. Namun, terasa masih bisa fokus dengan setiap isinya.






Hujan Matahari. Judul yang unik. Waktu kecil, saya sering mendengar dua kata ini disebut bersamaan saat merujuk kepada keadaan di mana hujan turun saat matahari bersinar terang. Orang-orang menyebutnya; hujan orang mati. Jika fenomena alam ini terjadi, saat itu kami percaya bahwa di salah satu belahan bumi, ada seseorang yang meninggal dunia. Hingga kini, saya tidak pernah tau kebenaran dari hal tersebut.


Namun dalam buku perdananya ini, saya rasa makna hujan dan matahari adalah sebuah simbol keseimbangan. Bahwa dalam hidup, dua hal yang bertolak belakang memang akan selalu datang silih berganti; positif dan negatif. Namun, keduanya tetap akan bermakna berbeda, tergantung dari siapa yang memberikannya arti dan menyikapinya. Tulisan-tulisan dalam buku ini dimaksudkan sebagai bahan renungan. Renungan sederhana namun dibungkus dengan kemampuan menulis yang begitu baik. Seperti mengambil sebuah bawang merah, kita terkadang hanya melihat permukaannya saja. Namun, tulisan dalam buku ini seolah mencoba membuka lapisan-lapisannya hingga tuntas. Dalam.

Hujan Matahari terdiri atas tiga bagian besar yang membagi tulisan-tulisan pendek yang ada di dalamnya. Gerimis, Hujan, dan Reda. Terus terang, saya tidak bisa menemukan kesamaan pada setiap kelompok tulisan ini. Tidak bisa pula menjalin sebuah diferensiasi antara satu bagian dengan bagian yang lain. Mungkin karena ketidakmampuan saya menangkap maksud si penulis.

Namun, saya merasakan tiga pengalaman yang berbeda saat membaca tulisan dalam buku ini. Pengalaman itu tidak terbagi berdasarkan bagian secara satu per satu. Namun, tulisan di awal-awal saya rasakan bersifat menuturkan cerita. Dengan apik, terkadang sosok penulisnya muncul sebagai seorang lelaki, atau seorang perempuan, bahkan sebagai seorang bocah. Cerita-cerita itu seperti dibentangkan di hadapan kita untuk kita tonton saat membaca buku ini. Pada bagian tengah, mulai terasa ‘suara’ penulis yang seolah berbicara langsung kepada pembacanya. Seolah sedang mengajak pembacanya saling berhadap-hadapan, lalu membincangkan tentang apa yang ada di isi kepalanya.  Hal yang sama saya rasakan pula saat membaca tulisan Salim A. Fillah.

Nah, di bagian akhir, saya merasa mulai seperti sedang mencuri dengar. Kurniawan Gunadi terasa seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri, sambil mempersilakan pembacanya untuk menguping. Beberapa tulisan nampak dibuat secara sengaja untuk menjadi auto-spirit bagi penulisnya. Semakin kebelakang, warna dari tulisan-tulisannya mulai menjadi semburat merah muda. Penulisnya mulai sering membicarakan ‘kau’ yang entah siapa, dengan berbagai perasaan yang ia pendam untuk ‘kau’, juga bagaimana ia menyimpan dengan rapi isi hatinya, untuk nanti ia ungkapkan saat tiba waktunya. Ada kesantunan dalam setiap tulisannya. Ada sisi religius yang kental dan pengakuannya dalam pencarian jalan kebenaran. Ada kontemplasi yang mendalam dan membawa dirinya pada kenyamanan hidup dengan jiwa yang damai.

Beberapa bagian saya tandai sebagai part favorit saya. Pada tulisan berjudul ‘Harapan’ misalnya, penulis menganalogikan manusia bagai hujan atau matahari. Yang mungkin tidak diinginkan oleh sebagian orang, namun ia akan tetap datang pada mereka yang menginginkannya. Layaknya hujan. Layaknya matahari.

Konsep tentang ‘memahami’ orang lain juga berhasil menyempurnakan pemaknaan saya tentang hal ini. Selama ini, saya selalu beranggapan, bahwa sedekat apapun kita dengan seseorang, maka mustahil kita bisa memahaminya seratus persen. Adalah dusta saat seseorang menganggap dirinya bisa memahami hidup orang lain begitu saja padahal ia tidak pernah menjadi orang tersebut secara utuh. Titik. Yang saya pahami hanya sampai di sana. Lalu, Kurniawan Gunadi melengkapkannya;

“Tidak ada orang yang benar-benar bisa memahami orang lain. Yang ada adalah seberapa lapang hatinya untuk menerima kehadiran orang lengkap dengan karakternya itu dalam hidupnya.” (Memahami, hal. 133)

Penulis ini juga menggambarkan pertemuan –yang ia sebut ‘jodoh’, sebagai sesuatu yang bisa terjadi jika dua orang berada pada satu impian yang sama, satu tujuan yang sama. Hanya orang-orang yang memiliki tujuan serupa yang akan dipertemukan dalam sebuah perjalanan.

Di beberapa tulisan juga Kurniawan Gunadi banyak mengangkat tema tentang dunia lelaki dan dunia perempuan. Rasa-rasanya, pengetahuan lelaki ini tentang perempuan cukup komprehensif. Begitu pula dengan bagaimana ia memaknai peranan antara lelaki dan perempuan dalam kehidupan. Sebuah kutipan menarik yang menggambarkan bagaimana ia hormat pada kaum Hawa tergambar dalam bagian ini;

“Laki-laki akan tampak kuat jika ada perempuan di dekatnya. Pelindung pun tidak selalu berarti lebih kuat dari yang dilindungi.” (Hidup Laki-Laki, hal. 149)

Dan akhirnya, buku ini pun ditutup dengan tulisan berjudul ‘Hujan Matahari’ yang saat menuntaskannya, membuat saya melengos saat ternyata halaman isinya sudah habis. Faktanya, buku ini membuat saya berharap perjalanan saya tadi siang bisa lebih panjang agar saya bisa tiba di rumah setelah menyelesaikan membacanya. Kadang saya tersenyum. Kadang mengangguk-angguk. Yang pasti, saya terbawa. Dan, tiba-tiba, saya merindukan hujan. 



Saya baru saja menyelesaikan buku Lapis-Lapis Keberkahan dan menemukan di sana bahwa salah satu momentum turunnya berkah adalah saat hujan turun. Dikisahkan tentang para sahabat yang kerap bermain hujan saat rintik mulai turun dari langit. Mereka bahkan mengeluarkan barang-barangnya agar terkena air hujan. Sungguh menarik sekali. Dan, saya berharap pula Hujan Matahari dapat membawa berkah, bagi penulis dan pembacanya.

Oh iya, akhirnya, satu hal yang ingin saya katakan pada junior yang merekomendasikan buku ini adalah, “Dik, kamu salah. Kurniawan Gunadi menulis dengan cara yang jauh lebih baik daripada saya.”

Makassar, 27 September 2014.
Ya, saya tuntas hujan-hujanan.

Jumat, 26 September 2014

[Catatan Setelah Membaca] Menyelami Barakah dalam Lapis-Lapis Keberkahan







Sejak Islamic Book Fair digelar, saya sudah deg-degan. Apa pasal? Salah satu rangkaian dari kegiatan tersebut adalah softlaunching buku terbaru dari penulis favorit saya; Ustadz Salim A. Fillah. Buku itu diberi judul; Lapis-Lapis Keberkahan. Selalu ada perasaan bahagia ketika mendengar penulis yang saya sukai akan menerbitkan buku terbarunya. Seperti menunggu-nunggu; waah... ia akan menuliskan apa lagi ya? Penantian yang menyenangkan.

Lalu akhirnya, setelah sempat melewatkan kesempatan pre-order edisi bertanda tangan, yang saya ketahui begitu santun mengembalikan ‘uang kembalian’ yang melebihi estimasi harga sebelumnya (pro-u memang keren!), saya akhirnya bisa mendapatkan buku ini. Dengan bantuan seorang ukhti, kami berboncengan ke Toko Buku Mutiara Ilmu di Jalan Perintis, setelah kantor Marcedes Benz, belakang salon Azka (mungkin ada yang mau berkunjung?). Menurut saya, tempat itu cukup surga J. Buku-buku yang dijualnya menarik, mulai dari buku Islam populer, buku-buku rujukan, hingga majalah Islami lama yang dijual setengah harga. Saya tidak boleh sering ke sana atau bertahan di sana dalam waktu lama jika tidak ingin dompet saya jebol. Hehehe...

Setelah berhasil memiliki buku seharga seratus ribu itu, saya pun akhirnya bisa menikmatinya. Harus saya akui, akhir-akhir ini saya jarang membaca. Beberapa buku di rak masih ada yang belum saya tamatkan. Saya tidak ingin menjadikan kesibukan domestik sebagai kambing hitamnya. Toh saat akhirnya bisa insyaf dan mulai merutinkan membaca lagi, ternyata saya bisa kok. Dan perjuangan untuk mengkhatamkan buku ini juga membuat saya sadar bahwa tempat membaca paling nyaman memang masih dimenangkan oleh; perjalanan di atas angkot. Ya, saat saya hanya bersama orang-orang asing dan tidak ada yang mengganggu. Apa yang lebih menjengkelkan dibanding diganggu saat sedang membaca?

Baiklah, mari kita mulai membahas buku ini!

Buku ini kembali memperlihatkan kualitas dari seorang Salim A. Fillah. Gaya bertuturnya yang tidak membaku dan bahkan cenderung membuat sebuah tren baru dalam berbahasa, keterampilannya mengolah sirah menjadi cerita deskriptif yang penuh rasa, serta kepiawaiannya mengikat makna dari teori-teori dalam ilmu agama, sudah tidak bisa diragukan lagi. Karakter menulisnya yang cenderung puitis dan lepas dalam bagian-bagian tulisan yang tidak begitu panjang juga masih menjadi ciri yang nampak dari karyanya yang satu ini. Hanya saja, di buku ini, terlihat beberapa kali Ust Salim memberikan poin-poin sistematis pada bagian tertentu –sesuatu yang tidak dilakukannya pada Dalam Dekapan Ukhuwah atau Jalan Cinta Para Pejuang.

Buku setebal 517 halaman ini mengingatkan saya pada pengalaman membaca serial Muhammad karya Tasaro GK. Tidak heran khan, mengapa saya harus berjuang untuk menamatkannya?

Terbagi dalam tiga bagian besar, Lapis-Lapis Keberkahan secara komprehensif membahas tentang berkah dengan segala makna dan hal-hal yang terkait di dalamnya. Salim A. Fillah lagi-lagi memberikan judul tiap bagian, tiap bab, dan tiap tulisan dengan judul-judul bernuanasa puitis yang tidak biasa. Bagian pertama; Beriris-iris Asas Makna menguraikan makna dari barakah. Bagian kedua; Bertumpuk-Tumpuk Bahan Karya membahas tentang berbagai hal yang terkait dengan berkah; mulai dari ilmu, rejeki, amalan, hingga tempat-tempat tertentu di muka bumi. Part terakhir dari bagian ini berisi catatan perjalanan beliau ke bumi Syam yang disertai dengan foto-foto dokumentasi. Ini adalah bagian favorit saya yang membuat saya setengah mati menahan air mata saat membacanya, meski akhirnya jebol juga. Bagian ketiga; Bersusun-susun Rasa Surga memaparkan perihal rasa surga yang dibawa oleh keberkahan itu. Menguraikan sosok para generasi terbaik, membahas tentang bagaimana membangun keluarga yang sakinah mawaddah warahmah, hingga tentang tata negara yang dapat mendatangkan berkah. Lengkap, ya!

Jika boleh memberikan sumbang saran pada karya-karya Salim A. Fillah berikutnya, saya hanya menginginkan satu hal; halaman indeks! Ya, untaian ilmu di dalam setiap karya beliau sungguh merupakan harta karun yang dapat dijadikan rujukan –sebab ia selalunya merujuk pada kitab-kitab para ulama besar. Namun terkadang, saya kesulitan saat harus melakukan penelusuran ulang karena pilihan judul yang begitu puitis dan menjadikannya kadang kurang representatif secara gamblang pada isi tulisan. Beberapa pembahasan juga dibuat ‘menyempil’ pada satu tulisan dan tidak dijadikan satu poin yang berdiri sendiri secara terpisah. Selama ini, saya sangat menikmati susunan karya dari Salim A. Fillah, terasa ringan dan menyenangkan untuk di lahap. Tidak kaku dan tidak terasa berat. Selalu mudah untuk mengemilnya dengan meloncat pada pembahasan-pembahasan yang diinginkan tanpa harus kebingungan, pun saat ingin melahapnya secara berurutan dari halaman mula hingga akhir.  Namun satu hal itu tadi saja yang membuat saya selalu harus menyiapkan sticky notes agar tidak perlu kesulitan saat harus melakukan penelusuran berikutnya tanpa harus membaca ulang seluruh isi buku. Maka, keberadaan indeks akan terasa sangat membantu.

Saya telah membaca semua karya Salim A. Fillah kecuali Indahnya Merayakan Cinta (uhuk!) serta beberapa kali mengikuti rekaman ceramah beliau di Majelis Jejak Nabi, kunjungan luar negeri, atau acara lainnya di laman youtube. Saat membaca buku ini, saya sadar bahwa beberapa sirah serta ide dan pembahasan, kembali di muat ulang di Lapis-Lapis Keberkahan. Buku ini menjadi semacam kumpulan lengkap dari buku-buku dan ceramah-ceramah beliau sebelumnya yang terkadang membahas tentang keberkahan di beberapa bagian.

Dan entah karena terkadang saya membaca buku ini dalam keadaan tidak full-focus, saya merasa karya teranyar beliau ini menggunakan bahasa yang lebih njlimet dibanding buku-buku sebelumnya. Saya beberapa kali harus mengecek aplikasi KBBI di ponsel untuk mengetahui makna dari kata yang baru pertama kali saya dapati dalam buku ini. Satu hal yang mungkin terasa ribet, namun di lain sisi juga menambah pengetahuan baru dan vocab baru bagi pembacanya.

Namun, saya tetap merasakan hal yang sama seperti saat membaca buku Salim A. Fillah sebelumnya; getaran. Ya, getaran di hati yang selalu sukses minimal membuat mata berkaca-kaca hingga air mata tertumpah. Terasa betul bagaimana lulusan fakultas teknik UGM ini menuliskan setiap kata-katanya dengan segenap ruhiyah, maka hasilnya pun menyasar tepat pada jiwa.

Pada akhirnya, saya akan tetap merekomendasikan buku-buku karya Salim A. Fillah kepada Anda. Dan, Lapis-Lapis Keberkahan ini pun merupakan satu karya luar biasa yang sebaiknya Anda miliki, atau setidaknya bisa Anda baca, minimal sekali seumur hidup. Dan, jangan percaya pada saya sebelum membuktikannya sendiri.

Makassar, 26 September 2014
Saya berazzam tidak akan membeli buku baru sebelum semua buku yang saya punya terbaca. Dan tidak akan membaca buku selanjutnya sebelum membuat [Catatan Setelah Membaca] untuk buku yang telah saya selesaikan. Doakan saya bisa konsisten ya! (^_^)/

Kamis, 25 September 2014

Menggapai Puncak yang Lain


Hari itu, perkuliahan akan spesial. Sebab akan diisi oleh seseorang yang spesial. Beliau adalah orang pertama di fakultas kami. Akan berhadapan dengan seorang pemimpin wanita bergelar professor tentunya membuat ekspektasi kami sedemikian tinggi. Dan benar, kami tidak kecewa.

Memang selalu menyenangkan menyimak kata-kata dari orang yang berilmu dan punya banyak pengalaman. Terkadang rasanya ia berucap dengan sedemikian cepat seolah takut apa yang akan ia sampaikan akan terlupa atau terluput begitu saja. Seperti belajar dari kisah nyata, terkadang ada hal-hal tertentu yang bisa kita maknai tentang hidup. Untuk mengetahui bahwa di satu titik terdapat lubang, tidak harus dengan jatuh dulu, khan?

Maka hari itu, sebagai seorang yang sangat berpengalaman di bidangnya, wanita itu bercerita banyak tentang pengalamannya juga tentang beberapa idenya yang ia akui terkadang berseberangan dengan beberapa orang dan beberapa pemikiran lainnya.

saat hidup mengajarimu perihal menebak

warna apa yang akan kau jalin di langit yang luas

adakah telah tepat tambatan penantian

atau sauh harus kembali kau naikkan pada geladak

“Menurut kalian, apa yang paling kita takutkan sebagai seorang farmasis?” tanyanya sambil memandang sekeliling. Anak-anak rambutnya bergerak mengikuti gerakan kepalanya. Para mahasiswa di hadapannya mulai berpikir. Ada yang hanya sibuk dengan lamunannya sendiri, ada pula yang mulai berbisik dengan kawan di sampingnya.

“Memangnya siapa yang tidak takut jika orang-orang mulai bertanya tentang obat?,” ia mulai menjawab pertanyaannya sendiri. Beberapa mata nampak membulat; sepakat. “Ada berapa banyak merek paten untuk satu jenis obat saja. Dan bayangkan ada berapa jenis obat saat ini!” ujarnya dengan nada meninggi. “Lalu datang orang bertanya kepada kita tentang salah satunya, dan menganggap kita tahu semua hal tentang satu jenis obat itu. Bukankah itu menakutkan?” lanjutnya dengan penuh ekspresi. Mahasiswanya nampak mulai mengangguk-angguk. Beberapa terlihat tersenyum kecut, mengiyakan.

saat perjalanan menjadi tak berujung

kau menatap horison yang seolah tak tergapai

sementara kembali ke dermaga bukanlah pilihan

pecahkan kacanya dan pastikan hatimu telah siap

ia telah menunggu di sana


Pengakuan dari seorang profesor yang jago di bidang farmakokinetik ini tentu menjadi satu hal yang unik. Apa yang dia katakan di awal itu merupakan satu titik yang membuat para mahasiswa di hadapannya merasakan kedekatan. Merasakan kesamaan. Ketakutan yang sama. Dan dengan cerdas, wanita itu memulai dari sana.

Selanjutnya ia bercerita tentang sistem pendidikan farmasi di Indonesia. Tentang wacana akan dibuatnya program spesialisasi apoteker dan internship sebelum meraih gelar apoteker, serupa sistem untuk para calon dokter.

“Kenapa kita ingin disamakan dengan dokter? Kenapa kita harus ikut dengan sistem mereka?” ujarnya dengan nada tinggi.

“Kalian semua, saat berada di rumah sakit atau di manapun, saat ada orang yang salah sangka dan mengira kalian dokter, kalian jangan bangga! Kalian harus bangga dengan identitas kalian sendiri. Sebagai apoteker!” ucapnya dengan berapi-api.

“Itulah susahnya kita... kita selalu ingin bisa menyamai atau bahkan mengalahkan posisi dokter. Padahal kita tahu setiap profesi itu punya tanggung jawabnya masing-masing. Tidak perlu dipersaingkan. Tidak perlu dicari siapa yang lebih hebat.”, ucapnya. “Jika kita terus melakukan itu, wajar jika kita terus menerus minder dengan profesi kita. Kenapa kita tidak membuat puncak yang lain lalu mencoba mencapainya?” ia melemparkan pertanyaan retoris. Entah dia tahu atau tidak bahwa sebagian mahasiswa yang ia hadapi tengah tersengat semangatnya oleh kata-katanya tadi.

Mengapa kita tidak membuat puncak yang lain?

Pertanyaan itu menggema di kepala saya. Cerdas sekali. Saya rasa, saya mulai menemukan benang merah, sebab-akibat, mengapa wanita ini bisa begitu baja untuk memimpin sebuah fakultas yang awalnya ‘hanya’ sebuah jurusan. Mengapa ia begitu terkenal dengan keunggulan akademiknya di usia muda, di awal-awal sepak terjangnya sebagai mahasiswa, lalu survive menuntut ilmu hingga Negeri Perancis sambil mengandung, melahirkan, dan merawat bayinya di sana. Mengapa ia sehebat itu?

dan senja memintamu untuk berhenti

menikmati sejenak keseimbangan hari-hari

perihal teduh yang telah kau lupa

hanya karena menunggu lautan reda dari gemuruhnya

Sepertinya, sebab ia memiliki pemikiran yang brilian tadi; ia selalu membuat puncaknya sendiri. Ya, love-hate relationship (jika saya bisa menyebutnya begitu) antara dokter dan apoteker mungkin sudah menjadi rahasia umum. Jika ditanya tentang siapa yang lebih tahu tentang obat, maka jawaban mungkin akan terpecah. Bisa saja ada oknum tertentu yang mengklaim profesinya lebih berhak dalam penentuan obat ataupun dalam pengubahannya (karena beberapa alasan atau pertimbangan), pun dalam penentuan rasionalitasnya dalam sebuah terapi. Satu pihak dianggap arogan oleh pihak yang lain. Sementara ada pula yang memandang bahwa pihak seberang yang seolah menutup diri dan enggan untuk terus berkembang. Teori dikalahkan oleh bukti empiris. Penetian di jurnal-jurnal ilmiah bisa terbantahkan atas nama jam terbang. Semua itu sudah sering terjadi. Dan perang dingin ini entah kapan berhenti. Saya menuliskan hal ini bukan bermaksud ingin menyulut api atau menabuh genderang perang antara kedua kubu ini. Terus terang, saya tidak peduli dengan itu. Masalah siapa yang lebih berkompeten, bagi saya tidak penting. Yang terpenting bagi saya, tetaplah siapa yang menurut Nabi merupakan orang paling baik di muka bumi; yang paling bermanfaat. Apalah gunanya klaim kehebatan jika nyatanya tidak bisa memberi manfaat apa-apa.

Hal yang sedang ingin saya bahas adalah betapa seringnya kita membandingkan antara dua atau beberapa hal yang pada dasarnya punya standar yang berbeda. Seperti yang biasa tertera di kata-kata bijak; seekor ikan akan terus dianggap bodoh hanya karena ia tidak tahu caranya memanjat pohon. Membandingkan kesuksesan antara satu orang dengan jalan hidup, orientasi, dan prinsip yang berbeda dengan orang lain, menurut saya adalah satu bentuk ketidakadilan. Betapa banyak orang misalnya, yang menganggap anak-anaknya baru disebut sukses jika ia lulus untuk berkuliah di bidang kesehatan, misalnya, padahal jiwanya ada pada kelas-kelas seni. Kan ndak nyambung toh...

Membandingkan antara kesuksesan seorang penulis dengan seorang engineer dengan seorang perawat, misalnya, tentu akan berbeda. Bahkan membandingkan antara karya seorang penyair dengan seseorang yang ahli dalam karya tulis ilmiah tentu pun tak sama. Jelas. Sebab mereka sedang menggapai puncak yang berbeda.

Perbedaan tujuan dan hasil ini juga harusnya menginsyafi kita bahwa akan ada selalu jenis ilmu yang kita tidak ahli di dalamnya. Kita bukan ulama terdahulu yang menguasai tafsir, sastra, astronomi, dan farmasi dalam waktu bersamaan. Kini, setidaknya seseorang bisa menjadi pakar untuk satu bidang keilmuan saja. Mungkin ada yang bisa beberapa, tapi tak banyak yang seperti itu. Maka, bahkan seorang profesor di satu bidang, sebenarnya adalah awam di bidang yang lainnya. Nah, masih adakah ruang untuk kesombongan?

Dan sepertinya, ini sama juga dengan masalah jodoh. Kata orang, kecantikan atau kegantengan seseorang itu relatif. Ya, sangat subjektif. Kebaikan pun seperti itu. Apalagi jika kita bicara perihal kenyamanan. Standarnya akan sangat beragam dan berbeda antara satu sama lain. Sama-sama baik saja tidak cukup, belum tentu cocok. Sama-sama menyukai beberapa hal saja, belum tentu akan bertahan untuk hidup bersama seumur hidup. Maka jangan paksakan. Jangan paksakan untuk menyukai seseorang, betapapun orang lain banyak yang menyukainya. Mungkin, ini perkara kecocokan jiwa. Jiwa yang sefrekuensi akan saling menemukan, tidak harus dalam perjumpaan yang sering. Jiwa-jiwa itu akan selaras dengan sendirinya; jika keduanya memang sedang menggapai puncak yang sama.

lepaskan, lepaskan, lepaskan pandangmu

jika debur ombak di lautan sudah teramat keras

mungkin memang saatnya kau memandang sekeliling

dan menemukan matahari atau hujan

untuk kau nikmati


Ruang tamu, 25 September 2014