Kamis, 25 September 2014

Menggapai Puncak yang Lain


Hari itu, perkuliahan akan spesial. Sebab akan diisi oleh seseorang yang spesial. Beliau adalah orang pertama di fakultas kami. Akan berhadapan dengan seorang pemimpin wanita bergelar professor tentunya membuat ekspektasi kami sedemikian tinggi. Dan benar, kami tidak kecewa.

Memang selalu menyenangkan menyimak kata-kata dari orang yang berilmu dan punya banyak pengalaman. Terkadang rasanya ia berucap dengan sedemikian cepat seolah takut apa yang akan ia sampaikan akan terlupa atau terluput begitu saja. Seperti belajar dari kisah nyata, terkadang ada hal-hal tertentu yang bisa kita maknai tentang hidup. Untuk mengetahui bahwa di satu titik terdapat lubang, tidak harus dengan jatuh dulu, khan?

Maka hari itu, sebagai seorang yang sangat berpengalaman di bidangnya, wanita itu bercerita banyak tentang pengalamannya juga tentang beberapa idenya yang ia akui terkadang berseberangan dengan beberapa orang dan beberapa pemikiran lainnya.

saat hidup mengajarimu perihal menebak

warna apa yang akan kau jalin di langit yang luas

adakah telah tepat tambatan penantian

atau sauh harus kembali kau naikkan pada geladak

“Menurut kalian, apa yang paling kita takutkan sebagai seorang farmasis?” tanyanya sambil memandang sekeliling. Anak-anak rambutnya bergerak mengikuti gerakan kepalanya. Para mahasiswa di hadapannya mulai berpikir. Ada yang hanya sibuk dengan lamunannya sendiri, ada pula yang mulai berbisik dengan kawan di sampingnya.

“Memangnya siapa yang tidak takut jika orang-orang mulai bertanya tentang obat?,” ia mulai menjawab pertanyaannya sendiri. Beberapa mata nampak membulat; sepakat. “Ada berapa banyak merek paten untuk satu jenis obat saja. Dan bayangkan ada berapa jenis obat saat ini!” ujarnya dengan nada meninggi. “Lalu datang orang bertanya kepada kita tentang salah satunya, dan menganggap kita tahu semua hal tentang satu jenis obat itu. Bukankah itu menakutkan?” lanjutnya dengan penuh ekspresi. Mahasiswanya nampak mulai mengangguk-angguk. Beberapa terlihat tersenyum kecut, mengiyakan.

saat perjalanan menjadi tak berujung

kau menatap horison yang seolah tak tergapai

sementara kembali ke dermaga bukanlah pilihan

pecahkan kacanya dan pastikan hatimu telah siap

ia telah menunggu di sana


Pengakuan dari seorang profesor yang jago di bidang farmakokinetik ini tentu menjadi satu hal yang unik. Apa yang dia katakan di awal itu merupakan satu titik yang membuat para mahasiswa di hadapannya merasakan kedekatan. Merasakan kesamaan. Ketakutan yang sama. Dan dengan cerdas, wanita itu memulai dari sana.

Selanjutnya ia bercerita tentang sistem pendidikan farmasi di Indonesia. Tentang wacana akan dibuatnya program spesialisasi apoteker dan internship sebelum meraih gelar apoteker, serupa sistem untuk para calon dokter.

“Kenapa kita ingin disamakan dengan dokter? Kenapa kita harus ikut dengan sistem mereka?” ujarnya dengan nada tinggi.

“Kalian semua, saat berada di rumah sakit atau di manapun, saat ada orang yang salah sangka dan mengira kalian dokter, kalian jangan bangga! Kalian harus bangga dengan identitas kalian sendiri. Sebagai apoteker!” ucapnya dengan berapi-api.

“Itulah susahnya kita... kita selalu ingin bisa menyamai atau bahkan mengalahkan posisi dokter. Padahal kita tahu setiap profesi itu punya tanggung jawabnya masing-masing. Tidak perlu dipersaingkan. Tidak perlu dicari siapa yang lebih hebat.”, ucapnya. “Jika kita terus melakukan itu, wajar jika kita terus menerus minder dengan profesi kita. Kenapa kita tidak membuat puncak yang lain lalu mencoba mencapainya?” ia melemparkan pertanyaan retoris. Entah dia tahu atau tidak bahwa sebagian mahasiswa yang ia hadapi tengah tersengat semangatnya oleh kata-katanya tadi.

Mengapa kita tidak membuat puncak yang lain?

Pertanyaan itu menggema di kepala saya. Cerdas sekali. Saya rasa, saya mulai menemukan benang merah, sebab-akibat, mengapa wanita ini bisa begitu baja untuk memimpin sebuah fakultas yang awalnya ‘hanya’ sebuah jurusan. Mengapa ia begitu terkenal dengan keunggulan akademiknya di usia muda, di awal-awal sepak terjangnya sebagai mahasiswa, lalu survive menuntut ilmu hingga Negeri Perancis sambil mengandung, melahirkan, dan merawat bayinya di sana. Mengapa ia sehebat itu?

dan senja memintamu untuk berhenti

menikmati sejenak keseimbangan hari-hari

perihal teduh yang telah kau lupa

hanya karena menunggu lautan reda dari gemuruhnya

Sepertinya, sebab ia memiliki pemikiran yang brilian tadi; ia selalu membuat puncaknya sendiri. Ya, love-hate relationship (jika saya bisa menyebutnya begitu) antara dokter dan apoteker mungkin sudah menjadi rahasia umum. Jika ditanya tentang siapa yang lebih tahu tentang obat, maka jawaban mungkin akan terpecah. Bisa saja ada oknum tertentu yang mengklaim profesinya lebih berhak dalam penentuan obat ataupun dalam pengubahannya (karena beberapa alasan atau pertimbangan), pun dalam penentuan rasionalitasnya dalam sebuah terapi. Satu pihak dianggap arogan oleh pihak yang lain. Sementara ada pula yang memandang bahwa pihak seberang yang seolah menutup diri dan enggan untuk terus berkembang. Teori dikalahkan oleh bukti empiris. Penetian di jurnal-jurnal ilmiah bisa terbantahkan atas nama jam terbang. Semua itu sudah sering terjadi. Dan perang dingin ini entah kapan berhenti. Saya menuliskan hal ini bukan bermaksud ingin menyulut api atau menabuh genderang perang antara kedua kubu ini. Terus terang, saya tidak peduli dengan itu. Masalah siapa yang lebih berkompeten, bagi saya tidak penting. Yang terpenting bagi saya, tetaplah siapa yang menurut Nabi merupakan orang paling baik di muka bumi; yang paling bermanfaat. Apalah gunanya klaim kehebatan jika nyatanya tidak bisa memberi manfaat apa-apa.

Hal yang sedang ingin saya bahas adalah betapa seringnya kita membandingkan antara dua atau beberapa hal yang pada dasarnya punya standar yang berbeda. Seperti yang biasa tertera di kata-kata bijak; seekor ikan akan terus dianggap bodoh hanya karena ia tidak tahu caranya memanjat pohon. Membandingkan kesuksesan antara satu orang dengan jalan hidup, orientasi, dan prinsip yang berbeda dengan orang lain, menurut saya adalah satu bentuk ketidakadilan. Betapa banyak orang misalnya, yang menganggap anak-anaknya baru disebut sukses jika ia lulus untuk berkuliah di bidang kesehatan, misalnya, padahal jiwanya ada pada kelas-kelas seni. Kan ndak nyambung toh...

Membandingkan antara kesuksesan seorang penulis dengan seorang engineer dengan seorang perawat, misalnya, tentu akan berbeda. Bahkan membandingkan antara karya seorang penyair dengan seseorang yang ahli dalam karya tulis ilmiah tentu pun tak sama. Jelas. Sebab mereka sedang menggapai puncak yang berbeda.

Perbedaan tujuan dan hasil ini juga harusnya menginsyafi kita bahwa akan ada selalu jenis ilmu yang kita tidak ahli di dalamnya. Kita bukan ulama terdahulu yang menguasai tafsir, sastra, astronomi, dan farmasi dalam waktu bersamaan. Kini, setidaknya seseorang bisa menjadi pakar untuk satu bidang keilmuan saja. Mungkin ada yang bisa beberapa, tapi tak banyak yang seperti itu. Maka, bahkan seorang profesor di satu bidang, sebenarnya adalah awam di bidang yang lainnya. Nah, masih adakah ruang untuk kesombongan?

Dan sepertinya, ini sama juga dengan masalah jodoh. Kata orang, kecantikan atau kegantengan seseorang itu relatif. Ya, sangat subjektif. Kebaikan pun seperti itu. Apalagi jika kita bicara perihal kenyamanan. Standarnya akan sangat beragam dan berbeda antara satu sama lain. Sama-sama baik saja tidak cukup, belum tentu cocok. Sama-sama menyukai beberapa hal saja, belum tentu akan bertahan untuk hidup bersama seumur hidup. Maka jangan paksakan. Jangan paksakan untuk menyukai seseorang, betapapun orang lain banyak yang menyukainya. Mungkin, ini perkara kecocokan jiwa. Jiwa yang sefrekuensi akan saling menemukan, tidak harus dalam perjumpaan yang sering. Jiwa-jiwa itu akan selaras dengan sendirinya; jika keduanya memang sedang menggapai puncak yang sama.

lepaskan, lepaskan, lepaskan pandangmu

jika debur ombak di lautan sudah teramat keras

mungkin memang saatnya kau memandang sekeliling

dan menemukan matahari atau hujan

untuk kau nikmati


Ruang tamu, 25 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)