Senin, 31 Maret 2014

Sebelum Datangnya Cahaya

Saat membuat tulisan (yang asalnya dimaksudkan sebagai sebuah tugas) ini, saya seketika mengingat perkataan seorang ustadz, kira-kira demikian bunyinya; kondisi masyarakat saat pertama kali dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam diutus, jauh lebih rusak daripada masyarakat kita hari ini. Namun nyatanya, atas izin Allah, kemudian dengan wasilah dakwah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dapat mengubah mayarakatnya itu, dari kaum nomaden gurun yang tidak diperhitungkan, menjadi masyarakat besar yang menguasai peradaban dunia dalam kurun waktu yang paling lama dan tidak tertandingi hingga saat ini oleh peradaban manapun. Lebih penting dari itu, masyarakat yang tadinya sedemikian rusak itu, berubah menjadi mereka yang mentauhidkan Allah dengan tauhid yang sebenar-benarnya. Makkah, kota yang dahulu dipenuhi berhala itu, kini kita lirihkan dengan hati haru dalam untaian doa-doa, bahkan kita menyebutnya dengan nama yang begitu mulia; Tanah Suci.

Hari ini, kita pun berdakwah. Bahkan medan dakwah yang kita hadapi tidak seberat yang dihadapi saat awal kemunculan Islam dahulu. Tapi, mengapa dampak dari dakwah kita tidak seperti apa yang dulu disemai oleh generasi awal? Maka kita patut bertanya, adakah kita telah benar-benar berdakwah? 

Maka benarlah, bahwa kita tidak akan sampai pada kejayaan umat seperti dahulu jika kita tidak menempuh apa yang dijalani oleh mereka, para pendahulu kita yang shalih. Olehnya itu, penting bagi kita untuk menengok kembali, adakah apa yang kita lakukan hari ini telah selaras dengan apa yang dahulu dicontohkan Sang Nabi? 

Tulisan ini merupakan resume dari dua bab di Kitab Sirah Nabawiyah karya Syaikh Syafiyurrahman Mubarafaktury. Membahas pada bagian agama bangsa Arab dan kehidupan sosial mereka. Dari sini kita dapat berkaca, bahwa benarlah, dahulu Islam hadir sebagai sesuatu yang asing. Namun keterasingan itu bukanlah alasan yang membuat para pengusungnya menjadi lemah, tapi sebaliknya. Keyakinan yang kuat dan tertancap di dalam hati mereka membuat jalan nan sulit itu dapat tetap terlewati. Maka jika dengan menegakkan Islam hari ini, kita pun merasakan keterasingan yang sama, jangan berduka, apalagi minder dibuatnya. Tetaplah menegakkan kepala, bukan sebab ujub dan angkuh, tapi karena kita yakin, kita sedang menempuh jalan kebenaran. Insya Allah. 

---------------------------------------------
 
Syi’ar dari agama Ibrahim yang didakwahkan oleh Nabi Ismail alahissalam merupakan keyakinan yang dianut oleh sebagian besar bangsa Arab. Hingga waktu bergulir, dan mereka sedikit-demi sedikit mulai meninggalkan agama tauhid. Hal ini diperparah dengan kehadiran tokoh bernama Amr bin Luhay. Ia adalah pemimpin Bani Khuza’ah, seorang yang terpandang dan didengarkan oleh pendudukan Makkah. Amr bin Luhay-lah yang pertama kali memperkenalkan penyembahan berhala kepada pendudukan Makkah setelah ia melihat kebiasaan tersebut di Syam, negeri yang ia anggap merupakan tempat diturunkannya para nabi, sehingga lebih dekat dengan kebenaran. 

Tiga berhala terbesar ditempatkan di kota Makkah; Manat, Musyallal, dan Lata. Amr dengan bantuan jin bahkan hingga menggali berhala-berhala peninggalan kaum nabi Nuh, serta membuat berhala-berhala lain sehingga tidak ada satu kabilah pun kecuali memiliki berhalanya masing-masing. Hal ini membuat merebaknya kemusyrikan di kalangan bangsa Arab, bahkan hingga masuk dan memenuhi ke dalam Masjidil Haram. 

Selain memfasilitasi munculnya berhala, Amr bin Luhay juga membuat berbagai macam tradisi dan upacara penyembahan yang lagi-lagi diikuti oleh banyak orang. Mereka mengira hal tersebut adalah bagian dari kebaikan dan tidak menyimpang dari agama Ibrahim. Diantara bentuk upacara tersebut, yaitu: (1.) Mengelilingi, mendatangi, berkomat-kamit di depan berhala, dengan meminta kebutuhannya dan berkeyakinan bahwa hal itu akan memberikan mereka syafaat di sisi Allah , (2.) Menunaikan haji di sekeliling berhala, (3.) Menyembelih hewan atas nama berhala, (4.) Memberikan sesajian kepada berhala, (5.) Bernadzar untuk menyajikan hasil panen dan ternaknya untuk berhala, (6.) Memperlakukan hewan-hewan tertentu seperti berhala, mereka menyebutnya al bahirah (onta betina), al washilah (domba betina), al hamy (onta jantan). Hewan-hewan itu harus memenuhi karakteristik tertentu untuk diperlakukan dengan cara-cara tertentu. Berbagai macam penyimpangan ini mendapat teguran dalam berbagai ayat al Qur’an. Padahal mereka menganggap dirinya melakukan itu semua dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. 

Selain penyembahan berhala, bangsa arab juga seringkali melakukan hal-hal yang bertentangan dengan akidah tauhid. Berbagai perkara mungkari itu merebak ditengah-tengah mereka dan dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Misalnya, mengundi nasib dengan anak panah, mempercayai peramal dan ahli nujum, meramal nasib sial dengan burung, ruas tulang kelinci, atau biri-biri sebelum melakukan suatu perjalanan. Namun, meski demikian, kita masih dapat melihat sisa-sia ajaran agama Ibrahim ditengah-tengah mereka, yakni pengagungan kepada Ka’bah serta pelaksanaan haji, meski tetap saja ada hal-hal baru dalam pelaksanaannya. Hal-hal baru tersebut mereka munculkan atas dasar gengsi mereka sebagai penjaga kota suci, sehingga tidak jarang ada prosesi yang menyimpang dari pelaksanaan haji yang sebenarnya. Selain itu, mereka juga mendiskriminasi pendudukan dari luar Tanah Suci yang hendak mengerjakan haji, dimana mereka harus mengenakan pakaian yang berbeda dengan pendudukan asli, atau berthawaf dalam keadaan telanjang. Hal ini mendapatkan teguran dari Allah dalam QS. 7:31. 

Sebelumnya, kalangan bangsa Arab juga telah dimasuki oleh pengaruh dari agama Yahudi, Masehi, Majusi, dan Shabi’ah. Bangsa Yahudi masuk ke jazirah Arab degan dua alasan, yakni: (1.) Penghancuran negeri mereka oleh Bangsa Babilon dan Asyur sehingga mereka pindah dari Palestina ke Hijaz Utara. (2.) Pencaplokan Palestina oleh Romawi pada 70 Masehi dan mereka pindah ke Hijaz dan membentuk kabilah-kabilah di berbagai tempat di jazirah Arab, hingga saat kemunculan Islam jumlah mereka menjadi lebih dari dua puluh kabilah. 

Di Yaman, Yahudi dibawa oleh As’ad Abu Karib, dilanjutkan ole putranya Yusuf Dzu Nuwas yang melakukan pembantaian atas 20.000 pendudukan Najran pada Oktober 523 M agar mereka mau memeluk agama Yahudi, kejadian ini terabadikan dalam QS. Al Buruj. 

Agama Nasrani masuk lewat pendudukan orang Habasyah dan Romawi di Yaman pada 340 M. Abrahah menggantikan kedudukan Dzu Nuwas dan mendirikan gereja dan menamakannya sebagai Ka’bah di Yaman. Ambisi Abrahah untuk mengalihkan ritula haji ke gerejanya itulah yang memicu dikirimkannya pasukan gajah untuk menghancurkan Ka’bah, meski hal itu tidak berhasil. 

Sedangkan agama Majusi berkembang di kalangan bangsa Arab yang dekat dengan orang-orang Persi, beberapa wilayah jazirah Arab juga menjadi tempat berkembangnya agama ini. Sementara agama Shabi’ah berkembang di Irak. Masuknya agama Yahudi dan Nasrani menggeser keberadaan agama ini. Sisa-sisa pemeluknya bercampur dengan penganut Majusi atau masyarakat yang tinggal di wilayah teluk Arab. 

Dapat disimpulkan bahwa keberadaan agama-agama ditengah bangsa Arab kala itu sarat dengan berbagai macam penyimpangan. Hal ini menyebabkan nilai-nilai agama yang mereka anut tidak melepaskan mereka dari kebiasaan, kepercayaan, dan tradisi orang-orang musyrik. Mereka yang mengaku mengikuti agama Ibrahim kenyataannya menjadi penyembah-penyembah berhala. Penganut Yahudi menjadikan pemimpinnya sebagai sesembahan yang membuat hukum-hukum baru. Sementara umat Nasrani mempercayai paganisme dan membuat konsep yang mencampuradukkan antara Allah dengan manusia. Kesemuanya itu tidak membawa kebaikan bagi kondisi bangsa Arab di masa itu. 

Sedangkan dalam kehidupan sosial, masyarakat Arab membagi dirinya dalam kelas-kelas masyarakat. Kaum terpandang dan bangsawan mendapatkan kehormatan di tengah kaumnya. Para lelaki memiliki kedudukan melebihi para wanita yang tidak mempunyai hak dan pilihan. Sementara di kelas masyarakat lainnya, hubungan antara laki-laki dan wanita lebih bebas, buruk, dan menjijikkan. Saat itu, di tengah mereka terdapat empat macam jenis pernikahan. Dalam riwayat Abu Daud dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhu, keempatnya dijelaskan sebagai berikut: (1.) Pernikahan spontan, lelaki menikahi seorang wanita dengan melamarnya dan memberikan mas kawin. (2.) Istibdha’, yakni seorang suami mencari bibit anak yang baik dengan meminta istrinya mendatangi lelaki lain yang terpandang hingga ia hamil, lalu diambil kembali oleh suaminya tersebut. (3.) Poliandri, seorang wanita berkumpul dengan sejumlah lelaki (jumlahnya di bawah sepuluh), lalu setelah hamil , ia akan menunjuk seorang diantara lelaki itu dan lelaki itulah yang menjadi ayah dari bayi tersebut. (4.) Wanita pelacur dengan tanda silang di depan pintu rumahnya, didatangi oleh sejumlah lelaki, setelah ia hamil, maka ia akan mengundi  diantara lelaki tersebut yang akan mengakui anaknya, dan ia tidak boleh menolaknya. 

Bangsa Arab menjadikan wanita-wanita mereka sebagai taruhan dalam peperangan. Kebiasaan pernikahan juga melazimkan poligami tanpa adanya batasan jumlah dan aturan-aturan. Perzinaan merebak, terutama di kalangan awam dan hamba sahaya. Mereka juga mengubur hidup-hidup anak perempuannya. Mereka hidup dalam fanatisme kabilah sehingga sangat rentan menyulut peperangan antarkabilah. Disimpulkan bahwa kondisi sosial bangsa Arab saat itu begitu rapuh dengan merebaknya kebodohan dan khurafat. Kedudukan wanita begitu terhina, kekayaan dikuasai oleh penguasa, dan rakyat dijadikan tameng untuk menghadang serangan musuh. 

Di sisi ekonomi, bidang perdagangan menjadi hal yang paling berkembang dan diminati oleh bangsa Arab. Namun, hasil kerajinan kebanyakan muncul dari negeri Yaman, Hirah, dan pinggiran Syam. Kekayaan hanya memicu peperangan sementara kemiskinan tetap merajalela. 

Ditengah kondisi kepercayaan, sosial, dan ekonomi yang berkesan kacau dan tertinggal, bangsa Arab masih memilki keunggulan dari sisi akhlak. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang dermawan, meski kedemawanannya itu kerap kali ditunjukkan dengan kemurahan hati mereka saat melaksanakan pesta minum khamr yang begitu mereka banggakan. Selain itu mereka terkenal sangat teguh dalam memenuhi janji, pemberani dan enggan menerima kehinaan, pantang mundur, lemah lebut dan suka menolong orang lain, memiliki pola hidup yang sederhana yang dibalut dengan kejujuran serta meninggalkan dusta dan pengkhianatan. Keluhuran akhlak yang sangat berharga inilah yang menjadi sebab bangsa ini dipilih untuk mengemban risalah yang menyeluruh dan memimpin umat serta masyarakat manusia. Hal-hal negatif yang turut menyertai akhlak baik tersebut ternyata dapat direduksi dengan sentuhan perbaikan. Perbaikan dari cahaya kebenaran yang selanjutnya menyapa mereka setelah masa jahiliyah tersebut terlewati; cahaya Islam. 

Makassar, 24 Maret 2014

Senin, 17 Maret 2014

Lelaki yang Tak Pernah Pergi dan Perempuan yang Tidak Berhenti Mencintai

"saat saling meninggalkan mempunyai sebuah alasan, apa yang membuat mereka memilih untuk tetap bertahan?"

Ini tentang sepasang jiwa, kembali kita memandang keduanya dari arah langit melihatnya. Yang pertama adalah seorang lelaki. Telah lebih dari separuh abad ia habiskan untuk berjalan di muka bumi. Berbagai peristiwa telah ia jalani. Ia terlahir dari rahim perempuan yang dirindukan. Hari-hari masa kecilnya mungkin terdengar sama dengan bocah lelaki kampung kebanyakan. Tempatnya berlari adalah alam yang luas, jalanan masa lalu yang lengang, dan sungai-sungai yang mengalir jernih. Itu ia jalani hingga usia remaja. Hingga takdir mengantarkannya untuk beranjak pada kehidupan kota. Tempat ia bergelut. Tempat ia sukses dan tempat ia gagal. Tempat berpasang mata memandangnya remeh dan merendahkan, yang dikemudian hari malah menunduk-nunduk memberikan penghormatan. Tempat ia merenda waktu dan berjumpa dengan perempuan yang menemani hari-harinya, yang ia anggap akan terus berada di sampingnya, hingga penghujung usia. 

Perempuan itu pun tidak jauh berbeda dengannya. Ia juga berasal dari kampung yang letaknya begitu jauh dari kota tempat mereka bertemu. Perempuan itu sudah terbiasa dengan kepedihan, sebagaimana ia terbiasa pula dengan senyuman. Hari-hari masa kecilnya adalah kombinasi antara cerita yang berisi begitu banyak tokoh, berbagai tempat dengan begitu banyak sejarah, bahkan juga dengan letusan senjata, peperangan, dan perjuangan yang oleh sebagian orang hari ini disebut dengan pemberontakan. Perempuan itu mewarisi keindahan dari kedua ibu bapaknya. Jiwanya luas untuk menampung segala salah dari manusia lain. Kesalahan yang selalu punya alasan untuk ia hapuskan. Sesuatu yang membuat orang-orang akan bertanya dengan herannya; dari apa hatinya diciptakan? 

Keduanya lalu bertemu. Keduanya lalu ditakdirkan saling jatuh cinta. Lalu saling mencintai. Lalu saling menyayangi. Di hadapan khalayak, tiada cela pada pasangan ini. Keduanya adalah pejuang kehidupan pada masa lalu masing-masing. Tipe perjuangan yang berakhir indah yang dimata banyak orang terlihat seperti ending dari cerita-cerita para putri dan pangeran. Meski pada kenyataannya, tidak demikian. 

Ya, kenyataannya memang tidak ada sesuatu pun yang berlaku selamanya. Tidak bahagia. Tidak pula kesedihan. Keduanya akan datang bergantian, sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah. Begitupun dengan kehidupan lelaki dan perempuan ini. Dan mereka menjalani itu dengan caranya masing-masing. Tidak selalu lulus, lurus, dan berhasil. Sesekali mereka terjatuh, bahkan hingga jauh. Bahkan hingga perih menelusup. Tapi ada hal yang tidak berubah pada keduanya, sebab apapun yang terjadi, lelaki itu tidak pernah pergi, dan perempuan itu tidak pernah berhenti mencintai.
 
Segala hal berjalan dengan saling kait mengait. Sikap kita pada sesuatu menjadi sebab bagi terjadinya sikap yang lain. Begitu seterusnya. Begitu pula yang terjadi pada kehidupan keduanya. Apa yang dihadapan orang-orang luar mereka nampak selalu indah, tidak sepenuhnya benar. 

Bagaimanapun, lelaki itu tetap saja kaget dan tidak mengira bahwa jalan ceritanya akan seperti itu. Apa yang ia jalani kini sungguh berbeda dengan apa yang dulu ia impikan. Ia khayalkan. Ini nyata, jalan hidupnya menjadi berbeda dengan orang-orang kebanyakan. Perempuan yang ia hadapi kini, tidak lagi sama seperti yang ia kenal dahulu. Ibarat lilin, cahayanya telah meremang. Kini ia lebih seperti kunang-kunang yang terus berupaya untuk tetap berpendar. Sesakit apapun itu. Sepayah apapun itu. 

Dan lelaki itu tahu, itu semua berjalan bukan atas keinginan perempuannya. Tidak ada langit cerah yang ingin berubah mendung saat semua orang menikmati cahaya di bawahnya. Maka semua itu memang tidak berada dalam kendali mereka. Lelaki itu sangat memahaminya. 

Tapi bagaimanapun, ia adalah manusia biasa. Ia tersalah dan terjatuh saat kemudian matanya sejenak buta dan telinganya mendadak tuli, mungkin sesaat pula hatinya mati. Saat ia melangkahkahkan kaki dan terkagum-kagum pada nyala neon yang semu. Yang sekejap saja ia nikmati, namun kemudian membawa malapetaka pada diri. 

Tersebab itu, lilin perempuannya seolah benar-benar padam. Langit tiba-tiba dilanda kelam, petir dan kilat menyambar-nyambar, ia menjad saksi, saat putra mereka mendekap erat tubuh ibunya, memeluk perempuan itu, lalu menangis di sana. Sesuatu yang dilakukannya hanya sekali dalam hidupnya. Matanya menangis dengan air mata yang berlinang-linang. Bersamaan dengan itu, hati putranya itu mengeras, rahangnya merapat dan tegang. Ia seperti sedang berlindung di bawah pohon rindang yang dengan sengaja rubuh jatuh menyakiti tubuhnya. Menyakiti hatinya. Ada paku-paku tajam yang menghujam di sana. Paku yang meski telah tercerabut dan dibuang, tetap saja akan meninggalkan bekas yang tidak akan pernah hilang. Mereka menyebutnya, seburuk-buruk kenangan.

Keadaan menjadi sedemikian kacau. Tiada cahaya lagi. Tiada senyuman lagi. Meski dihadapan orang-orang, tawa itu tetap menyungging untuk menutupi.

Keadaan telah sedemikian kacau. Faktanya, perempuan itu tetap saja bukan yang dulu. Ia tetap bukan lagi lilin yang bersinar. Ia adalah kunang-kunang yang baru terlihat terang saat yang lain gelap. Yang baru dapat dilihat mata dengan harapan dan keyakinan yang kuat. Maka sebenarnya, lelaki itu punya alasan untuk membenarkan kesalahan dirinya. Tapi, ia tetap meminta maaf dan merasa khilaf. Dan ia tetap begitu, menjadi dirinya hingga ini; lelaki yang tak pernah pergi.

Sementara bagi sang perempuan, sampai kapan pun lelaki itu tidak pernah sama lagi. Ia bukan lagi pohon yang kokoh dan menaungi, melainkan gundukan kayu-kayu nan rapuh yang bisa patah kapan saja. Celahnya sudah nampak dimana-mana. Tapi tetap ia mengingati perjanjian agung yang pernah dilafadzkan oleh sang lelaki, yang Allah menjadi saksinya. Maka ia tetap menunaikan bakti yang masih ia bisa. Masih tetap menjadi yang mengalah, seberapa berat dan seberapa banyak pun air mata yang ia tumpahkan. Ia tahu ia hanya punya pendar. Ia sadar ia bisa ditinggalkan kapan saja, tanpa seorang pun yang menganggap itu salah. Karena itulah, ia tetap menguatkan diri menjalani semuanya. Baginya itu adalah alasan terkuat yang membuatnya tidak perlu berubah menjadi apa-apa, ia pun menjadi dirinya yang demikian hingga kini; menjadi perempuan yang tidak berhenti mencintai.

Maka kita tahu, Allah adalah sebaik-baik Dzat yang menentukan takdir. Yang bersama tidak selalu sama. Yang dipertemukan tidak selalu sebab serupa. Yang bertahan juga bukan hanya sebab masih baik-baik saja. Tapi, antara lelaki yang tidak pernah pergi dan perempuan yang tidak berhenti mencintai, ada satu kesamaan yang membuat keduanya tetap menautkan hati; keduanya memilih sebuah keputusan yang sejalan; keputusan untuk tetap bertahan. 

Langit memandang keduanya dengan syahdu; betapa ia mengasihi kedua orang itu.

Makassar, 17 Maret 2013

Selasa, 11 Maret 2014

Seharusnya Semudah Itu

Ini bukan yang pertama kalinya ada yang curhat tentang perasaannya ke saya. Dan bukan pertama kalinya pula saya menanggapinya dengan cara yang sama. Cara yang cenderung menggunakan pendekatan yang mungkin saja kurang tepat, meski mungkin pula tepat. Saya bukan seorang konselor, bukan pula psikolog, tidak pernah pula mendalami ilmu psikologi apapun. Saya menanggapi curhatan-curhatan itu lebih dengan kacamata saya sendiri, dengan bentukan apa-apa yang selama ini saya pelajari dan saya alami, dengan sedikit insting dan kalkulasi-kalkulasi yang lebih dekat pada permainan otak daripada hati. 

Maka tak heran, jika saat seorang kawan, sahabat, dan saudari di jalan Allah yang bercerita tentang perihal yang serupa, saya lebih sering menggunakan analisis dengan logika dan mengaitkannya dengan hal-hal teoritis yang tekstual. Maka saya pun memaklumi, jika kemudian yang curhat itu, setelah selesai memercikkan isi hatinya kepada saya, lalu saya memberikan semacam saran yang bagi saya bersifat final, maka itu tidak selalu membuat hati mereka sejuk. Kawan lama yang tidak sengaja berjumpa di angkutan umum harus tertegun beberapa saat setelah mendengar saran saya setelah ia curhat. Sahabat yang saya sayangi bahkan harus mencari ruangan lain di kantornya sebab ia menangis setelah chit-chat dengan saya dan saya memberikannya semacam langkah solusi versi saya. Salah seorang saudari saya bahkan menganggap saya seolah sedang menjatuhkannya ke jurang dengan uraian-uraian dan simpulan-simpulan yang saya tarik berkenaan dengan kisah yang ia tumpahkan. 

Jika tidak disebut sebagai pembenaran, saya sebenarnya pun sudah berusaha untuk berhati-hati dalam hal ini. Meski pada akhirnya mungkin yang saya katakan itu bukanlah sesuatu yang ingin mereka dengarkan. Tapi saya hanya tak ingin menjadi terlalu lembek menghadapi masalah hati, pun tidak ingin terlalu keras agar ia tak patah berkeping-keping. Percayalah, saya sudah mencoba untuk bersifat senetral dan seseimbang mungkin dan lebih memilih jalan damai. 

Tapi..

Tapi..

Tapi..

“Betul juga sih, Din...” ujar kawan lama saya itu

“Mungkin memang saya yang sedang mellow.. By the way, tenkyu ya..” ucap sahabat saya kemudian

“Ukhti, setelah kau mendorongku ke jurang, kau malah tinggal di tepinya dan menungguku untuk kembali bangkit sambil terus berdoa. Syukran...”, demikian kata saudari saya itu.

Dan saya bahagia. Dan saya merasa setiap orang memang akan memberikan sebuah ‘respon-antara’ saat menerima sesuatu. Untuk  kemudian mencerna dan menerima hal tersebut. Dan menurut pengakuan mereka, setelah itu mereka merasa lebih baik. Entah mereka menjalani apa yang saya sarankan atau tidak, saya tidak tahu. Sebab saran untuk berhenti, putus, atau tinggalkan, nyatanya memang tidak semudah mengucapkannya.

Meski mereka mengaku merasa lebih lega, seringnya setelah itu justru saya yang tinggal merenung sejenak atas kata-kata saya sendiri. Mengubah rasa menjadi hal yang berbeda dengan seketika, apakah semudah itu?
.
.
.
Seharusnya semudah itu.

Ya, akan semudah itu jika kita menelusuri jalan Umar bin Khattab. Khalifah kedua yang terkenal dengan ketegasan dan keberaniannya, nyatanya begitu mudah memutarbalikkan perasaan cinta dengan segera. Kecintaannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang pada mulanya ia akui berada di bawah kecintaannya pada dirinya sendiri, dengan mudah segera ia ubah menjadi berada di atas kecintaan pada dirinya. Sekejap!

Sebab nyatanya, hati itu sudah seharusnya tunduk pada perintah kita. Bukan sebaliknya. Dan apa yang kita perintahkan padanya sangat erat kaitannya dengan pemahaman dan hal-hal yang kita yakini benar. Saya terlalu logis dalam hal ini? Biarlah.

Tapi itu Umar bin Khattab. Shahabat yang dijamin surga. Ia yang syaithan mencari jalan lain ketika berpapasan dengannya. Ia yang meluruskan shaf shalat dengan kilatan pedang. Ia yang meraih hidayah dengan mendengar ayat al Qur’an. Yang bencinya segera berubah cinta, dan kejamnya segera berganti dengan tegas dalam kebenaran. Yang keislamannya menjadi pembeda!

Lalu saya menengok kedalam diri saya sendiri. Jika saya yang mengalami hal yang sama seperti yang dialami para perempuan yang memercayakan perihal perasaannya itu, apakah menjalani apa yang saya sarankan akan semudah itu?

Mengubah rasa menjadi hal yang berbeda dengan seketika, apakah semudah itu?

.

.

.

Ya, seharusnya semudah itu. 

Makassar, 11 Maret 2014