Selasa, 11 Maret 2014

Seharusnya Semudah Itu

Ini bukan yang pertama kalinya ada yang curhat tentang perasaannya ke saya. Dan bukan pertama kalinya pula saya menanggapinya dengan cara yang sama. Cara yang cenderung menggunakan pendekatan yang mungkin saja kurang tepat, meski mungkin pula tepat. Saya bukan seorang konselor, bukan pula psikolog, tidak pernah pula mendalami ilmu psikologi apapun. Saya menanggapi curhatan-curhatan itu lebih dengan kacamata saya sendiri, dengan bentukan apa-apa yang selama ini saya pelajari dan saya alami, dengan sedikit insting dan kalkulasi-kalkulasi yang lebih dekat pada permainan otak daripada hati. 

Maka tak heran, jika saat seorang kawan, sahabat, dan saudari di jalan Allah yang bercerita tentang perihal yang serupa, saya lebih sering menggunakan analisis dengan logika dan mengaitkannya dengan hal-hal teoritis yang tekstual. Maka saya pun memaklumi, jika kemudian yang curhat itu, setelah selesai memercikkan isi hatinya kepada saya, lalu saya memberikan semacam saran yang bagi saya bersifat final, maka itu tidak selalu membuat hati mereka sejuk. Kawan lama yang tidak sengaja berjumpa di angkutan umum harus tertegun beberapa saat setelah mendengar saran saya setelah ia curhat. Sahabat yang saya sayangi bahkan harus mencari ruangan lain di kantornya sebab ia menangis setelah chit-chat dengan saya dan saya memberikannya semacam langkah solusi versi saya. Salah seorang saudari saya bahkan menganggap saya seolah sedang menjatuhkannya ke jurang dengan uraian-uraian dan simpulan-simpulan yang saya tarik berkenaan dengan kisah yang ia tumpahkan. 

Jika tidak disebut sebagai pembenaran, saya sebenarnya pun sudah berusaha untuk berhati-hati dalam hal ini. Meski pada akhirnya mungkin yang saya katakan itu bukanlah sesuatu yang ingin mereka dengarkan. Tapi saya hanya tak ingin menjadi terlalu lembek menghadapi masalah hati, pun tidak ingin terlalu keras agar ia tak patah berkeping-keping. Percayalah, saya sudah mencoba untuk bersifat senetral dan seseimbang mungkin dan lebih memilih jalan damai. 

Tapi..

Tapi..

Tapi..

“Betul juga sih, Din...” ujar kawan lama saya itu

“Mungkin memang saya yang sedang mellow.. By the way, tenkyu ya..” ucap sahabat saya kemudian

“Ukhti, setelah kau mendorongku ke jurang, kau malah tinggal di tepinya dan menungguku untuk kembali bangkit sambil terus berdoa. Syukran...”, demikian kata saudari saya itu.

Dan saya bahagia. Dan saya merasa setiap orang memang akan memberikan sebuah ‘respon-antara’ saat menerima sesuatu. Untuk  kemudian mencerna dan menerima hal tersebut. Dan menurut pengakuan mereka, setelah itu mereka merasa lebih baik. Entah mereka menjalani apa yang saya sarankan atau tidak, saya tidak tahu. Sebab saran untuk berhenti, putus, atau tinggalkan, nyatanya memang tidak semudah mengucapkannya.

Meski mereka mengaku merasa lebih lega, seringnya setelah itu justru saya yang tinggal merenung sejenak atas kata-kata saya sendiri. Mengubah rasa menjadi hal yang berbeda dengan seketika, apakah semudah itu?
.
.
.
Seharusnya semudah itu.

Ya, akan semudah itu jika kita menelusuri jalan Umar bin Khattab. Khalifah kedua yang terkenal dengan ketegasan dan keberaniannya, nyatanya begitu mudah memutarbalikkan perasaan cinta dengan segera. Kecintaannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang pada mulanya ia akui berada di bawah kecintaannya pada dirinya sendiri, dengan mudah segera ia ubah menjadi berada di atas kecintaan pada dirinya. Sekejap!

Sebab nyatanya, hati itu sudah seharusnya tunduk pada perintah kita. Bukan sebaliknya. Dan apa yang kita perintahkan padanya sangat erat kaitannya dengan pemahaman dan hal-hal yang kita yakini benar. Saya terlalu logis dalam hal ini? Biarlah.

Tapi itu Umar bin Khattab. Shahabat yang dijamin surga. Ia yang syaithan mencari jalan lain ketika berpapasan dengannya. Ia yang meluruskan shaf shalat dengan kilatan pedang. Ia yang meraih hidayah dengan mendengar ayat al Qur’an. Yang bencinya segera berubah cinta, dan kejamnya segera berganti dengan tegas dalam kebenaran. Yang keislamannya menjadi pembeda!

Lalu saya menengok kedalam diri saya sendiri. Jika saya yang mengalami hal yang sama seperti yang dialami para perempuan yang memercayakan perihal perasaannya itu, apakah menjalani apa yang saya sarankan akan semudah itu?

Mengubah rasa menjadi hal yang berbeda dengan seketika, apakah semudah itu?

.

.

.

Ya, seharusnya semudah itu. 

Makassar, 11 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)