Senin, 17 Maret 2014

Lelaki yang Tak Pernah Pergi dan Perempuan yang Tidak Berhenti Mencintai

"saat saling meninggalkan mempunyai sebuah alasan, apa yang membuat mereka memilih untuk tetap bertahan?"

Ini tentang sepasang jiwa, kembali kita memandang keduanya dari arah langit melihatnya. Yang pertama adalah seorang lelaki. Telah lebih dari separuh abad ia habiskan untuk berjalan di muka bumi. Berbagai peristiwa telah ia jalani. Ia terlahir dari rahim perempuan yang dirindukan. Hari-hari masa kecilnya mungkin terdengar sama dengan bocah lelaki kampung kebanyakan. Tempatnya berlari adalah alam yang luas, jalanan masa lalu yang lengang, dan sungai-sungai yang mengalir jernih. Itu ia jalani hingga usia remaja. Hingga takdir mengantarkannya untuk beranjak pada kehidupan kota. Tempat ia bergelut. Tempat ia sukses dan tempat ia gagal. Tempat berpasang mata memandangnya remeh dan merendahkan, yang dikemudian hari malah menunduk-nunduk memberikan penghormatan. Tempat ia merenda waktu dan berjumpa dengan perempuan yang menemani hari-harinya, yang ia anggap akan terus berada di sampingnya, hingga penghujung usia. 

Perempuan itu pun tidak jauh berbeda dengannya. Ia juga berasal dari kampung yang letaknya begitu jauh dari kota tempat mereka bertemu. Perempuan itu sudah terbiasa dengan kepedihan, sebagaimana ia terbiasa pula dengan senyuman. Hari-hari masa kecilnya adalah kombinasi antara cerita yang berisi begitu banyak tokoh, berbagai tempat dengan begitu banyak sejarah, bahkan juga dengan letusan senjata, peperangan, dan perjuangan yang oleh sebagian orang hari ini disebut dengan pemberontakan. Perempuan itu mewarisi keindahan dari kedua ibu bapaknya. Jiwanya luas untuk menampung segala salah dari manusia lain. Kesalahan yang selalu punya alasan untuk ia hapuskan. Sesuatu yang membuat orang-orang akan bertanya dengan herannya; dari apa hatinya diciptakan? 

Keduanya lalu bertemu. Keduanya lalu ditakdirkan saling jatuh cinta. Lalu saling mencintai. Lalu saling menyayangi. Di hadapan khalayak, tiada cela pada pasangan ini. Keduanya adalah pejuang kehidupan pada masa lalu masing-masing. Tipe perjuangan yang berakhir indah yang dimata banyak orang terlihat seperti ending dari cerita-cerita para putri dan pangeran. Meski pada kenyataannya, tidak demikian. 

Ya, kenyataannya memang tidak ada sesuatu pun yang berlaku selamanya. Tidak bahagia. Tidak pula kesedihan. Keduanya akan datang bergantian, sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah. Begitupun dengan kehidupan lelaki dan perempuan ini. Dan mereka menjalani itu dengan caranya masing-masing. Tidak selalu lulus, lurus, dan berhasil. Sesekali mereka terjatuh, bahkan hingga jauh. Bahkan hingga perih menelusup. Tapi ada hal yang tidak berubah pada keduanya, sebab apapun yang terjadi, lelaki itu tidak pernah pergi, dan perempuan itu tidak pernah berhenti mencintai.
 
Segala hal berjalan dengan saling kait mengait. Sikap kita pada sesuatu menjadi sebab bagi terjadinya sikap yang lain. Begitu seterusnya. Begitu pula yang terjadi pada kehidupan keduanya. Apa yang dihadapan orang-orang luar mereka nampak selalu indah, tidak sepenuhnya benar. 

Bagaimanapun, lelaki itu tetap saja kaget dan tidak mengira bahwa jalan ceritanya akan seperti itu. Apa yang ia jalani kini sungguh berbeda dengan apa yang dulu ia impikan. Ia khayalkan. Ini nyata, jalan hidupnya menjadi berbeda dengan orang-orang kebanyakan. Perempuan yang ia hadapi kini, tidak lagi sama seperti yang ia kenal dahulu. Ibarat lilin, cahayanya telah meremang. Kini ia lebih seperti kunang-kunang yang terus berupaya untuk tetap berpendar. Sesakit apapun itu. Sepayah apapun itu. 

Dan lelaki itu tahu, itu semua berjalan bukan atas keinginan perempuannya. Tidak ada langit cerah yang ingin berubah mendung saat semua orang menikmati cahaya di bawahnya. Maka semua itu memang tidak berada dalam kendali mereka. Lelaki itu sangat memahaminya. 

Tapi bagaimanapun, ia adalah manusia biasa. Ia tersalah dan terjatuh saat kemudian matanya sejenak buta dan telinganya mendadak tuli, mungkin sesaat pula hatinya mati. Saat ia melangkahkahkan kaki dan terkagum-kagum pada nyala neon yang semu. Yang sekejap saja ia nikmati, namun kemudian membawa malapetaka pada diri. 

Tersebab itu, lilin perempuannya seolah benar-benar padam. Langit tiba-tiba dilanda kelam, petir dan kilat menyambar-nyambar, ia menjad saksi, saat putra mereka mendekap erat tubuh ibunya, memeluk perempuan itu, lalu menangis di sana. Sesuatu yang dilakukannya hanya sekali dalam hidupnya. Matanya menangis dengan air mata yang berlinang-linang. Bersamaan dengan itu, hati putranya itu mengeras, rahangnya merapat dan tegang. Ia seperti sedang berlindung di bawah pohon rindang yang dengan sengaja rubuh jatuh menyakiti tubuhnya. Menyakiti hatinya. Ada paku-paku tajam yang menghujam di sana. Paku yang meski telah tercerabut dan dibuang, tetap saja akan meninggalkan bekas yang tidak akan pernah hilang. Mereka menyebutnya, seburuk-buruk kenangan.

Keadaan menjadi sedemikian kacau. Tiada cahaya lagi. Tiada senyuman lagi. Meski dihadapan orang-orang, tawa itu tetap menyungging untuk menutupi.

Keadaan telah sedemikian kacau. Faktanya, perempuan itu tetap saja bukan yang dulu. Ia tetap bukan lagi lilin yang bersinar. Ia adalah kunang-kunang yang baru terlihat terang saat yang lain gelap. Yang baru dapat dilihat mata dengan harapan dan keyakinan yang kuat. Maka sebenarnya, lelaki itu punya alasan untuk membenarkan kesalahan dirinya. Tapi, ia tetap meminta maaf dan merasa khilaf. Dan ia tetap begitu, menjadi dirinya hingga ini; lelaki yang tak pernah pergi.

Sementara bagi sang perempuan, sampai kapan pun lelaki itu tidak pernah sama lagi. Ia bukan lagi pohon yang kokoh dan menaungi, melainkan gundukan kayu-kayu nan rapuh yang bisa patah kapan saja. Celahnya sudah nampak dimana-mana. Tapi tetap ia mengingati perjanjian agung yang pernah dilafadzkan oleh sang lelaki, yang Allah menjadi saksinya. Maka ia tetap menunaikan bakti yang masih ia bisa. Masih tetap menjadi yang mengalah, seberapa berat dan seberapa banyak pun air mata yang ia tumpahkan. Ia tahu ia hanya punya pendar. Ia sadar ia bisa ditinggalkan kapan saja, tanpa seorang pun yang menganggap itu salah. Karena itulah, ia tetap menguatkan diri menjalani semuanya. Baginya itu adalah alasan terkuat yang membuatnya tidak perlu berubah menjadi apa-apa, ia pun menjadi dirinya yang demikian hingga kini; menjadi perempuan yang tidak berhenti mencintai.

Maka kita tahu, Allah adalah sebaik-baik Dzat yang menentukan takdir. Yang bersama tidak selalu sama. Yang dipertemukan tidak selalu sebab serupa. Yang bertahan juga bukan hanya sebab masih baik-baik saja. Tapi, antara lelaki yang tidak pernah pergi dan perempuan yang tidak berhenti mencintai, ada satu kesamaan yang membuat keduanya tetap menautkan hati; keduanya memilih sebuah keputusan yang sejalan; keputusan untuk tetap bertahan. 

Langit memandang keduanya dengan syahdu; betapa ia mengasihi kedua orang itu.

Makassar, 17 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)