Minggu, 27 September 2009

Endless Life




Karena tidak penting memikirkan kapan kematian datang, namun memaknai apa saja yang kita lakukan dalam hidup.

Tak perlu waktu yang lama bagi saya untuk menentukan pilihan pada buku mungil bersampul putih itu saat bertandang ke Gramedia di salah satu mall di Makassar. Sebuah label yang melekat pada sampulnya seketika membulatkan tekad saya untuk segera menentengnya ke kasir. Di sana tertulis; Sebuah Inspirasi Kehidupan.


Dan memang hal itu adalah benar. Bahkan di saat halaman-halaman awal saya menikmati buku ini, ada semacam gemuruh yang langsung membuncah. Seolah semacam firasat bahwa untaian kata di dalamnya akan memberikan kesan yang akan sangat mendalam bagi saya.

Buku itu berjudul; Endless Life, Kisah Perjuangan Hidup Seorang Pengidap Marfan’s Syndrome. Buku itu bukan memuat tentang kisah fiksi yang hanya melayang dalam imaji pengarang. Bukan pula sebuah cerita rekaan yang tentunya dapat begitu mengharukan karena memang tidak benar-benar terjadi. Endless Life berisi kisah nyata seorang gadis pengidap penyakit langka yang belum ditemukan obatnya, namun ia terus bersemangat dalam menghadapi hidupnya.

Kehidupan Wahyu Ajeng Suminar bukan hanya tentang kisah sedih atau perjuangan mengharu birunya dalam tetap strong menghadapi takdir Allah tentang Marfan’s Syndrome, tapi juga berkisah tentang perjuangan sang Ibu, Matahari Hati yang selalu berada di sampingnya. Tentang kakaknya yang menjadi seorang pecandu narkoba yang selalu meneror keluarganya hingga kemudian meninggal dunia bahkan saat nyaris lepas dari jeratan narkoba, juga tentang perceraian kedua orangtuanya yang membuatnya mengalami Father Hungry yang kemudian ia lampiaskan dengan teramat manis pada sosok dokter yang merawatnya.

Buku ini juga membuka wawasan kita tantang penyakit Marfan’s Syndrome yang mungkin terdengar asing. Penyakit yang bersifat menurun ini menyebabkan tubuh pengidapnya meninggi tanpa henti, sehingga tulang belulangnya meliuk dan penglihatannya berkurang karena terus memanjangnya urat sehingga retina terlepas. Namun, yang paling berbahaya dari penyakit ini adalah jika aorta pengidapnya mengalami kelainan, sehingga jantungnya akan terdesak dan seringkali terjadi kebocoran. Dan hal yang terakhir inilah yang terjadi pada Ajeng.

Jika kamu membayangkan seorang Ajeng yang menderita Marfan’s adalah seorang gadis pemurung yang hanya sibuk menghitung hari menunggu akhir hidupnya, maka kamu salah besar. Justru lewat tiap kata yang ia tuliskan dalam memoarnya ini, kita dapat menangkap betapa besar semangat hidup gadis ini. Meski ia tak dapat menempuh pendidikan formal disebabkan karena kekurangannya tersebut, ia tak pernah berhenti belajar. Ia bahkan mengikuti sebuah kursus bahasa Inggris di salah satu lembaga bersama orang normal lainnya. Ia juga sangat senang mendengarkan radio hingga kemudian berkenalan dengan Shahnaz Haque yang kemudian ia sebut sebagai ‘Tim Sukses’nya karena kebaikan hati beliau terhadap Ajeng. Ia bahkan berkenalan akrab dengan Indra Qadarsih, personel band BIP, serta Aa’ Gym yang ia temui pertama kali dalam sebuah acara. Ia juga pernah diberi tempat duduk VIP langsung dari Helmy Yahya saat ia mengikuti seminar beliau.

Mendengar perjalanan hidupnya yang banyak diwarnai oleh tokoh-tokoh terkenal, awalnya saya menyangka Ajeng berasal dari keluarga berkecukupan. Ternyata saya salah. Kehidupan keluarga Ajeng yang hanya mengandalkan ibunya sebagai single parent dengan membiayai penyakitnya yang tak murah bahkan pernah membuat keluarganya berhutang pada rentenir. Namun, kisah hidupnya juga menyadarkan kita betapa apiknya Allah merangkai skenario hidup seseorang. Sebab di saat genting, selalu saja ada bantuan yang datang, misalnya padanya saat puisinya I WAIT THE SUN dan I SEE THE SUN yang ia buat saat masih mengikuti kursus bahasa Inggris, dipatenkan oleh salah satu perusahaan MLM yang ia sempat bergabung di dalamnya, bahkan ia juga dinobatkan sebagai motivator nasional dan member inspirasi pada ribuan orang yang datang dari seluruh Indonesia!

Keterbatasan Ajeng dan napasnya yang sering tersengal tidak membuatnya terus meratap, bahkan ia mendirikan sebuah lembaga yang concern pada pencegahan penyalahgunaan narkoba (terinspirasi dari kisah kelam kakaknya) serta masalah social lainnya, yang ia beri nama, Inspiration of Qudwah. Lembaganya memberikan konseling pada banyak orang dan membuka jalan bagi Ajeng untuk mewujudkan mimpinya; memberi INSPIRASI bagi banyak orang. Sebab ia selalu mengulang-ulang sebuah sabda Rasulullah; Sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat.

Di saat-saat kritis Ajeng, ibundanya mengambil sebuah keputusan yang besar dengan berhenti bekerja. Padahal mereka tahu betapa besar biaya yang habis untuk pengobatan dan terapi penyakit Ajeng. Namun, berbekal kepasrahan dan keyakinan atas rejeki dari Allah, ibu Ajeng menyampaikan pemikirannya, bahwa jika selama ini ia bekerja pada manusia, maka ia digaji oleh manusia, maka saat ia merawat Ajeng yang ia niatkan sebagai ‘bekerja kepada Allah’, maka Allah pun pasti tidak akan menyia-nyiakannya. Maka pada saat yang sama kita dapat menyaksikan betapa rejeki tersebut memang benar-benar mengalir lewat berbagai tangan yang digerakkan hatinya oleh Allah. Namun, satu hal yang sulit terlupa dari ibu dan anak ini adalah sebab keduanya sangat anti dikasihani. Mereka selalu menjaga kehormatan dirinya dalam keadaan apapun.

Ajeng berpulang ke sisi Allah buka dalam keadaan mederita di atas tempat tidur rumah sakit. Ia bahkan tertidur untu selamanya di atas kursi roda saat menunggui ibunya yang tengah menjalani operasi pengangkatan rahim, suatu hari di bulan Ramadhan tahun lalu, tepatnya pada tanggal 18 Ramadhan. Begitu banyak hal yang diajarkan oleh Ajeng dalam hidupnya yang singkat, dan begitu banyak manusia yang telah ia beri inspirasi dan akan ia beri inspirasi lewat buku yang terbit bahkan setelah ia telah tiada.

Diri ini yang masih seringkali menggerutu atas takdir yang sedikit asam saja kemudian begitu tertampar melihat untaian kalimat yang ditulis oleh gadis yang didera berbagai masalah dan digerogoti penyakit mematikan itu selama 16 tahun lamanya. Dalam memoar terakhir dalam bukunya, pada paragraph penutup ia menutur dengan teramat indah;

Aku mensyukuri tiap rasa sedih ataupun bahagia yang hadir dalam hari-hariku dalam setiap episode yang tidak sama namun membawa hikmah. Tidakkah hidup ini demikian indah, begini adanya.

Berikut adalah sebuah puisi karya Ajeng yang dilampirkan dalam buku ini;

Pesan Tuhan dalam Marfan

Setelah lama mengeja, akhirnya ku dimampukan membaca pesan Tuhan dalam Marfan
Sungguh terdapt catatan hikmah sebagai hadiah bagiku yang kini kerap terbaring lemah
Hikmah yang menjadi jawaban bagi berbagai prasangka yang salah
Hikmah yang membantah segenap praduga yang tak nyata
Hikmah yang membuktikan bahwa takdir Marfan yang terjadi padaku bukanlah kesia-siaan.
Dalam skenario indah yang dibuatNya, Tuhan seolah berkata…

Marfan bukanlah tugas sederhana yang diakibatkan sebuah kebetulan melainkan peran utama yang disengajakan Sang Maha Sutradara
Marfan bukan musibah melainkan anugrah
Marfan bukan karma melainkan karunia
Marfan bukan kutukan, melainkan keajaiban
Marfan bukan hukuman atas dosa yang tak termaafkan melainkan jalan pertobatan
Marfan bukanlah beban melainkan latihan kesabaran
Marfan bukan alasan tuk menyerah melainkan tantangan tuk membangkitkan ketegaran
Marfan bukan untuk mengundang belas kasihan melainkan untuk menginspirasi perjuangan
Marfan bukan untuk dijadikan suatu ratapan melainkan untuk direnungkan dengan kejernihan

Karena..
Marfan bukanlah vonis kematian melainkan kesempatan tuk lebih menghargai kehidupan
Marfan bukanlah kecemasan melainkan pembelajaran tuk menerima kebenaran
Marfan bukanlah kecacatan melainkan bagian dari kesempurnaan
Marfan bukanlah tanda gagalnya penciptaan melainkan Maha Karya Sang Pemilik Kehidupan
Marfan bukanlah kegelapan melainkan pencerahan
Marfan bukanlah kedzaliman Sang Maha Kuasa melainkan cinta kasih Sang Maha Penyayang

Maka…
Marfan bukan tak tersembuhkan melainkan ujian bagi gigihnya upaya sekaligus kepasrahan
Marfan bukan tuk diacuhkan melainkan disikapi dengan kepedulian dalam batas kewajaran
Marfan bukan untuk digenggam terlalu dalam atau dilepas dengan kemarahan melainkan harus diikhlaskan
Dan Marfan bukanlah pesan Tuhan yang dikirim hanya untukku karena Marfan adalah pelajaran bagi semua orang