Minggu, 26 Februari 2017

Menengok ke Dasar Kurva

Pernah ada masa di mana saya banyak berbicara, mengulas, dan menulis tentang pemuda. Dalam pada itu, saya akan membahas betapa besar keutamaan dari masa muda, pun betapa besar tanggung jawab di dalamnya.

Dalam empat pertanyaan yang dipertanyakan di padang mahsyar kelak, masa muda menjadi salah satunya; untuk apa ia dihabiskan. Ini menjadi satu pengkhususan, meski pada poin pertanyaan lainnya ada pula tanya tentang bagaimana menghabiskan usia pada umumnya.

Saya selalu menyebut masa muda sebagai puncak kurva. Jika diibaratkan hidup manusia pada sebuah kurva kualitas versus umur, maka bentuk kurva itu layaknya sebuah gunung, yang memulai dari titik nol, mendaki ke puncak, lalu kembali ke titik nol.

Ujung kiri dan kanannya adalah saat kita baru lahir, dan saat kita meninggal dunia. Titik-titik rendah itu berada saat kita masih seorang bayi yang tak berdaya, dan seorang manula yang juga sudah banyak kehilangan kemampuannya.
Maka jika dulu saya banyak membahas dan berinteraksi dengan mereka yang tengah berada di puncak kurva, ternyata pada satu titik dalam kehidupan saya, Allah menakdirkan saya menyaksikan dasar kurvanya.

Dalam satu periode yang sama, saya tertakdir tengah mengurus anak pertama saya yang masih berusia beberapa bulan, bersamaan dengan menyaksikan akhir-akhir usia Bapak rahimahullah.

Dan benarlah, pada keduanya kala itu, saya melihat ketidakberdayaan.

Leher Fayyadh kala itu belum lagi cukup tegak untuk menopang kepalanya, saat Bapak juga dianjurkan dokter untuk menjalani operasi di bagian kepala.

Lepas dari operasi-operasi itu, saya ikut serta mengurus Bapak, dengan pengurusan yang nyaris sama dengan apa yang saya lakukan pada Fayyadh. Memandikan, memberi makan, memakaikan baju dan menggantikan popok.

Saya memperhatikan, bagaimana sekiranya saya membiarkan bayi kecil itu begitu saja. Ia sungguh akan kelaparan, tidak terurus, kotor dan bau pesing, sungguh tidak berdaya. Demikian halnya dengan Bapak yang kala itu bahkan harus saya tuntun untuk shalat gerakan per gerakannya.

Kami kembali melatih kemampuan Bapak menggerakkan anggota badannya dan berjalan pasca operasi. Bapak berpegang pada pundak kami dan berjalan dengan sangat lambat. Saya mencoba mengingat bahwa pernah pula ada masa di mana saya tidak berdaya sebagai seorang bayi kecil dan kala itu Bapak yang dengan sabar menuntun saya belajar berdiri dan berjalan.

Saya menggosok badan Bapak ketika mandi dan menyuapkan makanan kepadanya saat waktu makan tiba sembari mengingati bahwa saat saya seperti Fayyadh hari ini pun, Bapak adalah orang tua yang ikut andil mengurusi segala keperluan saya, sebagaimana hari ini pun saya mengurus Fayyadh.

Berada di puncak kurva, semoga tidak membuat kita lupa, bahwa kita pernah ada di dasarnya, dan jika Allah menakdirkan, kelak pun kita akan kembali pada titik dasarnya.

Saat masa itu datang, saya berharap ada anak-anak shalih yang kedua belah tangannya tak berat untuk menanggung apa-apa yang tidak sanggup saya tanggung.

Sebelum masa itu datang, saya berharap dapat terus memiliki kekuatan untuk membentangkan kedua belah tangan saya agar menjadi tempat kembali dari anak-anak saya ketika mereka menemui kesulitan.

Hari ini, tiap rasa rindu pada Bapak datang, saya mendoakan semoga Allah memperbaiki keadaan beliau di alam barzakh sana, sebab tak bisa lagi Bapak menunaikan amalan apapun. Kelak, jika saya yang berada di sana, saat saya pun telah kehabisan kesempatan untuk beramal, semoga ada anak-anak shalih yang juga melantunkan doa yang sama untuk saya.

Kini, saya masih berada di puncak kurva, dan sekali lagi; Berada di puncak kurva, semoga tidak membuat kita lupa, bahwa kita pernah ada di dasarnya, dan jika Allah menakdirkan, kelak pun kita akan kembali pada titik dasarnya.

Lalu, apa yang pantas kita banggakan?

Makassar, 26/2/2017

Kamis, 16 Februari 2017

Bapak, Fayyadh Sudah Sembilan Bulan

'Mau coba gendong, Pak?' Abu Fayyadh menawarkan bayi yang dalam gendongannya. Cucu pertama di keluarga itu belum lagi genap sebulan kala itu. Bapak menggeleng. Konon sejak dulu ia memang tidak pernah menggendong anak-anaknya yang belum kuat lehernya.

'Dicoba dulu, Pak..' Abu Fayyadh kembali menawarkan. Bapak mulai terlihat tertarik. Dipasangnya model tangan yang tepat untuk bisa menimang bayi kecil itu. Saat ia berhasil menggendongnya, raut wajahnya berubah menjadi sedemikian cerah. Seolah ingin dipamerkannya kepada semua orang bahwa ia sudah bisa menggendong cucu pertamanya.

Bapak, sekarang Fayyadh sudah sembilan bulan.

Saat leher Fayyadh sudah cukup tahan untuk digendong dengan posisi tegak, Bapak sudah sakit. Padahal Mama bilang, bahwa Bapak dulu senang sekali menggendong anak-anaknya saat sudah cukup besar. Saya pun juga ingat, bahkan saat adik saya sudah berusia 3 tahun sekalipun, Bapak masih suka menggendongnya dalam perjalanan pulang kami jalan-jalan subuh.

Bapak, sekarang Fayyadh sudah sembilan bulan.

Qadarullah wa maasyaafa'alaa.. Bapak tidak sempat menyaksikan Fayyadh yang sudah lincah sekali di atas babywalkernya. Meraih apa saja yang bisa diraihnya, dan lagi heboh-hebohnya tepuk tangan sesuka hatinya.

Bapak tidak sempat menyaksikan Fayyadh yang kadang doyan saat disuapi, kadang juga geleng-geleng sendiri, kadang tiba-tiba pengennya tepuk tangan lagi.

Bapak tidak sempat menyaksikan Fayyadh mulai berceloteh macam-macam, mulai bisa dipakaikan baju macam-macam, dan hal lucu-lucu lainnya.

Bapak, Fayyadh sudah sembilan bulan. Jika adzan terdengar dan Fayyadh sedang dalam gendongan, maka saya akan mengajak Fayyadh turut menjawab adzan. Lalu kemudian memanfaatkan momentum waktu makbulnya doa di antara adzan dan iqamah. Saya akan mengajak Fayyadh turut mendoakan Bapak, semoga Bapak disayangi oleh Allah, dan kelak kita bisa berjumpa kembali dalam keadaan yang lebih baik, insya Allah.

Bapak, Fayyadh sudah sembilan bulan. Bapak baik-baiklah di sana, kami terus mendoakan.

Makassar yang hujan, menyaksikan Fayyadh dan Mama tidur siang berdampingan.
16 Februari 2017