Sabtu, 22 Oktober 2011

Terima Kasih, Manisku


Tidak terasa, hampir setahun sudah kita bersama. Saat pertama kali jumpa, dengan segala ketidaktahuan dan ketidaksempurnaan masing-masing. Tapi bukankah saat itu, kita mencoba untuk saling menerima? Ya, sebab kita tidak pernah tahu, akan habis berapa lama waktu yang akan kita lalui, dan seberapa banyak halang dan rintangan yang nanti akan datang.

Lalu kita pun akhirnya terus berjalan. Saling mengisi dan saling melengkapi. Tiap kulihat kesalahanmu, maka akan kucoba segera perbaiki. Sebab dengan itu, aku tahu, aku pun akan terlengkapi, dan akan semakin banyak yang dapat kuketahui. Tentangmu. Juga semua tentang berbagai macam hal lain. Juga tentang hidup.

Manisku,

Aku benar-benar sadar, bahwa kadang datang masa dimana aku merasa semua ini terasa sangat menjenuhkan. Ingatkah kau saat berbulan-bulan aku bahkan tidak sudi melirik padamu? Bukan. Bukan karena aku membencimu. Sebab, di dalam setiap jengkal kesadaranku yang paling sadar sekalipun, aku tahu bahwa tidak seharusnya aku berbuat itu. Bahwa mengabaikanmu, hanya akan menghambat langkahku. Langkah kita. Dan semua cita-cita dan mimpi tentang hal-hal menyenangkan di masa depan.

Terima kasih, Manisku
Untuk selalu mengajarkanku pada berbagai macam hal yang baru. Seperti yang aku katakan sebelumnya, darimu aku belajar tentang hidup; tentang kejujuran, tentang kegigihan, tentang semangat pencarian. Juga, tentang harapan yang membuat kita dapat mengaku masih memiliki kehidupan.

Kau tahu, siang-siang panjang yang kita habiskan bersama. Dengan denting-denting peralatan kaca dan kesejukan ruangan ber-AC yang kadang tidak selalu membuat kita benar-benar merasa nyaman, sebab rasa stress itu terkadang datang. Perasaan tertekan untuk segera menyelesaikan semuanya. Dan memulai hal-hal baru yang jiwaku lebih senangi. Padahal, bukankah seharusnya aku pun menyenangimu dengan utuh? Seharusnya aku menganggap semua ini bukan hanya sekadar formalitas yang ingin kita tunjukkan pada semua orang. Seharusnya ini menjadi sebuah titik, dimana kita mencoba mencari sesuatu, bahkan menelusurinya, sebagai sumbangsih kita kepada ummat. Makanya, setiap melihatmu, aku selalu seolah ditegur, bahwa atas semua pengorbanan yang telah terlalui, sudah seharusnya segalanya dimaksimalkan dengan serius, dan tidak dianggap sebagai main-main dan dikerjakan dengan asal jadi.

Lalu sebentar lagi, kita akan melalui fase yang cukup penting. Sedikit lagi, mungkin kita akan segera mengakhiri semua kebersamaan ini. Semoga semuanya berlalu dengan indah, Manisku. Seperti indahnya semangat saat kita memulainya dulu, setahun yang lalu. Semoga di momen yang penting itu nanti, kita dapat saling mempertahankan dan saling mendukung. Semoga aku dapat terlihat sebagai seseorang yang paling paham tentang dirimu. Maka, sebelum menuju hal itu, semoga aku diberikan kesempatan dan kekuatan untuk lebih intens membersamaimu dan lebih dalam mengenalmu. Agar segalanya nanti dapat lebih lancar. Dan layaknya kumbang dan bunga, kita dapat saling memberikan kemanfaatan, dan juga kemanfaatan itu pun, semoga di dapatkan oleh semua orang yang menyaksikannya.

Maka sekali lagi; terima kasih, Manisku. Setelah semuanya terlewati, aku tidak akan melupakanmu.

Teruntuk, Manisku; My Lovely Skripsweet: Uji Kemampuan Fungi Endofit sebagai Penghasil Antibakteri dari Tanaman Sambiloto (Andrographis panniculata)..., menuju detik-detik ACC-nya dan menanti saat Seminar Hasil Penelitian-nya. ^_^

Selasa, 04 Oktober 2011

Diary tentang Syifaa


Sudah cukup lama saya tidak berjumpa dengan benda itu. Ia tersimpan dengan rapi dalam sebuah lemari kecil yang kuncinya saya letakkan dalam laci yang berada di lemari yang lain. Pun juga terkunci. Sebuah diary berwarna cokelat itu kembali saya buka. Sebenarnya, untuk keperluan mencari sebuah nomor pin yang belakangan agak sulit saya akses karena tersimpan di memory handphone yang telah rusak. Saya berharap, saya menulisnya secara manual di sana. Tapi ternyata tak ada. Yang saya temukan justru deret kata-kata yang mengingatkan saya tentang banyak hal. Tulisan terakhir di sana menggelitik saya untuk membaginya di sini. Sebuah catatan diary tentang hari bahagia seorang saudari.

--------------------------------------------------------

Senin, 7 Februari 2011

Setelah beberapa hari kelam mematut diri di langit, hari ini cerah.
Secerah saat saya mengingat kembali kejadian kemarin. Saat seorang ukhti, Eka Wahyu ‘Syifaa’ Purwanti mengakhiri masa lajangnya. Dipersunting seorang lelaki yang (insyaAllah) kini menjadi sahabat barunya.

Demikianlah hidup. Tidak terduga. Ada sedikit sedih, memang. Saat sadar bahwa kenyataan ini akan membuat nantinya Syifaa jauh dari kami. Tapi pada akhirnya, kami hanya berdoa, semoga yang dilalui selanjutnya oleh si-ukhti-gemulai, adalah kehidupan yang lebih baik. Aamiin.

[Kemudian diantarai oleh potongan ucapan terimakasih souvenir pernikahan Syifaa yang saya tempel di lembaran itu]

Hari yang cerah ini merupakah hari pertama saya di semester ini. Semoga semuanya berjalan lancar.

Dan cerah ini, semoga menjadi awal yang baik untuk memulai hal yang baik. Senin pertama, hingga seterusnya, dan hari-hari yang diantaranya: Berkilaulah!

-------------------------------------------------
Lalu demikianlah catatan lama itu mengingatkan saya, bukan hanya tentang sosok Syifaa saja. Tapi juga semua saudari saya yang lain, yang membersamai di awal-awal perjalanan hidayah ini. Betapa saya merindukan mereka.

Mungkin, setelah waktu terus berjalan, saya telah bertemu dengan begitu banyak akhawat, yang jauh lebih cantik dari mereka, yang bacaan Al Qur’annya lebih indah, yang semangat dakwahnya lebih membara, yang ilmunya lebih mendalam, pun dengan keseriusan dan kedewasaan yang juga lebih dari mereka. Namun, mengingat mereka di satu sisi, selalu membuat saya yakin, betapa mereka tidak tergantikan.

Merekalah yang bersama-sama dengan saya, hadir lalu merasakan keterasingan yang kemudian menjelma menjadi ketakjuban saat pertama kali kami mengecap manisnya iman. Kami, saling menatap satu sama lain dan turut menyaksikan bagaimana tetesan hidayah mewarnai kami sedikit demi sedikit. Diantaranya ada senyuman bangga, diantaranya ada pula tetesan air mata. Curhatan-curhatan diantara isak tangis, juga senyuman yang disertai dengan belaian hangat, juga dengan mata yang berkaca. Diantaranya juga ada pergesekan yang kadang muncul. Saat mungkin senyum itu tidak sanggup lagi mengembang saat menatap wajah saudari yang lain. Dan itu, tidak lepas dari menurunnya keimanan di hati kami, dan seringnya, keimanankulah yang mengalaminya.

Lalu saat ini. Saat saya mulai merasa agak lelah dan tertatih, disertai juga dengan kebosanan, dan sekali lagi, keimanan yang berada di kurva yang menurun, betapa saya ingin menatap wajah mereka satu per satu. Lalu meyakinkan diri, bahwa segemilang atau bahkan sekelam apapun masa depan kita nanti, masa lalu itu tidak akan pernah berubah. Dan kenyataan bahwa kalian adalah bagian yang tidak terpisahkan, yang meneguhkan saya di jalan cahaya ini, tidak akan pernah lagi dapat disangsikan. Dan diantara doa, saya berharap, selalu mengalir pahala kebaikan untuk kalian.

Kita tidak tahu seberapa lama Allah percaya kita di sini. Tapi pada titik ini, betapa ingin saya menatap wajahmu, akhawat, satu per satu, dengan gelimang rindu.

With a lot of love, love, love...Uhibbukifillah...
[Syifaa, Indah, Eky, Niniek, Isni, Isti, Zulfa, Atria, Asma, Linda, Ade, Dian, Dila, Iin; kalianlah itu, sungai-sungai bening yang menemani perjalanan panjang ini!]

gambar:http://realshitmyfriendssay.files.wordpress.com/2011/08/golden_river_by_kaldrick.jpg