Selasa, 21 Juni 2011

Jangan Jadi Dinosaurus, kata Bapak Berjas Merah Itu


Menjalani fase ini, membuat saya selalu teringat pada sebuah malam di tahun yang lalu. Saat kemudian saya memutuskan untuk; Ya, saya tidak akan KKN pada kesempatan ini. Berbagai pertimbangan hadir di benak saya saat itu, dengan keadaan memiliki prasyarat yang cukup untuk bisa mengikuti KKN serta kesempatan untuk 'menghemat' masa studi, saya akhirnya memutuskan untuk tidak ber-KKN ria di tahun yang lalu. Nantilah, di semester panjang... pikir saya kala itu.

Namun ternyata, qadarallah, di dua semester panjang yangs saya lewati, planning untuk KKN di saat tersebut ternyata tidak kesampaian. Ada saja halangan yang menghadang, Ada saja rintangan yang membentang. Padahal, KKN di semester panjang (bukan di masa liburan 2 bulan seperti KKN semester pendek) biasanya berlangsung di dalam kota Makassar, sehingga saya tidak perlu meninggalkan hal-hal yang tidak ingin saya tinggalkan. Besar pula kemungkinan, saya tidak perlu nginap di posko dan dapat pulang balik rumah-lokasi.

Maka di saat ini, saat dimana akhirnya saya harus menerima kenyataan, bahwa ujung-ujungnya saya ikut KKN semester pendek ini pula, di daerah yang cukup jauh dari kota kelahiran saya tercinta, saya benar-benar merasakan bahwa inilah takdir Allah atas saya. Bahwa sebesar apapun ketidakinginan saya atasnya, sekuat apapun saya mencoba untuk menghindar, toh pada akhirnya inilah yang terjadi kemudian.

Yah, selama kurang lebih dua puluh dua tahun hidup di dunia, seingat saya, rekor terlama saya tidak tinggal di rumah hanya empat hari tiga malam lamanya, saat mengikuti diklat jurnalistik di masa SMA. Maka, membayangkan bahwa 2 hari lagi, saya akan berangkat ke sebuah tempat dengan jarak tempuh sekitar lima jam dari kota asal saya, lalu tinggal di rumah seseorang yang belum saya kenal sebelumnya, dengan tiga belas orang rekan seposko yang dua belas diantaranya baru saya temui dua hari yang lalu; saya bergidik, ngeri. Saya bertanya-tanya; kehidupan macam apa yang akan saya lalui nanti?

Hmm...yang pastinya saya akan sangat merindukan masa-masa penuh privasi di tempat favorit saya; rumah saya-di kamar saya-di depan jendela. Saya akan rindu pada para akhwat yang senyumnya dapat membawa semangat baru. Saya akan rindu pada kedua orang tua yang selalu saya repotkan. Saya akan rindu pada jerit tangis si Dede' -tetangga kecil depan rumah saat ia dilarang main sepeda di siang bolong. Saya akan rindu dengan majelis ilmu pekanan yang menuntaskan dahaga ruhiyah. Saya akan rindu Makassar, kota juara nomor 1 seluruh dunia! :p

Dalam pembekalan KKN kemarin, seorang pematerinya (bapak dosen, dokter, berjas merah) menjelaskan tentang pentingnya adaptasi. Bahwa dinosaurus yang gagah perkasa itu tidak kita temui lagi hari ini karena ketidakmampuannya beradaptasi. Yah, datang ke tempat baru, dengan kultur berbeda, masyarakat baru, teman-teman baru, kegiatan baru, dan seabrek kebiasaan-kebiasaan baru, memang memerlukan kecerdasan adaptasi tingkat tinggi. Berbagai tempaan yang dihadapi dinosaurus kala itu mungkin memang masih terlalu lebay jika dibandingkan dengan saya saat ini. Maka, kita lihat saja nanti apakah saya akan ikut 'punah', atau justru dapat survive dan tidak bernasib naas seperti si Dino. Yah. Semoga.

gambar: devianart.com

Sabtu, 11 Juni 2011

Adik Kecilku, Jujurlah dalam Hidumu


Ibu muda itu nampak bingung. Sudah beberapa hari ini ia mencari seorang penjaga bayi untuk menjagakan anak bungsunya. Pasalnya, pekan ini anak pertamanya di bangku SD akan menghadapi ujian sekolah, dan ia harus mendampinginya. Mengapa harus didampingi segala? Olala... ternyata 'mendampingi' yang dimaksud adalah ikut serta membantu sang anak dalam menjawab soal ujiannya. Teknisnya, konon dengan menggunakan telepon selular yang dipegang sang anak. Hmmm...

Saya jadi miris mendengar cerita itu. Belum lagi, saat kemudian mencoba menulis tulisan ini, saya mendapati sebuah berita tentang seorang ibu yang bahkan hingga diusir dari kampungnya karena menyingkap praktek kecurangan saat ujian yang menjadikan anaknya sebagai sumber contekan. Mengerikan. Saat orang tua sudah mulai mengajarkan kejujuran, ternyata lingkungan sekitar tidak selalu ikut mendukungnya. Sekali lagi, mengerikan.

Saya jadi mengingat masa lalu. Saat juga masih berseragam putih merah. Seingat saya, oleh guru kami yang selalu memotivasi semangat belajar kami dengan berbagai macam tes dan ujian, bagi kami saat itu, mencontek adalah sebuah dosa yang harus segera diadukan. Lalu semua hal itu mengajarkan kepada saya bahwa bagaimanapun kejujuran akan selalu lebih baik meski ia pahit. Mungkin pahit dengan nilai yang tidak begitu bagus, dan harus ditandatangani oleh orang tua jika ingin nilainya dimasukkan oleh Pak Guru. Tapi setidaknya, itu lebih baik. Lebih jujur.

Saya sempat 'berkubang' dalam praktek contek menyontek saat 'pelajaran kejujuran' iitu meluntur di masa SMP. Lalu terus berlanjut hingga akhir semester di kelas 2 SMA, kemudian saya kembali tersadar. Sadar bahwa inti dari segalanya adalah bagaimana rejeki yang kita dapatkan berberkah. Lalu bagaimana kita berharap berkah dan rahmatNya jika kita menjemputnya dengan cara yang salah?

Saya teringat pembicaraan seorang mahasiswa di sebuah tempat umum yang saya curi dengar. Dengan nada pesimis ia berkata, "Jaman sekarang, mana ada sih mahasiswa yang tidak pernah menyontek pas ujian?" ujarnya. Saya menggeleng dalam hati. Sebab saya yakin, bahwa mahasiswa jenis itu masih ada. Sebab segala rupa kebaikan tidak akan pernah benar-benar hilang, mungkin hanya karena ia menjadi minoritas dan berkurang jumlahnya saja, sehingga kita tidak sadar akan keberadaannya.

Maka kepada adik-adik kecilku, serta kepada para orang dewasa yang menuntun mereka untuk menjadi lebih baik. Sungguh tidak ada salahnya jika kebenaran dan kejujuran itu telah diajarkan sejak mereka -adik-adik kecil kita, masih berada pada titik dimana ia mulai menyerap segala hal. Untuk yang kecil-kecil saja, semisal ujian harian di kelas mereka. Semoga dengan itu, dimasa mendatang, tidak perlu ada lagi yang turun ke jalan untuk meneriaki para pejabat yang korupsi. Sebab mereka, adik-adik kecil kita, mungkin saja adalah calon-calon pemimpin masa depan, yang semoga dapat membawa dunia ini menjadi tempat yang lebih baik. Aamiin. Wallahu a'lam.

Diujung senja, Juni 11 '11
gambar:http://www.uci.edu/features/2009/04/images/ncs-p090413_01a.jpg

Sabtu, 04 Juni 2011

Itu Sukses Kalian!


A: Kemarin kamu daftar fakultas apa?

B: Fakultas X

A: Lho, kok bukan daftar di kedokteran? Kamu khan pintar!

B: Soalnya, bukan hanya profesi kedokteran saja yang butuh orang pintar!

Perbincangan ini mungkin kerap kali kita dengar. Terutama di masa-masa tahun ajaran baru, saat begitu banyak anak yang berjuang untuk memperjelas nasib masa depan mereka lewat pendidikan di perguruan tinggi. Dan fakultas itu, kedokteran, bahkan hingga disebut sebagai ‘pilihan sejuta ummat’ karena memang selalu dikerumuni oleh para pendaftar.

Kita bisa saja berbaik sangka, betapa tingginya jiwa sosial bangsa ini, sehingga begitu banyak anak Indonesia yang bercita-cita untuk menjadi seorang dokter; sebuah profesi yang mulia, yang dapat membantu banyak jiwa. Namun, miris rasanya, jika kemudian melihat paradigma bahwa terkadang, mereka yang mendaftar di sana, tidak seluruhnya sepenuh hati melakukannya.

Sebut saja karena hanya masalah gengsi. Atau mungkin tentang pendapatan yang besar di kemudian hari. Bahkan ada juga yang dipaksa habis-habisan oleh orang tuanya, mungkin karena orang tuanya pun adalah dokter, atau saudara-saudaranya yang sudah terlebih dahulu berada di jalur yang sama. Hmm..., ini kalau kita mau berpikir yang negatifnya yah...

Padahal sebenarnya, setiap orang dapat sukses di bidangnya masing-masing, khan? Tidak peduli seberapa tidak populernya profesi tersebut di mata khalayak umum, namun jika ia bisa dijalankan dengan penuh dedikasi dan kesungguhan, disertai dengan ilmu dan skill. Belum lagi ditambahkan dengan jiwa sosial yang tidak melulu bicara komersialisme, maka di sanalah –menurut saya, kesuksesan yang sesungguhnya.

Seseorang yang berhasil adalah mereka yang mengerti kapan harus terus melaju, dan kapan saatnya berhenti. Mereka yang benar-benar tahu dimana jiwa mereka berada, menjalankan hal-hal yang dipilihnya dengan penuh tanggung jawab, serta siap dengan segala konsekuensi yang ada. Tidak sekedar membeo, membebek, dan ikut-ikutan dengan selera pasar yang belum tentu searah dengan diri kita yang sebenarnya. Sebab mengerjakan sesuatu tanpa menjiwainya, sama saja dengan kerja robot! Tidak akan ada masalah jika digantikan dengan mesin!

Maka mari ubah persepsi dari diri kita sendiri. Adik-adikku yang baru akan memasuki perguruan tinggi, di jurusan apapun kalian, berbungalah dimanapun kalian di tanam! Tempat kalian nantinya adalah takdir yang telah ditetapkan Allah bahkan sebelum langit dan bumi tercipta. Maka apapun ia, nikmatilah! Ia tidak harus dalam bentuk universitas terbaik. Tidak pula harus fakultas yang berbau kesehatan ataupun eksakta. Tapi jika itu adalah tempat dimana kalian bisa merasa nyaman, merasa bahwa di sanalah memang seharusnya kalian berada, dan itu akan menjadi batu loncatan untuk kalian kelak dapat menggunakan ilmunya untuk kepentingan ummat, maka sekali lagi: apapun namanya, di sanalah kalian harus berjuang dan berusaha! S.E.M.A.N.G.A.T!