Kamis, 31 Desember 2015

The Best Feeling I Ever Had

Wajah-wajah asing sejauh mata memandang. Itulah yang saya rasakan saat berada jauh dari kampung halaman. Hidup berdua dengan seseorang yang juga baru saya bersamai kurang dari waktu sebulan. Tiap harinya menjadi kesempatan untuk terus saling mengenal dan memperlihatkan karakter masing-masing.

Jika di Makassar dulu saya sedang berada di tempat-tempat umum seperti pusat perbelanjaan atau yang lainnya, kerap kali saya bertemu dengan kenalan, kawan, atau saudara yang menyapa dengan tiba-tiba, tanpa ada janji untuk saling jumpa. Namun di sini, rasanya hal itu tidak mungkin. Saat berada di tempat umum, saya memang cukup familiar dengan mayoritas wajah-wajah khas melayu yang tak jauh beda dengan tipe wajah orang Indonesia. Tapi nyatanya, memang tak satupun dari mereka yang saya kenal, ataupun mengenali saya. Mereka pun berbicara dengan bahasa yang seringkali tidak saya mengerti.

Keasingan yang sama juga kerap kali terasa saat saya berada di kampus suami. Hal ini semakin bertambah-tambah dengan berbagai macamnya negara asal para mahasiswa di sana. Mencari pembeda antara satu bangsa dengan bangsa lainnya dapat dilakukan dengan melihat penampilan dan perawakan mereka. Kerap kali, saat di masjid, saya hanya bisa melemparkan senyum kepada para mahasiswi yang tanpa sengaja beradu pandangan dengan saya. Dan mereka pun membalasnya. Senyum, memang selalu menjadi bahasa yang universal.

Di satu kesempatan saya hanya bisa menggeleng sambil tertawa kecil saat seorang mahasiswi bertampang melayu menyapa saya dalam bahasa Inggris. Saya tidak tau dia mengira saya bangsa apa, mungkin karena hari itu saya mengenakan jubah dan jilbab hitam-hitam. Baru setelah berbicara beberapa saat, ia kemudian nampak sadar dan bertanya;

Sister, are you Indonesian?” . Saya tersenyum dan mengiyakan. Cek per cek, ternyata dia pun juga mahasiswi asal Indonesia berdarah Jawa. Oalah...

Tak terasa sudah nyaris sebulan, keberadaan di negeri rantau sampai pula pada masa hari raya. Idul Adha akan segera tiba dan saya mulai merasa mellow sendiri karena tidak bisa merayakannya dengan keluarga di Makassar. Tapi, ini lebaran pertama bersama suami, khan? Begitu seorang sahabat saya mengingatkan.

Ini pertama kalinya lebaran tidak di rumah, ya?” tanya suami sambil menyeruput Milo Ice-nya. Kami sedang berhadap-hadapan, menikmati buka puasa di senja itu. Saya mencoba menajamkan kuping, mencari-cari suara takbir. Besok, hari raya Qurban akan dijelang. Saya mengangguk kecil. Mencoba mengingat-ingat kebiasaan jelang Idul Adha yang biasanya berlangsung di rumah.

Karena hari raya biasanya dimanfaatkan setiap orang untuk berkumpul dengan keluarga, maka di rumah pun tinggal kami sekeluarga yang ngumpul. Yang biasanya bantu-bantu kerap kali menggunakan momentum itu untuk pulang kampung. Karena tidak ingin direpotkan untuk memberikan instruksi masak-memasak kepada dua anak gadisnya, Mama pun memilih untuk menggunakan jasa catering untuk hidangan hari raya. Kami hanya bertugas membuat kue untuk para tamu. Kue termudah sepanjang masa di seluruh dunia; puding keju andalan. Hehehe...

Maka sambil membuat kue, kami pun menunggu pesanan catering itu datang. Menyiapkan wadah-wadah untuk menempatkannya di kulkas agar bisa tahan beberapa waktu dan tinggal dihangatkan saja. Saya dan Indi akan mengobrol tentang apa saja sambil tertawa-tawa hingga semua persiapan untuk menyambut hari raya rampung sementara Mama dan Bapak biasanya tidur lebih awal. Ini sudah menjadi semacam tradisi yang berulang setiap kali hari kemenangan akan tiba.

Khusus di hari Idul Adha, biasanya di hari kedua, saat daging-daging kurban sudah menyemarakkan rumah, biasanya para ibu-ibu tetangga akan beramai-ramai memadati dapur kami untuk membuat bumbu bersama, lalu kemudian memasak aneka hidangan daging dengan serunya. Setelah itu, mereka kembali ke rumah masing-masing, berdandan, dan mengumpulkan suami dan anak-anaknya untuk makan bersama di rumah. Mama biasanya akan memanggil sanak keluarga lainnya di saat yang sama.

Sementara, kakak laki-laki saya, sangat jarang untuk pulang kampung di waktu Idul Adha. Dia hanya pulang sekali setahun dan mengambil cuti yang lumayan panjang di momentum Idul Fitri. Kelakuannya itu sudah awet sejak zaman ia kuliah hingga saat ini. Praktis, sudah berlangsung selama 10 tahun. Maka acara santap daging di saat Idul Qurban memang jarang sekali ia dapati. Saat masih bocah dulu, dengan kurang ajarnya kadangkala saya ikut menyerobot saat Mama dan Bapak menelponnya di hari raya sambil berceloteh santai;

“Din, kau ndak makan daging ya di situ? Kita dong, makan coto sama ketupat.... Tapi ndak papa kok makan indomie.. asal indomienya rasa coto juga... Wahahaha....” ujar saya, minta ditabok. Entah bagaimana ekspresi kakak saya waktu itu.

Kini, saat ditakdirkan pula berjauhan dari orangtua di saat lebaran haji seperti ini, saya baru sadar pada kejahatan saya waktu itu kepada Didin. Huhuhu...

Sehari sebelum lebaran, kami menelepon keluarga di tanah air. Mama bertanya apa yang akan kami makan besok. Ibu mertua menyampaikan rasa kasihannya karena kami hanya akan lebaran berdua, sementara mereka akan beramai-ramai di Makassar sana. Saya, bertekad untuk ‘membuat sesuatu’ dan pantang menikmati mie instan di hari lebaran, bahkan meski rasa coto sekalipun. Jengjeeeng...

Maka, kami pun berangkat ke supermarket untuk ‘belanja lebaran’. Nyatanya, kami hanya membeli beberapa potong ayam dan sekantung kentang. Saya bolak-balik di rak bumbu-bumbu instan untuk mencari bumbu kari yang kira-kira rasanya paling bersahabat di lidah. Makanan di sini, meski judulnya sama, namun rasanya kerap kali berbeda. Setelah itu saya mengitari supermarket demi sekotak santan yang ujung-ujungnya tak nemu juga. Suami menggeleng-geleng sambil mendorong trolley melihat kelakuan saya yang mengitari hampir separuh supermarket demi si santan. Di malam lebaran, saya merengek kepadanya untuk mengantarkan saya ke warung mencari santan yang saya inginkan. Biarlah tak santap kambing atau sapi, yang penting daging. Daging ayam...hehehe

Malamnya, saya pun (sok) sibuk di dapur. Padahal yang saya lakukan hanya membersihkan potongan ayam, mengupas dan memotong kentang, kemudian mencemplungkan semuanya bersama bumbu dan santan. Suami sibuk mondar-mandir di belakang saya dan sesekali menengok ke dapur dan menawarkan bantuan. Saya hanya menggeleng sambil tersenyum. Saat aroma kari mulai menguar di seluruh rumah, ia berkata dengan ekspresi takjub bahwa ternyata saya pandai memasak, padahal dia tahu semua ini hanya instan belaka.. Hehehe...

Sebelum tidur, pikiran saya sebenarnya masih terbang ke rumah. Kangen suasana rumah. Hingga bangun di besok paginya pun tetap saja sama. Apalagi saat kemudian kami tiba di masjid kampus, tempat pelaksanaan shalat Id. Masih cukup sepi waktu itu. Saya masuk ke bagian muslimah dan baru beberapa orang di sana. Di shaf terdepan nampak beberapa muslimah berperawakan Afrika yang sudah mengambil tempat. Di salah satu sudut, mahasiswi-mahasiswi bergaya melayu terlihat sedang bercakap-cakap. Di tengah-tengah, saya melihat seorang ibu berusia seperti Mama, berseragam cleaning service sedang mengenakan mukenah, lalu duduk tenang sambil bersandar di salah satu pilar. Saya mengambil tempat di bagian belakang untuk kemudian maju agak ke tengah nantinya.

Tak lama, jama’ah lain nampak mulai berdatangan dan memenuhi masjid. Bermacam-macam wajah dan bangsa nampak di sana. Saya menyelip di sebuah shaf di antara seorang perempuan Afrika berjilbab abu-abu selutut dengan sebuah keluarga arab yang ramai dengan anak-anaknya. Wajah-wajah mereka cerah dengan seorang bayi laki-laki yang lucu dan bocah yang tampan. Ada juga anak perempuan kecil yang sungguh cantik, nampak duduk dengan tenang tepat di samping saya.

Shalat Id pun digelar. Bahu kami saling bertautan dalam shaf yang rapat. Tiba-tiba saya mengingat saudari-saudari seperjuangan saya di kampung halaman. Merindukan shalat berjama’ah kembali bersama mereka. Takbiratul ihram dikumandangkan, dan mata saya masih berkaca-kaca, hati saya melayang ke tanah kelahiran. Betapa saya merindukannya...

Selepas shalat, khutbah disampaikan oleh seorang Syaikh berkebangsaan Arab. Saya melihat wajahnya dari layar yang tergantung di bagian depan shaf perempuan. Khutbah disampaikan dalam bahasa Arab dan orang Arab di samping saya sesekali berekspresi sambil mengucapkan sesuatu pada keluarganya, mungkin menanggapi isi khutbah itu. Saya? Tentu saja menganga saja dan mengasihani diri yang hingga kini belum juga paham dengan bahasa Al Qur’an itu. Syukurnya, setelah sesi bahasa Arab selesai, khatib mengulang khutbahnya dengan bahasa Inggris yang sedikit-sedikit bisa saya mengerti. Setelah khutbah selesai dan ditutup dengan doa, nampak seorang bocah berwajah Arab melintasi para jama’ah dari berbagai suku bangsa dan membagi-bagikan permen. Aktivitas yang sama juga dilakukan oleh seorang ibu-ibu Arab berpenampilan hitam-hitam dengan cadar yang ia sampirkan hingga memperlihatkan wajahnya yang tersenyum sambil menawarkan Kopiko dari toples yang ia bawa. Saya menerima permen itu darinya dan tersenyum kepadanya.

Saat jama’ah bubar, semua orang saling bersalam-salam dan bercipika-cipiki-cipika (di sini, aktivitas mencium pipi dilakukan tiga kali, tidak dua kali seperti di tanah air). Saya menjabat tangan jama’ah asal Afrika di samping saya, lalu bercipika-cipiki-cipika dengannya sambil mengucapkan selamat hari raya. Di sampingnya, ada mahasiswi asal Aceh yang sudah sempat berkenalan dengan saya sebelumnya. Saya melakukan hal yang sama kepadanya sambil tersenyum dan ia mengucapkan selamat hari raya diikuti dengan sejumlah kalimat lainnya dalam bahasa Arab. Entah dia kira saya orang apa... huhuhu... 

Mungkin dia tidak mengenali saya sebab waktu itu kami berkenalan di perpustakaan dan saya dalam keadaan sedang mengenakan penutup wajah. Baru selepas ia menghujani saya dengan kosa kata Arab, saya kemudian menjelaskan kepadanya bahwa kami sudah saling kenal sebelumnya. Ia akhirnya tertawa malu dan nampak agak kaget lalu kemudian berpamitan untuk bergabung kembali dengan kawan-kawannya.

Saya memandang sekeliling. Wajah-wajah asing sejauh mata memandang. Tapi, hari ini adalah hari raya, bukan waktunya untuk bersedih meski saya sedang ditikam rindu pada sanak keluarga. Lagipula ponsel saya sudah bergetar dan pesan via whatsapp dari suami sudah mengajak saya untuk beranjak keluar dari masjid. Kami akan mencari spot yang cukup nyaman untuk ber-skype ria dengan Mama dan Bapak di rumah.

Keluar dari masjid, saya mendapati pemandangan para jama’ah yang tumpah ruah. Heboh. Ramai. Mereka nampak berkumpul berdasarkan warna kulit dan gayanya masing-masing. Sama-sama berwajah Arab tapi ada beberapa kelompok yang tercipta dengan kesamaan bentuk jubah atau penutup kepalanya yang beragam satu sama lain antar kelompoknya. Demikian juga yang berkulit gelap, macam-macam pula ternyata asal negaranya. Yang berwajah melayu pun begitu, terbagi atas kelompok Malaysia dan Indonesia. Di antaranya, ada minoritas kecil seperti para muslim bertampang oriental asal Thailand ataupun China.

Setelah keliling-keliling kampus dan melintasi kehebohan iring-iringan hewan kurban, kami pun kembali ke rumah. Berinteraksi sejenak dengan tetangga yang menyewa rumah sebelah, lalu kemudian masuk rumah. Berdua saja. Sepi sekali rasanya.

Tapi berhubung perut rasanya keroncongan, saya segera menyendok nasi dari ricecooker untuk disantap dengan kari ayam yang saya buat tadi malam. Kami pun menikmati hidangan lebaran itu. Suami menyuap makanannya dengan lahap dan penuh semangat. Saya sebenarnya masih mellow, namun melihatnya begitu ceria di hari lebaran itu, saya pun memutuskan untuk menyederhanakan saja alasan untuk bahagia hari ini. Lebaran pertama sebagai seorang istri, sudah seharusnya saya banyak-banyak bersyukur. Walhamdulillah...

Lepas Idul Adha, ternyata kehidupan kami akan memasuki episode yang baru. Saya mencurigai bahwa maag saya kembali menggerogoti pencernaan waktu itu, sebab rasa mual dan pusing luar biasa tiba-tiba menyerang. Beberapa waktu sebelum lebaran memang kami sempat melakukan perjalanan panjang dan waktu itu pola makan saya kacau balau. Akibatnya, bahkan mencium aroma kari yang saya buat sendiri pun membuat saya rasanya ingin muntah. Jadilah saya hanya bisa teronggok di atas kasur, melambaikan bendera putih dan meminta suami membeli makanan dari kantin kembali, persis saat kami belum mengaktifkan dapur di awal pindah dulu.

Saya bahkan masih sempat menenggak obat maag yang saya bawa dari Makassar karena sangat yakin bahwa gejala yang saya derita ini adalah maag yang kambuh. Namun saat kami mengabari kepada Mama dan Ibu mertua tentang kondisi saya, keduanya punya pendapat berbeda.

Sudah tes, belum? Kayaknya istrimu hamil...” ujar keduanya kepada suami saya.

Terinspirasi dari pernyataan Mama dan Ibu, suami pun segera mengusut perihal test-pack yang pernah ia belikan untuk saya saat masih di Makassar kemarin.

“Masih ada satu, kan? Dibawa ke sini juga, ndak?” tanyanya. Saya nyengir kuda. Lalu menanyakan kepadanya berapa harga testpack itu.

“Ooh.. beli saja lagi di sini, Kak... Paling di sini hanya satu atau dua ringgit...” ujar saya sambil tetap nyengir. Suami geleng-geleng kepala.

Akhirnya, saat berkesempatan keluar rumah dan memastikan bahwa saya cukup aman buat ditinggal, suami pun singgah di salah satu Pharmacy di satu kompleks pusat perbelanjaan. Saya masih tepar di atas kasur saat chatnya masuk ke ponsel saya.

“Di sini mahal, hampir puluhan kali lipat dari harga di Makassar...” ujarnya. Saya memasang emotikon terkejut luar biasa. Waduh...  Suami menjelaskan bahwa dalam kurs rupiah, harganya sekitar lima puluh ribu. Saya memintanya mencari testpack jenis strip yang barangkali lebih murah.

Suami memutuskan untuk berpindah ke apotek lainnya. Di tempat lain, ia menemukan testpack dengan selisih harga hanya sekitar tiga ringgit saja. Jadi dirupiahkan, jadinya sekitar tiga puluh ribu lebih.

“Ini isinya hanya satu?” tanyanya kepada petugas di apotek itu.

Iya, ini hanya satu. Lepas dipakai, dibuanglah...” ujar Pak Cik itu dengan santai. Suami melongo. Lalu kembali mengaduk-aduk rak berisi jejeran rupa-rupa testpack itu, tentu saja mencari yang paling murah.

“Ambil itu saja lah... itu sudah yang paling murah!” kata Pak Cik, seolah bisa membaca maksud suami saya. Suami kembali melongo.

Tiba di rumah, kami duduk berhadapan di atas kasur. Saya menimang si tectpack dengan hati-hati. Barang mewah nih...

“Jadi bisa di tes sekarang?” tanya suami sambil menatap saya yang menatap testpack itu.

“Besok pagi lah... harus pakai urine paling pertama...”. Ia mengangguk-angguk. Saya tak sabar menunggu hari berganti.

Besoknya, saya pun sibuk menampung urine dan meneteskannya pada benda yang kemarin membuat suami saya geleng-geleng itu. Harus ditunggu beberapa menit. Saya memutuskan kembali masuk ke kemar mandi untuk mencuci muka kembali. Rasanya harap-harap cemas. Saya berdoa yang terbaik. Doa perihal keturunan yang shalih sudah saya langitkan bahkan jauh sebelum saya berencana menikah. Namun, saya tetap meyakini bahwa pernikahan tidak otomatis memberikan kita hak untuk mempunyai anak. Semuanya kembali kepada ketetapan Allah. Dan sebaik-baik ketenangan baru bisa kita dapatkan saat bertawakkal penuh kepada takdirNya.

Meski saya tahu, selepas menikah, pertanyaan bernada “Sudah isi, belom?”, pasti akan heboh dilancarkan. Dan ternyata benar saja, bahkan kehebohannya melebihi ekspektasi saya. Seorang tante bahkan sudah mewanti-wanti saya bahkan sebelum hari akad datang. “Jangan ditunda-tunda ya, Nak... langsung saja punya anaknya...”. Beberapa pihak bahkan menduga bahwa saya sudah hamil saat berangkat ke Malaysia kemarin. Saya hanya bisa tersenyum miris menatap perut saya yang saat itu mungkin memang agak membuncit, seiring dengan pipi yang menembem, dan berat badan yang bertambah pasca menikah. Namun, saya belum hamil saat itu. “Ah, saya tahu Kak Dina... Kak Dina kelihatannya berangkat berdua saja, padahal sebenarnya berangkat bertiga khan....” seorang adik binaan menggoda saya lewat chat BBM saat awal saya tiba di Malaysia waktu itu. Bahkan seorang ukhti datang ke rumah beberapa jam menjelang keberangkatan saya, membawa sebuah kado yang ternyata berisi jaket bayi berwarna biru. Hihihi...

Maka mungkin, semua pertanyaan dan harapan itu, telah menjelma menjadi doa-doa.

Saya keluar dari kamar mandi. Suami sudah nampak berdiri di depan mesin cuci. Testpack itu bertengger di atas sana.

“Kalo begini maksudnya apa nih?” tanyanya sambil menatap benda itu. Saya ikut menengok ke sana. Saya bisa merasakan jantung saya memompa darah lebih cepat. Pusing dan mual yang biasa muncul itu tiba-tiba lenyap entah kemana, mungkin tertutup dengan perasaan penasaran.

Saya mengerjap-ngerjapkan mata. Memandangi garis merah yang terbentuk.

Satu garis...

Dua garis..

Dua garis merah. Dua garis merah, saudara-saudara pendengar! Saya memandang lekat ke arah testpack, rasanya deg-degannya masih awet. Lalu memandang kepada suami yang nampaknya masih belum ngeh dengan apa yang terjadi.

“Dua garis, Kak.. Positif!”

“Itu artinya positif?”

Saya mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar. Kami berdua, sepasang suami istri di negeri orang, dua orang yang ditakdirkan bersama sekitar dua bulan yang lalu, berdiri di depan mesin cuci dan kamar mandi di pagi yang masih begitu muda. Melonjak kegirangan dalam kebahagiaan yang bercampur rasa syukur yang luar biasa.

Matahari nampak mulai bersinar. Saya merasakan hangatnya dan melihat cahayanya dari balik wajah suami saya. Di luar, suara-suara aktivitas pagi baru saja dimulai. Di wajah suami saya, ada kegembiraan yang terpancar tanpa bisa ia sembunyi. Di dalam hati saya, ada perasaan hangat yang sulit diungkapkan dengan kata apapun. This is the best feeling i ever had. Alhamdulillah... alhamdulillah... alhamdulillah...

*mengenang perasaan yang tumpah ruah pada akhir September itu

Senin, 21 Desember 2015

Semoga Selalu Ada CINTA

Saya juga kaget mengapa respon mereka bisa jadi sekaget itu. Ini tentang sebuah kabar yang saya bawa beberapa waktu sebelum Agustus menyapa.

“Kok bisa sih, Din...” saya membayangkan cewek yang selalu ceria itu tengah melonjak heboh sambil mengetikkan deretan kalimat itu kepada saya dalam sebuah kesempatan chat via BBM. Ditanya seperti itu, saya sempat tertegun dan heran beberapa saat. Kok bisa, gimana? Memangnya seaneh itukah kabar ini?

“Maksudku toh, kau itu tidak kelihatan seperti orang yang sudah mau menikah. Kabar-kabar yang kudengar tentang kau kebanyakan tentang kesibukanmu dengan kegiatan-kegiatan macam-macam. Urus majalah-lah... terbitkan buku-lah.. terlibat di kegiatan ini-itu lah... Kok tiba-tiba sekarang kau bilang kalau kau mau nikah dalam waktu dekat???” . Ia masih heboh. Ucha, sohib saya sejak jaman SD dan terus bersama hingga SMA itu memang ceplas-ceplos. Kami tidak lagi satu tempat belajar sejak kuliah, namun sesekali masih sering berkomunikasi dan kadang bertemu dalam event ngumpul-ngumpul alumni.

Selanjutnya, chatting kami pun berlanjut dengan jawaban-jawaban saya atas pertanyaan-pertanyaannya. Dari yang paling masuk akal sampai yang membuat saya tertawa-tertawa sendiri sambil memandangi layar ponsel. Meski begitu, pada akhirnya saya tahu, Ucha pun turut bahagia atas kabar bahagia itu.

Respon yang nyaris serupa juga saya dapatkan saat woro-woro tentang rencana pernikahan di grup chat Pyfor Rangers yang berisi sahabat-sahabat karib dari jaman SMP. Meski sejak kuliah kami terpisah satu sama lain, tapi kami minimal akan ngumpul setahun sekali pada moment pasca hari raya, dan membicarakan tentang apa saja. Sudah saling mengenal sejak jaman pertama kali puber hingga kemudian berusia dewasa seperti sekarang membuat kami sudah saling tahu tentang kepribadian masing-masing. Tidak heran jika mereka pun kaget; Dina, yang jangankan pacaran, ditelpon sama teman sekelas yang cowok saja, langsung dingambekin sama bapaknya. Kok bisa, malah dia yang paling pertama menikah di antara kita berlima? Mungkin, begitu dalam pikiran mereka. Tapi setelah ditanya ini-itu dan sesekali juga di-bully di grup *huhuhu*, toh mereka pun turut bahagia dan ikut excited mendengar berita yang saya bawa.

Mengingat-ingat kembali masa-masa sebelum menikah, kadang membawa nuansa tersendiri bagi saya. Ada masa di mana rasanya begitu bersemangat merancang mimpi-mimpi masa depan dengan isi otak sendiri. Mau begini.. mau begitu... Ingin meraih ini, ingin meraih itu... Sehingga bayang-bayang tentang pernikahan seolah masih begitu jauh dan tidak terpikirkan. Namun ada juga masanya tiba-tiba jadi galau sendiri. Saat teman-teman seumuran bukan lagi mengundang pernikahan, tapi sudah menyebar kabar aqiqahan anak kesekian. Begitu khawatir karena sudah dilambung kiri-kanan sama adik-adik junior. Hehehe.. Pernah tuh, ada jaman di mana lihat undangan pernikahan, yang ditanya bukan nama mempelainya, tapi... “Angkatan berapa tuh yang mau nikah?”. Hahaha... , bapernya kemana-mana qaqa...

Ada masa, di mana doa buat minta jodoh itu selalu jadi prioritas. Suka sok-sok cool pas perbincangan para jomblo menyerempet tentang masalah walimah, padahal dalam hati cenat cenut juga. Suka hanya senyam senyum gak jelas saat digoda para ummahat dan ditanya soal kriteria calon dan tetek bengeknya, padahal mupeng juga. Namun pada satu titik, tiba-tiba malah bertanya-tanya pada diri sendiri: Memangnya, seberapa besarkah keinginan itu? Memangnya, jika tak lagi sendiri semuanya akan jadi lebih baik?

Hingga akhirnya nasihat itu datang. Sesuatu yang membuat hati ini bukan hanya sekedar sibuk ber-baper-baper ria, namun mencoba merenung lebih dalam perihal keinginan untuk nikah.

Mungkin, memang sudah saatnya berhenti untuk menyombongkan diri. Berhenti untuk merasa bahwa kita masih cukup kuat untuk menopang segalanya sendiri dan belum butuh kepada sosok lain untuk mendampingi. Sebab bahkan dalam berdoa pun kita harus jujur pada diri sendiri. Jangan-jangan doa-doa itu masih belum benar-benar ikhlas, dan masih tersimpan kesombongan di dalamnya, serta belum merasa benar-benar butuh kepada Allah. Mungkin doa itu masih belum benar-benar dipanjatkan dengan keberserahan diri, terlalu terkesan mendikte Allah, seolah kita yang paling tahu tentang apa yang paling baik buat diri kita. Padahal tidak.

Dan nasihat itu pun menohok. Tepat sasaran dan terasa dalam sekali waktu itu. Jika diingat-ingat, memang terkadang kita seperti itu. Kita tanpa sadar berpikir bahwa Allah telah membuat kita begitu lama menunggu. Kita menilai diri kita sendiri sudah sangat siap, namun Allah tak kunjung mendatangkan dia yang dijanjikan. Padahal, kita minta yang terbaik, namun lupa bahwa diri kita pun bisa jadi belum cukup baik untuk dipertemukan dengan sosok yang baik itu. Nah.

Atau di sisi lain, kita nampak berdoa, nampak ingin menikah, namun dalam hati masih ada keraguan, dalam hati masih berpikir bahwa kita sebenarnya masih sangat mampu untuk sendiri saja. Jauh di lubuk hati, sebenarnya kita merasa belum benar-benar butuh.

Mungkin keinginan itu belum benar-benar ikhlas dan berada pada jalur yang benar. Sesederhana bahwa keinginan untuk menikah semata-mata karena kita mau menyempurnakan separuh agama, untuk bersama membangun ketakwaan demi menyempurnakan separuh yang lainnya. Bahwa kita ingin menikah untuk menegakkan sunnah agar menjadi bagian dari umat yang Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam cinta. Bahwa kita ingin menikah agar kelak dapat turut membesarkan generasi penerus yang akan menjaga dan memakmurkan bumi Allah. Bukan karena kita telah khawatir pada bilangan umur, atau karena malu pada kawan-kawan lain yang sudah duluan melempar senyum dari atas pelaminan. Bukan karena alasan-alasan itu.

Maka mempersiapkan diri dan meng-upgrade kualitas diri menjadi hal yang niscaya dalam masa penantian. Sebab begitu banyak hal yang masih dapat kita lakukan di masa-masa yang... trust me, sebahagia apapun pernikahan kita kelak, akan ada titik di mana kita akan rindu pada masa-masa lajang. Dan saya semakin amaze saat pengakuan itu kemudian datang dari seorang ukhti yang sebelum menikah dulu, saya tahu, sangat ingin sekali menikah. Saat kemudian menjalani masa pernikahan dengan suami yang baik dan telah dikaruniai anak yang lucu, suatu waktu pesan singkatnya mendarat di ponsel saya.

Dina-chan, saya kadang kangen dengan masa-masa jomblo...

Hmm...

Dan saya sendiri sempat terheran-heran. Dalam rentang waktu antara khitbah dengan hari akad nikah, saat kabar pernikahan saya masih disimpan dalam silent-mode, entah mengapa tiba-tiba saya mendapat banyak sekali nasihat yang bertema sama; tentang bagaimana memanfaatkan sebaik-baiknya masa-masa sebelum ditakdirkan punya pasangan. Beberapa orang yang belum tahu bahwa saya akan menikah dalam waktu dekat itu, entah mengapa tiba-tiba menasihatkan hal tersebut. Membuat saya menggumam pada diri sendiri; Ya ampun, kemarin-kemarin ane ngapain aje...

Maka setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing. Ada yang nampak santai, eh tau-tau sudah sebar undangan saja. Ada juga yang kelihatan ngebet, namun ternyata Allah masih menakdirkan ia sendirian. Ada pula yang memang nampaknya belum punya keinginan ke arah sana, tentu karena ia punya alasannya sendiri, dan kita tidak pernah berhak untuk menghukumi siapapun, apalagi jika kita tidak tahu the whole story. Pada intinya, toh masalah kemuliaan seseorang tidak serta merta dapat kita nilai dari apakah dia masih singel atau sudah double. Bukan pula dapat kita judge dari baik atau tidaknya pasangannya.

Bukankah Maryam binti Imran tidak pernah menikah namun ia adalah salah satu wanita penghulu surga? Bukankah Asiyah istri Fir’aun punya suami paling zalim sepanjang sejarah tapi ia sudah dijaminkan dengan istana di Jannah? Dan tidakkah kita tahu kabar tentang istri Nabi Nuh dan Nabi Luth yang bersuamikan para lelaki yang merupakan nabi Allah namun mereka tetap tak selamat dari azab?

Maka sudahlah, sebab tugas kita hanya taat. Dan selalu ada pos-pos ketaatan dalam setiap fase kehidupan kita. Selalu ada ladang-ladang pahala yang tersedia jika saja kita masih ingin mengisinya dengan syukur dan sabar di setiap hela napas. Berat? Ya iyalah, sebab balasannya adalah surga. Selalu akan ada cinta yang bisa kita sebar, kepada orang-orang terkasih yang ditakdirkan membersamai pada setiap rentang usia. So, baik saat kita masih sendiri, maupun di kala kelak Allah menakdirkan kita punya pasangan nanti; semoga selalu ada cinta. Cinta yang membawa kita pada keberserahan diri, dan mengantarkan kita untuk selalu berbaik sangka atas setiap yang Allah takdirkan. Semoga.

di antara derai hujan di akhir tahun 2015.

Selasa, 01 Desember 2015

151115

Harusnya para senior ini sudah memulangkankan kami. Di luar ruangan, senja pasti sudah merekah. Tapi, entah apa yang telah dilakukan oleh salah satu mahasiswa baru itu. Ia di posisikan di bagian tengah, dengan beberapa orang senior yang mengelilinginya, mengintimidasinya. Kami, para maba masih lengkap mengenakan seragam putih-hitam. Saya hanya menunduk, tidak ingin cari gara-gara. Demikian pula yang dilakukan kebanyakan maba lainnya di ruangan itu. 

Sepertinya dia dikerjain...” kudengar suara sesama maba di sampingku berbisik kepada yang di sampingnya, “mungkin dia ulang tahun...” lanjutnya. 

Dan memang ternyata benar. Drama kejutan ulang tahun itu menjadi penutup hari orientasi mahasiswa kami kala itu. Jika tak salah ingat, maba yang dikerjain itu sampai benar-benar menangis dijadikan bulan-bulanan senior. Sebuah kejadian yang mungkin tidak akan dia lupakan, sebagai penanda awal hari-hari kami di kampus merah. Dan, kejadian itu pula yang menjadi momentum awal saya mengenalnya. 

Di awal-awal masa perkuliahan, saya tidak terlalu dekat dengannya. Belakangan dia punya beberapa kawan dekat lainnya yang menjadi ‘teman jalan’-nya dalam banyak kesempatan. Kami pun terbagi di kelas yang berbeda, tersebab urutan NIM yang cukup jauh. Karena hal itu pula, rasanya saya jadi begitu jarang ditakdirkan satu kelompok praktikum dengannya di lab-lab yang kami lalui pada tahun-tahun yang panjang itu.

Yang saya tahu, dia terlahir kembar. Saudari kembarnya juga kuliah di kampus yang sama, di fakultas sebelah. Konon, tak jarang teman-teman seangkatan atau senior di fakultas yang salah menyapa kembarannya sebagai dirinya. Saat kemudian kembarannya itu berjilbab, tak lama, ia pun berjilbab.
Meski tidak begitu dekat, saya tetap sering berinteraksi dengannya. Apalagi sebab ia punya keingintahuan yang besar pada ilmu agama. Apalagi saat ia kemudian seringkali saya temui tengah berada di tengah majelis tarbiyah di mushala kampus. Pun saat kami ditakdirkan satu halaqah tahsinul qira’ah di masa berikutnya.  Dan perasaan bahagia itu selalu sama, rasa bahagia saat melihat saudari seiman semakin hari semakin dekat dengan jalan cahaya.

Hingga hari itupun tiba. Saat kemudian saya menangkap ada sesuatu yang berbeda dari sosoknya. Jilbab sesiku yang kemarin-kemarin selalu ia kenakan, kini berganti dengan jilbab panjang yang menutupi seluruh tubuhnya. Persis seperti yang saya kenakan!

Saya kemudian seolah merasakan deja vu seperti saat pertama kali menyaksikan salah seorang saudari kami –yang juga sefakultas, mengenakan jilbab panjangnya untuk pertama kalinya. Saya yang kala itu menjadi satu-satunya mahasiswi di angkatan 2007 yang berpenampilan seperti itu, tiba-tiba merasakan kebahagiaan yang membuncah. Sejak itu saya tahu, saya tidak sendiri lagi.
Dan perasaan bahagia itu selalu sama. Saat menyaksikan dirinya saat itu nampak begitu sumringah –meski masih ada sedikit kesan grogi, saat menggunakan jilbab panjangnya di hari pertama. Respon beberapa kawan yang nampak takjub juga mungkin yang membuat groginya itu. Tapi apapun itu, saya tetap merasa bahagia. Bahagia karena telah menjadi saksi sebuah metamorfosa ke arah kebaikan dari seorang saudari seperjuangan. Dan kami pun menjadi semakin akrab. Menjadi sering jalan bertiga dengan ukhti Ainun. Dan keberadaan para akhwat ini adalah sumber-sumber kebahagaiaan sekaligus sumber kekuatan dalam menjalani hari di kampus merah. Betapa manisnya ukhuwah fillah itu, sehingga mampu menegakkan yang layu dan menguatkan yang lemah.

Dan kami pun melakukan banyak hal bersama. Di kelas-kelas perkuliahan, di lab-lab yang panjang, makan nasi bungkus bersama di mushala, sesekali menikmati jus sore di kantin kampus sambil berbincang tentang apa saja, mengantri di toilet rektorat untuk berwudhu, shalat berjama’ah bersama, hingga ia pun begitu banyak membantu saya dalam penyelesaian penelitian di tugas akhir. Kami menjalani wisuda S1 bersama pula. Mendaftar pendidikan apoteker bersama, untuk kemudian kembali sekelas dan menjalani kuliahnya sama-sama. Hanya saja kami terpisah saat harus praktek kerja di apotek, namun itupun kami ditempatkan di apotek dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Sesekali ia muncul di ambang pintu apotek tempat saya magang dan saya akan tersenyum lebar menyambut kedatangannya. Penyelesaian program pendidikan apoteker itupun kami lewati bersama. Ujian sidang apoteker di hari yang sama. Hingga akhirnya menjalani wisuda profesi dan penyumpahan bersama-sama pula. Dan dalam panjangnya kebersamaan itu, sungguh saya telah berutang budi yang sangat banyak padanya. Utang budi yang entah dengan apa bisa saya lunasi, dan saya hanya dapat berdoa semoga Allah yang membalas semua itu dengan kebaikan yang banyak. Ukhtifillah, jazaakillahu khairan...

Dan saat masa perkuliahan berakhir, intensitas perjumpaan kami pun menjadi semakin jarang. Sesekali saya masih kerap kali menyapanya saat saya melintas di apotek tempatnya bekerja. Dalam pada itu, saya tahu ia punya banyak amanah. Di dunia kerja, di dunia dakwah, juga amanahnya di rumah. Seringkali saya berandai-andai sekiranya saya berada di posisinya, mungkin saya tak akan sanggup menjalani semua itu sebaik yang ia lakukan. Meski jarang berjumpa, namun kami kerap kali masih sering berkomunikasi lewat chat-messenger, ataupun saat ia lagi-lagi saya repotkan waktu ia menawarkan boncengan motornya pada saya. Saya selalu merindukan percakapan-percakapan kita sambil melaju di atas motor, ukhti..

Dalam perjalanan yang telah kita lalui, atau yang telah kau lalui, atau yang telah saya lalui, ada begitu banyak hal yang telah terjadi. Tidak akan terlupakan, hari di mana ibundamu berpulang kepada Allah dan justru saya yang menangis lebih kencang dalam pelukanmu. Saat di mana seharusnya saya yang menenangkanmu, nyatanya kau nampak lebih tenang. Saya akan selalu ingat, saat kita tak dapat memandang langsung ke masing-masing bola mata, dan hanya mampu berkomunikasi lewat deretan huruf, namun saya kerap berkaca-kaca saat sadar bahwa saya telah berbagi dengan orang yang tepat, dan mendapat nasihat serta penguatan darimu. Betapa saya mensyukuri semua itu. Dan dalam beberapa hal yang telah saya putuskan, kau menjadi orang yang telah memberikan support yang begitu besar bagi saya untuk menjalaninya. Jazakillah khairan...

Termasuk saat kemudian hari bahagia itu akan tiba. Waktu itu bulan Ramadan masih mengelilingi kita, namun kau masih saja menawarkan bantuan untuk menyebarkan beberapa undangan pernikahan saya, juga menjadi ‘juru bicara’ untuk mempublikasikannya pada teman-teman seangkatan. Di hari cahaya itu, kau datang dengan kado yang kemudian kubuka bungkusnya sambil tersenyum. Dan senyumku semakin lebar saat melihat wujudnya. Ukhti, kami langsung menggunakan hadiah darimu itu, bahkan membungkusnya dengan hati-hati saat packing dan membawanya serta hingga ke negeri Upin-Ipin. Hehe..

Lalu kemudian saat untukmu pun tiba. Terima kasih telah mempercayakan cerita perjalanan tentangnya sejak sangat awal hingga  hari akad itu datang.

Seorang sahabat saya, Fath Qarina, pernah menuliskan sebuah kutipan di salah satu media sosialnya. Isinya kira-kira begini: Setiap perempuan terlahir tiga kali. Pertama, saat ia dilahirkan oleh ibunya. Kedua, saat ia menjadi seorang istri dari suaminya. Ketiga, saat ia menjadi ibu bagi anaknya.

Dan pada tanggal cantik, 151115 itu, kau pun terlahir untuk kedua kalinya. Terlahir sebagai seorang istri dari seorang lelaki yang telah mengucap perjanjian agung kepada walimu, di hadapan para saksi, atas nama Allah Azza Wa Jalla. Sebuah kejadian yang akan menjadi pembeda akan banyak hal. Sebuah hari yang menjadi gerbang dari kehidupan baru dengan berbagai macam pernak-perniknya.
Lelaki itu, ukhti.. Telah mengambil sebuah tanggung jawab atas dirimu, dunia akhirat. Beban yang tak ringan yang kelak akan dihisab atasnya di hadapan Allah. Dan dirimu, kini dapat melihat dengan nyata surga atau nerakamu pada dirinya. Dan tentu, kau akan mengharapkan dengan ridhanya yang mendatangkan ridha Allah, ketaatanmu padanya dapat berbuah jannah.

Dan gerbang pernikahan itu sungguh sebuah pintu masuk menuju pembelajaran seumur hidup. Mungkin akan banyak teori yang kemarin-kemarin kita mengerti, namun kali ini baru akan benar-benar kita pahami. Mengapa agama kita menganjurkan lelaki memilih perempuan berdasarkan agamanya, bukan kecantikan, harta, atau nasabnya belaka? Mengapa seorang perempuan diminta untuk menerima ia yang baik akhlak dan agamanya, bukan melihat dari status sosial, pendidikan, atau panjangnya titel akademik yang ia punya? Ya, sebab memang ternyata hal itulah yang paling dapat menyelamatkan kita, dalam menjalani hari-hari kebersamaan itu.

Barakah yang kita harapkan, kerap kali bukanlah tentang banyaknya nominal atau berlimpahnya kemewahan dan kenikmatan dunia. Ia nyatanya berada pada hati yang qana’ah dan senantiasa yakin bahwa rezeki Allah tidak akan melenceng selama kita menempuh ikhtiar untuk menjemputnya dengan sebaik-baik cara. Ketenangan yang kita dambakan, tidak melulu hadir dalam bentuk pelukan mesra atau janji-janji manis yang terucap, namun saat kita saling menguatkan dan mengingatkan, bahwa hanya pada penjagaan Allah saja sepatutnya kita bersandar.

Maka cintailah ia karena Allah, ukhti. Hingga engkau ridha pada tiap kelebihan dan kekurangannya, sebab keduanya sejatinya adalah nikmat sekaligus ujian di saat yang bersamaan. Sementara kita tidak lebih dari manusia yang telah diajarkan untuk senantiasa merindukan surga, dan segala berat di dunia ini hanya sementara, hanya sebentar saja.

Semoga Allah senantiasa melimpahkan keberkahan dalam kehidupan kalian. Semoga Allah selalu menuntun kita semua di jalan yang lurus, hingga pernikahan menjadi ladang tempat kita, berakar, tumbuh, dan mekar. Insya Allah...

*tentang ukhti Tina Syifaa Agustina, teriring doa yang semoga tak pernah terlambat untuk hari cahayanya pada 15115; Barakallahu lakuma wa baraka ‘alaikuma wa jama’a bainakuma fii khairin.. Uhibbuki fillah, ukhti...