Selasa, 01 Desember 2015

151115

Harusnya para senior ini sudah memulangkankan kami. Di luar ruangan, senja pasti sudah merekah. Tapi, entah apa yang telah dilakukan oleh salah satu mahasiswa baru itu. Ia di posisikan di bagian tengah, dengan beberapa orang senior yang mengelilinginya, mengintimidasinya. Kami, para maba masih lengkap mengenakan seragam putih-hitam. Saya hanya menunduk, tidak ingin cari gara-gara. Demikian pula yang dilakukan kebanyakan maba lainnya di ruangan itu. 

Sepertinya dia dikerjain...” kudengar suara sesama maba di sampingku berbisik kepada yang di sampingnya, “mungkin dia ulang tahun...” lanjutnya. 

Dan memang ternyata benar. Drama kejutan ulang tahun itu menjadi penutup hari orientasi mahasiswa kami kala itu. Jika tak salah ingat, maba yang dikerjain itu sampai benar-benar menangis dijadikan bulan-bulanan senior. Sebuah kejadian yang mungkin tidak akan dia lupakan, sebagai penanda awal hari-hari kami di kampus merah. Dan, kejadian itu pula yang menjadi momentum awal saya mengenalnya. 

Di awal-awal masa perkuliahan, saya tidak terlalu dekat dengannya. Belakangan dia punya beberapa kawan dekat lainnya yang menjadi ‘teman jalan’-nya dalam banyak kesempatan. Kami pun terbagi di kelas yang berbeda, tersebab urutan NIM yang cukup jauh. Karena hal itu pula, rasanya saya jadi begitu jarang ditakdirkan satu kelompok praktikum dengannya di lab-lab yang kami lalui pada tahun-tahun yang panjang itu.

Yang saya tahu, dia terlahir kembar. Saudari kembarnya juga kuliah di kampus yang sama, di fakultas sebelah. Konon, tak jarang teman-teman seangkatan atau senior di fakultas yang salah menyapa kembarannya sebagai dirinya. Saat kemudian kembarannya itu berjilbab, tak lama, ia pun berjilbab.
Meski tidak begitu dekat, saya tetap sering berinteraksi dengannya. Apalagi sebab ia punya keingintahuan yang besar pada ilmu agama. Apalagi saat ia kemudian seringkali saya temui tengah berada di tengah majelis tarbiyah di mushala kampus. Pun saat kami ditakdirkan satu halaqah tahsinul qira’ah di masa berikutnya.  Dan perasaan bahagia itu selalu sama, rasa bahagia saat melihat saudari seiman semakin hari semakin dekat dengan jalan cahaya.

Hingga hari itupun tiba. Saat kemudian saya menangkap ada sesuatu yang berbeda dari sosoknya. Jilbab sesiku yang kemarin-kemarin selalu ia kenakan, kini berganti dengan jilbab panjang yang menutupi seluruh tubuhnya. Persis seperti yang saya kenakan!

Saya kemudian seolah merasakan deja vu seperti saat pertama kali menyaksikan salah seorang saudari kami –yang juga sefakultas, mengenakan jilbab panjangnya untuk pertama kalinya. Saya yang kala itu menjadi satu-satunya mahasiswi di angkatan 2007 yang berpenampilan seperti itu, tiba-tiba merasakan kebahagiaan yang membuncah. Sejak itu saya tahu, saya tidak sendiri lagi.
Dan perasaan bahagia itu selalu sama. Saat menyaksikan dirinya saat itu nampak begitu sumringah –meski masih ada sedikit kesan grogi, saat menggunakan jilbab panjangnya di hari pertama. Respon beberapa kawan yang nampak takjub juga mungkin yang membuat groginya itu. Tapi apapun itu, saya tetap merasa bahagia. Bahagia karena telah menjadi saksi sebuah metamorfosa ke arah kebaikan dari seorang saudari seperjuangan. Dan kami pun menjadi semakin akrab. Menjadi sering jalan bertiga dengan ukhti Ainun. Dan keberadaan para akhwat ini adalah sumber-sumber kebahagaiaan sekaligus sumber kekuatan dalam menjalani hari di kampus merah. Betapa manisnya ukhuwah fillah itu, sehingga mampu menegakkan yang layu dan menguatkan yang lemah.

Dan kami pun melakukan banyak hal bersama. Di kelas-kelas perkuliahan, di lab-lab yang panjang, makan nasi bungkus bersama di mushala, sesekali menikmati jus sore di kantin kampus sambil berbincang tentang apa saja, mengantri di toilet rektorat untuk berwudhu, shalat berjama’ah bersama, hingga ia pun begitu banyak membantu saya dalam penyelesaian penelitian di tugas akhir. Kami menjalani wisuda S1 bersama pula. Mendaftar pendidikan apoteker bersama, untuk kemudian kembali sekelas dan menjalani kuliahnya sama-sama. Hanya saja kami terpisah saat harus praktek kerja di apotek, namun itupun kami ditempatkan di apotek dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Sesekali ia muncul di ambang pintu apotek tempat saya magang dan saya akan tersenyum lebar menyambut kedatangannya. Penyelesaian program pendidikan apoteker itupun kami lewati bersama. Ujian sidang apoteker di hari yang sama. Hingga akhirnya menjalani wisuda profesi dan penyumpahan bersama-sama pula. Dan dalam panjangnya kebersamaan itu, sungguh saya telah berutang budi yang sangat banyak padanya. Utang budi yang entah dengan apa bisa saya lunasi, dan saya hanya dapat berdoa semoga Allah yang membalas semua itu dengan kebaikan yang banyak. Ukhtifillah, jazaakillahu khairan...

Dan saat masa perkuliahan berakhir, intensitas perjumpaan kami pun menjadi semakin jarang. Sesekali saya masih kerap kali menyapanya saat saya melintas di apotek tempatnya bekerja. Dalam pada itu, saya tahu ia punya banyak amanah. Di dunia kerja, di dunia dakwah, juga amanahnya di rumah. Seringkali saya berandai-andai sekiranya saya berada di posisinya, mungkin saya tak akan sanggup menjalani semua itu sebaik yang ia lakukan. Meski jarang berjumpa, namun kami kerap kali masih sering berkomunikasi lewat chat-messenger, ataupun saat ia lagi-lagi saya repotkan waktu ia menawarkan boncengan motornya pada saya. Saya selalu merindukan percakapan-percakapan kita sambil melaju di atas motor, ukhti..

Dalam perjalanan yang telah kita lalui, atau yang telah kau lalui, atau yang telah saya lalui, ada begitu banyak hal yang telah terjadi. Tidak akan terlupakan, hari di mana ibundamu berpulang kepada Allah dan justru saya yang menangis lebih kencang dalam pelukanmu. Saat di mana seharusnya saya yang menenangkanmu, nyatanya kau nampak lebih tenang. Saya akan selalu ingat, saat kita tak dapat memandang langsung ke masing-masing bola mata, dan hanya mampu berkomunikasi lewat deretan huruf, namun saya kerap berkaca-kaca saat sadar bahwa saya telah berbagi dengan orang yang tepat, dan mendapat nasihat serta penguatan darimu. Betapa saya mensyukuri semua itu. Dan dalam beberapa hal yang telah saya putuskan, kau menjadi orang yang telah memberikan support yang begitu besar bagi saya untuk menjalaninya. Jazakillah khairan...

Termasuk saat kemudian hari bahagia itu akan tiba. Waktu itu bulan Ramadan masih mengelilingi kita, namun kau masih saja menawarkan bantuan untuk menyebarkan beberapa undangan pernikahan saya, juga menjadi ‘juru bicara’ untuk mempublikasikannya pada teman-teman seangkatan. Di hari cahaya itu, kau datang dengan kado yang kemudian kubuka bungkusnya sambil tersenyum. Dan senyumku semakin lebar saat melihat wujudnya. Ukhti, kami langsung menggunakan hadiah darimu itu, bahkan membungkusnya dengan hati-hati saat packing dan membawanya serta hingga ke negeri Upin-Ipin. Hehe..

Lalu kemudian saat untukmu pun tiba. Terima kasih telah mempercayakan cerita perjalanan tentangnya sejak sangat awal hingga  hari akad itu datang.

Seorang sahabat saya, Fath Qarina, pernah menuliskan sebuah kutipan di salah satu media sosialnya. Isinya kira-kira begini: Setiap perempuan terlahir tiga kali. Pertama, saat ia dilahirkan oleh ibunya. Kedua, saat ia menjadi seorang istri dari suaminya. Ketiga, saat ia menjadi ibu bagi anaknya.

Dan pada tanggal cantik, 151115 itu, kau pun terlahir untuk kedua kalinya. Terlahir sebagai seorang istri dari seorang lelaki yang telah mengucap perjanjian agung kepada walimu, di hadapan para saksi, atas nama Allah Azza Wa Jalla. Sebuah kejadian yang akan menjadi pembeda akan banyak hal. Sebuah hari yang menjadi gerbang dari kehidupan baru dengan berbagai macam pernak-perniknya.
Lelaki itu, ukhti.. Telah mengambil sebuah tanggung jawab atas dirimu, dunia akhirat. Beban yang tak ringan yang kelak akan dihisab atasnya di hadapan Allah. Dan dirimu, kini dapat melihat dengan nyata surga atau nerakamu pada dirinya. Dan tentu, kau akan mengharapkan dengan ridhanya yang mendatangkan ridha Allah, ketaatanmu padanya dapat berbuah jannah.

Dan gerbang pernikahan itu sungguh sebuah pintu masuk menuju pembelajaran seumur hidup. Mungkin akan banyak teori yang kemarin-kemarin kita mengerti, namun kali ini baru akan benar-benar kita pahami. Mengapa agama kita menganjurkan lelaki memilih perempuan berdasarkan agamanya, bukan kecantikan, harta, atau nasabnya belaka? Mengapa seorang perempuan diminta untuk menerima ia yang baik akhlak dan agamanya, bukan melihat dari status sosial, pendidikan, atau panjangnya titel akademik yang ia punya? Ya, sebab memang ternyata hal itulah yang paling dapat menyelamatkan kita, dalam menjalani hari-hari kebersamaan itu.

Barakah yang kita harapkan, kerap kali bukanlah tentang banyaknya nominal atau berlimpahnya kemewahan dan kenikmatan dunia. Ia nyatanya berada pada hati yang qana’ah dan senantiasa yakin bahwa rezeki Allah tidak akan melenceng selama kita menempuh ikhtiar untuk menjemputnya dengan sebaik-baik cara. Ketenangan yang kita dambakan, tidak melulu hadir dalam bentuk pelukan mesra atau janji-janji manis yang terucap, namun saat kita saling menguatkan dan mengingatkan, bahwa hanya pada penjagaan Allah saja sepatutnya kita bersandar.

Maka cintailah ia karena Allah, ukhti. Hingga engkau ridha pada tiap kelebihan dan kekurangannya, sebab keduanya sejatinya adalah nikmat sekaligus ujian di saat yang bersamaan. Sementara kita tidak lebih dari manusia yang telah diajarkan untuk senantiasa merindukan surga, dan segala berat di dunia ini hanya sementara, hanya sebentar saja.

Semoga Allah senantiasa melimpahkan keberkahan dalam kehidupan kalian. Semoga Allah selalu menuntun kita semua di jalan yang lurus, hingga pernikahan menjadi ladang tempat kita, berakar, tumbuh, dan mekar. Insya Allah...

*tentang ukhti Tina Syifaa Agustina, teriring doa yang semoga tak pernah terlambat untuk hari cahayanya pada 15115; Barakallahu lakuma wa baraka ‘alaikuma wa jama’a bainakuma fii khairin.. Uhibbuki fillah, ukhti...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)