Harusnya para senior ini sudah memulangkankan kami. Di luar ruangan, senja
pasti sudah merekah. Tapi, entah apa yang telah dilakukan oleh salah satu
mahasiswa baru itu. Ia di posisikan di bagian tengah, dengan beberapa orang
senior yang mengelilinginya, mengintimidasinya. Kami, para maba masih lengkap
mengenakan seragam putih-hitam. Saya hanya menunduk, tidak ingin cari
gara-gara. Demikian pula yang dilakukan kebanyakan maba lainnya di ruangan itu.
“Sepertinya dia dikerjain...”
kudengar suara sesama maba di sampingku berbisik kepada yang di sampingnya, “mungkin dia ulang tahun...” lanjutnya.
Dan memang ternyata benar. Drama kejutan ulang tahun itu menjadi penutup
hari orientasi mahasiswa kami kala itu. Jika tak salah ingat, maba yang
dikerjain itu sampai benar-benar menangis dijadikan bulan-bulanan senior.
Sebuah kejadian yang mungkin tidak akan dia lupakan, sebagai penanda awal
hari-hari kami di kampus merah. Dan, kejadian itu pula yang menjadi momentum
awal saya mengenalnya.
Di awal-awal masa perkuliahan, saya tidak terlalu dekat dengannya.
Belakangan dia punya beberapa kawan dekat lainnya yang menjadi ‘teman
jalan’-nya dalam banyak kesempatan. Kami pun terbagi di kelas yang berbeda,
tersebab urutan NIM yang cukup jauh. Karena hal itu pula, rasanya saya jadi
begitu jarang ditakdirkan satu kelompok praktikum dengannya di lab-lab yang
kami lalui pada tahun-tahun yang panjang itu.
Yang saya tahu, dia terlahir kembar. Saudari kembarnya juga kuliah di
kampus yang sama, di fakultas sebelah. Konon, tak jarang teman-teman seangkatan
atau senior di fakultas yang salah menyapa kembarannya sebagai dirinya. Saat
kemudian kembarannya itu berjilbab, tak lama, ia pun berjilbab.
Meski tidak begitu dekat, saya tetap sering berinteraksi dengannya. Apalagi
sebab ia punya keingintahuan yang besar pada ilmu agama. Apalagi saat ia
kemudian seringkali saya temui tengah berada di tengah majelis tarbiyah di
mushala kampus. Pun saat kami ditakdirkan satu halaqah tahsinul qira’ah di masa
berikutnya. Dan perasaan bahagia itu
selalu sama, rasa bahagia saat melihat saudari seiman semakin hari semakin
dekat dengan jalan cahaya.
Hingga hari itupun tiba. Saat kemudian saya menangkap ada sesuatu yang
berbeda dari sosoknya. Jilbab sesiku yang kemarin-kemarin selalu ia kenakan,
kini berganti dengan jilbab panjang yang menutupi seluruh tubuhnya. Persis
seperti yang saya kenakan!
Saya kemudian seolah merasakan deja
vu seperti saat pertama kali menyaksikan salah seorang saudari kami –yang
juga sefakultas, mengenakan jilbab panjangnya untuk pertama kalinya. Saya yang
kala itu menjadi satu-satunya mahasiswi di angkatan 2007 yang berpenampilan
seperti itu, tiba-tiba merasakan kebahagiaan yang membuncah. Sejak itu saya
tahu, saya tidak sendiri lagi.
Dan perasaan bahagia itu selalu sama. Saat menyaksikan dirinya saat itu
nampak begitu sumringah –meski masih ada sedikit kesan grogi, saat menggunakan
jilbab panjangnya di hari pertama. Respon beberapa kawan yang nampak takjub
juga mungkin yang membuat groginya itu. Tapi apapun itu, saya tetap merasa bahagia.
Bahagia karena telah menjadi saksi sebuah metamorfosa ke arah kebaikan dari
seorang saudari seperjuangan. Dan kami pun menjadi semakin akrab. Menjadi
sering jalan bertiga dengan ukhti Ainun. Dan keberadaan para akhwat ini adalah
sumber-sumber kebahagaiaan sekaligus sumber kekuatan dalam menjalani hari di
kampus merah. Betapa manisnya ukhuwah fillah itu, sehingga mampu menegakkan
yang layu dan menguatkan yang lemah.
Dan kami pun melakukan banyak hal bersama. Di kelas-kelas perkuliahan, di
lab-lab yang panjang, makan nasi bungkus bersama di mushala, sesekali menikmati
jus sore di kantin kampus sambil berbincang tentang apa saja, mengantri di
toilet rektorat untuk berwudhu, shalat berjama’ah bersama, hingga ia pun begitu
banyak membantu saya dalam penyelesaian penelitian di tugas akhir. Kami
menjalani wisuda S1 bersama pula. Mendaftar pendidikan apoteker bersama, untuk
kemudian kembali sekelas dan menjalani kuliahnya sama-sama. Hanya saja kami
terpisah saat harus praktek kerja di apotek, namun itupun kami ditempatkan di
apotek dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Sesekali ia muncul di ambang pintu
apotek tempat saya magang dan saya akan tersenyum lebar menyambut
kedatangannya. Penyelesaian program pendidikan apoteker itupun kami lewati
bersama. Ujian sidang apoteker di hari yang sama. Hingga akhirnya menjalani
wisuda profesi dan penyumpahan bersama-sama pula. Dan dalam panjangnya
kebersamaan itu, sungguh saya telah berutang budi yang sangat banyak padanya.
Utang budi yang entah dengan apa bisa saya lunasi, dan saya hanya dapat berdoa
semoga Allah yang membalas semua itu dengan kebaikan yang banyak. Ukhtifillah, jazaakillahu khairan...
Dan saat masa perkuliahan berakhir, intensitas perjumpaan kami pun menjadi
semakin jarang. Sesekali saya masih kerap kali menyapanya saat saya melintas di
apotek tempatnya bekerja. Dalam pada itu, saya tahu ia punya banyak amanah. Di
dunia kerja, di dunia dakwah, juga amanahnya di rumah. Seringkali saya
berandai-andai sekiranya saya berada di posisinya, mungkin saya tak akan sanggup
menjalani semua itu sebaik yang ia lakukan. Meski jarang berjumpa, namun kami
kerap kali masih sering berkomunikasi lewat chat-messenger,
ataupun saat ia lagi-lagi saya repotkan waktu ia menawarkan boncengan motornya
pada saya. Saya selalu merindukan percakapan-percakapan kita sambil melaju di
atas motor, ukhti..
Dalam perjalanan yang telah kita lalui, atau yang telah kau lalui, atau
yang telah saya lalui, ada begitu banyak hal yang telah terjadi. Tidak akan
terlupakan, hari di mana ibundamu berpulang kepada Allah dan justru saya yang
menangis lebih kencang dalam pelukanmu. Saat di mana seharusnya saya yang
menenangkanmu, nyatanya kau nampak lebih tenang. Saya akan selalu ingat, saat
kita tak dapat memandang langsung ke masing-masing bola mata, dan hanya mampu
berkomunikasi lewat deretan huruf, namun saya kerap berkaca-kaca saat sadar
bahwa saya telah berbagi dengan orang yang tepat, dan mendapat nasihat serta
penguatan darimu. Betapa saya mensyukuri semua itu. Dan dalam beberapa hal yang
telah saya putuskan, kau menjadi orang yang telah memberikan support yang begitu besar bagi saya
untuk menjalaninya. Jazakillah khairan...
Termasuk saat kemudian hari bahagia itu akan tiba. Waktu itu bulan Ramadan
masih mengelilingi kita, namun kau masih saja menawarkan bantuan untuk
menyebarkan beberapa undangan pernikahan saya, juga menjadi ‘juru bicara’ untuk
mempublikasikannya pada teman-teman seangkatan. Di hari cahaya itu, kau datang dengan
kado yang kemudian kubuka bungkusnya sambil tersenyum. Dan senyumku semakin
lebar saat melihat wujudnya. Ukhti, kami langsung menggunakan hadiah darimu
itu, bahkan membungkusnya dengan hati-hati saat packing dan membawanya serta hingga ke negeri Upin-Ipin. Hehe..
Lalu kemudian saat untukmu pun tiba. Terima kasih telah mempercayakan
cerita perjalanan tentangnya sejak sangat awal hingga hari akad itu datang.
Seorang sahabat saya, Fath Qarina, pernah menuliskan sebuah kutipan di
salah satu media sosialnya. Isinya kira-kira begini: Setiap perempuan terlahir
tiga kali. Pertama, saat ia dilahirkan oleh ibunya. Kedua, saat ia menjadi
seorang istri dari suaminya. Ketiga, saat ia menjadi ibu bagi anaknya.
Dan pada tanggal cantik, 151115 itu, kau pun terlahir untuk kedua kalinya.
Terlahir sebagai seorang istri dari seorang lelaki yang telah mengucap
perjanjian agung kepada walimu, di hadapan para saksi, atas nama Allah Azza Wa
Jalla. Sebuah kejadian yang akan menjadi pembeda akan banyak hal. Sebuah hari
yang menjadi gerbang dari kehidupan baru dengan berbagai macam
pernak-perniknya.
Lelaki itu, ukhti.. Telah mengambil sebuah tanggung jawab atas dirimu,
dunia akhirat. Beban yang tak ringan yang kelak akan dihisab atasnya di hadapan
Allah. Dan dirimu, kini dapat melihat dengan nyata surga atau nerakamu pada
dirinya. Dan tentu, kau akan mengharapkan dengan ridhanya yang mendatangkan
ridha Allah, ketaatanmu padanya dapat berbuah jannah.
Dan gerbang pernikahan itu sungguh sebuah pintu masuk menuju pembelajaran
seumur hidup. Mungkin akan banyak teori yang kemarin-kemarin kita mengerti,
namun kali ini baru akan benar-benar kita pahami. Mengapa agama kita
menganjurkan lelaki memilih perempuan berdasarkan agamanya, bukan kecantikan,
harta, atau nasabnya belaka? Mengapa seorang perempuan diminta untuk menerima
ia yang baik akhlak dan agamanya, bukan melihat dari status sosial, pendidikan,
atau panjangnya titel akademik yang ia punya? Ya, sebab memang ternyata hal
itulah yang paling dapat menyelamatkan kita, dalam menjalani hari-hari
kebersamaan itu.
Barakah yang kita harapkan, kerap kali bukanlah tentang banyaknya nominal atau
berlimpahnya kemewahan dan kenikmatan dunia. Ia nyatanya berada pada hati yang
qana’ah dan senantiasa yakin bahwa rezeki Allah tidak akan melenceng selama
kita menempuh ikhtiar untuk menjemputnya dengan sebaik-baik cara. Ketenangan
yang kita dambakan, tidak melulu hadir dalam bentuk pelukan mesra atau
janji-janji manis yang terucap, namun saat kita saling menguatkan dan
mengingatkan, bahwa hanya pada penjagaan Allah saja sepatutnya kita bersandar.
Maka cintailah ia karena Allah, ukhti. Hingga engkau ridha pada tiap
kelebihan dan kekurangannya, sebab keduanya sejatinya adalah nikmat sekaligus
ujian di saat yang bersamaan. Sementara kita tidak lebih dari manusia yang
telah diajarkan untuk senantiasa merindukan surga, dan segala berat di dunia
ini hanya sementara, hanya sebentar saja.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan keberkahan dalam kehidupan kalian.
Semoga Allah selalu menuntun kita semua di jalan yang lurus, hingga pernikahan
menjadi ladang tempat kita, berakar, tumbuh, dan mekar. Insya Allah...
*tentang ukhti Tina Syifaa
Agustina, teriring doa yang semoga tak pernah terlambat untuk hari cahayanya
pada 15115; Barakallahu lakuma wa baraka ‘alaikuma wa jama’a bainakuma fii
khairin.. Uhibbuki fillah, ukhti...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)