Saya juga kaget mengapa
respon mereka bisa jadi sekaget itu. Ini tentang sebuah kabar yang saya bawa
beberapa waktu sebelum Agustus menyapa.
“Kok bisa sih, Din...” saya membayangkan cewek yang selalu ceria itu tengah melonjak heboh sambil
mengetikkan deretan kalimat itu kepada saya dalam sebuah kesempatan chat via BBM. Ditanya seperti itu, saya
sempat tertegun dan heran beberapa saat. Kok
bisa, gimana? Memangnya seaneh itukah kabar ini?
“Maksudku toh, kau itu tidak kelihatan seperti orang yang sudah mau
menikah. Kabar-kabar yang kudengar tentang kau kebanyakan tentang kesibukanmu
dengan kegiatan-kegiatan macam-macam. Urus majalah-lah... terbitkan buku-lah..
terlibat di kegiatan ini-itu lah... Kok tiba-tiba sekarang kau bilang kalau kau
mau nikah dalam waktu dekat???” . Ia masih heboh. Ucha, sohib saya sejak jaman SD dan terus bersama hingga
SMA itu memang ceplas-ceplos. Kami tidak lagi satu tempat belajar sejak kuliah,
namun sesekali masih sering berkomunikasi dan kadang bertemu dalam event ngumpul-ngumpul alumni.
Selanjutnya, chatting kami pun berlanjut dengan
jawaban-jawaban saya atas pertanyaan-pertanyaannya. Dari yang paling masuk akal
sampai yang membuat saya tertawa-tertawa sendiri sambil memandangi layar
ponsel. Meski begitu, pada akhirnya saya tahu, Ucha pun turut bahagia atas
kabar bahagia itu.
Respon yang nyaris serupa
juga saya dapatkan saat woro-woro tentang rencana pernikahan di grup chat Pyfor Rangers yang berisi
sahabat-sahabat karib dari jaman SMP. Meski sejak kuliah kami terpisah satu
sama lain, tapi kami minimal akan ngumpul setahun sekali pada moment pasca hari
raya, dan membicarakan tentang apa saja. Sudah saling mengenal sejak jaman
pertama kali puber hingga kemudian berusia dewasa seperti sekarang membuat kami
sudah saling tahu tentang kepribadian masing-masing. Tidak heran jika mereka
pun kaget; Dina, yang jangankan pacaran,
ditelpon sama teman sekelas yang cowok saja, langsung dingambekin sama
bapaknya. Kok bisa, malah dia yang paling pertama menikah di antara kita
berlima? Mungkin, begitu dalam pikiran mereka. Tapi setelah ditanya ini-itu
dan sesekali juga di-bully di grup
*huhuhu*, toh mereka pun turut bahagia dan ikut excited mendengar berita yang saya bawa.
Mengingat-ingat kembali
masa-masa sebelum menikah, kadang membawa nuansa tersendiri bagi saya. Ada masa
di mana rasanya begitu bersemangat merancang mimpi-mimpi masa depan dengan isi
otak sendiri. Mau begini.. mau begitu... Ingin meraih ini, ingin meraih itu...
Sehingga bayang-bayang tentang pernikahan seolah masih begitu jauh dan tidak
terpikirkan. Namun ada juga masanya tiba-tiba jadi galau sendiri. Saat
teman-teman seumuran bukan lagi mengundang pernikahan, tapi sudah menyebar
kabar aqiqahan anak kesekian. Begitu khawatir karena sudah dilambung kiri-kanan
sama adik-adik junior. Hehehe..
Pernah tuh, ada jaman di mana lihat undangan pernikahan, yang ditanya bukan
nama mempelainya, tapi... “Angkatan
berapa tuh yang mau nikah?”. Hahaha... , bapernya kemana-mana qaqa...
Ada masa, di mana doa buat
minta jodoh itu selalu jadi prioritas. Suka sok-sok cool pas perbincangan para jomblo menyerempet tentang masalah
walimah, padahal dalam hati cenat cenut juga. Suka hanya senyam senyum gak
jelas saat digoda para ummahat dan
ditanya soal kriteria calon dan tetek bengeknya, padahal mupeng juga. Namun
pada satu titik, tiba-tiba malah bertanya-tanya pada diri sendiri: Memangnya, seberapa besarkah keinginan itu?
Memangnya, jika tak lagi sendiri semuanya akan jadi lebih baik?
Hingga akhirnya nasihat itu
datang. Sesuatu yang membuat hati ini bukan hanya sekedar sibuk ber-baper-baper
ria, namun mencoba merenung lebih dalam perihal keinginan untuk nikah.
“Mungkin, memang sudah saatnya berhenti untuk menyombongkan diri.
Berhenti untuk merasa bahwa kita masih cukup kuat untuk menopang segalanya
sendiri dan belum butuh kepada sosok lain untuk mendampingi. Sebab bahkan dalam
berdoa pun kita harus jujur pada diri sendiri. Jangan-jangan doa-doa itu masih
belum benar-benar ikhlas, dan masih tersimpan kesombongan di dalamnya, serta
belum merasa benar-benar butuh kepada Allah. Mungkin doa itu masih belum
benar-benar dipanjatkan dengan keberserahan diri, terlalu terkesan mendikte
Allah, seolah kita yang paling tahu tentang apa yang paling baik buat diri
kita. Padahal tidak.”
Dan nasihat itu pun
menohok. Tepat sasaran dan terasa dalam sekali waktu itu. Jika diingat-ingat,
memang terkadang kita seperti itu. Kita tanpa sadar berpikir bahwa Allah telah
membuat kita begitu lama menunggu. Kita menilai diri kita sendiri sudah sangat
siap, namun Allah tak kunjung mendatangkan dia yang dijanjikan. Padahal, kita
minta yang terbaik, namun lupa bahwa diri kita pun bisa jadi belum cukup baik
untuk dipertemukan dengan sosok yang baik itu. Nah.
Atau di sisi lain, kita
nampak berdoa, nampak ingin menikah, namun dalam hati masih ada keraguan, dalam
hati masih berpikir bahwa kita sebenarnya masih sangat mampu untuk sendiri
saja. Jauh di lubuk hati, sebenarnya kita merasa belum benar-benar butuh.
Mungkin keinginan itu belum
benar-benar ikhlas dan berada pada jalur yang benar. Sesederhana bahwa
keinginan untuk menikah semata-mata karena kita mau menyempurnakan separuh
agama, untuk bersama membangun ketakwaan demi menyempurnakan separuh yang
lainnya. Bahwa kita ingin menikah untuk menegakkan sunnah agar menjadi bagian
dari umat yang Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam cinta. Bahwa kita ingin
menikah agar kelak dapat turut membesarkan generasi penerus yang akan menjaga
dan memakmurkan bumi Allah. Bukan karena kita telah khawatir pada bilangan
umur, atau karena malu pada kawan-kawan lain yang sudah duluan melempar senyum
dari atas pelaminan. Bukan karena alasan-alasan itu.
Maka mempersiapkan diri dan
meng-upgrade kualitas diri menjadi
hal yang niscaya dalam masa penantian. Sebab begitu banyak hal yang masih dapat
kita lakukan di masa-masa yang... trust
me, sebahagia apapun pernikahan kita kelak, akan ada titik di mana kita
akan rindu pada masa-masa lajang. Dan saya semakin amaze saat pengakuan itu kemudian datang dari seorang ukhti yang
sebelum menikah dulu, saya tahu, sangat ingin sekali menikah. Saat kemudian
menjalani masa pernikahan dengan suami yang baik dan telah dikaruniai anak yang
lucu, suatu waktu pesan singkatnya mendarat di ponsel saya.
“Dina-chan, saya kadang kangen dengan masa-masa jomblo...”
Hmm...
Dan saya sendiri sempat
terheran-heran. Dalam rentang waktu antara khitbah
dengan hari akad nikah, saat kabar pernikahan saya masih disimpan dalam silent-mode, entah mengapa tiba-tiba
saya mendapat banyak sekali nasihat yang bertema sama; tentang bagaimana
memanfaatkan sebaik-baiknya masa-masa sebelum ditakdirkan punya pasangan.
Beberapa orang yang belum tahu bahwa saya akan menikah dalam waktu dekat itu,
entah mengapa tiba-tiba menasihatkan hal tersebut. Membuat saya menggumam pada
diri sendiri; Ya ampun, kemarin-kemarin
ane ngapain aje...
Maka setiap orang punya
jalan hidupnya masing-masing. Ada yang nampak santai, eh tau-tau sudah sebar
undangan saja. Ada juga yang kelihatan ngebet, namun ternyata Allah masih
menakdirkan ia sendirian. Ada pula yang memang nampaknya belum punya keinginan
ke arah sana, tentu karena ia punya alasannya sendiri, dan kita tidak pernah
berhak untuk menghukumi siapapun, apalagi jika kita tidak tahu the whole story. Pada intinya, toh
masalah kemuliaan seseorang tidak serta merta dapat kita nilai dari apakah dia
masih singel atau sudah double. Bukan pula dapat kita judge dari baik atau tidaknya
pasangannya.
Bukankah Maryam binti Imran
tidak pernah menikah namun ia adalah salah satu wanita penghulu surga? Bukankah
Asiyah istri Fir’aun punya suami paling zalim sepanjang sejarah tapi ia sudah
dijaminkan dengan istana di Jannah? Dan tidakkah kita tahu kabar tentang istri
Nabi Nuh dan Nabi Luth yang bersuamikan para lelaki yang merupakan nabi Allah
namun mereka tetap tak selamat dari azab?
Maka sudahlah, sebab tugas
kita hanya taat. Dan selalu ada pos-pos ketaatan dalam setiap fase kehidupan
kita. Selalu ada ladang-ladang pahala yang tersedia jika saja kita masih ingin
mengisinya dengan syukur dan sabar di setiap hela napas. Berat? Ya iyalah,
sebab balasannya adalah surga. Selalu akan ada cinta yang bisa kita sebar,
kepada orang-orang terkasih yang ditakdirkan membersamai pada setiap rentang
usia. So, baik saat kita masih sendiri, maupun di kala kelak Allah menakdirkan
kita punya pasangan nanti; semoga selalu ada cinta. Cinta yang membawa kita
pada keberserahan diri, dan mengantarkan kita untuk selalu berbaik sangka atas
setiap yang Allah takdirkan. Semoga.
di antara derai hujan di
akhir tahun 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)