Senin, 21 Desember 2015

Semoga Selalu Ada CINTA

Saya juga kaget mengapa respon mereka bisa jadi sekaget itu. Ini tentang sebuah kabar yang saya bawa beberapa waktu sebelum Agustus menyapa.

“Kok bisa sih, Din...” saya membayangkan cewek yang selalu ceria itu tengah melonjak heboh sambil mengetikkan deretan kalimat itu kepada saya dalam sebuah kesempatan chat via BBM. Ditanya seperti itu, saya sempat tertegun dan heran beberapa saat. Kok bisa, gimana? Memangnya seaneh itukah kabar ini?

“Maksudku toh, kau itu tidak kelihatan seperti orang yang sudah mau menikah. Kabar-kabar yang kudengar tentang kau kebanyakan tentang kesibukanmu dengan kegiatan-kegiatan macam-macam. Urus majalah-lah... terbitkan buku-lah.. terlibat di kegiatan ini-itu lah... Kok tiba-tiba sekarang kau bilang kalau kau mau nikah dalam waktu dekat???” . Ia masih heboh. Ucha, sohib saya sejak jaman SD dan terus bersama hingga SMA itu memang ceplas-ceplos. Kami tidak lagi satu tempat belajar sejak kuliah, namun sesekali masih sering berkomunikasi dan kadang bertemu dalam event ngumpul-ngumpul alumni.

Selanjutnya, chatting kami pun berlanjut dengan jawaban-jawaban saya atas pertanyaan-pertanyaannya. Dari yang paling masuk akal sampai yang membuat saya tertawa-tertawa sendiri sambil memandangi layar ponsel. Meski begitu, pada akhirnya saya tahu, Ucha pun turut bahagia atas kabar bahagia itu.

Respon yang nyaris serupa juga saya dapatkan saat woro-woro tentang rencana pernikahan di grup chat Pyfor Rangers yang berisi sahabat-sahabat karib dari jaman SMP. Meski sejak kuliah kami terpisah satu sama lain, tapi kami minimal akan ngumpul setahun sekali pada moment pasca hari raya, dan membicarakan tentang apa saja. Sudah saling mengenal sejak jaman pertama kali puber hingga kemudian berusia dewasa seperti sekarang membuat kami sudah saling tahu tentang kepribadian masing-masing. Tidak heran jika mereka pun kaget; Dina, yang jangankan pacaran, ditelpon sama teman sekelas yang cowok saja, langsung dingambekin sama bapaknya. Kok bisa, malah dia yang paling pertama menikah di antara kita berlima? Mungkin, begitu dalam pikiran mereka. Tapi setelah ditanya ini-itu dan sesekali juga di-bully di grup *huhuhu*, toh mereka pun turut bahagia dan ikut excited mendengar berita yang saya bawa.

Mengingat-ingat kembali masa-masa sebelum menikah, kadang membawa nuansa tersendiri bagi saya. Ada masa di mana rasanya begitu bersemangat merancang mimpi-mimpi masa depan dengan isi otak sendiri. Mau begini.. mau begitu... Ingin meraih ini, ingin meraih itu... Sehingga bayang-bayang tentang pernikahan seolah masih begitu jauh dan tidak terpikirkan. Namun ada juga masanya tiba-tiba jadi galau sendiri. Saat teman-teman seumuran bukan lagi mengundang pernikahan, tapi sudah menyebar kabar aqiqahan anak kesekian. Begitu khawatir karena sudah dilambung kiri-kanan sama adik-adik junior. Hehehe.. Pernah tuh, ada jaman di mana lihat undangan pernikahan, yang ditanya bukan nama mempelainya, tapi... “Angkatan berapa tuh yang mau nikah?”. Hahaha... , bapernya kemana-mana qaqa...

Ada masa, di mana doa buat minta jodoh itu selalu jadi prioritas. Suka sok-sok cool pas perbincangan para jomblo menyerempet tentang masalah walimah, padahal dalam hati cenat cenut juga. Suka hanya senyam senyum gak jelas saat digoda para ummahat dan ditanya soal kriteria calon dan tetek bengeknya, padahal mupeng juga. Namun pada satu titik, tiba-tiba malah bertanya-tanya pada diri sendiri: Memangnya, seberapa besarkah keinginan itu? Memangnya, jika tak lagi sendiri semuanya akan jadi lebih baik?

Hingga akhirnya nasihat itu datang. Sesuatu yang membuat hati ini bukan hanya sekedar sibuk ber-baper-baper ria, namun mencoba merenung lebih dalam perihal keinginan untuk nikah.

Mungkin, memang sudah saatnya berhenti untuk menyombongkan diri. Berhenti untuk merasa bahwa kita masih cukup kuat untuk menopang segalanya sendiri dan belum butuh kepada sosok lain untuk mendampingi. Sebab bahkan dalam berdoa pun kita harus jujur pada diri sendiri. Jangan-jangan doa-doa itu masih belum benar-benar ikhlas, dan masih tersimpan kesombongan di dalamnya, serta belum merasa benar-benar butuh kepada Allah. Mungkin doa itu masih belum benar-benar dipanjatkan dengan keberserahan diri, terlalu terkesan mendikte Allah, seolah kita yang paling tahu tentang apa yang paling baik buat diri kita. Padahal tidak.

Dan nasihat itu pun menohok. Tepat sasaran dan terasa dalam sekali waktu itu. Jika diingat-ingat, memang terkadang kita seperti itu. Kita tanpa sadar berpikir bahwa Allah telah membuat kita begitu lama menunggu. Kita menilai diri kita sendiri sudah sangat siap, namun Allah tak kunjung mendatangkan dia yang dijanjikan. Padahal, kita minta yang terbaik, namun lupa bahwa diri kita pun bisa jadi belum cukup baik untuk dipertemukan dengan sosok yang baik itu. Nah.

Atau di sisi lain, kita nampak berdoa, nampak ingin menikah, namun dalam hati masih ada keraguan, dalam hati masih berpikir bahwa kita sebenarnya masih sangat mampu untuk sendiri saja. Jauh di lubuk hati, sebenarnya kita merasa belum benar-benar butuh.

Mungkin keinginan itu belum benar-benar ikhlas dan berada pada jalur yang benar. Sesederhana bahwa keinginan untuk menikah semata-mata karena kita mau menyempurnakan separuh agama, untuk bersama membangun ketakwaan demi menyempurnakan separuh yang lainnya. Bahwa kita ingin menikah untuk menegakkan sunnah agar menjadi bagian dari umat yang Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam cinta. Bahwa kita ingin menikah agar kelak dapat turut membesarkan generasi penerus yang akan menjaga dan memakmurkan bumi Allah. Bukan karena kita telah khawatir pada bilangan umur, atau karena malu pada kawan-kawan lain yang sudah duluan melempar senyum dari atas pelaminan. Bukan karena alasan-alasan itu.

Maka mempersiapkan diri dan meng-upgrade kualitas diri menjadi hal yang niscaya dalam masa penantian. Sebab begitu banyak hal yang masih dapat kita lakukan di masa-masa yang... trust me, sebahagia apapun pernikahan kita kelak, akan ada titik di mana kita akan rindu pada masa-masa lajang. Dan saya semakin amaze saat pengakuan itu kemudian datang dari seorang ukhti yang sebelum menikah dulu, saya tahu, sangat ingin sekali menikah. Saat kemudian menjalani masa pernikahan dengan suami yang baik dan telah dikaruniai anak yang lucu, suatu waktu pesan singkatnya mendarat di ponsel saya.

Dina-chan, saya kadang kangen dengan masa-masa jomblo...

Hmm...

Dan saya sendiri sempat terheran-heran. Dalam rentang waktu antara khitbah dengan hari akad nikah, saat kabar pernikahan saya masih disimpan dalam silent-mode, entah mengapa tiba-tiba saya mendapat banyak sekali nasihat yang bertema sama; tentang bagaimana memanfaatkan sebaik-baiknya masa-masa sebelum ditakdirkan punya pasangan. Beberapa orang yang belum tahu bahwa saya akan menikah dalam waktu dekat itu, entah mengapa tiba-tiba menasihatkan hal tersebut. Membuat saya menggumam pada diri sendiri; Ya ampun, kemarin-kemarin ane ngapain aje...

Maka setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing. Ada yang nampak santai, eh tau-tau sudah sebar undangan saja. Ada juga yang kelihatan ngebet, namun ternyata Allah masih menakdirkan ia sendirian. Ada pula yang memang nampaknya belum punya keinginan ke arah sana, tentu karena ia punya alasannya sendiri, dan kita tidak pernah berhak untuk menghukumi siapapun, apalagi jika kita tidak tahu the whole story. Pada intinya, toh masalah kemuliaan seseorang tidak serta merta dapat kita nilai dari apakah dia masih singel atau sudah double. Bukan pula dapat kita judge dari baik atau tidaknya pasangannya.

Bukankah Maryam binti Imran tidak pernah menikah namun ia adalah salah satu wanita penghulu surga? Bukankah Asiyah istri Fir’aun punya suami paling zalim sepanjang sejarah tapi ia sudah dijaminkan dengan istana di Jannah? Dan tidakkah kita tahu kabar tentang istri Nabi Nuh dan Nabi Luth yang bersuamikan para lelaki yang merupakan nabi Allah namun mereka tetap tak selamat dari azab?

Maka sudahlah, sebab tugas kita hanya taat. Dan selalu ada pos-pos ketaatan dalam setiap fase kehidupan kita. Selalu ada ladang-ladang pahala yang tersedia jika saja kita masih ingin mengisinya dengan syukur dan sabar di setiap hela napas. Berat? Ya iyalah, sebab balasannya adalah surga. Selalu akan ada cinta yang bisa kita sebar, kepada orang-orang terkasih yang ditakdirkan membersamai pada setiap rentang usia. So, baik saat kita masih sendiri, maupun di kala kelak Allah menakdirkan kita punya pasangan nanti; semoga selalu ada cinta. Cinta yang membawa kita pada keberserahan diri, dan mengantarkan kita untuk selalu berbaik sangka atas setiap yang Allah takdirkan. Semoga.

di antara derai hujan di akhir tahun 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)