Senin, 30 Desember 2013

What I Talk About When I Talk About You

Rasa cinta ini bahkan melebihi cinta saya pada saudara kandung saya sendiri...”, ujarmu di suatu senja, bertahun yang lalu. Sebuah perkataan yang masih kuingat hingga kini. Bahkan mungkin tidak akan pernah kulupakan. Seumur hidup. 

Kepadamu, seseorang yang indah pribadinya,

Aku tidak ingat betul, kapan dan bagaimana saat pertama kali berjumpa denganmu. Yang jelas seingatku, setiap kali melihat kau, aku selalu menganggapmu berada pada tingkatan yang lebih dibandingkan kami-kami ini. Apakah itu adalah efek dari kacamata yang kau kenakan? Atau karena memang wajahmu yang selalu menyiratkan ketenangan? Entahlah. 

Nyatanya, tentu hanya atas takdir Allah-lah garis hidup kita bersinggungan. Dan kau adalah satu dari beberapa orang yang Allah takdirkan hanya kutemukan sisi baiknya saja. Tanpa cela? Ya, sepertinya itu kata yang tepat untuk menggambarkannya. Dan kau harus tahu betapa aku bersyukur atas hal itu.
Tutur katamu yang halus, bahkan meski saat kau tengah bercanda. Kau mungkin bukan orang yang sangat supel, namun siapapun yang berada di dekatmu akan merasa nyaman. Intinya, kau adalah orang yang begitu mudah untuk dicintai, bahkan mungkin pada pandangan yang pertama kali. Allah mencintaimu, setidaknya itulah hipotesisku atas hal ini. 

Kau adalah seseorang yang sangat manis senyumnya. Namun suatu hari kudapati dirimu menangis tersedu-sedu. Bukan karena masalah yang sedang menimpamu. Bukan pula perihal remeh temeh nan sepele yang kadang banyak dikeluhkan orang-orang kini. Hari itu, kau menangis berlinang-linang justru sebab sedih melihat salah seorang kawan yang tidak lagi berada pada jalan kebaikan. Punggungmu bahkan hingga bergetar sambil berulang-ulang mengucapkan namanya. Kau kecewa pada dirimu sendiri, mengapa tidak dapat lebih lama membuatnya bertahan di jalan cahaya. 

Di kali yang lain, sebuah senja kita isi dengan mengujungi rumah seorang kawan. Kita menghabiskan waktu hingga maghrib mendekat dengan tertawa-tawa dan berbincang tentang banyak hal yang ringan bertiga. Sungguh tidak ada yang salah waktu itu. Hal yang kita bicarakan pun adalah sesuatu yang wajar-wajar saja. Namun betapa kutemukan kembali keindahanmu saat aku tiba di rumah dan pesan singkatmu telah mendarat di ponselku. Kau tidak pernah kudapati berprasangka buruk pada siapapun, namun kau begitu berhati-hati jika itu perihal dirimu sendiri. Lewat pesan singkat itu, kau meminta maaf. Ya, kau meminta maaf sebab khawatir jika perbincangan kita tadi bernilai sia-sia. Kau meminta maaf jika saja ada perkataanmu yang salah, padahal tak ada. 

Hingga akhirnya, waktu pun terus berjalan. Semakin hari, kehidupan ini semakin menunjukkan rupa yang sebenarnya. Hidup pada akhirnya bukan hanya sekadar rutinitas harian yang terus berulang. Namun semakin banyak diwarnai dengan hal-hal yang tidak kita duga. Termasuk dengan kepergianmu. Sebuah perpisahan yang menjauhkan raga kita, namun untungnya tidak dengan hati kita. 

Wahai kau yang indah pribadinya,

Beberapa waktu yang lalu kita bertemu kembali. Dan seperti yang sudah kuduga, tidak banyak yang harus kukhawatirkan tentang dirimu. Kau baik-baik saja. Kau tetap bertahan untuk menjadi tetap indah. Seindah saat kita bertemu, dan saat kita berpisah dahulu.

Kau kemudian bercerita tentang banyak hal. Hingga rasanya, waktu perjumpaan kita itu tidak akan pernah cukup untuk membahasnya tuntas. Ya, kita telah melewati begitu banyak hari tanpa masing-masing berada di sisi. Tentu begitu banyak pula yang telah terjadi.

Kau mengatakan tentang keputusan yang harus kau jalani, meski sama sekali tidak kau sukai. Tapi kau tetap melalui itu dengan cara terbaik yang kau bisa. Lalu Allah kemudian menunjukkan hikmah-Nya. Pada perjalanan yang kau tak kau senangi itu, justru di sanalah kau menemui apa yang selama ini kau cari. Maka sekali lagi, pada dirimu ayat-ayatNya dapat kubaca...

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2]:216)

Lalu perpisahan yang kedua harus kembali kita jalani. Kali ini tanpa ada rencana kapan akan bertemu kembali. Pada perjumpaan terakhir itu, kau berucap lirih, jangan-jangan kita tidak akan lagi berjumpa lagi. Namun biarkan kuberitahukan kepadamu, betapapun jarak akan membentang jauh, pada akhirnya justru hal itulah lagi yang menginsyafi kita, bahwa terkadang angka-angka dalam satuan kilometer itu tidak selalu menyimpan banyak makna. Bukankah ada begitu banyak orang yang dekat secara jarak namun hatinya saling berjauh-jauhan? Maka, kita selalu punya doa-doa yang mampu untuk melipat rentangan itu. Pada akhirnya, perjumpaan-perjumpaan jasad bisa saja kita hibur ketiadaannya dengan kedekatan jiwa. Aku akan selalu mendoakan kebaikan untukmu, bahkan mungkin melebihi untuk diriku sendiri. Aku berjanji.

Uhibbukifillah, yaa Ukhti...


Makassar, 30 Desember 2013

Kau tahu bagaimana rasanya kembali menulis setelah rasanya sekian lama tidak melakukannya?
 Ya, seperti berjumpa dengan sahabat lama! 

Rabu, 04 Desember 2013

Mati Muda

Sejak kecil, saya selalu merasa akan mati muda. 

Ya, entah mengapa. Kira-kira di usia SD, tentu pada waktu itu saya belum tahu menahu perihal hal-hal seberat itu, perihal kematian. Saya belum belajar agama dengan benar sehingga tidak pula mengerti konsep dzikrul-maut yang erat kaitannya dengan nasihat agar menjalani hidup dengan lebih lurus. Untuk sebuah alasan yang hingga hari ini pun saya tidak tahu, entah mengapa saat itu saya selalu menganggap diri saya tidak akan sampai pada fase dewasa, saya akan mati sebelum itu. Atau setidaknya, dunia ini akan kiamat sebelum itu. Aneh ya?

Ya, saya memang anak yang aneh (mungkin juga sampai sekarang, hehehe...). Saya punya imajinasi yang terlalu melebar kemana-mana –jika tidak disebut liar. Entah karena pada waktu itu saya mencekoki diri dengan bacaan seputar hal-hal fantasi, pahlawan berkekuatan super, dan sebagainya, sehingga saya bisa dengan mudah untuk berimajinasi tentang banyak hal yang aneh-aneh. Termasuk tentang kematian. Di suatu hari saat masih SD, saya bahkan pernah berdiri beberapa saat sambil mengamati baju seragam sekolah saya yang tergantung di pegangan pintu lemari. Baju itu masih kusut dan seharusnya saya letakkan segera di tempat setrikaan agar disetrika dan bisa saya gunakan esok lusa.

Cukup lama saya berdiri menatap baju itu, hingga kemudian memilih untuk tetap meninggalkannya di sana. Kau tau kenapa? Sebab entah atas alasan apa, saya merasa akan meninggal besoknya, sehingga saya tentu tidak membutuhkan baju itu lagi esok lusa. Dan sebagai seorang anak kecil, saya menganggap bahwa kematian adalah perkara sederhana. Padahal, tidak.

Hingga saat ini pun, perasaan seperti itu pun seringkali tiba-tiba muncul lagi. Namun kali ini dalam pemahaman yang berbeda, tentunya. Kematian bukan lagi perkara sederhana yang bisa dengan sok saya hadapi dengan tenang. Kematian adalah sebuah pintu masuk menuju ke alam selanjutnya, menuju pada pertanggungjawaban yang saya imani akan dihadapi oleh seluruh manusia. Perasaan-tidak-lama-lagi-akan-mati itu akhirnya membuat saya menjadi merasa perlu menyiapkan banyak hal. Amalan baik, tentu saja. Dan beberapa hal lain yang juga perlu dipersiapkan sebelum meninggalkan dunia.

Saya butuh ahli waris.

Bukan, bukan untuk perkara harta. Sebab nyatanya, saya memang tidak punya apa-apa. Semua rupiah yang ada di tabungan atas nama saya sejatinya hanyalah belas kasihan kedua orang tua saya yang masih membiayai hingga hari ini. Jika pun ada sepeser yang merupakan hasil dari usaha sendiri, itu tidak berarti banyak. Bahkan mungkin telah tandas saya belanjakan kesana kemari.

Tapi, saya butuh ahli waris untuk meneruskan beberapa hal yang saya harap akan terus berlanjut walaupun saya sudah tidak ada. Buku saya, misalnya. Buku itu, meski bukan sebuah karya yang sangat berarti, saya harap masih akan terus beredar meski saya sudah mati. Demikian pula dengan blog ini, dan blog saya yang lain. Saya ingin memastikan bahwa ia akan terus beroprasi dan tetap bisa diakses. Maka, ahli waris saya hanya akan saya warisi dengan link pada penerbit buku serta password e-mail, dan password blog serta password akun FB dan twitter untuk mengabarkan pada kawan-kawan saya di sana, bahwa saya telah tiada dan saya harap mereka tetap mendoakan kebaikan pada saya. Hmm.., hingga saat ini satu-satunya kandidat ahli waris yang terpikirkan oleh saya adalah adik kandung saya, Indy Trini. Saya tidak tahu apakah ia akan membaca tulisan ini, tapi jika kemudian saya mati dan ada pembaca yang telah membaca tulisan ini dan mengenal Indy, tolong beritahukan perihal ini padanya. Kalau-kalau saja saya ternyata lupa, atau tidak sempat memberitahukan ini pada Indy. Mungkin, saya akan mulai menuliskan password-password itu di secarik kertas yang saya letakkan di dompet. Sama seperti jika saya memiliki utang, maka menuliskannya di kertas dan meletakkannya di dompet adalah cara yang aman. Seseorang akan menemukan dompet itu, dan bisa membantu membayarkan utang itu jika kita ternyata mati duluan. Utang itu khan mengerikan! Syuhada saja bisa tertunda masuk surga jika utangnya belum dilunaskan! Apalagi saya!

Nah, lihatlah bagaimana saya seringkali dihinggapi perasaan tidak akan hidup lebih lama lagi. Saya sering merasa akan pergi lebih dahulu daripada bapak, mamak, kakak, dan adik saya. Entah mengapa. Dan hal seperti ini, hanya bisa dijawab oleh rangkaian hari yang datang satu per satu. Takdirlah yang akan menunjukkan apakah dugaan saya itu benar, atau hanya angan kosong belaka.  

Oh iya, hal ini juga seringkali membuat saya berpikir tentang beberapa hal yang belum saya sampaikan kepada beberapa orang. Ada sesuatu yang masih saya simpan sendiri, dan jika saya mati, maka mungkin itu semua akan ikut terkubur bersama jasad saya. Tapi tak mengapa, mungkin memang akan lebih keren jika ada rahasia yang kita bawa sampai mati. Hehehe...

Satu hal yang akan menyadarkan saya dari pemikiran aneh ini hanyalah jika saya mengingat kembali pada dosa-dosa. Bejibun dosa yang belum tuntas saya tebus dengan taubat. Juga dengan kata maaf kepada orang-orang yang pernah saya lampaui haknya. Juga memaafkan orang-orang yang masih belum bisa saya lupakan kesalahannya. Hal-hal semacam itulah yang membuat saya kemudian akan berpikir, saya sama sekali belum siap untuk mati. Bahkan meski dunia ini sudah tidak terlihat menarik lagi.

Hmm... tulisan ini nampaknya semakin tidak jelas juntrungannya, ya? Maafkan, saya hanya ingin menumpahkan pikiran saja. Maafkan juga, jika kamu sudah membaca sampai sejauh ini tapi nyatanya tidak menemukan manfaat apa-apa. Maafkan ya, sebab saya tidak ingin menambah daftar dosa yang tentu akan semakin memberatkan kehidupan setelah kematian saya.

Maka pada akhirnya saya akan mencoba untuk lebih logis dan lebih lurus lagi dalam memikirkan hal ini. Saya perlu mengingat kembali nasihat dari sebuah buku yang dulu dipinjam seseorang tapi tak pernah ia kembalikan hingga kami tidak bertemu lagi. Buku itu berpesan; Tidak penting kapan kita mati, yang terpenting adalah apa yang telah kita siapkan untuk menghadapi kematian, dan kehidupan setelah mati.  

Dan buku itu, benar. 

Makassar, 4 Desember 2013

Senin, 02 Desember 2013

Tidakkah Kamu Memperhatikan?

Apa kabar, Pak?

Semoga selalu dilimpahkan rezeki atasmu dalam keberkahan, dan diberikankesehatan padamu dalam kebaikan. Tentu kau memerlukan kekuatan yang begitubesar untuk dapat mengemban amanah berat di pundakmu di dunia ini, pun untukmempertanggungjawabkannya di akhirat nanti.

Pak, tulisan ini mungkin hanya sebuah coretan sederhana yang jauh dariilmiah. Ia juga hanyalah suara hati dari seseorang yang bukan siapa-siapa dantidak pun membawa berita yang baru. Namun, semoga kesederhanaan ini tidak mengurangikebenaran atas apa yang akan tulisan ini sampaikan padamu.

Hari itu sebenarnya biasa saja. Hari pertama dalam penanggalan bulanDesember yang seharusnya sama dengan hari-hari lainnya. Namun, ia menjadi tidakbiasa saat isu itu berhembus dengan kencang. Berita pun menyebar kemana-manaseolah tiada yang dapat membendungnya. Ini tentang sebuah program yangdilakukan pemerintah terkait dengan hari AIDS sedunia. Namanya, Pekan KondomNasional. Sungguh, mendengar judulnya saja sudah membuat bulu kuduk bergidik.Ada apa dengan benda itu? Mengapa ia harus dibuatkan kegiatan dalam tujuh haripenuh?

Hingga sakit kepala saya memikirkannya, Pak. Logika saya yang dangkal initetap tidak dapat menangkap kesesuaian antara mencegah HIV/AIDS dengan kegiatanbagi-bagi ‘pengaman’ itu. Bahkan dari beberapa artikel yang saya baca, nyatanyapenularan penyakit mengerikan itu masih saja bisa terjadi meski menggunakanpengaman. Sementara fakta bahwa meningkatnya penularan lewat hubungan seksualpun ternyata melonjak dibanding jalur-jalur penularan lainnya. Bukankah itumengerikan? Tapi tetap saja, membagi-bagikannya kepada khalayak ramai tetaptidak dapat masuk dalam logika saya. Apalagi saat tempat dibaginya ternyata di antaranyaadalah kampus-kampus tempat orang-orang intelek berada, yang meski tidak diberitahu pun nampaknya sudah cukup tau tentang hal itu. Sementara, tidak semua darimereka adalah orang-orang yang terjerumus pada seks bebas. Bukankah, denganmembagikan hal itu justru bisa menjadi celah mereka menemukan inspirasi untuk justru melakuka tindakandosa itu?

Maka belum lagi reda pening itu, jantung ini rasanya ikut terpacu begitucepat saat beberapa testimoni dan saksi di lokasi kejadian menyatakan langsungbeberapa hal yang bersebrangan dari apa yang diprogramkan.

“Tiba-tiba ada yang datangmembagikan-bagikan sesuatu. Tanpa adainformasi apa-apa, ternyata sepaket kondom itu sudah ada di tangan saya!”

“Mereka masuk ke kampussaya, membagi-bagikan kondom sambil berujar –entah serius atau hanya bercanda, ‘Dicobasama pacarnya yah...’”

Duhai Bapak yang terhormat, apa yang sedang coba kita undang? Apa yangsedang kita nantikan? Adzab-Nya-kah? Naudzubillah...

Pak, saya pernah berkesempatan untuk berpraktik kerja pada sebuah apotek.Di sana dapat saya amati bahwa memang ‘benda itu’ adalah sesuatu yang wajarsaja untuk digunakan, tentu oleh orang-orang yang memang berhak untukmenggunakannya. Dan para pembelinya rata-rata, bahkan meski mereka memangberhak, namun tetap saja ada rasa malu pada wajahnya. Entah ditutup denganhelm, atau bergegas ingin segera membayar dan pergi. Apalagi tentu orang-orangyang memang ingin menggunakannya untuk maksiat, tentu akan lebih canggung lagi!Maka masih ada rasa malu, Pak! Setidaknya masih ada rasa malu yang menjagaseseorang untuk mengurungkan niat bermaksiatnya saat benda itu tidak denganmudah diakses oleh siapa saja. Maka saat ia kemudian diobral bahkandibagi-bagikan dengan gelontoran dana negara yang tidak sedikit jumlahnya,tentu tidak heran jika begitu banyak yang mempertanyakan ini semua! Telah nyataadzab pada kaum yang durhaka sebelum kita, tidakkah kita memperhatikan?

Miris sekali rasanya, Pak. Saat kemaksiatan dibukakan pintunya begitu luas,sementara kebaikan seolah dihalangi rapat-rapat. Baru saja kami turutbergembira atas dibolehkannya saudari-saudari muslimah kami para polwan untukmengenakan jilbab, tiba-tiba kabar pembatalannya datang, dengan alasan tidakadanya anggaran. Saudari-saudari kami itu, Pak, mereka juga para muslimah yangberkewajiban menaati perintah Rabbnya. Telah diperintahkan dalam ajaran agamakita untuk menutup aurat, maka nampaknya tidak masuk diakal saat ternyatajustru negara (yang begitu kami banggakan karena menjadi berpenduduk mayoritasmuslim di dunia) ini yang melarangnya! Saudari-saudari kami itu, Pak, merekahanya ingin beribadah dengan bebas sebagaimana bebasnya mereka shalat, puasa,dan berzakat. Mereka hanya ingin menjalankan tugasnya kepada negara tanpa harusmendurhakai tugas yang telah diberikan pula oleh Allah. Lalu mengapa merekadilarang dan dihalang-halangi? Dimana hak asasi manusia itu? Dimana mereka yangmemprotes pelarangan rok mini itu? Dimana toleransi itu? Ataukah bahkan negaraini telah tega bersikap diskrimintif bahkan pada umat mayoritasnya sendiri?

Pak, masih ada waktu untuk memperbaiki semuanya. Masih ada masa untukbersujud taubat dengan menyungkur pada-Nya. Tidakkah kita takut pada azab yangbukan hanya menimpa pelaku maksiat namun akan merata pada seluruh penduduknegeri? Jika mungkin hati kita telah beku dan tidak lagi bersemangat atas kabargembira bagi orang-orang yang takwa, maka mungkin memang saatnya kita menetapihati dan menghadirkan lagi ketakutan kita pada-Nya. Begitu mudah kitadilenyapkan-Nya dengan kekuasaan-Nya. Bahwa begitu mudah bagi-Nya menggantikita dengan generasi yang lebih tahu berterima kasih.

Duhai Bapak Presiden yang budiman, semoga hidayah Allah senantiasadicurahkan kepada kita semua. Aamiin.

Tidakkahkamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumidengan hak[? Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakankamu dan mengganti(mu) dengan makhluk yang baru.” (QS. Ibrahim [14]:19)

Makassar, 3 Desember 2013