Kamis, 28 Maret 2013

Nah, Ini Dia!

Pagi ini seharusnya biasa-biasa saja. Setelah turun dari bentor, saya menunggu angkot di Jln. Pettarani. Tidak lama kemudian, si angkot yang dinantikan tiba. Sebelum naik, saya sempat melirik ke dalamnya. Masih kosong melompong. Biasanya, saya merasa kurang nyaman dengan angkot kosong. Kondisi hanya berdua di atas mobil dengan supir angkot adalah sebuah pilihan yang hanya akan saya ambil jika terdesak. Sayangnya, saya sedang berada dalam kondisi itu. Sebuah kegiatan yang dihelat sebentar lagi 'memaksa' saya untuk akhirnya melangkahkan kaki. Bismillah, saya pun naik. Dengan asumsi, ini hari kerja, masih pagi, kemungkinan besar, beberapa meter di depan sana akan ada penumpang lainnya. 

Angkot pun melaju. Sesuai asumsi saya, tidak lama naik pula penumpang lain. Langsung dua orang. Seorang lelaki yang duduk di samping pak kusir #eh, maksudnya pak supir! Dan seorang perempuan yang memilih duduk di samping saya. FYI, saya duduk di kursi di samping pintu masuk angkot, maka praktis saya membelakangi perempuan itu. 

Tak beberapa lama kemudian, saya merasakan ada colekan halus dari belakang. Lalu, saya mendapati perempuan tadi menatap ke arah saya dengan sesungging senyum di sudut bibirnya, kesannya agak dipaksakan sih... Saya perhatikan sekilas, wajahnya terlihat biasa saja, agak-agak polos, bahkan. Matanya agak sipit, dengan bibir yang terlihat kering dan kulit wajah yang sedikit kusam. Rambutnya panjang sebahu, tebal, dan tidak terlalu rapi, dipotong model shaggy pula, beberapa helaiannya mencuat tidak beraturan. Perempuan itu mengenakan baju putih yang agak kusut dengan celana jeans yang terlihat senasib dengan bajunya. Selanjutnya, Anda akan tahu apa alasan saya mendeskripsikannya dengan lebih detail!

Dengan suara yang hampir berbisik, perempuan ini mengarahkan pandangan saya ke tas tangan yang ia bawa. Aih, saya lupa warna tas itu! Agak sedikit biru kehijauan kalau tidak salah. Ia memunculkan jari-jemarinya diantara celah yang robek pada tas tadi. Robekan yang terlihat sudah lama dan tersayat tidak beraturan. Sejurus kemudian, perempuan tadi mulai berucap, 


"Bisa tolong kasih saya sepuluh ribu? Tas saya robek, dompet saya kayaknya jatuh..." ucapnya, masih dengan suara kecil yang bernada tidak seperti orang yang baru saja kehilangan dompet, plus dengan ekspresi yang sama sekali tidak mendukung ceritanya. 

Dan, aha! Nah, ini dia! Ingatan saya langsung tertuju pada sebuah postingan dari seorang blogger favorit saya, Mama Mirna Andriani (backsound: jreng-jreng-jreng!). Bisa dibaca di sini --> http://aineblume.wordpress.com/2013/02/12/seorang-yang-sepertinya-penipu-di-pete-pete/ 

Modusnya benar-benar serupa! Kali ini mungkin alasannya lebih masuk akal. Dompetnya jatuh karena tasnya sobek, bukan lagi lupa terbawa seperti di kasusnya Mama Mirna. Tapi benar, sobekan yang dia tunjukkan terlalu kecil untuk menjadi penyebab dompetnya jatuh. Dan sekali lagi benar, sobekan itu sudah terlihat lama. Mana ada orang yang sengaja menggunakan tas yang sudah sobek begitu? Okelah, kalau memang dia tidak punya tas lain...

Karena langsung ingat pada tulisan itu, saya pun dengan spontan menolak untuk 'membantunya'. Saya pikir, orang ini akan tidak kapok-kapok menipu, jika terus berhasil dalam penipuannya. Saya pun bersilat lidah perihal perjalanan saya yang masih panjang dan harus beberapa kali ganti angkot. 

"Bagaimana kalau ongkos petepete ini saja yang saya bayarkan?" tawar saya. Setidaknya, kalau dia memang berkata jujur, dia masih 'selamat' dari marah-marahnya supir angkot yang dia tumpangi sekarang.

"Nanti kalau sudah turun dari petepete ini, telepon saudaranya saja untuk minta dijemput atau dibawakan uang..." lanjut saya, berusaha untuk lebih solutif. 

"Hp saya juga tadi jatuh..." ujar perempuan itu. 

Baiklah. 

Tapi, saya pun tidak mau kalah. Saya kembali berkilah bahwa perjalanan saya pun masih panjang, jadi saya masih butuh ongkos yang lebih banyak. Dia ternyata tidak mau surut pula, dia pun mengatakan bahwa dia juga masih harus sambung angkot lainnya untuk sampai tujuan. Lalu, tawar menawar berlanjut. 

"Kalau begitu lima ribu saja..." ucapnya, ada nada miris di sana. Ini jadi kayak lagi tawar barang di pasar deh.. Ckckckck..

Saya pun mengangguk. Ya sudah, akhirnya saya mengiyakan penawarannya. 

Sepanjang perjalanan, saya pasang status waspada. Karena dia duduk di sudut yang tidak terjangkau oleh pengamatan saya, saya khawatir dia bisa berbuat macam-macam dibelakang saya. Apalagi angkot itu ternyata sepi, kami lebih banyak hanya berdua di kursi penumpang. Penumpang lain hanya satu-satu, itupun datang dan pergi. Perempuan ini sempat sesekali mengajak saya mengobrol. Bertanya secara random tentang tempat tujuan dan kegiatan saya. Saya jawab sekenanya, sebisa mungkin menghindari kontak mata, khawatir perempuan ini punya kemampuan hipnotis yang dapat melumpuhkan saya. Duh, Rabbi.. Batas antara waspada dengan suudzan memang tipis, yah..

"Nanti saja kalau sudah mau turun baru kasih saya uangnya..." ujarnya setelah kembali mencolek saya, sambil kembali tersenyum simpul. Saya hanya mengangguk. Dalam hati saya cuma berkomentar, That's the plan, Mbak.. Siapa juga yang mau kasih sekarang...

Akhirnya saya sudah harus turun dari angkot itu. Sudah ada 2 orang lain di atas angkot. Saya siapkan uang buat bayar ongkos, plus uang buat diberikan pada perempuan itu. Qadarullah, di akhir waktu itu, saya pun memutuskan memberikannya sepuluh ribu, seperti yang dia minta. Kalaupun dia bukan penipu, tentu itu akan sangat membantunya. Jikapun prasangka buruk saya benar, dan ia  merasa berhasil menipu saya, maka dia salah besar. Ah, bukannya dia sedang menipu dirinya sendiri? Biarlah perkara tipu-tipunya itu menjadi urusan dia dengan Allah! Mungkin dengan mendapat uang segitu, setidaknya dia bisa mengurangi target menipu selanjutnya, syukur-syukur kalau dia jadi insyaf! *Aamiin. 

Saya memberikan uang itu begitu saja. Dia pun menerimanya begitu saja. Tidak ada ucap terima kasih. Tidak pula sapaan perpisahan pada saya yang juga langsung ngeloyor begitu saja. Hmmm, biarlah...

Makassar, 29 Maret 2013
Jika ada lagi yang mengalami pengalaman yang serupa dengan ini, mungkin sudah bisa menyiapkan sikap terbaik untuk menghadapinya. Deskripsi tentarg perempuan itu saya detailkan untuk membuat kita bisa lebih waspada, kemungkinan besar orang yang sama akan menggunakan modus yang serupa. Jika pun sangkaan saya salah, semoga Allah mengampuni saya. Aamiin...

Kamis, 21 Maret 2013

Tahun-Tahun di Kampus Merah -Yang Tertinggal dan Yang Tersisa


Sebenarnya saya punya pilihan lain. Seorang kawan yang saya bersamai sejak tadi itu, tentu tidak akan keberatan jika saya menumpang motornya dari tempat parkir menuju masjid di Poltek –sebuah kampus di dalam area kampus Unhas. Tapi pada akhirnya saya lebih memilih untuk berjalan kaki saja, menyelinap diantara fakultas-fakultas, dengan satu tujuan; merasai kampus merah.

Mungkin jadi terkesan melankolis sekali, ya? Tapi tidak dapat saya pungkiri, hari-hari terakhir itu membuat saya kadang disergapi pikiran bahwa ternyata hanya tersisa sedikit sekali kebersamaan dengan kampus ini. Tentu akan menjadi perihal yang berbeda saat suatu hari nanti saya kembali bertandang ke sini, tapi tidak lagi dengan status sebagai salah satu mahasiswanya. Ya, tentu akan berbeda.

Dan momen wisuda kali ini pun juga begitu berbeda dengan wisuda sarjana sebelumnya. Saat wisuda sarjana dulu, saya lebih merasa seperti sedang mengikuti prosesi ‘naik kelas’. Saya sangat sadar, bahwa masa itu belumlah saat perpisahan. Sebagian besar dari kami akan kembali berkumpul dan belajar bersama di fakultas dan kampus yang sama, melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Maka wisuda profesi yang dihelat di hari kedua kali ini, benar-benar terasa sebagai titik akhir dari sebuah perjalanan dan kebersamaan. Dengan tahun-tahun yang telah terlalui dengan berbagai cerita di dalamnya.

wisuda hari ke-2, 21 Maret 2013


Tidak seperti sekolah-sekolah saya sebelumnya, ada yang tidak sama ketika saya berbicara tentang Unhas. Suatu hari, di awal-awal kuliah yang masih terasa sangat berat, saya bahkan mengernyitkan kening saat mendengar seorang senior yang telah lulus bercakap dengan saya, menceritakan betapa ia merindukan kampus ini. Dalam hati saya hanya berujar, “Bagaimana bisa dia merindukan tempat semacam ini?”

Kala itu, saya memang menganggap bahwa aktivitas ke kampus adalah suatu hal yang begitu membosankan. Kami harus ke kampus hampir setiap hari. Tidak peduli Sabtu dan Ahad, bahkan tidak peduli dengan hari libur nasional. Belum lagi bahwa selain aktivitas akademik, hampir tidak ada keterikatan lain antara saya dengan Unhas. Meski telah berstatus sebagai mahasiswi, hati saya tetap saja terpaut pada dunia putih abu-abu. Kegiatan-kegiatan lain yang saya lakoni dengan penuh semangat, justru berada di luar kampus. Maka tidak heran, jika saya sering menganggap, bahwa kampus ini bukanlah the place that i belong.

Suatu hari bahkan, saya pernah datang ke Ibu yang berbaring di sofa ruang tamu. Dengan wajah kusut setelah seharian kuliah dan praktikum, saya berkata pada beliau,

Saya mau berhenti kuliah di farmasi...

Ibu menatap saya. Berderet kalimat ia ucapkan. Namun hanya satu hal yang saya paham dan saya ingat, bahwa kata-kata yang saya ucapkan tadi, telah melukai hatinya. Sejak itu, saya berjanji tidak akan lagi mengulang perbuatan buruk tadi. 

Tapi, mendekati masa perpisahan dengan Unhas, membuat saya tidak dapat berdusta, bahwa begitu banyak hal yang telah terjadi di sini. Akan ada banyak hal yang saya tinggalkan, dan mungkin saya sisakan. Tidak semua sudut di kampus yang luas ini pernah saya jamah. Tapi beberapa tempat, jelas sekali telah meninggalkan kenangan yang kelak akan saya kenang; sebagai bagian dari masa lalu yang tak terelakkan.

Saya juga akan tetap terpesona pada semangat merah warisan Sultan Hasanuddin, seorang pahlawan nasional, Sang Ayam Jantan dari Timur yang namanya menjadi nama universitas ini. Semangat itu, dalam kadar yang berbeda-beda, saya yakin akan selalu ada dalam jiwa para mahasiswa di kampus ini. Juga fakta bahwa di luar sana ada begitu banyak orang yang dulu, sekarang, atau nanti telah menjadikan Unhas sebagai cita-citanya, namun ternyata tidak tertakdirkan demikian, mau tidak mau harus membuat saya mensyukuri keberadaan saya di sini.

@Aula Prof. Amiruddin FK Unhas

Saya sering berkata –mungkin dalam konteks menuliskannya, bahwa keberadaan saya di Unhas, terutama di Fakultas Farmasi tempat saya menghabiskan begitu banyak waktu, adalah satu hal yang terjadi tanpa pernah saya rencanakan sebelumnya (bahkan tanpa pernah sekalipun terpikirkan di masa lalu?). Segalanya seolah mengalir saja, persis seperti air yang membawa saya pada arus hanyutnya. Maka saat saya merasa berat, satu hal yang selalu saya dengungkan ke dalam hati sendiri adalah; sebab ini terasa tidak mungkin, maka pasti Allah punya rahasia yang lain. Saya percaya, segala ketakutan bermula dari ketidaktahuan. Dan rasa berat menjalani kehidupan, tidak lebih karena kita terhijab dari aneka hikmah yang mungkin belum tersibakkan. 

Untuk keberadaan saya bersama kampus merah, saya menganggap bahwa takdir ini adalah cara Allah untuk membawa saya pada beberapa hal. Tentunya agar saya belajar, memahami, dan menyelami ilmu farmasi yang awesome ini. Juga salah satunya, mungkin, agar saya bertemu dengan Ainun, dengan Tina, dengan Risma, dengan Lin, dengan Mardia, dengan Sri, dengan Kak Dina, dan dengan kawan-kawan di Mixtura07, juga rekan seangkatan di kelas Apoteker yang begitu luar biasa. Juga dengan banyak orang yang begitu baik dan bening hatinya. Yang dari mereka, saya belajar banyak hal.

Maka hari ini, dalam perjalanan menuju rumah, saya mencuri pandang ke arah bapak. Tentu tubuhnya terasa begitu lelah setelah seharian turut serta dalam prosesi wisuda dan penyumpahan apoteker tadi (salah satu momentum yang cukup menggetarkan yang pernah saya rasakan sepanjang hidup). Saya memejamkan mata sekejap. Membayangkan ibu yang di rumah mungkin sedang berbaring dengan mata berkaca –tentu sedih sebab sekali lagi tidak dapat turut serta pada hari yang sangat penting dalam hidup anaknya. Ah, betapa saya mencintai perempuan dan lelaki itu. Dan memang, jika ada satu hal yang membuat saya terus bertahan di sepanjang tahun-tahun di kampus merah ini; itu adalah mereka.

And i will miss you...


Makassar, 21 Maret 2013

Di hari wisuda dan penyumpahan apoteker

Teriring doa dan ucapan selamat kepada segenap yang berbahagia di hari wisuda ini dan kemarin. Semoga ilmunya bermanfaat untuk ummat. Barakallahu fiikum... :)