Kamis, 19 September 2019

Yang Tidak Akan Kembali


Dalam berbagai fakta tentang pengasuhan anak, satu hal yang paling 'mengkhawatirkan' bagi saya adalah bahwa masa kecil anak tidak akan kembali. Waktu tidak akan menunggu, apapun alasan kita. Mimpi-mimpi masa muda, eksistensi, dan berbagai kesempatan yang hadir di saat bersamaan ada makhluk kecil yang juga seolah 'meminta segalanya' dari kita, tidak bisa menjadi alasan untuk mengaburkan kenyataan itu. Bahwa kita akan selalu ada di titik di mana kita berujar dengan kaget, "Eh, anak-anak kok tiba-tiba sudah besar, ya!"

Pada masa yang tidak terulang itu pulalah terdapat yang disebut sebagai golden-age. Satu fase perkembangan di mana anak bagaikan spons yang menyerap segala sesuatu, terutama apa-apa yang diteladankan pada mereka. Masa di mana merupakan saat yang paling tepat untuk menanamkan landasan yang kokoh sebagai pondasi yang akan mereka gunakan seumur hidupnya. Dan sekali lagi, masa ini akan terlewat, dan tidak akan kembali.

Saat putera pertama saya, Fayyadh memasuki usia 3 tahunnya, tiba-tiba saya menjadi begitu sering merasa khawatir. Khawatir apakah saya bisa mengisi masa belajar Fayyadh di usia dini dengan cara yang tepat. Khawatir apakah saya tidak akan melewatkan kesempatan untuk menanamkan iman dan adab kepadanya. Khawatir, apakah saya bisa menjadi seorang ibu yang baik baginya?

Hingga kemudian saya tersadar, bahwa sejatinya bukan Fayyadh yang butuh belajar. Tapi justru, saya sebagai ibunyalah yang seharusnya belajar akan banyaaaaak sekali hal baru. Alhamdulillah, Allah menakdirkan saya bertemu dengan orang-orang yang tepat. Kumpulan para ibu pembelajar di mana saya dapat memetik berbagai macam hikmah dan inspirasi. Komunitas itu bernama Homeschooling Muslim Indonesia (HSMI). Di sana, saya juga bertemu dengan wajah-wajah lama yang dahulu saya kenal sama-sama bergiat di dunia dakwah sekolah. Dan mereka sama sekali tidak berubah, bahkan kini, mereka bukan lagi hanya aktivis dakwah remaja yang gesit, tapi juga telah bertransformasi sebagai para ibu shalihah yang menginspirasi. Barakallahu fiihinna.

Kemudian tempo hari yang lalu saya berkesempatan untuk secara khusus mengikuti kelas online intensif bertema Iman dan Adab yang diampu oleh Mama Mahdi, Nurmayanti Zain Cahaya Makassar yang pada periode lalu mendapat amanah sebagai koordinator wilayah HSMI Sulawesi. Untuk mengetahui materinya secara komprehensif, saya menyarankan untuk mengikuti kelasnya secara langsung. Adapun pada tulisan ini, saya hanya ingin berbagai, tentang betapa pentingnya kita sebagai orang tua, untuk banyak belajar.

Pada anak usia dini, di fase pretamyiznya, seorang anak perlu mendapatkan pendidikan tentang tauhid. Ya, tauhid. Yang dalam perjalanan saya menuntut ilmu syar'i, ilmu tentang tauhid bukan hanya sangat penting, namun juga menjadi materi yang 'cukup berat' untuk dipelajari, pun untuk diajarkan.

Tapi ternyata, sudah ada pelajaran tauhid yang harus berikan pada anak, bahkan sejak mereka lahir. Bagaimana caranya mengajarkan hal itu kepada anak yang bahkan belum bisa berbicara dengan benar? Apakah mereka akan paham? Apakah akal mereka telah sampai? Apakah keyakinan itu bisa tertancap dengan kuat? Lintasan pertanyaan itu terus menerus hadir dalam benak saya.

Hingga dalam satu sesi diskusi di grup HSMI Sulawesi, Ummu 'Asma Basmah Thariq membagikan pengalamannya mendampingi tiga anak perempuannya. Mulai dari sejak seorang bayi lahir, maka pelaksanaan sunnah seperti tahnik, aqiqah, dan memberi nama yang baik, juga merupakan pendidikan tauhid paling awal. Menyusui dengan iman, hingga kemudian menyapihnya dengan iman pula, juga merupakan bagian dari penanaman tauhid. Ummu Asma bercerita, bagaimana beliau bahkan tiap kali akan meninggalkan bayinya sesaat di kamar, entah untuk ke WC, atau ke dapur, atau sedekat apapun jaraknya di dalam rumah, beliau selalu berucap pada bayinya, "Nak, ummi menitipkanmu pada Allah... " .

Masyaallah..., saya bergetar.

Ya, maka metode itu bernama talqin. Seorang anak di usia pratamyiznya perlu ditalqinkan tentang konsep tauhid dengan bahasa sederhana, namun tak boleh lepas dari esensi, ketentuan-ketentuan, dan landasan dalil yang shahih. Hal ini disebut sebagai dialog iman. Sesuatu yang diharapkan dapat menumbuhsuburkan fitrah anak. Fitrah yang dibawa seorang anak sejak ia lahir itu, bukan berarti sesuatu yang kosong dan tanpa isi. Fitrah itu adalah Islam. Seorang hamba Allah yang baru lahir itu sejatinya sudah paham bahwa ada Allah yang menciptakan mereka. Maka tugas orang tua sejatinya bukan mengajarkan hal yang baru dalam prinsip ketuhanan itu. Namun justru kita 'hanya' sedang merawat fitrah yang telah ada pada diri mereka.

Sejujurnya, setiap kali saya mendengar cerita tentang dialog iman yang 'berhasil' dijalankan oleh para bunda shalihah, saya merasa iri. Kefakiran ilmu saya kerap kali membuat saya kesulitan untuk menuntun ini pada anak saya sendiri. Apalagi jika saya disergap rasa ragu, apakah saya bisa membuat anak saya paham dengan apa yang sedang saya bicarakan?

Lalu di suatu hari, qadarullah Fayyadh sakit flu. Lalu sebelum tidur, saya mencoba mengisi sesi 'pillow talk' bersama Fayyadh dengan dialog iman.
"Yadh, Fayyadh lagi flu ya? Itu dari tadi ada ingusnya..."
"Iye, ummi"
"Fayyadh coba berdoa sama Allah, semoga flunya Fayyadh cepat sembuh"
Lalu Fayyadh malah bertanya tentang hal lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan pembicaraan saya. Berkali-kali saya mencoba kembali mengarahkan pembicaraan kami, bahkan mencontohkan bagaimana cara berdoa itu, namun bocah tiga tahun itu tetap kelihatan tidak tertarik. Saya tidak menyerah, di malam-malam berikutnya, saya kembali mencoba mengulang dialog yang sama, dan kembali mendapatkan hasil yang sama. Beberapa malam demikian, hingga saya merasa, mungkin Fayyadh memang tidak mengerti.

Hingga pada suatu pagi, saya mengusap hidung Fayyadh yang ternyata tak lagi beringus.
"Eh, flunya Fayyadh sudah sembuh ya Nak? Alhamdulillah..." ucap saya.
"Iye, kan ummi sudah berdoa sama Allah toh? Allah sudah sembuhkan flunya Fayyadh" ucap Fayyadh dengan senyum lebar.

Nyesss....

Rasanya ada yang mengalir dalam dada saya. Ah, ternyata Fayyadh selama ini mengerti dengan apa yang saya bicarakan. Ternyata memang sudah fitrahnya setiap anak bisa langsung memahami tentang keberadaan Tuhannya. Ternyata, usaha kita memang tidak ada apa-apanya, dan pada akhirnya kita menyadari, bahwa Allah-lah yang telah memahamkan mereka.

Pada titik itu, saya tersadar bahwa saya masih harus terus belajar tentang banyak hal. Bahwa perjalanan mendampingi ananda ini masih sangaaaat panjang. Ke depannya, masih banyak hal yang akan kami hadapi bersama.

Dan tentu saja, apa yang saya lakukan masih sangat sedikit sekali, pun dengan hasil yang bisa dilihat pada diri anak-anak saya. Bahkan tak jarang, anak-anak saya mendapat cap 'nakal' karena keaktifan aktivitas fisik mereka. Pada saat itu setidaknya saya menginsyafi, bahwa mungkin karena itulah hanya doa orang tua yang makbul terhadap anak, bukan doa orang lain yang terkadang tidak mampu kita kendalikan lisannya untuk mensifati anak dengan hal-hal yang kurang baik. Sementara kita, para orang tuanya sudah seharusnya memahami, bahwa hanya dengan perkataan-perkataan yang menjadi doa yang baik saja, seharusnya kita mendidik dan merawat anak-anak kita. Seberat apapun perjalanan kita dalam mendampingi mereka.

Cukup kita saja yang baru terengah memahami agama saat usia kita telah dewasa. Cukup kita saja yang buta terhadap syariat ini saat sudah masanya kita mengembannya. Cukup kita saja yang melakukan kelalaian-kelalaian dalam hidup padahal sejatinya kita mengemban tugas kekhalifaan.

Janganlah kejayaan Islam itu hanyalah tinggal kenangan belaka. Jangan biarkan kehebatan para pemuda di masa lampau itu hanya menjadi cerita. Mengapa mereka bisa mengemban amanah yang begitu dahsyat saat di usia yang sama para pemuda kita sibuk untuk memaklumkan dirinya sebagai generasi yang masih mencari jati diri? Bukankah seharusnya masalah jati diri itu telah selesai bahkan sejak mereka memasuki usia baligh. Bukankah seharusnya sebelum itu mereka sudah memasuki masa kanak-kanak yang tenang sebagaimana digambarkan oleh Syaikh Ahmad Asy Syantut? Maka, sebelum masa kanak-kanak yang tenang itu, ada masa pratamyiz yang kitalah, para orang tua, memegang peranan yang penting untuk menuntun mereka melaluinya dengan sebaik-baik cara.

Sehebat apapun hari ini berbagai sekolah usia dinia menawarkan target-target pencapaian untuk anak-anak kita, itu semua tidak akan mengugurkan kewajiban kita untuk mendidik mereka dan -dalam bahasa Ibu Elly Risman, mensubkontrakkan tugas pengasuhan itu pada sekolah yang sejatinya hanya membantu kita karena adanya amanah ilmiah mereka sebagai lembaga yang harus membagikan ilmu yang mereka punya. Namun tetap, kelak kita yang akan ditanya dan bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak kita bahkan meski mereka telah ditangani oleh sekolah paling canggih dan guru paling 'alim sekalipun!

Maya, dalam pemaparan materinya di kelas online itu memberikan warna merah, sebagai pertanda, redflag, pada fase taklif, masa di mana seorang anak sudah sampai pada usia dewasa, dan seharusnya sudah siap dengan tugasnya sebagai khalifah di atas bumi Allah. Sebelum masa itu tiba, telah siapkah kita untuk menjadi pendidik mereka yang utama? Dan sebelum mampu menjalankan itu semua, adakah ilmu kita telah siap untuk menuntun mereka?

Oh iya, sebagai orang tua, ada satu hal lagi yang perlu kita ingat. Tentang betapa terbatasnya kita pada semua hal. Pada ilmu, pada amalan, juga kesempatan. Maka, senantiasa langitkanlah doa untuk anak-anak kita. Kata Mamak saya, jangan pernah putus mendoakan anak. Saat menyuapi mereka, saat mengurus mereka, saat menatap mereka, bahkan saat wajah mereka terlintas dalam pikiran kita. Orang tua, terutama seorang ibu, adalah himpunan doa-doa untuk anak-anaknya. Doa adalah wujud kepasrahan kita padaNya. Bahwa di tengah berbagai keterbatasan yang kita punya, kita yakin bahwa ada Allah, sebaik-baik tempat kita mengharapkan penjagaan atas anak-anak kita. Dan ya, ini juga merupakan satu ejawantah dari konsep tauhid yang seharusnya lebih dahulu kita ilmui dan imani, sebelum kita ajarkan kepada anak kita sendiri.

Wahai Rabbi, mudahkanlah kami...